Murba Hidup Lalu Redup

Setelah setahun dibubarkan, Partai Murba direhabilitasi. Menghadapi penolakan dan konflik internal.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Murba Hidup Lalu RedupMurba Hidup Lalu Redup
cover caption
Delegasi Partai Murba bertemu Presiden Sukarno di Istana Bogor, 1966. (Repro Sukarni dalam Kenangan Teman-temannya).

DI Istana Bogor, akhir Mei 1966, Presiden Sukarno menerima delegasi Partai Murba. Delegasi terdiri dari Wasid Suwarto, Maroeto Nitimihardjo, Bambang Singgih, Prijono, Anwar Bey, dan J.B. Andries. Dalam pertemuan kedua setelah pembubaran Partai Murba ini, Sukarno menyatakan akan mempertimbangkan rehabilitasi Partai Murba.

“Ya, akan saya pikirkan,” kata Sukarno kepada delegasi, seperti dikutip Kompas, 2 Juni 1966.

Setelah berkonsultasi dengan Ketua Presidium Kabinet Ampera Letnan Jenderal TNI Soeharto dan Mahkamah Agung, keputusan pun diambil. Pada 17 Oktober 1966, Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 223 tahun 1966 yang mencabut keputusannya sendiri tentang pembubaran Partai Murba (Keputusan Presiden No. 291 tahun 1966) dan merehabilitasi partai tersebut.

DI Istana Bogor, akhir Mei 1966, Presiden Sukarno menerima delegasi Partai Murba. Delegasi terdiri dari Wasid Suwarto, Maroeto Nitimihardjo, Bambang Singgih, Prijono, Anwar Bey, dan J.B. Andries. Dalam pertemuan kedua setelah pembubaran Partai Murba ini, Sukarno menyatakan akan mempertimbangkan rehabilitasi Partai Murba.

“Ya, akan saya pikirkan,” kata Sukarno kepada delegasi, seperti dikutip Kompas, 2 Juni 1966.

Setelah berkonsultasi dengan Ketua Presidium Kabinet Ampera Letnan Jenderal TNI Soeharto dan Mahkamah Agung, keputusan pun diambil. Pada 17 Oktober 1966, Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 223 tahun 1966 yang mencabut keputusannya sendiri tentang pembubaran Partai Murba (Keputusan Presiden No. 291 tahun 1966) dan merehabilitasi partai tersebut.  

Para pemimpin Murba pun bernapas lega.

“Dalam sejarah kepartaian di Indonesia perlakuan terhadap suatu partai seperti yang dialami Partai Murba mungkin baru kali ini terjadi. Adakah partai lain yang dibekukan, dibubarkan dan kemudian direhabilitasi oleh satu orang, satu presiden, dengan tanda-tanda yang sama?” tulis Maroeto dalam Sukarni dalam Kenangan Teman-temannya yang disunting Sumono Mustoffa.

Segera setelah keluarnya Keppres itu, Partai Murba mulai menata diri kembali. Wasid Soewarto, ketua umum terakhir, secara sukarela menyerahkan tampuk pimpinan kepada Sukarni yang sudah dibebaskan dari tahanan. Atas dorongan Sukarni, Murba memutuskan melanjutkan perjalanan partai dengan kekuatan sendiri.

Pada 27 Oktober 1966 ditetapkan Dewan Politik Partai Murba yang baru: Ketua Umum Sukarni, Ketua I Maroeto Nitimihardjo, Sekretaris Umum Sugiarto Murbantoko; dengan anggota: Adam Malik, Suriawinata, Husin Jusuf, Muhidin Nasution, dan Achmad.  

Empat hari kemudian partai mengirim surat keputusan yang menyebut peraturan-peraturan yang ada masih tetap berlaku. Akhirnya, pada 11 November 1966, terbit pernyataan dari partai yang menandai tampilnya kembali Partai Murba di tengah masyarakat. Isinya antara lain tak berubahnya azas dan dasar partai serta menyatakan berdiri di barisan Orde Baru.

Partai Murba dibangun dari nol lagi. Aset-aset partai sudah disita saat Partai Murba dibekukan dan dibubarkan. Organisasi massanya sudah dibebaskan dari ikatan dengan Partai Murba; mereka memilih bergabung dengan Sekber Golkar (kelak jadi Partai Golkar) dan tergabung dalam kino Gerakan Karya Rakyat Indonesia (Gakari). Organisasi berantakan.

Pimpinan Partai Murba setelah direhabilitasi. Kiri-kanan: Hasyim Darif, Soegiarto Murbantoko, Maroeto Nitimihardjo, Sukarni menggandeng dua orang, paling kanan Muhidin Nasution. (Dok. Hadidjojo Nitimihardjo).

Muncul Penolakan

Rehabilitasi Partai Murba mendapat tentangan dari partai-partai politik, organisasi massa (ormas), dan golongan karya (Golkar) yang tergabung dalam Front Pancasila. Mereka beralasan, “Partai Murba didirikan oleh Tan Malaka seorang tokoh komunis dan partai-partai yang melebur menjadi Partai Murba juga berhaluan ekstrem kiri dengan memakai taktik perjuangan Marxisme-Leninisme.”

Pernyataan Front Pancasila tertanggal 5 November 1966 ditandatangani KH M. Dachlan (Nahdlatul Ulama/NU), MA Gani (Partai Syarikat Islam Indonesia), AM Pasila S. Th (Partai Kristen Indonesia), IJ Kasimo (Partai Katolik), Partai Nasional Indonesia, Lukman Harun (Muhammadiyah), Moedjono (Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia), dan Agus Sudono (Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia).

Soeharto melakukan pembelaan. Dalam pertemuan dengan para pemimpin Partai Murba pada 15 November 1966, Soeharto menyampaikan, berhubung adanya reaksi masyarakat terhadap rehabilitasi Partai Murba, reaksi itu harus dihadapi dengan program. Pelaksanaan program itu akan dapat memberi jawaban pada masyarakat.  

“Pimpinan Murba menyatakan dukungan pada Kabinet Ampera dan mendukung pengemban Supersemar Jenderal Soeharto sebab tanpa pengemban Supersemar, Murba tak akan direhabilitir,” tulis Kompas, 16 November 1966.

Soeharto bahkan menginstruksikan kepada seluruh Penguasa Perang Daerah supaya memberikan kesempatan kepada Partai Murba yang telah direhabilitasi untuk melakukan kegiatannya. “Instruksi ini dikeluarkan mengingat masih adanya keraguan di kalangan masyarakat, partai politik, dan penguasa-penguasa setempat terhadap Partai Murba,” tulis Kompas, 1 Desember 1966.  

Namun, suara penolakan belum juga reda. Pada 1 Desember 1966, ormas-ormas NU seperti Gerakan Pemuda Ansor, Sarikat Buruh Muslimin Indonesia, Persatuan Tani Nahdlatul Ulama, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama menyampaikan pernyataan sikap yang menolak rehabilitasi Partai Murba. Mereka berdalih Partai Murba adalah partai politik berdasarkan Marxisme, padahal Sidang Umum IV MPRS telah melarang setiap kegiatan untuk menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunis, Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. Rehabilitasi Partai Murba bertentangan dengan Ketetapan No. XXV/1966 dan memberi peluang munculnya “neo-komunisme”.

“Dengan alasan-alasan tersebut, organisasi-organisasi massa NU menyatakan menolak direhabilitasikannya atau didirikannya partai/organisasi massa apapun sebelum adanya perundang-undangan yang mengatur tentang kepartaian, keormasan dan kegolongankaryaan,” dikutip G. Dwipayana dan Nazarudin Sjamsuddin (editor) dalam Jejak Langkah Pak Harto 1 Oktober 1965-27 Maret 1968.

Selain persoalan ideologi, menurut Hadidjojo Nitimihardjo, Murba juga diserang dengan sebutan “pendukung Sukarno paling gigih, kelompok yang lebih Orla (Orde Lama) dari Orla, dan anti-Soeharto.”  

Tentangan itu membentur tembok tebal. Di sisi lain, rehabilitasi Partai Murba menumbuhkan harapan di antara eks pengikut setia partai terlarang Masyumi. Pada akhir tahun 1966, Soeharto secara terbuka ditanya apakah sesudah merehabilitasi Partai Murba, Masyumi dan PSI bisa dihidupkan kembali. Dikutip dari sejarawan Audrey R. Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, Soeharto menjawab: “Masalah Masyumi dan PSI berbeda dari Murba. Anda sendiri tahu perbedaannya.”

Masyumi dan PSI dilarang Presiden Sukarno pada 1960 karena keterlibatan anggota-anggota partai dalam PRRI. Sedangkan Murba dilarang setelah, dengan sokongan militer, menggerakkan Badan Pendukung Sukarnoisme yang juga dibubarkan sebagai upaya menjauhkan Sukarno dari pengaruh PKI.  

Menurut sejarawan Harry A. Poeze, dengan memanfaatkan hubungan baik dengan Angkatan Darat, para pemimpin Murba diizinkan muncul ke panggung politik. Dalam iklim antikomunis yang marak, para pemimpin Partai Murba berhati-hati menjaga agar jangan sampai akar Marxis dan komunis mereka mencuat. “Selama Orde Baru, latar belakang ini ditutup-tutupi,” tulis Poeze dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia.

Sukarni, Ketua Umum Partai Murba, bertemu Letnan Jenderal TNI Soeharto, Ketua Presidium Kabinet Ampera, memperlihatkan Keputusan Presiden Sukarno No. 223 tahun 1966 tentang rehabilitasi Partai Murba. (Repro Ayahku Maroeto Nitimihardjo).

Kedekatan dengan Soeharto

Rehabilitasi Partai Murba tak bisa dilepaskan dari kedekatannya dengan militer. Ini diakui Wasid Suwarto dalam tulisannya untuk mengenang Sukarni: “Partai Murba baru bisa direhabilitasi tahun 1966 dengan bantuan moril dan politik dari pimpinan Angkatan Darat.”

Banyak tokoh Partai Murba menyebut kedekatan Murba dengan Soeharto. Dan kedekatan itu sudah terjalin lama. Pangulu Lubis, misalnya, menyebut semasa revolusi kemerdekaan, Sukarni berhubungan baik dengan Soeharto. Bahkan, Sukarni menggunakan nama samaran Soeharto atau Bung Harto. “Dialah ketua yang ikut mengatur perjuangan rakyat di luar kota Yogyakarta untuk menggempur Belanda, melaksanakan perang gerilya membantu Letkol Soeharto,” kata Pangulu Lubis, anggota Partai Murba, dalam tulisannya untuk mengenang Sukarni.

Alasan lain Soeharto memerlukan dukungan dari Murba. Dan dukungan itu datang tak lama kemudian. Pada 26 Januari dan 6 Februari 1967, Partai Murba mengeluarkan pernyataan yang membenarkan Jenderal Soeharto sebagai pengemban Supersemar mengambil alih kepemimpinan negara dari Presiden Sukarno. Alasannya demi menghilangkan dualisme dan konflik politik.

Dalam Sidang Istimewa Maret 1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara akhirnya mencopot Sukarno sebagai presiden dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden.  

Kendati menyokong Soeharto, Murba tak mendukung Orde Baru secara membabi-buta. Dalam pertemuan dengan Soeharto selaku pejabat presiden pada Juli 1967, Sukarni menyampaikan harapan partainya agar tak ada lagi diskriminasi terhadap parpol-parpol yang sah. Dia memberikan contoh bagaimana karena diskriminasi itu perwakilan untuk Murba di beberapa daerah belum diisi. Sukarni juga menegaskan bahwa Murba tak menginginkan adanya dominasi satu partai atau golongan dalam memenangi pemilihan umum yang akan datang. Terkait kondisi saat itu, kutip buku Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharo dalam Berita, I (1965-1967), “Sukarni menyatakan bahwa partainya bersikap korektif terhadap Kabinet.”  

Sikap Murba itu bahkan sudah ditunjukkan tak lama setelah direhabilitasi. Pada 21 Oktober 1966, melalui konferensi pers, Murba menyatakan menolak masuknya modal asing.  

Penolakan terhadap modal asing memang tak membuat pemerintahan yang baru mengubur kembali Partai Murba. Tapi ada dampak lain yang tak kalah serius yaitu mundurnya Adam Malik.

Kantor Sekretariat DPP Partai Murba di Jalan Tanah Abang II No. 80, Jakarta. (Repro Ayahku Maroeto Nitimihardjo).

Konflik Internal

Keputusan untuk melanjutkan perjalanan partai membuat berang Adam Malik. Dia menginginkan Partai Murba berfusi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) menjadi Partai Sosialis Pancasila. Dia sudah membicarakannya dengan sejumlah pemimpin partai. Dia juga telah mengadakan pembicaraan dengan tokoh-tokoh PSI seperti Djohan Sjahroezah, Soebadio Sastrosatomo, Nurullah, dan Djoeir Moehamad. Program dan struktur organisasinya sudah disiapkan. Partai ini akan dibawanya sebagai pendukung pemerintah. Namun, fusi tidak kunjung terjadi karena tak disetujui pemimpin Murba lainnya.  

“Sukarni menyatakan tidak ada masalah Partai Murba mendukung pemerintah. Namun, nama Partai Murba sebagai simbol pembela Proklamasi dan revolusi Indonesia tetap harus dipertahankan,” tulis Hadidjojo.

Menurut Hadidjojo, pada suatu pertemuan Adam Malik menyerang Partai Murba yang antimodal asing. Sebab, dalam triumvirat bersama Soeharto dan Sultan Hamengkubuwono IX, dia menangani politik luar negeri. Dia juga menyerang organisasi partai dengan menyebut pengkaderan tak berjalan karena tokoh tua masih bercokol.

Perbedaan pendapat itu berujung pada pengunduran diri Adam Malik. Dalam surat pengunduran diri yang ditujukan kepada Sukarni tertanggal 15 April 1967, Adam Malik tak menjelaskan secara gamblang alasannya. Dia menyebut, “Saya minta kepada saudara dan teman-teman seperjuangan lainnya, agar partai jangan lagi hendaknya mempersoalkan segala syarat-syarat yang telah pernah saya ajukan kepada saudara sebagai salah satu titik pangkal dari penyelesaian perbedaan pendapat dalam meneruskan perjuangan Murba dalam bidang politik dan organisasi di dalam masa yang akan datang.”  

Respons dari DPP Partai Murba muncul seminggu kemudian. Selain menerima pengunduran diri Adam Malik, pernyataan DPP Partai Murba tanggal 21 April 1967 yang ditandatangani Sukarni menjelaskan secara gamblang konflik internal itu. Pernyataan itu menyebutkan mundurnya Adam Malik tak ada sangkut pautnya dengan masalah Orla dan Orba tapi lebih pada perbedaan pandangan mengenai cara atau sikap dalam membina partai. “Jadi soalnya lebih banyak berkisar pada persoalan-persoalan internal partai.”

Kendati demikian, DPP Partai Murba menjelaskan sikap Murba terhadap Orde Baru. Antara lain dengan merujuk pernyataan-pernyataan partai sebelumnya. Semuanya merupakan, “bukti-bukti yang terang dan menonjol, betapa Partai Murba sejak setelah direhabilitasi menyumbangkan darma baktinya bagi tegaknya Orde Baru.”

Mengenai penolakan terhadap modal asing, DPP Partai Murba menyebut sikap itu tidaklah disiarkan secara desas-desus tetapi melalui saluran yang terang dan biasa saja, yakni melalui konferensi pers yang diadakan juru bicara partai pada 21 Oktober 1966. Dan sikap itu lumrah dalam iklim demokrasi.  

Penolakan itu juga didasarkan pada Ketetapan MPRS No. XXIII/1966 pasal 7 dan pasal 10 yang antara lain menyebut, dalam demokrasi ekonomi, tak ada tempat bagi “free-fight liberalism”, sistem etatisme, dan monopoli, sedangkan kerjasama dengan luar negeri tidak boleh mengakibatkan ketergantungan terhadap luar negeri.

“Prinsip Partai Murba sama dengan Ketetapan MPRS, sedangkan dalam pelaksanaannya UU Penanaman Modal Asing yang sudah menjadi kenyataan Partai Murba menerima keputusan suara terbanyak dalam forum nasional secara penuh toleransi.”

DPP Partai Murba juga menyinggung soal fungsi dan peranan partai sebagai alat perjuangan. Sementara mengenai peremajaan, DPP Partai Murba menyebut hal itu menjadi program partai dan untuk itulah partai mengusahakan kursus-kursus kader, asistensi pada jabatan-jabatan partai oleh tenaga muda, penumbuhan bibit-bibit (kweekbed) melalui ormas-ormas. Namun, usaha peremajaan harus mematuhi peraturan-peraturan dan ketentuan dalam AD/ART dan Rencana Konstitusi Partai.

Pernyataan DPP Partai Murba ditutup dengan seruan untuk membina persatuan dan kekompakan di antara “semua-sesama potensi Orde Baru”. “Janganlah ada lagi pihak-pihak yang menerus-neruskan, mengulang-ulangi cara-cara di zaman pra-Gestapu/PKI, yang mencari-cari alasan untuk mengkambinghitamkan Partai Murba dengan seribu satu fitnah dan teror politik, dengan tujuan membubarkan Partai Murba. Cara-cara Orla seperti itu bukan saja merugikan Partai Murba tetapi juga akan merugikan pihak-pihak yang menamakan diri Orba yang melancarkan cara-cara Orla.”

Adam Malik kemudian bergabung dengan Golkar, seperti yang sebelumnya dilakukan ormas-ormas Murba. “Partai Murba sudah boleh dikatakan hampir lumpuh,” tulis Hadidjojo.*

Majalah Historia No. 34 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6746736f1cff0cdd9913c6ce