Misteri K’tut Tantri

Karena sebuah film tentang Bali, perempuan Amerika kelahiran Skotlandia ini meninggalkan segala-galanya dan mempertaruhkan hidupnya demi kemerdekaan Indonesia.

OLEH:
Julius Pour
.
Misteri K’tut TantriMisteri K’tut Tantri
cover caption
K'tut Tantri bersama Presiden Sukarno. (IPPHOS).

K’TUT Tantri tutup usia tanggal 27 Juli 1997, di sebuah kamar sempit tanpa jendela, dalam sebuah panti jompo milik pemerintah di pinggiran Sydney, New South Wales, Australia. Beberapa bulan sebelumnya dia terpeleset di kamar mandi, sehingga tulang pinggulnya retak. Dengan demikian, perempuan tua kelahiran Glasgow, Skotlandia tanggal 18 Februari 1899 dengan nama asli Mureil Stuart Walker tersebut menutup hari-hari akhirnya penuh kesengsaraan. Terbaring di tempat tidur, praktis tanpa ada keluarga datang mendampingi.

Ayahnya, seorang arkeolog, meninggal di Afrika beberapa saat sebelum dirinya dilahirkan. Akhir tahun 1920, dia ikut ibunya pindah ke Amerika Serikat. Di negara barunya, dia bertemu Karl Henning Pearsen, seorang pengusaha asal Swedia. Mereka menikah dan tinggal di San Fransisco sampai tahun 1927. Pada suatu hari, dalam senja yang sedang disapu gerimis, ketika sedang menyusuri Hollywood Boulevard, dia tiba-tiba membaca poster film Bali, the Last Paradise, di depan sebuah gedung bioskop kecil. Dia tertarik, menonton, dan seperti diakuinya dalam otobiografinya Revolt in Paradise, langsung terpesona. Bali menumbuhkan harapan hidup baru bagi dirinya.

K’TUT Tantri tutup usia tanggal 27 Juli 1997, di sebuah kamar sempit tanpa jendela, dalam sebuah panti jompo milik pemerintah di pinggiran Sydney, New South Wales, Australia. Beberapa bulan sebelumnya dia terpeleset di kamar mandi, sehingga tulang pinggulnya retak. Dengan demikian, perempuan tua kelahiran Glasgow, Skotlandia tanggal 18 Februari 1899 dengan nama asli Mureil Stuart Walker tersebut menutup hari-hari akhirnya penuh kesengsaraan. Terbaring di tempat tidur, praktis tanpa ada keluarga datang mendampingi.

Ayahnya, seorang arkeolog, meninggal di Afrika beberapa saat sebelum dirinya dilahirkan. Akhir tahun 1920, dia ikut ibunya pindah ke Amerika Serikat. Di negara barunya, dia bertemu Karl Henning Pearsen, seorang pengusaha asal Swedia. Mereka menikah dan tinggal di San Fransisco sampai tahun 1927. Pada suatu hari, dalam senja yang sedang disapu gerimis, ketika sedang menyusuri Hollywood Boulevard, dia tiba-tiba membaca poster film Bali, the Last Paradise, di depan sebuah gedung bioskop kecil. Dia tertarik, menonton, dan seperti diakuinya dalam otobiografinya Revolt in Paradise, langsung terpesona. Bali menumbuhkan harapan hidup baru bagi dirinya.

Akhir November 1932 dia meninggalkan New York, naik sebuah kapal barang kecil menuju Tanjung Priok. “Saya berusaha membekali diri dengan lengkap. Seluruh uang tabungan telah saya cairkan. Saya mengangkut kanvas, cat, dan aneka macam kuas untukk mencukupi kebutuhan selama dua tahun. Saya tertantang sebuah kehidupan baru, untukk menjadi pelukis.”

Sesuatu yang tidak dia ungkapkan, dia lari ke Bali meninggalkan suami dan segala-galanya, karena dua anaknya baru saja meninggal terkena radang paru-paru. Setiba di Batavia (sekarang Jakarta) dia langsung membeli mobil, memasukkan semua barang bawaannya dan mengendarainya seorang diri melintasi Pulau Jawa menuju Bali. 

Begitu tiba di Bali, dia diangkat anak oleh Anak Agung Ngurah penguasa Puri Bangli, memperoleh jati diri baru, K’tut Tantri. Ketut sebutan anak nomor empat dalam tradisi Bali. Sedangkan Tantri, berasal dari nama Tantri Kamandaka, seorang tokoh dalam legenda kuno. Ratih Hardjono, saat itu koresponden harian Kompas di Sydney, pernah beberapa kali mengunjunginya. Ratih melukiskan: “Walau semua giginya telah tanggal, rambutnya memutih dan menunggu harinya sambil berbaring di tempat tidur, daya ingatnya tetap tajam dan sikapnya selalu waspada. Semua orang yang pernah bertemu pasti mengakui kecerdasannya…” 

K’tut Tantri, dengan usia bisa begitu lanjut telah menempuh beragam pengalaman, juga cerdas berkilah dan tak pernah bersedia menjawab tentang sejumlah catatan kelabu dalam kehidupannya. Dia menempuh beragam profesi, dari penyiar radio sampai wartawan, pengelola hotel hingga penyelundup senjata. Siapa sebenarnya K’tut Tantri? Bagaimana kita harus menempatkan sosoknya dalam sejarah Indonesia modern?

K'tut Tantri membela Indonesia.

Menemukan Surga Terakhir

Bali, 1936. Dalam dunia wisata internasional, Bali dianggap sebagai surga terakhir yang terancam perang dunia. Charlie Chaplin berkunjung dan tinggal di rumah pelukis Walter Spies di Tjampuan, dekat Ubud. Margaret Mead, bersama suami barunya, Gregory Bateson, juga datang ke rumah Spies yang sedang sibuk menyelesaikan penulisan buku Dance and Drama in Bali bersama Beryl de Zoete. Tahun itu pula K’tut Tantri mengelola Kuta Beach Hotel, hotel pertama di pinggir pantai Kuta, menghadap ke arah Samudera India yang terus-menerus bergelora.

Bagi sejumlah seniman Barat, Bali memenuhi utopia mereka terhadap kehidupan dunia. Pandangan semacam itu hadir dalam buku klasik karya Miguel Covarrubias, Island of Bali, dalam lukisan Adrien Le Mayeur, atau film bertajuk Der Insel de Daemonen karya Baron von Plessen. Kehidupan dalam sebuah surga di atas bumi tersebut terpaksa berakhir ketika tentara Jepang menyerbu ke selatan dan menguasai Bali.

Dengan perasaan pedih K’tut Tanri melukiskan: “Ketika Jepang melancarkan perang, semua orang Belanda pergi ke Jawa. Saya kemudian tinggal sendirian di hotel. Personel militer Belanda juga meninggalkan pulau ini tiga hari sebelum Jepang mendarat dan tak satu tembakan pun dilontarkan Belanda di pertahanan Bali…” 

Tahun 1943 paspor Amerika K’tut Tantri dirampas dan selama dua tahun lebih dia disiksa, dihina, dan dianiaya secara mengerikan. “Saya dipaksa berdiri dengan telanjang bulat di tengah alun-alun Kediri (Jawa Timur) serta dikalungi poster, Mata Mata Amerika.”

Ratih Hardjono, dalam harian Kompas, Juli 1992, menulis: “Siksaan Jepang sangat kejam. K’tut Tantri nyaris tewas dan sempat dirawat di Rumah Sakit Simpang, Surabaya. Walau demikian, setelah sembuh, penyiksaan tetap berlangsung sampai akhirnya dia tidak sanggup lagi berjalan dan dicampakkan di kamp tahanan Ambarawa (Jawa Tengah).” 

“Ketika Jepang menyerah dan tentara Inggris mendarat di Surabaya awal September 1945, K’tut Tantri dalam kondisi antara hidup dan mati, diselamatkan oleh pasukan Republik. Tidak mengherankan, setelah berhasil disembuhkan, dia memutuskan untuk bergabung sebagai penyiar radio BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia) di bawah pimpinan Bung Tomo…”

K'tut Tantri dan Sukarno.

Penasihat Pribadi

Apa pun motif dan latar belakangnya, K’tut Tantri menjadi pelaku dalam sejarah perang kemerdekaan Indonesia, khususnya selama pertempuran di Surabaya, November 1945. Pasukan Belanda menghargai kepalanya senilai US$10.000 dolar. Karena itu, sesudah Perjanjian Linggarjati ditandatangani, Perdana Menteri Amir Sjarifuddin memberikan nasihat: “Pulanglah ke negaramu. Bebaskan segera dirimu, karena di sini perang akan segera kembali berlanjut. Dan aku tidak mau Belanda menangkapmu di Indonesia…” 

Selama perang kemerdekaan, K’tut Tantri tak hanya mengobarkan semangat perlawanan dengan berbicara di depan pemancar radio, bersembunyi jauh di garis belakang. Ketika utusan Australia Justice Kirby datang di Jogjakarta tanggal 16 Juli 1946, dia disambut Presiden Sukarno di Gedung Agung. Dalam memoarnya Kirby menyebutkan, Sukarno mengenalkan seorang perempuan Inggris yang berdiri di sampingnya, dengan sebuah kalimat yang tak akan pernah dia lupakan: “K’tut Tantri was my personal adviser...” 

Awal 1947, K’tut Tantri menerobos blokade Belanda, ikut pesawat terbang Filipina, mengaku sebagai pembantu Abdul Monem, konsul jenderal Mesir di India sekaligus utusan pribadi Raja Faoruk dari Mesir, yang datang ke Jogjakarta untuk menyerahkan pengakuan Mesir dan Liga Arab kepada Republik. Sejak itu, K’tut Tantri menetap di Singapura, tinggal di Scott Road.

Meski selalu menjaga penampilannya, koran Straits Times sempat menulis laporan: “…seorang terkenal yang pendek, berambut pirang, gempal, dan berkacamata, dilaporkan sering menghadiri pesta dan bertindak sebagai seorang koresponden untuk kantor berita Indonesia, Antara.” 

Tentu saja, K’tut Tantri harus selalu tampil low profile, karena sesungguhnya dia dikirim pemerintah Republik untuk menjualkan candu di pasar gelap. Dia menukarkannya dengan senjata dan mengatur penyelundupannya masuk ke Indonesia, guna dipakai para pejuang kemerdekaan.

K'tut Tantri bersama Kapolri Hoegeng Iman Santoso. (Repro Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyataan).

Pulang

Februari 1947, K’tut Tantri datang ke Kedutaan Australia di Singapura, meminta visa masuk untuk “… menulis buku dan beristirahat.” Claude Massey, Komisaris Tinggi Australia di Singapura menulis dalam aplikasi visanya: “Ny. Muriel Pearson, yang lebih dikenal dengan nama Soerabaja Soe, kini berada di Singapura dalam perjalanan menuju Australia. Selesai wawancara, saya menyimpulkan, ‘… tidak ada keberatan untuk menolak kedatangannya’.”

“Selama di Australia dia merencanakan menulis buku tentang revolusi Indonesia dan berjanji tidak akan ikut-ikutan mengadakan kampanye politik anti Belanda...”

Sesudah tinggal selama beberapa waktu di Singapura, dengan kapal barang SS Marella, K’tut Tantri berlayar ke Fremantle, Perth. Kapal tersebut kemudian melanjutkan pelayaran mengitari Australia untuk bisa mencapai Melbourne. Koran The Herald edisi 25 Juni 1947 melaporkan kedatangan K’tut Tantri tanpa izin mendarat dan tanpa paspor. Herald menyebutnya Joan of Arc bagi jutaan orang Indonesia. Dia benci dengan tuduhan bahwa dia adalah kembang Tokyo. “Dia ingin menyiarkan dan menceritakan kebenaran tentang Indonesia.”

Janjinya kepada pemerintah Austalia untuk tak melakukan kampanye anti-Belanda tidak dia tepati. Di Brisbane, dia berpidato di depan massa buruh, menjelaskan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Para buruh Australia kemudian bergerak. Mereka menolak melayani pesawat terbang dan kapal-kapal Belanda yang akan menuju Indonesia. Akibatnya, pasukan Belanda yang sedang melakukan perang di Indonesia tak mendapatkan pembekalan. Ditambah lagi aksi penolakan terbang melintasi kawasan Timur Tengah, India, Pakistan sampai Semenanjung Malaya, Belanda menghadapi kesulitan teknis. Biaya perang mencekik leher karena untuk membekali pasukannya, mereka harus mengikuti jejak moyangnya menuju Nusantara lewat Tanjung Harapan di Afrika Selatan.

“Kenapa kamu membantu orang Indonesia? Bukankah kamu tahu bahwa kami tak suka warga negara kami terlibat dalam politik di Asia?”

Kehadiran K’tut Tantri di Australia tak bertahan lama. Kelompok konservatif setempat menuduhnya sebagai komunis dan menuntut dia harus diusir dari Australia. 

C’est la vie. Itulah hakikat kehidupan. Untuk sebuah persoalan yang sama, dilakukan oleh sosok yang sama, pandangan serta penilaian tak akan selalu sama. Pada satu sisi K’tut Tantri akan dilihat membantu pasukan Republiken, memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tapi pada sisi lain dia dilihat sebagai pengkhianat oleh masyarakat Barat. “Kenapa kamu membantu orang Indonesia?” tanya para petugas dinas rahasia AS dengan suara galak sambil mengingatkan, “Bukankah kamu tahu bahwa kami tak suka warga negara kami terlibat dalam politik di Asia?”

K’tut Tantri dengan tangkas menjawab: “Saya mengingatkan Anda tentang Lafayette, Beuamarchais dan banyak orang Prancis, Inggris, Jerman, Polandia, warga negara dari banyak negara, yang membantu kita dalam perjuangan kemerdekaan Amerika.” 

“Bahkan di bawah siksaan Jepang saya telah menolak kewarganegaraan Amerika saya atau kesetiaan saya pada negara saya. Kenapa paspor saya ditolak hanya karena saya tidak pro-Belanda...”

20 Desember 1947, kantor berita Reuter dari Singapura mengirim teleks, menyebar ke seluruh dunia: “Mrs. Muriel Tantri Pearson atau Soerabaja Sue telah mendapat paspor AS atas perintah Departemen Luar Negeri. Dia akan segera bertolak ke Amerika melalui udara...” 

Tepat pada hari Natal tahun 1947 dia tiba di New York. Kemudian tinggal di perkampungan seniman Greenwhich Village di Manhattan, New York. Di sana dia menulis otobiografinya, Revolt in Paradise, diterbitkan kali pertama oleh Herper and Rome, New York, AS tahun 1960. Lewat naturalisasi, dia kemudian jadi warga Australia, di mana dia mengembuskan napas terakhirnya.*

K'tut Tantri berkunjung ke Yayasan Idayu di Jakarta. (Perpusnas RI).

Satu Sisi Pemimpin Revolusi

Selama perang kemerdekaan, K’tut Tantri bergaul dengan sejumlah tokoh Republik. Dia tak bisa menyembunyikan kesan-kesannya.

Amir Sjarifuddin

Tubuhnya tak begitu tinggi. Bung Amir serius, berbicara dengan penuh perhitungan, dan pada dasarnya pendiam. Dia tak pernah mengejar publikasi, seorang intelektual, santun dan selalu menebar senyum ketika menjelaskan sesuatu, dilengkapi analisis berikut latar belakang pemikiran tajam. Di atas segala-galanya, Bung Amir sangat religius. Semasa tinggal di Jogjakarta kalau hari Minggu dia sering berkotbah di gereja Kristen setempat.

Kami tinggal berseberangan kamar di Hotel Merdeka, dipisahkan oleh taman bunga dan kesan saya, “Ini adalah pertemuan pertama saya dengan seorang lelaki, satu dari empat pemimpin besar Revolusi, yang saya anggap sebagai orang Indonesia paling tulus yang pernah saya kenal…”

“Bahkan bertahun-tahun kemudian, saya tak bisa berpikir tentang Bung Amir tanpa emosi. Saya sangat menyukainya, dan menjalin hubungan erat dengannya dan Kementerian Pertahanan selama Revolusi ketimbang saya dengan Kementerian Penerangan. Presiden Sukarno, Dr. Hatta, Sutan Sjahrir dan Bung Amir adalah kekuatan di balik Revolusi,… seorang pria yang benar-benar hebat.”

Soetomo

Umurnya masih belum genap 25 tahun ketika saya bertemu kali pertama dengan Bung Tomo, seorang wartawan yang kemudian diangkat menjadi jenderal ketika revolusi Indonesia berkobar di Surabaya. “Anda takkan pernah bisa memahaminya. Soetomo adalah orang yang suka bertindak. Lebih pintar dari Sjahrir, lebih berani dari Sukarno. Saya adalah muridnya karena saya setuju Indonesia bukanlah tempat bagi Inggris dan Belanda…” 

“Bung Tomo dikenal radikal tanpa kompromi dan citra liarnya, saat itu, hanya dikuatkan oleh rambutnya yang ikal-panjang dan jenggot yang, seperti kebanyakan pengikutnya, dia bersumpah bak jagoan sejati untuk tak memotong rambut dan jenggotnya hingga kemerdekaan Indonesia sepenuhnya tercapai…”

Dalam suasana gemuruh perang kemerdekaan, K’tut Tantri tak pernah menyembunyikan diri untuk mengatakan ke mana dirinya berpihak. Juli 1947 kepada pers asing dia mengatakan: “Sutan Sjahrir tak bagus. Dia seorang moderat. Begitu juga Sjarifuddin dan Hatta. Para pemimpin Jawa yang benar-benar dihormati dan diikuti adalah Sukarno dan Soetomo. Saya juga mengekspresikan kekaguman pada Tan Malaka, komunis Sumatra yang sekian lama dipenjara orang-orang Republik…”

Sukarno

K’tut Tantri hadir dalam upacara resmi penyerahan kedaulatan dari Belanda ke pemerintah baru Republik Indonesia di Istana Merdeka tanggal 27 Desember 1949. Dia menulis, semua mata tertuju pada tokoh utama dalam upacara itu: “Namanya, Sukarno. Anak dari seorang kepala sekolah Jawa dan ibu Bali, seorang intelektual yang berapi-api, yang secara ajaib tak terluka melewati revolusi, untuk menjadi presiden pertama negerinya, dan kemudian diundang ke Gedung Putih sebagai tamu Presiden Eisenhower dan Kennedy.”

“Saya kenal Bung Karno dengan baik sekali selama perjuangan kemerdekaan. Pernah jadi pengasingan politik, pada usia 26 tahun dia menjadi pendiri Partai Nasional Indonesia, dan dengan demikian memulai karier politiknya yang menghebohkan di Asia kontemporer. Ketika saya melihat linangan air mata di mata yang memandang bendera merah putih, ketika bendera Republik dikibarkan pada pagi yang bersejarah itu, saya berpikir betapa Merdeka telah membawa perdamaian pada akhirnya, hingga sanubarinya tersiksa sekali.”*

Majalah Historia No. 10 Tahun I 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64c1eb09c74a6ad9b6d918a0