Momong Megawati Jadi First Lady

Kisah polwan anggota Detasemen Kawal Pribadi, pasukan ring satu pengawal Presiden Sukarno. Mereka menjaga anak-anak presiden dari bahaya. Ada yang jago judo.

OLEH:
Petrik Matanasi
.
Momong Megawati Jadi First LadyMomong Megawati Jadi First Lady
cover caption
Estiningsih menunjukkan foto saat bertugas sebagai polwan anggota DKP. (Riyono Rusli/Historia.ID).

ADA banyak anak bangsa yang mengagumi figur Bung Karno. Selain cerdas, charming, dan berani, Bung Karno konsisten serta konsekuen memperjuangkan kemerdekaan bangsanya sedari muda hingga masa senjanya.

Estiningsih merupakan salah satu yang mengagumi sosok Bung Karno. Namun, berbeda dari kebanyakan pengagum si Bung Besar, Estiningsih kenal dekat dengan figur yang dikaguminya itu. Pun dengan keluarga Bung Karno.

Estiningsih merupakan polisi wanita (polwan) yang ditugaskan menjadi anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP). Sebagai anggota pasukan pengawal pribadi presiden itu, Estiningsih bisa dekat dengan Bung Karno dan keluarganya. Hari-harinya bahkan lebih banyak dihabiskan bersama mereka.

Kedekatan itulah yang membuatnya lebih tahu sosok Bung Besar. Maka, dia tak habis pikir dan amat sedih ketika mengetahui perlakuan yang diterima Bung Karno dan keluarganya jauh dari bentuk layak apalagi hormat ketika kekuasaannya mulai melemah. Terlebih ketika Bung Karno telah wafat, yang hanya diberi tempat di pemakaman umum jauh dari ibukota.

“Kok tidak ada yang seperti harapan saya, kepala negara dihormati demikian. Sampai sekarang membekas. Saya sedih sekali,” ujar Estiningsih kepada Historia.

ADA banyak anak bangsa yang mengagumi figur Bung Karno. Selain cerdas, charming, dan berani, Bung Karno konsisten serta konsekuen memperjuangkan kemerdekaan bangsanya sedari muda hingga masa senjanya.

Estiningsih merupakan salah satu yang mengagumi sosok Bung Karno. Namun, berbeda dari kebanyakan pengagum si Bung Besar, Estiningsih kenal dekat dengan figur yang dikaguminya itu. Pun dengan keluarga Bung Karno.

Estiningsih merupakan polisi wanita (polwan) yang ditugaskan menjadi anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP). Sebagai anggota pasukan pengawal pribadi presiden itu, Estiningsih bisa dekat dengan Bung Karno dan keluarganya. Hari-harinya bahkan lebih banyak dihabiskan bersama mereka.

Kedekatan itulah yang membuatnya lebih tahu sosok Bung Besar. Maka, dia tak habis pikir dan amat sedih ketika mengetahui perlakuan yang diterima Bung Karno dan keluarganya jauh dari bentuk layak apalagi hormat ketika kekuasaannya mulai melemah. Terlebih ketika Bung Karno telah wafat, yang hanya diberi tempat di pemakaman umum jauh dari ibukota.

“Kok tidak ada yang seperti harapan saya, kepala negara dihormati demikian. Sampai sekarang membekas. Saya sedih sekali,” ujar Estiningsih kepada Historia.

Menjaga Anak Presiden

Selepas selamat dari maut dalam Penggranatan Cikini pada 30 November 1957, Presiden Sukarno tetap tidak sepenuhnya aman. Ia hendak dibunuh lagi ketika salat Iduladha di lapangan Kompleks Istana pada 14 Mei 1962. Setelah Peristiwa Iduladha itu, bahaya yang mengancam Sukarno makin meningkat. Oleh karenanya, diupayakan pengawalan lebih terhadap presiden dan keluarganya.

“Bapak menghendaki kalau ada seorang polisi wanita yang mengawal putra-putri atau pun ibu-ibunya,” kata Iswandari, mantan polwan anggota DKP, kepada Historia.

Merespons kondisi tersebut, KSAD Jenderal TNI A.H. Nasution lalu membentuk pasukan pengawal presiden beserta keluarganya yang lebih besar, baik, dan profesional pada pertengahan 1962. Resimen Tjakrabirawa namanya.

DKP yang dipimpin Komisaris Besar Mangil Martowidjojo dimasukkan ke dalam Tjakrabirawa. Posisinya di ring satu. Tugasnya menjaga keselamatan Presiden Sukarno beserta keluarganya.

DKP mengikutsertakan perempuan di dalamnya. Mereka diambil dari polwan terbaik di Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) dan Polisi Umum.

“Yang pertama dikirim adalah Ibu Rochayati, yang mengawal Ibu Megawati pada saat masih sekolah di Cikini,” kata Iswandari. 

“Mengapa Rochayati yang dipilih? Karena Almarhumah Rochayati itu jago Yudo. Jadi pinter sekali Judo,” Estiningsih menimpali.

Menurut Estiningsih, banyak kawan-kawannya juga pintar selama pendidikan intel. Estiningsih merupakan Polwan dari DPKN. Di DKP, posisinya adalah staf operasional ajudan presiden. Estiningsih termasuk polwan awal di DKP.

“[Setelah Rochayati] Kemudian Ibu Estiningsih, karena diperlukan di situ seorang wanita yang pandai berbahasa asing. Memang Bu Estiningsih ini siswa dari polwan yang satu angkatan dengan saya dari intel yang paling pandai,” kata Iswandari.

Estiningsih, masih menurut Iswandari, adalah lulusan terbaik di angkatannya dalam pendidikan intelijen keamanan DPKN. Mereka lulus dengan pangkat brigadir polisi tingkat dua.

Estiningsih saat bertugas sebagai polwan anggota DKP. (Riyono Rusli/Historia.ID).

Iswandari sendiri tidak langsung masuk DKP setelah lulus pendidikan intelijen keamanan. Namun, karena ada keinginan Ibu Hartini, istri lain Sukarno, untuk memiliki polwan pengawal, barulah Iswandari ditarik ke DKP untuk tugas tersebut. Iswandari ditarik Lasmini dan I Gusti Ayu Landri dari Bali. Ketiganya, menurut Iswandari, “diperintahkan masuk ke Detasemen Kawal Pribadi menjadi pengawal Ibu Hartini Sukarno di Bogor.”

Selain mengawal Ibu Hartini, tugas mereka juga memomong Bayu Sukarno, putra Bung Karno dengan Hartini. Bukan hanya keberanian, diperlukan skill dan kepintaran untuk tugas ini. Para polwan DKP itu tahu bagaimana cara mengawal anak-anak presiden ke luar istana.

“Dari tempat berangkat ke tempat tujuan harus punya skenario untuk meng-cover atau melindungi. Kalau ada serangan dari dekat, apa yang harus saya kerjakan. Kalau dari jauh apa yang harus dikerjakan, karena harus meng-cover, melindungi yang saya kawal,” jelas Estiningsih.

Para pengawal itu paling sering mengantar anak-anak Sukarno bersekolah ke Perguruan Cikini (Percik), sebuah sekolah tua yang didirikan kaum nasionalis di dekat Stasiun Cikini. Di sekolah itulah Presiden Sukarno pada 30 November 1957 pernah digranat. Jadi, Estiningsih dkk. tahu bagaimana melakukan perjalanan aman dari istana di Gambir sampai ke Cikini.

Dari tempat berangkat ke tempat tujuan harus punya skenario untuk meng-cover atau melindungi.

Namun, tugas mereka tak hanya memastikan anak presiden tidak terluka oleh serangan musuh. Kala itu, hubungan Sukarno dengan Fatmawati merenggang. Kondisi tersebut membuat Megawati, putri tertua Sukarno, sering mewakili ibunya sebagai first lady.

“Pada saat itu saya mendampingi Bu Mega, karena Bu Mega masih SMP kelas tiga sehingga pengalaman yang paling berkesan itu kalau ada tamu dari luar negeri,” kata Estiningsih.

Bukan hanya memberi pengamanan, para polwan DKP juga mendapat tugas membimbing Megawati agar tidak terlihat konyol di hadapan tamu negara asing. Jika Megawati dijadwalkan bertemu tamu negara lain, maka Estiningsih sebagai orang intel harus mencari info terkait budaya si tamu negara terlebih dulu.

“Untuk itu, saya kalau mendampingi [tamu] dari Jepang, saya pergi ke Kedutaan Besar Jepang, terus saya mempelajari apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Karena kalau bicara pada raja tentu ada protokolnya. Itu saya perlukan karena saya harus memberi tahu Bu Megawati yang masih SMP tapi bertugas sebagai first lady,” sambung Estiningsih.

Setelah mendapat info, Estiningsih lalu memberi pengarahan kepada Megawati sebelum bertemu tamu asing. Sebagai pengarah, Estiningsih tentu harus pintar untuk membuat Mega pintar.

“Harus pintar tapi tidak kelihatan pintar,” begitulah seharusnya seorang intel menurut Estiningsih, yang menjalankan tugasnya dengan senang kendati tidak ringan.

Estiningsih berjabat tangan dengan Presiden Sukarno dalam suatu acara. (Riyono Rusli/Historia.ID).

Bebas 

Sebagai insan-insan yang mesti terus berada di sekitar presiden dan keluarganya, para polisi anggota DKP mendapat tempat tinggal di dalam kompleks Istana. Sempat ditempatkan di Istana Negara, mereka kemudian diberikan mes di salah satu pojok kompleks istana. 

Negara tak membatasi hak asasi mereka. Polwan-polwan DKP diperbolehkan menikah. Estiningsih menikah dengan Letnan Basuki Suyoto dan memiliki anak. Ketika Anggi, anaknya masih kecil, dia sering bermain dengan Guruh.

Ada beberapa polwan yang menikah dengan sesama anggota DKP. Maka setiap tahun ada polwan baru di DKP. Iswandari juga menikah dengan Soedarjat, personel DKP yang dadanya tertembak dalam Peristiwa Iduladha.

Kawan Iswandari yang bersama-sama menjaga Hartini, Landri dan Lasmini, juga menikah. Mereka bertiga digantikan Mardinah, Maryati, Muranti, dan Umi Widariyah. Tiga yang pertama dari DPKN dan yang terakhir dari Polisi Umum. Total ada 12 polwan di DKP.

Lantaran banyaknya keluarga anggota DKP, ditambah keluarga para ajudan presiden dan anggota bagian rumah tangga istana, kebutuhan akan fasilitas penunjang mereka pun kemudian diadakan. Salah satu yang terpenting adalah sekolah.

“Ada dulu sekolah istana, di belakang istana yang menghadap Jalan Veteran. Rata-rata anak anggota DKP sekolah di sana. Kita juga di sana,” kata Sarah, salah satu putri Mangil Martowidjojo, kepada Historia beberapa tahun silam.

Foto Estiningsih masa tua di antara foto Sukarno dan foto-foto saat bertugas sebagai polwan anggota DKP. (Riyono Rusli/Historia.ID).

Mantan DKP Sedih

Sukarno merupakan sosok periang dan pecinta seni. Karena dua sifat itulah sang presiden kerap menggelar pertunjukan seni di istana atau sekadar pesta sederhana. Untuk pesta-pesta di istana, sebuah band juga diadakan oleh Mangil selaku komandan DKP. Nama band itu adalah Asal Bapak Senang (ABS), tugasnya jelas menghibur presiden agar senang.

“Istilah tersebut suci murni, tidak mengandung muatan politik sedikit pun. Band kami menjadi tersohor karena singkatan ini,” kata Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian tentang Bung Karno, 1945–1967.

Kendati awalnya tidak resmi, ABS akhirnya dibuat seperti band profesional oleh Mangil. Selain memiliki peralatan sendiri yang terus ditambah, band ini rutin latihan terutama lagu-lagu yang disenangi Bung Karno. 

“Bung Karno senang sekali dengan adanya tim kesenian ini, sebab beberapa band yang pernah datang ke istana tidak pernah ada yang cocok untuk Bung Karno. Satu-satunya band yang dapat mengikuti kehendak Bung Karno hanya band polisi pengawal pribadi presiden,” sambung Mangil.

Namun, ABS tak menutup pintu siapapun tamu istana yang ingin ikut tampil. Ajudan presiden Kolonel Sugandhi acap ikut tampil menjadi pemain gendang. Jenderal S. Parman juga termasuk yang sering menjadi personel cabutan band ABS.

“Jenderal Parman ikut aktif menabuh kendang kalau ada acara bebas atau tarian lenso kesukaan Bapak, baik di Indonesia maupun di luar negeri, dengan lagu-lagu Indonesia khusus kesukaan Bung Karno,” kata Mangil.

ABS punya lebih dari satu penyanyi. Ada banyak penyanyi terkenal yang dekat Sukarno. Salah satunya Nelson Tobing, saudara dari penyanyi seriosa Gordon Tobing.

“Saya termasuk golongan yang ikut menyanyi kalau ada atraksi dinner party,” kata Estiningsih.

Iswandari, mantan polwan anggota DKP. (Riyono Rusli/Historia.ID).

Namun, suasana familier di istana berubah menyusul berubahnya keadaan politik nasional setelah peristiwa G30S. Kekuasaan Sukarno pun sebagai presiden melemah. Setelah lengser pada 1967 kondisi kesehatannya terus menurun. Sukarno juga harus kehilangan “anak-anak” DKP yang setia mengawalnya lantaran Tjakrabirawa dibubarkan.

Para mantan anggota DKP dikembalikan ke kesatuan masing-masing. Banyak dari mereka bertugas dan tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Estiningsih bertugas di Polsek Tanjung Priok. Namun, dia mundur dari kepolisian setelah 1968 lantaran fokus menjaga anak. 

Iswandari juga tinggal di Jakarta dan kini masih sehat. Sebagian polwan mantan anggota DKP, seperti Rochayati yang pertama masuk DKP, telah tiada. Banyak dari mereka tinggal di Kompleks AKRI Pasar Minggu.

Di usia yang sudah sepuh –paling muda kelahiran 1940-an, jadi rata-rata usia mereka 70 tahun–, kini mereka hanya bisa menghadiri silaturahmi yang rutin digelar mantan anggota DKP. Mereka masih kompak. Mantan anggota yang sudah tiada, seperti Mangil, biasanya diwakili anak-anaknya. Berbagai pengalaman dan kenangan semasa menjadi bagian dari suasana familier istana jadi obrolan yang menyemarakkan acara silaturahmi DKP itu.

Namun, buat Estiningsih, belakangan ada yang dia sesali. Dulu pernah tak terpikir olehnya untuk sekadar mengajak Bung Karno berfoto sebagai kenang-kenangan.

“Ternyata itu anugerah Tuhan yang saya sia-siakan,” kata Estiningsih, yang suka membantu Ibu Fatmawati memasak.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65488fb38e73d04f058870ca