Mula Indonesia Mengutang pada IMF

Sukarno tak bisa menolak bantuan IMF. Stabilisasi ekonomi arahan IMF mendapat protes keras.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Mula Indonesia Mengutang pada IMFMula Indonesia Mengutang pada IMF
cover caption
Konferensi Bretton Woods, Juli 1944. (UN Photo/britannica.com).

BRETTON Woods, desa kecil di lereng Mount Washington, negara bagian New Hampshire, Amerika Serikat, menjadi destinasi turis yang ingin menikmati keindahan alam. Desa ini bersejarah karena menjadi tempat konferensi keuangan internasional pada 22 Juli 1944. Konferensi yang dihelat Perserikatan Bangsa-Bangsa ini dihadiri perwakilan dari 45 negara.

Tujuan konferensi untuk memulihkan ekonomi dunia pascaperang dan menyepakati hal-hal yang dapat mengurangi mengurangi kebijakan perdagangan, pembayaran, dan nilai tukar, yang berdampak menghambat perdagangan. Konferensi menyepakati berdirinya dua lembaga internasional: IMF (International Monetary Fund atau Dana Moneter Internasional) dan IBRD (International Bank for Reconstruction and Development atau Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan) bagian dari World Bank Group.

BRETTON Woods, desa kecil di lereng Mount Washington, negara bagian New Hampshire, Amerika Serikat, menjadi destinasi turis yang ingin menikmati keindahan alam. Desa ini bersejarah karena menjadi tempat konferensi keuangan internasional pada 22 Juli 1944. Konferensi yang dihelat Perserikatan Bangsa-Bangsa ini dihadiri perwakilan dari 45 negara.

Tujuan konferensi untuk memulihkan ekonomi dunia pascaperang dan menyepakati hal-hal yang dapat mengurangi mengurangi kebijakan perdagangan, pembayaran, dan nilai tukar, yang berdampak menghambat perdagangan. Konferensi menyepakati berdirinya dua lembaga internasional: IMF (International Monetary Fund atau Dana Moneter Internasional) dan IBRD (International Bank for Reconstruction and Development atau Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan) bagian dari World Bank Group.

Pada akhir 1945, 35 negara yang dianggap founding fathers, menandatangani anggaran dasar IMF. Setelah melalui persiapan, termasuk ratifikasi di DPR/Kongres masing-masing negara anggota, akhirnya IMF dinyatakan berdiri dan beroperasi pada 1 Maret 1947.

Indonesia, yang baru bangkit dari krisis akibat perang melawan Belanda selama masa revolusi, mengajukan permintaan menjadi anggota IMF dan IBRD pada 24 Juni 1950. Dewan Gubernur IMF kemudian menyerahkan draf resolusi melalui Kedutaan Besar Indonesia di Washington pada 15 Agustus 1952. Indonesia membalasnya dalam surat yang ditandatangani Sutikno Slamet, bendahara umum Kementerian Keuangan dan kemudian menjadi menteri keuangan Kabinet Djuanda/Karya (1957–1959).

Pada 10 September 1952, dalam sidangnya di Mexico City, Dewan Gubernur IMF dan Dewan Gubernur IBRD menyetujui resolusi-resolusi yang memuat peraturan dan syarat-syarat Indonesia menjadi anggota IMF. Indonesia menerima dan menandatangani. Pada 15 April 1954, Indonesia resmi menjadi anggota. Secara legal, keanggotaan itu disahkan dengan UU No 5/1954.

Menurut Hadi Soesastro dan Aida Budiman dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1945-1959, pada Agustus 1956 pemerintah Indonesia memperoleh pinjaman dari IMF sebesar US$55 juta karena inflasi kembali berkecamuk disebabkan defisit anggaran yang meningkat dan cadangan devisa menurun cepat.

Pinjaman besar dari IMF tersebut, tulis Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800–2010, jelas tak mencukupi untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh negara baru yang menghadapi persoalan besar dalam pembangunan infrastruktur dan membutuhkan banyak investasi baru. Apalagi defisit anggaran tahun 1957 tiga kali lipat, dan pada 1958 dan 1959 menjadi dua kali lipat lagi.

Menurut ekonom Thee Kian Wie, defisit anggaran terus naik karena pengeluaran pemerintah tak terkendali, terutama dalam persoalan politik, seperti mengatasi pergolakan di daerah dan krisis Irian Barat. “Pemerintah tidak mengambil kebijakan moneter yang tepat untuk menanganinya, malah mencetak uang baru yang mengakibatkan inflasi melambung tinggi,” ujar Thee.

Perdana Menteri Djuanda (tengah) bersama Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Howard Jones (kanan) dan Jaksa Agung Amerika Serikat Robert F. Kennedy (kiri). (Repro Ir. Djuanda, Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama).

Program Stabilisasi

Dalam kondisi ekonomi seperti itu, Perdana Menteri Djuanda yang menjabat pada 1957 dan wakil Indonesia untuk IMF Sutikno Slamet memimpin gerakan stabilisasi, bekerja sama dengan ekonom Khouw Bian Tie dan Gubernur Bank Indonesia Soemarno. Mereka menolak kontrol ketat negara di bidang ekonomi, serangan terhadap investor swasta, dan menganggap modal dari luar negeri sebagai mesin akumulasi modal dan pembangunan

Bradley R. Simpson dalam Economist with Guns menjelaskan, Djuanda satu-satunya anggota kabinet yang melihat masalah Indonesia secara menyeluruh. Ia pula satu-satunya yang tampaknya dipercaya Sukarno dalam bidang ekonomi. Ia adalah arsitek stabilisasi yang dikendalikan IMF, penangkal kilat kritik-kritik Partai Komunis Indonesia (PKI), dan karena itu bisa diterima tentara, dan pengikat paling kuat pada era Sukarno dalam menjalin hubungan dengan Barat sekaligus memainkan peran yang menonjol dalam pembangunan ekonomi di Indonesia.

Menurut Siauw Giok Tjhan dalam Lima Zaman: Perwujudan Integrasi Wajar, tujuan dari bantuan IMF dan Bank Dunia adalah membuka pasar lebih luas bagi barang-barang hasil industrinya, memperoleh bahan-bahan mentah dengan harga lebih murah (dengan syarat mata uang negeri penerima bantuan harus didevaluasi), dan memperluas lapangan penanaman modal bagi pemilik-pemilik modal negeri donor dengan jaminan bisa memperoleh keuntungan lebih besar.

“IMF dan Bank Dunia digunakan oleh Amerika Serikat untuk mempengaruhi perkembangan politik di Indonesia,” tulis Siauw Giok Tjhan.

Pada pertengahan 1961, Presiden John F. Kennedy mengirimkan tim survei yang dipimpin oleh senator Hubert Humphrey untuk mendata kebutuhan-kebutuhan Indonesia. Setelah meneliti langsung, tim menerbitkan laporan pada pertengahan 1962 yang merekomendasikan bantuan Amerika Serikat senilai US$200–235 juta, plus pendanaan multinasional US$125–155 juta.

“Tawaran bantuan ini akan terikat dengan serangkaian proposal reformasi ekonomi yang pengawasan dan programnya dibuat oleh IMF,” tulis Rex Mortimer dalam Indonesian Communism Under Sukarno.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">IMF dan Bank Dunia digunakan oleh Amerika Serikat untuk mempengaruhi perkembangan politik di Indonesia.</div>

Pada Mei 1962, sebuah tim kajian IMF berangkat ke Indonesia dan menghendaki paket penyesuaian struktural klasik: pengetatan fiskal, peningkatan produksi bahan mentah untuk ekspor, penghapusan subsidi pemerintah untuk konsumsi domestik, devaluasi rupiah, penghentian nilai tukar yang bermacam-macam, dan kebijakan kredit yang ketat untuk mengendalikan inflasi yang melambung.

Pada akhir September 1962, Sutikno dan Soemarno kembali mengundang tim IMF untuk mengkaji kondisi ekonomi dan membantu para pejabat Indonesia membuat rancangan stabilisasi yang diperlukan untuk mengamankan pinjaman dan memperbaiki hubungan Indonesia dengan kreditur-kreditur asing.

Sutikno mendapat bantuan dari penasihat-penasihat Amerika Serikat, seperti ekonom Bernard Bell, yang sebelumnya diajak Howard Jones, duta besar Amerika Serikat di Jakarta, untuk memberikan saran kepada Bappenas soal Rencana Pembangunan Delapan Tahun Indonesia, dan berkonsultasi dengan misi Humphrey. Dalam kerja sama dengan Bappenas dan Perdana Menteri Djuanda, Bernard Bell merencanakan Program Aksi Ekonomi untuk bernegosiasi dengan IMF, dan kemudian sebagai Regulasi 26 Mei 1963.

“Slamet Sutikno berpendapat bahwa Bell adalah faktor yang menentukan dalam memulai stabilisasi. Bell telah membujuk Djuanda untuk melakukan pendekatan ‘semuanya sekaligus’ seperti yang didesakkan oleh IMF,” tulis Bradley.

Tantangan Djuanda saat itu adalah meyakinkan Sukarno, tentara, dan partai-partai politik untuk mendukung langkah-langkah stabilisasi dengan pengawasan IMF itu. Program stabilisasi ekonomi yang berkongsi dengan IMF itu telah membangkitkan respons keras masyarakat –seperti yang terjadi pada 1998 ketika perlawanan rakyat terhadap langkah-langkah stabilisasi yang dipaksakan IMF turut menjatuhkan Soeharto.

Wakil Indonesia untuk IMF Sutikno Slamet (kiri) dan Gubernur Bank Indonesia Soemarno (kanan). (Wikimedia Commons).

Persetujuan Sukarno

Sukarno sendiri tetap tidak bisa diyakinkan. Ia meragukan perlunya mengambil langkah-langkah moneter untuk menurunkan inflasi. Sukarno lebih suka memobilisasi rakyat untuk meningkatkan produksi dan swasembada.

Namun, setelah penyelesaian Irian Barat, Sukarno menyatakan Indonesia akan mengalihkan perhatian pada pekerjaan besar yang belum selesai untuk meningkatkan produksi. Sukarno baru memberikan dukungan penting bagi upaya stabilisasi ketika pada 28 Februari mengumumkan bahwa anggaran tahun 1963 akan “mencerminkan usaha menuju stabilisasi ekonomi dan keuangan nasional”.

Dengan persetujuan Sukarno atas stabilisasi, Sutikno Slamet kembali ke Washington untuk memulai negosiasi. Sutikno menyadari lemahnya dukungan politik di Indonesia terhadap langkah-langkah IMF dan bertekad menegosiasikan tawaran seketat mungkin untuk meredam protes di dalam negeri.

“Utusan Indonesia (Sutikno) berharap dapat menerima bantuan pinjaman stabilisasi sebesar US$82,5 juta dari IMF,” tulis Bradley.

Pada 28 Maret 1963, Sukarno mengeluarkan Deklarasi Ekonomi (Dekon). Apa yang disebut Manifesto Politik Perekonomian Sukarno ini merupakan tuntutan akan pembangunan yang diprakarsai negara dengan bantuan sebagian dari modal dalam negeri dan internasional. Tetapi deklarasi ini samar-samar sehingga baik penentang maupun pendukung stabilisasi menggunakannya untuk menjustifikasi posisi masing-masing. Menurut Mortimer, Sukarno masih berusaha mengikuti jalan tengah antara intervensionisme dan liberalisme sehingga memberi rasa aman bagi semua pihak.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Itu bukan soal minta-minta, kita berhak untuk mengusahakan pinjaman dari IMF.</div>

Sementara itu, Djuanda mengeluarkan serangkaian langkah yang dikenal dengan Regulasi 26 Mei 1963, untuk menunjukkan komitmen Indonesia melakukan restrukturisasi ekonomi sesuai haluan yang digariskan IMF dan kreditur Barat.

“Dibandingkan Dekon yang lunak,” tulis Mortimer, “Regulasi 26 Mei sebagai penginstalasian pertama kali program stabilisasi IMF menyediakan dosis kuat liberalisme ekonomi,” yaitu penghentian kontrol negara pada harga dan subsidi, penghapusan pajak ekspor, penyederhanaan nilai tukar, pemanfaatan cadangan devisa untuk program impor keperluan industri, pengetatan fiskal termasuk pemotongan anggaran, pengetatan pemberian kredit untuk membatasi persediaan uang, menaikkan pensiun dan gaji pegawai negeri untuk mengimbangi kenaikan harga.

Menurut Djuanda dalam Keterangan-keterangan Pemerintah Mengenai Soal-soal Pelaksanaan Deklarasi Ekonomi, usaha-usaha mencari pinjaman, termasuk dari IMF, dibenarkan oleh Dekon.

“Kalau tidak salah kita sudah beberapa kali, tiga, empat kali mengadakan pinjaman dari IMF, selama kita menjadi anggota sejak permulaan tahun 1950 kita sudah sering meminjam uang dari IMF dan sudah melunasinya,” kata Djuanda. “Jadi kalau sekarang kita melakukan usaha pinjaman dari IMF itu bukan pertama kali, tetapi saya rasa itu memang hak kita sebagai anggota IMF untuk minta pinjaman. Itu bukan soal minta-minta, kita berhak untuk mengusahakan pinjaman dari IMF.”

Persoalan utang ini terus menyeret kontroversi yang tiada berkesudahan. Sampai akhirnya Presiden Sukarno memutuskan untuk keluar dari IMF.

Presiden Sukarno melantik Sutikno Slamet (kanan) sebagai menteri keuangan di Istana Merdeka Jakarta pada 29 April 1957. (Perpusnas RI).

Keluar dari IMF

Dua bulan terakhir di pengujung 1962, garis-garis umum IMF sudah diketahui oleh berbagai lingkaran politik di Indonesia. Pada Februari 1963, isu apakah pemerintah akan berbelok ke kiri (mengandalkan bantuan Uni Soviet dan mengefektifkan kabinet Nasakom) atau mengikuti anjuran sayap kanan masih tetap berada di posisi yang seimbang.

Sementara Sukarno sedang melakukan tur dunia, kebijakan “mengencangkan ikat pinggang” arahan IMF itu mengundang serangan keras, terutama dari PKI. D.N. Aidit, ketua CC PKI, menyatakan kalau menyerah kepada bantuan asing hanya akan membawa Indonesia dalam kekacauan ekonomi dan ketergantungan dana asing terus-menerus.

“Ia menegaskan Indonesia sanggup dan sudah seharusnya berdiri di atas dua kakinya sendiri, memobilisasi sumber dayanya sendiri bagi pembangunan kemerdekaannya. Untuk mencapai hal ini kerja keras mesti dikerahkan kepada peningkatan produksi,” tulis Mortimer.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Persepsi para pejabat militer bahwa ketergantungan pada bantuan Barat berarti mengurangi kemerdekaan.</div>

Pada 4 Juni 1963, PKI menerbitkan pernyataan yang menyerang para pendukung Regulasi 26 Mei 1963, menjulukinya “Manipol palsu” karena berani memajukan program mereka sendiri dengan mengatasnamakan Dekon (Deklarasi Ekonomi). Serangan PKI diarahkan kepada Djuanda, yang dituding pengkhianat retorika revolusioner Dekon.

“Kendati protes terhadap Regulasi 26 Mei terus berlanjut, ekonomi Indonesia menunjukkan tanda-tanda perbaikan: harga-harga komoditas turun, ekspor meningkat, dan penerimaan impor mengendur,” tulis Bradley.

Kampanye melawan Regulasi 26 Mei berlanjut sepanjang Juli–Agustus 1963. Front Nasional, Nahdlatul Ulama, Partai Katolik, Partai Nasional Indonesia, dan sejumlah kelompok mahasiswa segera bergabung satu suara. Sebaliknya TNI memilih diam. Sutikno menyebut bahwa para teknokrat tidak melihat tentara sebagai sekutu atau musuh rencana stabilisasi. Tetapi, A.H. Nasution diam-diam memberi tahu Sukarno mengenai persepsi para pejabat militer bahwa ketergantungan pada bantuan Barat berarti mengurangi kemerdekaan.

Protes terhadap Regulasi 26 Mei akhirnya sukses pada 7 September 1963 lewat pernyataan Sukarno yang menyetujui Regulasi 26 Mei mesti dikoreksi. “Seminggu kemudian, skema stabilisasi dan semua dalilnya karam diempas badai konfrontasi melawan Malaysia,” tulis Mortimer.

Saat konfrontasi melawan Malaysia memanas, kelompok oposisi berhasil mendesak Regulasi 26 Mei dicabut pada April 1964. “Sutikno dengan menyesal menyampaikan ‘jelas tidak ada harapan untuk stabilisasi’,” tulis Bradley. “IMF juga menunda bantuan US$30 juta yang sudah disepakati dengan Jakarta.”

Indonesia secara efektif keluar dari keanggotaan IMF pada 17 Agustus 1965, dan kembali bergabung pada 21 Februari 1967 ketika Sukarno dijatuhkan dari kekuasaannya digantikan Jenderal TNI Soeharto. Setahun kemudian pinjaman IMF cair sebesar US$51,75 juta dan selanjutnya Indonesia terus menjadi pasien IMF, sampai Soeharto dilengserkan setelah berkuasa selama 32 tahun.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
63fefe28d285e10ebb8eb79b