ANTARA tahun 1746–1757, perang saudara yang dikenal sebagai Perang Suksesi Jawa III, memorak-morandakan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka yang terlibat di dalam peristiwa tersebut adalah Pangeran Mangkubumi (kelak menjadi Sultan Hamengkubuwana I di Yogyakarta), Susuhunan Pakubuwana II dan III di Surakarta, Pangeran Mangkunegara (kelak pangeran senior di Surakarta, juga dikenal sebagai Mas Said Suryakusuma dan berjuluk Pangeran Samber Nyawa), serta Kompeni Belanda (VOC) yang mendukung pihak keraton Surakarta yang pada waktu itu sudah dalam kondisi kian merosot.
Sejak tahun 1746, sewaktu Mangkubumi memberontak, ia bersekutu dengan Mangkunegara, kemenakannya yang sudah melawan keraton Surakarta sejak beberapa tahun sebelumnya. Tetapi, sejak awal 1750-an mulai terjadi perselisihan di antara keduanya dan akhirnya –pada Agustus 1753 di Kasatriyan, dekat Ponorogo– perang terbuka terjadi antara dua bekas sekutu itu. Dalam pertempuran di Kasatriyan itu, tentara Mangkubumi dikalahkan hampir total oleh tentara Mangkunegara. Mangkubumi terpaksa melarikan diri dari medan perang bersama pasukan kavaleri yang tersisa.
ANTARA tahun 1746–1757, perang saudara yang dikenal sebagai Perang Suksesi Jawa III, memorak-morandakan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka yang terlibat di dalam peristiwa tersebut adalah Pangeran Mangkubumi (kelak menjadi Sultan Hamengkubuwana I di Yogyakarta), Susuhunan Pakubuwana II dan III di Surakarta, Pangeran Mangkunegara (kelak pangeran senior di Surakarta, juga dikenal sebagai Mas Said Suryakusuma dan berjuluk Pangeran Samber Nyawa), serta Kompeni Belanda (VOC) yang mendukung pihak keraton Surakarta yang pada waktu itu sudah dalam kondisi kian merosot.
Sejak tahun 1746, sewaktu Mangkubumi memberontak, ia bersekutu dengan Mangkunegara, kemenakannya yang sudah melawan keraton Surakarta sejak beberapa tahun sebelumnya. Tetapi, sejak awal 1750-an mulai terjadi perselisihan di antara keduanya dan akhirnya –pada Agustus 1753 di Kasatriyan, dekat Ponorogo– perang terbuka terjadi antara dua bekas sekutu itu. Dalam pertempuran di Kasatriyan itu, tentara Mangkubumi dikalahkan hampir total oleh tentara Mangkunegara. Mangkubumi terpaksa melarikan diri dari medan perang bersama pasukan kavaleri yang tersisa.
Dalam keadaan sedemikian, pada awal dasawarsa 1750-an, pihak VOC berusaha untuk membuka perundingan baik dengan Mangkubumi maupun dengan Mangkunegara. Kalau salah satu di antaranya bisa dibujuk untuk bersekutu dengan pihak Kompeni dan Surakarta, maka aliansi itu mungkin bisa menyingkirkan pemberontak-pemberontak yang lain dan memulihkan kembali perdamaian di Jawa. Semua percobaan itu gagal. Baik Mangkubumi maupun Mangkunegara masih mempunyai aspirasi yang jauh lebih besar daripada harga yang VOC dan Surakarta siap bayar demi perdamaian.
Tapi, sekonyong-konyong pada waktu yang bersamaan, seorang tokoh dari Turki –rupanya seorang pedagang besar– berlabuh di ibu kota VOC, Batavia (sekarang Jakarta). Tokoh itu diselimuti misteri, yang kita akan jelaskan sejauh mungkin di sini. Sudah jelas bahwa tokoh Turki itu berhasil mengubah keadaan politik di pulau Jawa dan membuka jalan keluar dari perang saudara yang dahsyat itu. Baik sumber Belanda maupun sumber Jawa menyampaikan informasi mengenai tokoh tersebut. Namun demikian, masih cukup banyak pertanyaan yang tidak bisa kita jawab.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Tokoh Turki itu berhasil mengubah keadaan politik di pulau Jawa dan membuka jalan keluar dari perang saudara yang dahsyat itu.</div>
Tokoh Turki itu Syeh Ibrahim
Rupanya Syeh Ibrahim belum pernah berkunjung ke pulau Jawa sebelumnya atau –sejauh pengetahuan kita– ke daerah lain di kepulauan Indonesia. Mengapa seorang seperti itu, seorang asing yang belum punya hubungan atau pengaruh dengan Kompeni Belanda atau kaum ningrat Jawa, bisa memainkan peranan penting dalam Perang Suksesi Jawa III pada 1753–1754?
Ada dua penjelasan utama: pertama, baik pihak Belanda maupun Pangeran Mangkubumi sedang mencari jalan keluar dari perang yang sudah berlangsung lebih dari tujuh tahun. Perang tersebut sangat merugikan kepentingan Kompeni dan menghasilkan kekalahan berdarah di Kasatriyan bagi Mangkubumi. Jadi, ada peluang tersedia untuk seorang yang bisa memikirkan semacam penyelesaian.
Penjelasan yang kedua, baik VOC maupun orang Jawa menjunjung tinggi orang Turki. Pihak Eropa menganggap orang Turki pada umumnya tidak anti-Eropa dibandingkan dengan orang Jawa. Sementara pihak Jawa mengenal tradisi-tradisi yang mencatat peranan yang sangat luar biasa kepada tokoh agung Sultan Rum dalam mitos awal masyarakat Jawa: “Rum” berasal dari nama ibu kota kekaisaran Roma timur, yaitu sama dengan kota Konstantinopel yang kelak Istanbul, jadi artinya kekaisaran Usmaniyah.
Dalam naskah-naskah Aji Saka dan Jayabaya, kita membaca mitologi mengenai zaman awal masyarakat Jawa. Di sana, kita membaca mengenai Sultan Rum, raja sedunia yang memungkinkan Jawa dihuni oleh masyarakat Jawa yang beradab. Menurut salah satu eksemplar tradisi-tradisi itu yang ditulis di Yogyakarta pada 1813, sesudah zaman Ngastina dan Purwacarita (pada era Bratayuda), Jawa ditinggalkan binasa dan tanpa penduduk selama 700 tahun. Pada satu ketika, Sultan Rum menerima wahyu mengenai tanah Jawa: pulau itu sudah menjadi hutan rimba dan titah Ilahi ialah untuk “menanam” orang-orang di situ (kenanemana jalma, karsaning Yang Agung) supaya pulau Jawa bisa mengimbangi Makkah dan menjadi keraton untuk semua dunia di sebelah timur tanah Ajam (nungsyeku timbang ing Mekah, karatone wetan Ngajam tanah Jawi).
Lalu Sultan Rum mengirim dua ekspedisi ke pulau Jawa. Kedua-duanya dirusakkan dan dipukul mundur oleh kekuatan-kekuatan supranatural Jawa. Sesudah itu, Sultan Rum mengumpulkan para penasihat agama yang berdoa supaya menerima sebuah azimat. Azimat itu diterima dan ditanam di beberapa tempat di Jawa dan Bali. Suara Tuhan didengarkan: semua roh disuruh untuk bertaat kepada Nabi Muhammad, Raja se-Jawa dan Ratu Kidul (dewi laut selatan). Sesudah itu, ekspedisi ketiga dari Sultan Rum berhasil mendarat dan Jawa menjadi penuh dengan penduduk. Aji Saka menjadi raja Jawa, tapi hanya selama tiga tahun.
Ketika Syeh Ibrahim –seorang dari Turki, yaitu dari tanah Rum– mendarat di pulau Jawa pada bulan Januari 1753, tentu saja orang Belanda sama sekali tidak menyana ada latar belakang budaya yang semacam ini yang mewarnai persepsi Jawa mengenai sosok itu. Oleh karena Ibrahim dipanggil Syeh (Syekh) dan juga sayyid dan sharif, ia juga diikuti oleh otoritas yang terletak kepada seorang keturunan Nabi.
Bersama dengan sumber-sumber Kompeni, kita juga mempunyai informasi dari sumber Jawa, terutama dari Babad Giyanti, mahakarya yang ditulis pada paruh kedua abad ke-XVIII. Informasi itu barangkali diberitahukan oleh Syeh Ibrahim sendiri kepada pihak Jawa –tapi versi di dalam Babad Giyanti itu pasti dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi Jawa mengenai Sultan Rum.
Menurut babad itu, Ibrahim adalah seorang saudagar Turki yang kapalnya kandas di Teluk Batavia. Ia membawa dua pucuk surat yang memberikan semacam otoritas kepadanya, yang dicap oleh orang-orang bernama Sultan Muamat Likan Rum ingadli ratu dan Sultan Mustapa Rumi. Sebetulnya sultan-sultan Usmani pada abad ke-XVIII dengan nama atau gelar itu tidak ada. Akan tetapi ada kemungkinan bahwa Sultan Muamat Likan, Rum ingadli ratu berasal dari gelar Sultan-i ‘adl: jadi, mungkin berarti Sultan di Rum yang seorang ratu adil.
Nama Muhammad Likan masih tidak jelas, tapi mungkin berasal dari seorang gubernur besar (pasha) yang pakai gelar qul-i khan (abdinya kaisar), yang menjadi likan dalam versi Jawa. Mengenai Sultan Mustapa Rumi, mungkin nama itu berasal dari Perdana Menteri Usmani (Grand Vizier, 1752–1755) Çorlulu Köse Bahir Mustafa Pasha. Jadi, bukan sultan sendiri melainkan abdi tertinggi sultan di dalam kekaisaran Usmani yang bernama Mustafa –yang dimengerti oleh orang Jawa sebagai Sultan Rum dan bisa disebutkan dalam bahasa Jawa sebagai Mustapa Rumi. Ini semuanya spekulatif, akan tetapi mungkin Ibrahim memang membawa semacam otoritas untuk memasukkan diri dalam perang di Jawa demi mencari penyelesaian dan perdamaian, atas nama tokoh-tokoh Usmani yang besar. Paling sedikit, Mangkubumi menganggap ia sebagai orang penting dari dunia Islam di luar Jawa.
Pada Januari 1753, Ibrahim memberitahukan kepada Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel (menjabat 1750-1761) di Batavia bahwa ia siap untuk menengahi Kompeni dan Mangkubumi. Dari permulaan jelaslah bahwa Ibrahim tidak ingin berunding dengan Mangkunegara. Ibrahim mengklaim bahwa ia membawa surat otoritas dari tokoh-tokoh pembesar untuk menyelesaikan perang di Jawa. Yang agak mengejutkan, ia menolak dibayar untuk jasanya. Menurut versi di Babad Giyanti, ia bilang kepada Belanda, “Kalau saya dapat menghentikan konflik antara orang, ganjaran saya di hadapan Tuhan sudah besar” (yen amurungkaken wong tukaran, pan wus gedhe ganjaran, mu[n]gguh Hyang Mahaluhur).
Pada Februari 1753, Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia di Batavia berkeputusan untuk mengirim Ibrahim ke Semarang, tempat kantor utama VOC di pasisir Jawa. Pada waktu itu, J.A. van Hohendorff menjabat sebagai Gubernur Kompeni di pesisir timur laut Jawa yang pertama (1748–1754). Van Hohendorff, yang sangat dibenci oleh Mangkubumi, menulis kepada Batavia bahwa ia meragukan “Imam Turki itu yang baru dikirim ke sini oleh Tuan-Tuan” bisa berbuat banyak berdasarkan otoritas spiritualnya. Akan tetapi, ia akan mematuhi perintah Batavia.
Tidak ada informasi lebih lanjut dari pihak Belanda sebelum Oktober 1753. Pada waktu itu –sesudah kekalahan besar yang dialami oleh Mangkubumi di Kasatriyan pada bulan Agustus– Mangkubumi menulis kepada Kompeni bahwa ia menaruh kepercayaan penuh kepada Ibrahim, yang dipanggilnya “Bapa Sarif Besar”. Mangkubumi juga mengeritik Van Hohendorff dan menuding bahwa sosok Belanda itu menghalangi pertemuan langsung antara Mangkubumi dan Ibrahim.
Van Hohendorff berkali-kali menolak permintaan kepada Ibrahim untuk kembali ke Batavia. Baru pada awal tahun 1754 akhirnya ia mengizinkan kunjungan itu. Ibrahim membawa surat-surat dan beberapa hadiah dari Mangkubumi untuk Gubernur Jenderal Mossel –empat kuda bagus dan sebuah keris disepuh emas. Administrasi Kompeni begitu kacau sehingga tak seorang pun yang bisa membaca surat-surat itu dalam bahasa Jawa. Sehingga Ibrahim harus menyampaikan pandangan Mangkubumi secara lisan (mungkin sekali menggunakan bahasa Melayu atau Portugis, dua lingua franca pada waktu itu).
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Syeh Ibrahim muncul di Jawa, berpengaruh baik pada pihak Mangkubumi maupun pihak Kompeni dan membuka jalan rekonsiliasi antara Kompeni dan Mangkubumi.</div>
Baru pada Maret 1753 terjemahan yang lebih baik dari surat-surat Mangkubumi sampai di Batavia. Pada bulan itu, Dewan Hindia berkeputusan untuk memeriksa lebih lanjut tuntutan Mangkubumi. Mereka sudah siap untuk menyesuaikan diri dengan Mangkubumi yang menguasai sebagian dari tanah Jawa, asal saja bukan di daerah Jawa Tengah. Akan tetapi, Mangkubumi tetap bersikeras bahwa ia harus diakui sebagai raja atas separuh dari tanah sentral kerajaan Mataram. (Pakubuwana III sangat lemah pada waktu itu dan keinginan Sang Susuhunan itu tidak diperhatikan dan tidak berarti.)
Pemutasian pejabat Kompeni turut memainkan peranan penting. Van Hohendorff, yang sangat dibenci oleh Mangkubumi, diganti sebagai Gubernur Kompeni di pesisir timur laut Jawa Timur oleh Nicolaas Hartingh (menjabat 1754–1761), yang diharapkan lebih halus dalam pendekatannya dengan Mangkubumi. Para pembesar VOC menganggap Hartingh sebagai seorang yang bisa bergaul dengan baik di antara masyarakat Jawa. Akan tetapi, Babad Giyanti memberikan kesan yang cukup berlainan. Di babad itu, Hartingh digambarkan sebagai “besar dan tinggi tapi buruk rupa, dengan wajah yang gemuk bulat dan mata juling, perutnya menonjol ke mana-mana, terlipat sendiri, besar dan kusut” (Sekretaris Nikolas Arting, gedhe dhuwur tan pakra, muka bitha-bithu, kriyip-kriyip netranira, ting panjelut lempitan wadhukireki, agedhe angleparah). Malah, ia dibandingkan dengan raksasa Setan Terong dari wayang Jawa. Sementara itu ahli wayang Hardjowirogo (Sedjarah Wayang Purwa) mendeskripsikan Buta Terong sebagai “raksasa pengrusak keamanan, tetapi sebenarnya bukan pengrusak karena kebuasannya, melainkan karena ia kuat makan dan tak merasa puas dengan makanan yang berapa banyak juga. Jadi berarti orang yang tamak, tak ada puas-puasnya.” Mungkin sekali pergaulan Hartingh dengan masyarakat Jawa tidaklah sehalus seperti diasumsikan dalam lingkungan VOC!
Ada tiga perkembangan yang sangat mempengaruhi lanskap politik Jawa pada 1754. Pertama, Mangkubumi telah mengalami kekalahan berat di Kasatriyan pada Agustus sebelumnya dan oleh karena itu lebih cenderung untuk berdamai dengan Kompeni demi menjalin persekutuan untuk menghancurkan Mangkunegara. Kedua, VOC sudah lebih cenderung untuk berdamai dengan Mangkubumi dan membagi kerajaan Mataram antara sang raja pemberontak itu dan Susuhunan di Surakarta, supaya menghentikan pemborosan uang dan personel yang disebabkan oleh perang itu. Dengan demikian Kompeni akhirnya sudi untuk melepaskan pokok kebijakan Kompeni selama delapan dasawarsa sebelumnya, yaitu untuk mempertahankan keutuhan kerajaan di bawah seorang raja yang sudi untuk berkooperasi dengan kepentingan Kompeni. Ketiga, sudah terjadi perubahan personel yang menentukan: Syeh Ibrahim sekonyong-konyong muncul di Jawa, berpengaruh baik pada pihak Mangkubumi maupun pada pihak Kompeni dan membuka jalan rekonsiliasi antara Kompeni dan Mangkubumi. Sedangkan Hartingh sebagai pengganti Van Hohendorff adalah seorang yang bisa diterima sebagai teman bicara oleh Mangkubumi.
Jalan keluar perang antara Kompeni dengan Mangkubumi sudah bisa kelihatan. Sosok yang paling dirugikan oleh perkembangan baru ini tentu saja Mangkunegara. Dalam waktu dekat, ia akan menghadapi koalisi permusuhan kuat antara Kompeni, Mangkubumi dan, akhirnya, juga Susuhunan (yang posisinya menguat sesudah perdamaian itu). Sudah tidak ada lagi kemungkinan untuk rekonsiliasi antara Mangkunegara dan Kompeni, berkat perubahan yang dikembangkan oleh Syeh Ibrahim. Alhasil pada 1755 Susuhunan Pakubuwana III dan Kompeni Belanda mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I dengan keratonnya di Yogyakarta. Pada 1757, Mangkunegara berekonsiliasi dengan Pakubuwana III dan menjadi pangeran paling senior di Surakarta. Perang Suksesi Jawa III sudah usai.
Nasib Syeh Ibrahim
Bagaimana karier Syeh Ibrahim berikutnya? Tidak banyak lagi yang diketahui. Pada akhir tahun 1755 atau awal 1756 ia berjumpa dengan Duta Besar Prancis Charles de Vergennes di Istanbul, Turki. Menurut Ibrahim, ia sudah tinggal selama 25 tahun di Indonesia dan sekarang ditugaskan oleh seorang raja di Jawa dan beberapa penguasa lain dari Indonesia, Malaya, dan Malabar untuk mencari dukungan demi mengusir orang Belanda. Ia minta pertolongan dari De Vergennes untuk pergi ke Paris guna berjumpa dengan Raja Louise XV. De Vergennes, yang tidak percaya cerita Syeh Ibrahim, menjawab bahwa perjalanan ke Paris terlalu berbahaya lantaran Perang Tujuh Tahun (1756–1763) yang sedang berlangsung. Di Paris juga tidak ada minat untuk berjumpa dengan Ibrahim dan kunjungan itu ditolak pada Maret 1757. Pada saat itu, Ibrahim sudah berangkat dari Istanbul dalam perjalanan dagang ke daerah Lautan Hitam.
Pada 1771 tokoh Turki itu sekali lagi muncul di Istanbul dan menghubungi chargé d’affaires Belanda Frederik de Weiler. Menurut De Weiler, pada waktu itu Ibrahim berumur kira-kira 65 tahun. Ia menamakan dirinya “Tuwan Sayyid Besar”. Ia bercerita bahwa ia sudah tinggal di Jawa lebih dari 16 tahun dan sudah berkiprah sebagai agennya VOC dalam urusan dagang. Sekarang dia menunggu pesan baru. Ia mengklaim mempunyai surat rekomendasi dari Batavia, akan tetapi menolak untuk memperlihatkannya kepada De Weiler. Ini semuanya dilaporkan ke kantor Kompeni di Amsterdam. Di sana, peranan Ibrahim dalam tahun 1753–1754 di Jawa yang luar biasa itu sudah tenggelam dalam ribuan dokumen yang tersimpan dalam arsip VOC dan tidak ada seorang yang tahu lagi siapa Syeh Ibrahim ini. Kunjungannya ke Belanda atas ongkos Kompeni ditolak. Dan sesudah itu, Syeh Ibrahim hilang dari panggung sejarah.
Siapa Syeh Ibrahim tetap misterius. Sumber-sumber yang masih tersedia penuh dengan kekosongan mengenai tokoh ini. Akan tetapi, yang jelas ia pernah berlabuh di Jawa pada 1753 tanpa ada pengalaman atau hubungan lokal sebelumnya, mungkin dengan membawa semacam otoritas dari pembesar-pembesar Turki untuk meredupkan perang saudara di Jawa, diakui baik oleh Mangkubumi maupun oleh pihak Kompeni sebagai perantara di antara keduanya. Ia lalu memanfaatkan situasi yang dihadapinya dengan sukses sehingga bisa memainkan peranan pokok dalam penyelesaian Perang Suksesi Jawa III. Dan rupanya ini semua tanpa memperhatikan kepentingan diri sendiri. Syeh Ibrahim betul-betul tokoh dan sejarah yang luar biasa.
M.C. Ricklefs (1943–2019) adalah profesor emeritus di Australian National University dan Monash University, serta penulis banyak artikel maupun buku mengenai sejarah Indonesia. Buku terbarunya biografi Pangeran Mangkunagara I berjudul Soul Catcher: Java’s Fiery Prince Mangkunagara I, 1726–1795 diterbitkan oleh NUS Press, Singapura (2018). Edisi bahasa Indonesia berjudul Samber Nyawa: Kisah Perjuangan Seorang Pahlawan Nasional Indonesia, Pangeran Mangkunagara I (1726–1795) diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas (2021).