Kusrin (ketiga dari kiri), ketua umum Partai Murba Indonesia. (Dok. Harry A. Poeze).
Aa
Aa
Aa
Aa
PAGI, 28 Mei 1998, Forum Komunikasi Murba (FKM) menggelar konferensi pers di Gedung Joeang 45 Menteng 31 Jakarta Pusat. Nelly, istri Adam Malik, selaku penasihat FKM yang membuka pertemuan menyebutkan soal rencana menghidupkan kembali Partai Murba, yang kemudian menyebut dirinya Partai Musyawarah Rakyat Banyak.
Ketua Umum FKM Hadidjojo Nitimihardjo menambahkan, kongres akan diadakan untuk mengambil keputusan pendirian Partai Murba. Dia juga menyatakan kontak sudah dijalin dengan 24 daerah.
Empat hari kemudian, mantan anggota Dewan Partai memberikan pernyataan bahwa mereka menyetujui pembentukan kembali Partai Murba dan mengalihkan pengurus FKM menjadi Dewan Partai.
PAGI, 28 Mei 1998, Forum Komunikasi Murba (FKM) menggelar konferensi pers di Gedung Joeang 45 Menteng 31 Jakarta Pusat. Nelly, istri Adam Malik, selaku penasihat FKM yang membuka pertemuan menyebutkan soal rencana menghidupkan kembali Partai Murba, yang kemudian menyebut dirinya Partai Musyawarah Rakyat Banyak.
Ketua Umum FKM Hadidjojo Nitimihardjo menambahkan, kongres akan diadakan untuk mengambil keputusan pendirian Partai Murba. Dia juga menyatakan kontak sudah dijalin dengan 24 daerah.
Empat hari kemudian, mantan anggota Dewan Partai memberikan pernyataan bahwa mereka menyetujui pembentukan kembali Partai Murba dan mengalihkan pengurus FKM menjadi Dewan Partai.
Hadidjojo didapuk jadi ketua umum –tokoh-tokoh tua seperti Wasid Soewarto, Soebiantoro, dan Santoso tak bersedia dicalonkan. Zulfikar Tan, yang punya hubungan keluarga dengan Tan Malaka, ditunjuk sebagai sekretaris umum. Seluruh pengurus terdiri dari 23 orang. Semuanya masih muda-muda. Beberapa di antaranya anak dari pemimpin Murba lama seperti Sukarni, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, dan Djamaluddin Tamin.
“Partai mendapat julukan sebagai Murba Keturunan,” tulis Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 5.
Setelah terbentuk kepengurusan, Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, serta asas dan program dirumuskan. “Setiap rujukan pada jargon Marxistis dihapus, Tan Malaka tetap tidak disebut-sebut,” tulis Poeze. “Tapi partai masih tetap menamakan dirinya Partai Murba, yang didirikan pada 7 November 1948 dengan simbol dan lagu partai yang tetap tidak berubah.”
Tantangan Pemilu
Partai Murba ikut Pemilu 1999 dengan nomor urut 31. Hadidjojo berharap partainya bisa mendulang suara sekitar 3-7 persen atau 10-35 kursi. Sebuah target yang teramat sulit. Partai terbentur kendala kurang pengalaman, kader, dana, dan akses ke media massa.
“Partai Murba mengandalkan daerah-daerah yang menjadi basisnya di masa lalu seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan,” kata Yos Uly, mantan bendahara umum Partai Murba, kepada Historia. “Namun, kita tidak bisa menjanjikan apa-apa kepada masyarakat di sana. Zaman telah berubah. Kalau dulu orang ikut partai karena ideologi, sekarang mungkin karena tujuan lain.”
Pada Maret 1998, partai menyusun Tim Sukses Pemilu Partai Murba ‘99 dengan Zulfikar Tan sebagai ketua, Koman Tarigan dan Ben Tanur (wakil ketua), Yos Uly (bendahara), dan 18 anggota pimpinan lainnya. “Meskipun [saya menjadi] bendahara namun tidak ada uangnya. Dana partai diperoleh dari swadaya anggota,” kata Yos Uly.
Tugas tim mengkoordinasi kegiatan kampanye. Tim serupa dibentuk di semua provinsi dan kota di mana Partai Murba aktif. Biaya untuk periode 12 April-12 Mei 1999 tersedia sebanyak Rp150 juta. Anggaran tersebut untuk 36 kota masing-masing mendapat 100 t-shirt, 10 jaket, 100 bendera, 10 spanduk, 1.000 stiker, dan dua rim pamflet.
Dalam praktiknya, bahan-bahan kampanye beraneka ragam, bergantung situasi setempat. Poeze mendapat delapan pamflet. Ada pamflet berisi tanda gambar, nomor, dan teks singkat “Yang penting Murba-nya, Bung”. Beberapa pamflet menyertakan gambar pemimpin-pemimpin Murba di masa lalu, keputusan Sukarno tentang pengangkatan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional, dan kata-kata pujian A.H. Nasution kepada Tan Malaka. Ada lagi pamflet yang menyertakan potret kecil dan kutipan dari Tan Malaka, Adam Malik, Sukarni, Chaerul Saleh, dan Iwa Kusumasumantri.
Hasil pemilu yang diselenggarakan pada 7 Juni 1999 kembali menjadi malapetaka. Partai Murba hanya mendapat 62.000 suara atau 0,06%, jauh dari mencukupi untuk satu kursi di parlemen.
“Dalam Pemilu ini kita dicurangi. Kita dikerjai di mana-mana. Suara kita banyak yang dihilangkan. Yang tidak bisa dikerjai di Papua. Sehingga di Nabire kita dapat dua kursi,” kata Hadidjojo.
Dalam analisisnya, selain kecurangan dalam pemilu, Wasid Soewarto menyebut kelemahan organisasi sebagai penyebabnya. Di semua tingkatan pimpinan kurang aktif, tidak berpengalaman, dan tidak cakap. Waktu terlalu pendek, dan terutama kekurangan dana. Kekurangan kronis dalam hal kader partai, dan tidak mampu kritis melihat tugas-tugasnya sendiri. Kemunculan partai yang ditampilkan sebagai Partai Musyawarah Rakyat Banyak juga menimbulkan kebingungan.
Dalam pertemuan Dewan Pimpinan dan Dewan Penasihat, analisis Wasid itu diterima baik dan ditetapkan sebagai garis haluan kebijakan Partai Murba.
Kerjasama yang Gagal
Agar dapat ikut Pemilu 2004, Partai Murba beraliansi dengan partai-partai nasionalis yang gagal dalam Pemilu 1999.
Pada Juli 2000, Partai Murba bersama Partai Nasional Demokrat, Partai Rakyat Indonesia, Partai Aliansi Demokrat Indonesia, Partai Pekerja Indonesia, dan Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong membentuk Partai Aliansi Nasionalis Indonesia (PANI). Edwin Henawan Soekowati dari Partai Nasional Demokrat ditunjuk sebagai ketua presidium.
Menurut Poeze, keputusan Partai Murba berfusi dalam PANI ditentang Zulfikar Tan yang menganggap dirinya masih sebagai sekretaris jenderal. Tentangan juga datang dari sejumlah anggota muda yang menuntut Partai Murba murni dihidupkan kembali dan minta Hadidjojo menyelenggarakan kongres. Hadidjojo menolak.
Pada 6-8 September 2002, Partai Murba menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Kaliurang, Yogyakarta. Rakernas menghasilkan resolusi Pernyataan Kaliurang, yang menguatkan keputusan bergabung dalam PANI. Rakernas juga mengukuhkan kepemimpinan Hadidjojo dengan Ben Tanur sebagai sekretaris jenderal.
Pada bulan itu juga Hadidjojo menggabungkan partainya dengan PANI. “Sistem kepengurusan bergilir. Saya terpilih sebagai ketua umum, padahal saya berharap Edwin atau Sulistomo,” kata Hadidjojo.
Pada Maret 2003, Partai Murba mengirimkan instruksi ke cabang-cabang agar proaktif mendekati dan bekerjasama dengan partai-partai lain dalam PANI. Ditegaskan pula bahwa Partai Murba tetap eksis, tetapi dalam Pemilu 2004 maju di bawah bendera PANI.
Ketika mendaftarkan diri untuk mengikuti proses verifikasi di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM), PANI menyerahkan dokumen kepengurusan di 21 provinsi. Namun, setelah diverifikasi, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia hanya mengakui 13 provinsi yang lolos. PANI pun gagal ikut Pemilu 2004.
“PANI gagal lolos karena dijegal di Kemenkum HAM,” kata Hadidjojo.
“Yang membuat PANI tidak lolos adalah ketika akan diverifikasi, Edwin Henawan Soekowati dan PND menyatakan keluar dari PANI,” kata Yos Uly.
Gagal dengan PANI, orang-orang Murba menyambut tawaran untuk bergabung dengan Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD) pimpinan Muchtar Pakpahan. Hadidjojo diangkat sebagai wakil ketua umum, dan di dalam pengurus yang terdiri dari 40 orang duduk sembilan orang dari Partai Murba.
“Mereka bergabung dengan PBSD secara pribadi. Banyak juga yang tidak bersedia bergabung seperti orang-orang Murba di Kalimantan Selatan,” kata Yos Uly.
“Sebenarnya tawaran menarik datang dari Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat), namun kita putuskan tetap dengan PBSD karena kalau kita tidak masuk, PBSD tak akan lolos ikut Pemilu 2004,” kata Hadidjojo.
Dengan PBSD, Partai Murba juga tidak berhasil. Dalam Pemilu 2004, yang diikuti 24 partai, PBSD hanya memperoleh 0,56% atau 636.000 suara. Untuk satu kursi parlemen pun tidak cukup. Dengan demikian, PBSD tak bisa ikut Pemilu 2009.
Perpecahan terjadi terkait penentuan dukungan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. “Muchtar memutuskan secara sepihak mendukung Amien Rais-Siswono Yudo Husodo. Sedangkan Murba tak setuju dan mendukung Wiranto-Salahudin Wahid. Pada pemilihan presiden putaran kedua, Murba mendukung Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla,” kata Yos Uly.
Pada Desember 2004, orang-orang Murba memutus hubungan dengan PBSD.
Tersebar
Tanpa partai, orang-orang Murba bertebaran di mana-mana. Menurut Yos Uly, banyak orang Murba merapat dengan Partai Demokrat. Ada juga yang bergabung dengan Partai Pakar Pangan (Partai Karya Perjuangan) yang didirikan orang Murba, yaitu Letjen (Purn.) M. Yasin.
Partai Pakar Pangan ikut Pemilu 2009. Kendati tak mendapatkan kursi di DPR RI, Pakar Pangan memiliki sekitar 100 anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Pada 2012, Partai Pakar Pangan memutuskan menjadi organisasi sayap Partai Demokrat dengan nama Bakti Karya Perjuangan Demokrat (BKPD).
“Yasin pernah menjadi orang kepercayaan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono),” kata Yos Uly.
Beberapa orang Murba lainnya, termasuk Hadidjojo, mendirikan Partai Kerakyatan Nasional (PKN) bersama Harmoko, mantan ketua umum Golkar. Ketua PKN adalah Subiantoro, anak Soemantoro. Namun, PKN tak lolos verifikasi administrasi Komisi Pemilihan Umum untuk ikut Pemilu 2009.
Menariknya, di antara partai yang tak lolos verifikasi terdapat nama Partai Murba Indonesia (PMI) dengan Kusrin sebagai ketua umum. Kusrin, yang pernah bergabung dengan Golkar, menyebut dirinya pernah menjadi anggota Partai Murba lama ketika menjadi mahasiswa di Yogyakarta. Kusrin mengklaim partainya memiliki kaitan historis dengan Partai Murba yang ikut Pemilu 1955, tetapi tidak dengan Partai Murba dalam Pemilu 1999. Dia juga mengklaim, tulis Tempo, 13 Januari 2007, pendirian PMI didukung sesepuh Partai Murba Pemilu 1955.
Menurut Poeze, Kusrin mengklaim menerima mandat dari Wasid Soewarto dan Bambang Singgih. “Janda Wasid membenarkan, bahwa beberapa kali Kusrin datang menjenguk suaminya yang sakit, tapi menurutnya tidak mungkin dia memberikan mandat kepadanya,” tulis Poeze.
Kusrin juga mengajak dan meminta dukungan dari orang-orang Murba seperti Hadidjojo, Zulfikar, dan Yos Uly, tetapi mendapat penolakan.
Partai Murba tidak ada lagi, tapi orang-orangnya tersebar di mana-mana.*