Murba Berseteru dengan PKI

Partai Murba mencoba merintis kerjasama dengan PKI tapi gagal. Jadi seteru abadi PKI.

OLEH:
Budi Setiyono
.
Murba Berseteru dengan PKIMurba Berseteru dengan PKI
cover caption
Presiden Sukarno dalam kongres Partai Murba. (Repro Sukarni dalam Kenangan Teman-temannya).

PERSETERUAN lama nyaris dilupakan ketika muncul upaya menjalin kerjasama di antara partai kiri pada awal 1950. Mula-mula inisiatif datang dari Ibnu Parna dari Angkatan Communis Muda (Acoma). Kendati ada anggota Murba menyambutnya, Dewan Partai Partai Murba menyebut itu pernyataan pribadi, sementara partai masih memberi perhatian pada persatuan internal.

Upaya Parna ternyata tak berhenti begitu saja. Pada September 1950, terjadi perundingan antara Murba, PKI, Pesindo, dan Acoma. Menurut sejarawan Harry A. Poeze, Murba setuju pembentukan front antiimperialis dan antikapitalis tapi belum terdengar sikap positif terkait pembentukan satu partai dengan nama PKI.

“Penolakan secara lembut ini disebabkan oleh rujukannya yang kabur tentang alasan-alasan prinsipil dan perbedaan-perbedaan dalam taktik perjuangan,” tulis Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 5.

PERSETERUAN lama nyaris dilupakan ketika muncul upaya menjalin kerjasama di antara partai kiri pada awal 1950. Mula-mula inisiatif datang dari Ibnu Parna dari Angkatan Communis Muda (Acoma). Kendati ada anggota Murba menyambutnya, Dewan Partai Partai Murba menyebut itu pernyataan pribadi, sementara partai masih memberi perhatian pada persatuan internal.

Upaya Parna ternyata tak berhenti begitu saja. Pada September 1950, terjadi perundingan antara Murba, PKI, Pesindo, dan Acoma. Menurut sejarawan Harry A. Poeze, Murba setuju pembentukan front antiimperialis dan antikapitalis tapi belum terdengar sikap positif terkait pembentukan satu partai dengan nama PKI.

“Penolakan secara lembut ini disebabkan oleh rujukannya yang kabur tentang alasan-alasan prinsipil dan perbedaan-perbedaan dalam taktik perjuangan,” tulis Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 5.

Upaya itu lalu bergulir dalam bentuk Hadjat Persatuan, yang menghelat tiga konferensi pada 25-26 Oktober, 23 November, dan 26 Desember 1950. Alimin dari PKI menyatakan persetujuan dengan tujuan Acoma. Soedijono Djojoprajitno dari Murba setuju perikatan semua kaum komunis, tapi di dalamnya tak termasuk PKI, sebelum partai ini menyampaikan “koreksi”-nya. Suasana sempat tegang. Tapi konferensi berjalan lancar.  

Dari konferensi itu terbentuklah Panitia Pelaksanaan Front Pembela Buruh dan Tani yang diketuai Soedijono. Selaku penandatangan termasuk Hutomo Supardan dan Krissubanu (PKI); Sjamsu Harja Udaja, Soedijono, dan Wasid Soewarto (Murba); serta Ibnu Parna (Acoma).

Perundingan itu berlangsung bersamaan waktu dengan “perebutan” kekuasaan di tubuh PKI. Empat sekawan, Aidit, Lukman, Njoto dan Soedisman, berhasil menyingkirkan kelompok tua. Aidit cs. lalu melakukan “pemurnian” terhadap anggota-anggotanya. Hutomo Supardan akhirnya mengundurkan diri dari Panitia Pelaksana Front Pembela Buruh dan Tani.  

Melalui organ partai Bintang Merah, PKI menolak fusi dengan partai atau organisasi apapun. Akhirnya, melalui pernyataan tertanggal 29 Desember 1950, mereka menyatakan tak bersedia ikut serta dalam Front Pembela Buruh dan Tani.  

Tanpa PKI, front yang sedang dalam proses didirikan menjadi tak perlu lagi.

Ilusi Partai Alternatif

Gagalnya front persatuan tak menghalangi kerjasama dalam bentuk lain. Tak lama setelah jatuhnya Kabinet Natsir, atas prakarsa Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), terbentuklah Badan Permusjawaratan Partai-Partai Politik (BPP) dalam rapat pada 31 Maret 1951 di Gedung Taman Raden Saleh, Jakarta. Sebelas partai bekerjasama atas dasar program bersama. Aidit menandatangani atas nama PKI, sementara Maroeto Nitimihardjo dari Murba.

BPP menuntut dilibatkan dalam pembentukan kabinet, yang tanpa melibatkan Masyumi. Mereka mencoba menarik Partai Nasional Indonesia (PNI) ke dalam BPP. Upaya itu gagal. PNI menarik diri dan berkoalisi dengan Masyumi dalam Kabinet Sukiman. BPP pun mengambil sikap oposisi. Dan sebagai balasannya, Sukiman yang antikomunis melakukan penangkapan orang-orang kiri. Dalih yang diajukan, pada Agustus 1951, sekelompok pemuda berkaos “Palu-Arit” menyerang kantor polisi di Tanjung Priok. Selain PKI, anggota-anggota Murba juga ditangkap.

Di tengah situasi seperti itu, Murba menghelat kongres ke-3 di Jakarta pada Januari 1952. Partai-partai di dalam dan di luar kabinet mengirim utusan. Termasuk PKI beserta beberapa organisasi massanya. Usai kongres, dalam wawancara dengan seorang wartawan lokal, sebagaimana dikutip Poeze, Sukarni menyangkal bahwa baik Murba atau PKI bertanggungjawab, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam kegiatan subversif yang berujung pada Razia Agustus. Ketika ditanya sejauh mana Murba bekerjasama dengan PKI, Sukarni menjawab: “Hanya sejauh jika tujuan kami paralel”.

Kabinet Sukiman jatuh pada Februari 1952 akibat menandatangani persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat. Tuntutan BPP untuk dilibatkan dalam pembentukan kabinet kembali mengemuka. Sekali lagi, upaya itu gagal. Kabinet Wilopo terbentuk dari koalisi PNI dan Masyumi.  

Terbentuknya kabinet baru mempengaruhi hubungan antarpartai. PSII dan Parindra, yang terlibat di BPP, ikut serta dalam pemerintahan. Karenanya BPP, tulis Soebagijo IN dalam Wilopo 70 Tahun, “jadi kehilangan artinya dan sejak itu berhenti melakukan kegiatan-kegiatannya.”

Menurut Donald Hindley dalam disertasinya berjudul “The Communist Party of Indonesia, 1951- 1961”, kegagalan BPP menyadarkan PKI bahwa tuntutannya atas pemerintahan koalisi nasional tak ada faedahnya. Partai masih kecil; dukungannya dianggap tak berharga. Maka, PKI membuat konsep front persatuan nasional yang baru. “Perubahan drastis dibuat dalam metode memenangi massa rakyat yang luas, sikap partai terhadap pihak borjuis nasional, dan dalam watak partai,” tulis Hindley.  

Selain itu, PKI giat melakukan konsolidasi serta memperluas dan mendisiplinkan anggota. Hasilnya terlihat dalam pemilihan umum 1955; PKI secara mengejutkan menduduki posisi empat besar. Sebaliknya, Murba gagal melakukan hal yang sama. Dalam pemilu Murba berada pada urutan ke-16.  

“Ini merupakan tamparan dan sekaligus mengakhiri ilusi sebagai partai alternatif yang serius di samping PKI,” tulis Poeze.  

Baik PKI maupun Murba kemudian mengambil jalan masing-masing. Tapi asa untuk penyatuan masih terpendam.

Para tokoh BPS menerima keputusan penyampingan perkara (dideponir) dari jaksa tinggi Jakarta pada 2 April 1966. (muspen.kominfo.go.id).

Berebut Bung Karno

Pada pertengahan 1950-an, Murba melakukan pendekatan kepada Sukarno. Beberapa gagasan Sukarno, dari penguburan partai-partai hingga konsepsi Demokrasi Terpimpin, selalu disokongnya. Karena mendapat penolakan dari partai-partai besar, Sukarno membangun kelompok pemimpin politik baru yang akan membantu mewujudkan tujuannya. Salah satunya kerjasama dengan kelompok Angkatan 45 dengan anggota terkemukanya Chaerul Saleh, simpatisan Tan Malaka.

“Orang-orang dari kelompok Sukarno yang baru punya koneksi partai, yakni dengan Partai Murba dan, dengan tingkat lebih rendah, PKI,” tulis Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.

Pengaruh Murba juga terlihat dalam Kabinet Djuanda di mana Sukarno sebagai formaturnya. Murba mendapatkan tiga kursi –sementara PKI hanya satu. Dalam Dewan Nasional (kemudian diganti Dewan Pertimbangan Agung), yang dibentuk Juli 1957, Murba juga punya pengaruh kuat.

Akhirnya, setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945, Murba –bersama militer– menjadi kelompok yang terkuat di kabinet, bukan hanya dalam jumlah tapi juga vitalnya departemen-departemen yang mereka duduki.  

“Kedudukan Murba dan ABRI yang selalu mendapat perhatian Bung Karno inilah yang menambah rasa iri hati PKI,” tulis Adam Malik dalam otobiografinya Mengabdi Republik.  

PKI, bersama partai besar lainnya, harus puas dengan banyak kursi dalam DPR-GR –sementara Murba hanya dua kursi. Dalam Front Nasional, pengaruh PKI juga sangat kuat.  

Kedekatan Sukarno pada Murba tampak pada kehadirannya dalam Kongres ke-5 Partai Murba di Bandung pada 15-20 Desember 1960. Dalam pidatonya, yang berkali-kali disela tepuk tangan, Sukarno menyebut Tan Malaka dan memuji Partai Murba sebagai “partai nasionalis revolusioner yang konsekuen.”  

Dengan merujuk pidato Sukarno, Murba meminta agar Tan Malaka diangkat sebagai pahlawan nasional. Dan Sukarno memenuhinya lewat Keputusan Presiden No. 53/1963. Sukarno juga menunjuk Adam Malik sebagai duta besar di Moskow dan Sukarni sebagai duta besar di Beijing. Ketika pengaruh Murba menguat, di internal partai masih ada keinginan untuk bekerjasama dengan PKI.

Infiltrasi PKI

Sesudah Kongres ke-5, Dewan Politik dari Dewan Partai merasa perlu adanya laporan kritis dan menyeluruh tentang haluan politik Partai Murba. Maka, dibentuklah Komisi Politik yang dipimpin Bambang Singgih. “Sesudah bekerja selama dua bulan Komisi Politik mengajukan sebuah laporan panjang dengan nada kritis yang belum pernah dikenal sebelumnya,” tulis Poeze.  

Dalam laporan itu, yang dibahas dalam Sidang Pleno Luar Biasa dari Dewan Partai pada Desember 1962, juga disinggung hubungan partai dengan PKI. “Kepentingan Revolusi dan kepentingan Rakyat Indonesia menuntutkan penelitian secara sungguh-sungguh dari Pimpinan Partai Murba dan PKI untuk sejauh mungkin mencari jalan dan berusaha mempersatukan kembali kaum Komunis Indonesia.”  

Menurut Poeze, sebagai pribadi Bambang mencari hubungan dengan pimpinan PKI. Wasid menyetujuinya, tapi dengan sikap lebih berjarak. Didampingi tokoh terkemuka Murba, Bambang melakukan beberapa kali pembicaraan dengan Lukman dan Njoto, anggota Politbiro PKI. Namun pimpinan “tua” Murba menentang. Mereka membenci PKI dan secara formal menghalangi perundingan itu.  

“Sejak itu hubungan dengan PKI memburuk, dan di dalam Partai Murba sendiri jejak konflik itu terlihat kasatmata. Bambang dituding sebagai agen PKI,” tulis Poeze.  

Soedijono tampaknya konsisten dengan sikapnya pada 1950. Pada 1962 terbit buku yang disusunnya dengan judul P.K.I.- Sibar contra Tan Malaka sebagai tanggapan terhadap brosur penerbitan Lembaga Sedjarah PKI tentang pemberontakan 1926 yang memberi gambaran negatif atas peran Tan Malaka.  

Serangan paling gencar dilancarkan Djamaloeddin Tamin. Dia menuding “klik” Wasid Soewarto, Bambang Singgih, dan Maramis, yang mengambil alih kekuasaan partai pada kongres tahun 1960, hendak membawa partai seiring sejalan dengan PKI. Bahkan, pada Oktober 1964, Tamin menyiarkan laporan rahasia yang ditulis informan PKI dengan nama samaran Gulana berjudul “Situasi Partai Murba”. Antara lain berisi infilitrasi PKI, melalui cabang Jakarta dan organisasi pemuda hingga tingkat pusat, untuk menyetir dan merongrong Murba, “termasuk juga memberikan uang kepada kelompok Wasid tanpa setahu mereka.”  

Pimpinan Murba menangani masalah Tamin dengan hati-hati, kendati Tamin terus melancarkan kritikannya. Dalam sebuah surat tanggal 20 November 1964, yang dikirim ke seluruh jaringan partai, pimpinan Murba menyebut aksi itu sebagai “provokasi liar”, yang menamakan laporan PKI sebagai “Info”, yang berasal dari “sumber pengacauan yang rendah dan gelap”. Pimpinan partai menegaskan, pada Pleno April 1964 perselisihan telah diselesaikan, dengan persetujuan Tamin juga.

Karikatur di Harian Rakjat yang menyebut Manikebu, BPS, Partai Murba sebagai dinasti ekonomi.

Tahun-Tahun Permusuhan

Di saat internal Murba sibuk bertikai, PKI unjuk kekuatan. Antara lain melalui kampanye besar-besaran dan aksi sepihak dalam kasus-kasus tanah dan aksi boikot film-film Amerika. Murba coba mengimbanginya. Dengan dukungan tentara, Murba menggerakkan ormasnya, Persatuan Rakyat Tani, untuk membendung PKI. Terkait aksi boikot, Adam Malik, yang menjabat menteri perdagangan, menyebut aksi boikot itu menyimpang dari kebijakan bebas aktif dan ditunggangi unsur asing.  

Menurut Hadidjojo dalam Ayahku Maroeto Nitimihardjo, untuk menghadapi PKI yang makin kuat, Maroeto pernah mengusulkan pelepasan tahanan-tahanan politik dari Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi, yang terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Chaerul Saleh yang membahasnya dengan Sukarno sudah mendapatkan jaminan. Namun pembebasan urung karena intervensi Soebandrio, wakil perdana menteri yang juga ketua Badan Pusat Intelijen. Dari Prijono didapat kabar, “Soebandrio sudah mulai bermain mata dengan PKI.”  

Upaya lain dilakukan dengan memunculkan kembali gagasan partai negara, yang pernah diidamkan Sukarno. BM Biah, pemimpin suratkabar Merdeka, yang memulainya. Murba, dan juga militer, mendukung. PKI menuding gagasan itu sebagai usaha merongrong Front Nasional. Muncul polemik antara Merdeka dan Harian Rakjat. Polemik berakhir setelah Soebandrio mengumumkan bahwa presiden berpendapat pada taraf revolusi sekarang partai-partai politik masih dibutuhkan.  

Gerakan anti-PKI kian kencang setelah terbit artikel Sajuti Melik berjudul “Belajar Memahami Sukarnoisme” di Berita Indonesia, koran “setengah resmi” Murba. Sayuti mencoba menafsirkan sekaligus membedakan Marhaenisme ajaran Bung Karno dengan Marxisme-Leninisme PKI. Tulisan itu dikutip sejumlah media.  

Karena mendapat sambutan hangat, Adam Malik ikut memprakarsai pembentukan Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS) pada Agustus 1964. Murba, melalui Wasid Soewarto, menyatakan dukungan kepada BPS, pada 3 Desember 1964. Dukungan juga mengalir dari militer.

PKI bereaksi keras. Njoto, ideolog PKI, menghantam lewat serangkaian tajuk di Harian Rakjat. Bagi Njoto, apa yang ditulis Sayuti melenceng dari ajaran Bung Karno. PKI juga menuding BPS menerima lima ratus juta dolar dari CIA.  

Menariknya, muncul isu dukungan dana dari Soviet, yang mulai melirik Murba karena kedekatan PKI dengan Peking. Pendekatan yang dilakukan Soviet memang tak terbantahkan. Bahkan, Wasid Soewarto ditawari menjadi agen Soviet tapi menolak. Para pemimpin Murba juga membantah sokongan dana dari Moskow. “Partai Murba tidak menerima uang dari Moskow, selain buku-buku saja,” tulis Poeze.  

Aidit sendiri, pada Mei 1964, menuding Murba sebagai kaki tangan Moskow untuk memecah belah PKI. Belakangan, dia lebih suka mengaitkannya dengan CIA.  

Pada Desember 1964, dalam sidang kabinet di Istana Bogor, Waperdam III Chaerul Saleh mengungkapkan dokumen berjudul “Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa Ini” tentang rencana PKI merebut kekuasaan pada 1970.  

Aidit, yang menjabat wakil ketua MPRS dan secara ex officio menteri koordinator, naik pitam. Dia menyebut dokumen itu palsu dan menyerang kelompok Murba. Terjadi perang mulut dan tinju Chaerul nyaris menghantam muka Aidit. Dengan cepat Sukarno menutup rapat.  

Situasi politik yang tegang mendorong Sukarno mengundang tokoh partai-partai di Istana Bogor pada 12 Desember 1964. Pertemuan itu melahirkan Deklarasi Bogor. Ironisnya, lima hari kemudian, Sukarno melarang BPS, yang diikuti penangkapan terhadap Sukarni, pembekuan lalu pelarangan Partai Murba, serta penutupan koran-koran pro-BPS.  

Belum puas, PKI terus menyerang Adam Malik dan Chaerul Saleh, bahkan mendesak mereka mundur dari kabinet. Tapi ternyata Sukarno mempertahankan keduanya, kendati pada Maret 1965, dengan adanya penataan kembali kabinet, wewenang mereka dibatasi.  

Kampanye PKI, menurut Rex Mortimer dalam Indonesian Communism under Sukarno, terlalu keras jika melihat fakta hubungan PKI-Murba sangat cair di tahun-tahun awal dulu, “sampai-sampai anggota kedua partai bisa dikatakan simpatisan satu sama lain.”  

Namun, sejarah punya jalannya sendiri. PKI hancur setelah Peristiwa 1965, sementara Partai Murba direhabilitasi dan bertahan selama bertahun-tahun kendati tanpa pengaruh berarti.*

Majalah Historia No. 34 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
673457aaabed804f44ecd019