Musim-musim Rina Hassim

Muda meraih beragam penghargaan bergengsi. Tua populer sebagai anggota Golden Girls. Tapi kiprahnya di jagat hiburan tanah air masih belum berlalu.

OLEH:
Randy Wirayudha
.
Musim-musim Rina HassimMusim-musim Rina Hassim
cover caption
Illustrasi: Betaria Sarulina/Historia.ID

SIANG itu, langit di kawasan elite lawas di sebelah barat arena pacuan kuda Pulomas (Jakarta International Equestrian Park Pulomas) teduh. Sesosok perempuan anggun menyapa di muka pagar rumahnya. Dia mengenakan dress motif batik Manado bercorak kuning-cokelat gelap. Senyumnya hangat nan ramah. Kendati usianya sudah menginjak 75 tahun, pesona dan kharismanya belum sepenuhnya hilang.

Seraya mempersilakan tamunya masuk, Rina Hassim meminta asisten rumah tangganya untuk menenangkan anjing-anjing peliharaannya yang sedari tadi menggonggong. “Di sini ada lima (ekor). Dua lagi di atas. Punya cucu-cucu semua, masing-masing satu (ekor),” ujarnya.

Sesekali Rina menghadap cermin besar di belakang sofa. Sekadar mengecek tatanan rambut dan riasan minimalisnya. Berkecimpung di dunia hiburan membuatnya tetap menjaga penampilan. 

“Semasa pandemi masih ada tawaran film maupun FTV dan sinetron. Saya kan sempat sekitar 700 episode di (sinetron) Buku Harian Seorang Istri. Ada juga film horor Ivanna (2022). Setelah itu saya ditawari lagi (FTV) di Indosiar. Syuting tiga hari dan baru selesai kemarin malam,” ujarnya.

Rina Hassim adalah segelintir aktris lintas zaman yang masih mampu mempertahankan kebintangannya. Sejak berkiprah di layer lebar sejak 1960-an, dia setidaknya sudah membintangi lebih dari 120 film. Belum lagi puluhan FTV (film televisi) atau sinetron. Dua Piala Citra dan satu Piala Asia Pacific Film Festival jadi bukti sahih kebintangannya.

Rina mengeluarkan berlembar-lembar foto vintage masa mudanya dari sebuah kardus. Dia berusaha memutar lemari ingatannya tentang masa kecilnya.

“Saya nyari-nyari foto zaman nge-band. Kalau ada mau saya tunjukin,” ujarnya. Tapi dia akhirnya menyerah mengais isi kardus itu.

SIANG itu, langit di kawasan elite lawas di sebelah barat arena pacuan kuda Pulomas (Jakarta International Equestrian Park Pulomas) teduh. Sesosok perempuan anggun menyapa di muka pagar rumahnya. Dia mengenakan dress motif batik Manado bercorak kuning-cokelat gelap. Senyumnya hangat nan ramah. Kendati usianya sudah menginjak 75 tahun, pesona dan kharismanya belum sepenuhnya hilang.

Seraya mempersilakan tamunya masuk, Rina Hassim meminta asisten rumah tangganya untuk menenangkan anjing-anjing peliharaannya yang sedari tadi menggonggong. “Di sini ada lima (ekor). Dua lagi di atas. Punya cucu-cucu semua, masing-masing satu (ekor),” ujarnya.

Rina Hassim saat berkaca untuk melihat riasan di wajahnya. Berkecimpung di dunia hiburan membuatnya tetap menjaga penampilan. ( Historia/Fernando Randy )

Sesekali Rina menghadap cermin besar di belakang sofa. Sekadar mengecek tatanan rambut dan riasan minimalisnya. Berkecimpung di dunia hiburan membuatnya tetap menjaga penampilan. 

“Semasa pandemi masih ada tawaran film maupun FTV dan sinetron. Saya kan sempat sekitar 700 episode di (sinetron) Buku Harian Seorang Istri. Ada juga film horor Ivanna (2022). Setelah itu saya ditawari lagi (FTV) di Indosiar. Syuting tiga hari dan baru selesai kemarin malam,” ujarnya.

Rina Hassim saat mencari beberapa arsip fotonya, baik saat bermain sinetron maupun film layar lebar. (Fernando Randy/Historia.ID)

Rina Hassim adalah segelintir aktris lintas zaman yang masih mampu mempertahankan kebintangannya. Sejak berkiprah di layer lebar sejak 1960-an, dia setidaknya sudah membintangi lebih dari 120 film. Belum lagi puluhan FTV (film televisi) atau sinetron. Dua Piala Citra dan satu Piala Asia Pacific Film Festival jadi bukti sahih kebintangannya.

Rina mengeluarkan berlembar-lembar foto vintage masa mudanya dari sebuah kardus. Dia berusaha memutar lemari ingatannya tentang masa kecilnya.

“Saya nyari-nyari foto zaman nge-band. Kalau ada mau saya tunjukin,” ujarnya. Tapi dia akhirnya menyerah mengais isi kardus itu.

Dari Biro Travel 

Meski dikenal sebagai aktris kondang yang larisnya awet sampai sekarang, Rina tak punya darah seni yang diturunkan dari orangtuanya, apalagi menggeluti drama atau dunia teater sebagaimana para aktor lainnya. Segalanya mengalir begitu saja. Dia tak tahu bakal jadi apa saat merantau ke Jakarta.

Dia lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 29 April 1947 dengan nama Rineke Antoinette Hassim. Rina anak sulung dari 10 bersaudara. 

“Papa saya Bugis (asal) Sengkang. Namanya John Hassim tapi nama Bugisnya, Djoedawi Palussei. Kalau mama saya Manado. Dulu saya hanya tahu ayah saya sempat kerja sama Jepang. Setelah (zaman kemerdekaan) itu dia berdagang. Ibu saya buka terima jahitan tapi itu waktu anak-anaknya masih sedikit. Ketika sudah banyak anak, sudah jadi ibu rumah tangga saja,” kenang Rina.

Kehidupannya terbilang sederhana. Ayahnya, John Hassim, seorang Bugis, bekerja sebagai wiraswasta. Sedangkan ibunya, Anna Paulina Ondang, asli Manado, membuka jasa jahitan di rumahnya. 

Sebagai anak tertua, Rina mesti membantu ibunya untuk mengurus rumah. “Mama mendidik itu tegas. Semua harus bisa, tidak boleh mengandalkan orang walau ada pembantu di rumah. Mama mengajarkan kita mesti bisa memasak, menyuci pakaian, mengepel rumah. Kadang pekerjaan laki-laki harus kita lakukan,” ujarnya.

Di luar rumah, Rina dikenal pemberani dan agak tomboy. Kepribadiannya yang supel membuatnya mudah masuk ke beragam lingkaran pergaulan. 

“Saya sama siapa saja bisa bergaul lho. Saya banyak teman. Kalau zaman sekarang, anak gaul, begitulah. Sampai saya pernah nge-band,” ujarnya. 

Rina Hassim yang saat masih muda terkenal dengan sifatnya yang pemberani dan agak tomboy. Kepribadiannya yang supel membuatnya mudah masuk ke beragam lingkaran pergaulan. ( Dok Rina Hassim. Repro oleh Fernando Randy/Historia.ID )

Waktu itu Rina masih kelas satu sekolah menengah pertama (SMP). Bersama sebelas temannya, semua perempuan, dia ikut membentuk Band Dara Kusuma. Kelompok musik ini lahir karena terinspirasi Anta Kusuma, band satu sekolah yang berisikan siswa laki-laki. Anggota Anta Kusuma pula yang mengajarkan Rina dkk memainkan instrumen-instrumennya. 

“Saya pegang bass betot. Anggotanya 12 orang, perempuan semua,” ujarnya.

Ayahnya mendukung hobinya, bahkan jadi “donatur” untuk pengadaan alat-alat band. Namun, justru sang ibu yang memaksa Rina untuk mengakhiri hobinya di bidang musik.

“Gara-gara main band, saya tinggal kelas di kelas satu,” ujarnya. 

Rina Hassim saat beradegan di salah satu filmnya saat itu. Sejak debutnya di film Orang-Orang Liar, Rina terbilang laris di blantika perfilman nasional. ( Dok Rina Hassim/Repro Oleh Fernando Randy/Historia.ID)

Semasa SMP, Rina juga sering ikut semacam fashion show. “Dulu ada salon ‘Sayonara’, saya disuruh jadi model baju pengantin. Dibilangin sama teman saya, katanya jangan pakai baju pengantin kalau belum kawin, nanti enggak bisa kawin. Tapi ternyata enggak juga tuh. Saya (usia) 23 tahun kawin, hahahaha…,” Rina tertawa renyah.

Sekira 1967, setelah lulus SMA, Rina merantau ke ibukota. Hanya berbekal ajakan seorang tetangga dekat, yang oleh keluarganya sudah dianggap sebagai kawanua alias saudara sendiri. Di Jakarta, Rina tinggal di rumah saudara jauhnya di kawasan Kebayoran dan kemudian Tebet, Jakarta Selatan.

“Ada yang menawarkan kerja di biro travel namanya Djakarta Tour di daerah Blok M (Jakarta Selatan).,” katanya.

Rina cukup senang bekerja di biro travel. Gajinya terbilang cukup untuk remaja seusianya. Tak terasa delapan bulan berlalu.

Suatu ketika, seorang lelaki Palembang datang ke biro travelnya untuk urusan tiket. Namanya Pak Mochtar. Siapa nyana, dia mengajukan tawaran yang mengejutkan: “Mau enggak main film?’” 

Rina kaget dan ragu. Dia tak mengenal Pak Mochtar, yang mengaku sebagai kenalan dekat Teuku Djuned alias Turino Djunaedi, pendiri rumah produksi PT Sarinande Film. Dia tak bisa akting, dan semasa sekolah tak pernah ikut kelompok drama atau teater. Dia juga sangsi orangtuanya di Makassar akan merestui. Rina tak mengiyakan maupun menolak. Tapi dia memberikan alamat rumahnya. Rupanya, Pak Mochtar menyatroni kediaman Rina dan mengulangi tawarannya. 

“Saya waktu itu bingung, film itu kayak apa. Lalu bagaimana saya punya pekerjaan di travel. Saya juga takut sama orangtua. Zaman kita kan orang-orang menganggap buat apa main film?” 

Namun Mochtar tak mengendurkan bujukannya. Dia menawarkan Rina peran pembantu untuk film Orang-Orang Liar yang disutradarai Turino Djunaedi. Naskah skenario diberikan untuk dipelajari dan dihafal. Syuting akan dimulai keesokan harinya. 

Dalam kebimbangan, Rina segera menghubungi atasannya di biro travel, Pak Kosim. Dia izin pulang kampung untuk menengok neneknya yang sakit. “Padahal nenek di kampung dan baik-baik saja.” Keesokan harinya, Rina dijemput untuk syuting film.

Rina Hassim berpose bersama salah satu piala citra yang dia menangkan lewat film Zig-Zag tahun 1991. (Fernando Randy/Historia.ID)

Film Orang-Orang Liar (1969) dibintangi aktor dan aktris kenamaan seperti Ratno Timoer, Farouk Afero, Harun Syarief, dan Nurnaningsih. Turino Djunaidy bertindak selaku produser, penulis, dan sutradara sekaligus. Pengambilan gambar untuk beberapa adegan dilakukan di Blok M, tak jauh dari kantor biro travel tempat Rina bekerja.

“Saat itu saya ada (adegan) dialog sama Farouk Afero di depan restoran. Begitu syuting, tiba-tiba ada orang yang teriak dari becak di seberang jalan, ‘Tante Rina tuh! Tante Rina!’. Aduh, saya sampai duduk bengong, saya cut sendiri adegannya. Ternyata itu istri bos saya,” Rina tepok jidat.

Rina tak bisa mengelak bahwa kebohongannya terbongkar. Tapi syuting film tak bakal selesai dalam sehari. Tak ayal Rina pun bolos tiga hari lamanya. Sampai-sampai Pak Kosim mendatangi kediamannya.

“Dia (Pak Kosim) bertanya kenapa saya sudah tiga hari enggak kerja. Kemudian saya disuruh bikin surat pengunduran diri. Nanti akan dikasih surat pemberhentian dengan hormat supaya nanti suatu waktu mau kerja lagi masih bisa,” ujarnya.

Mengutip majalah Media Vol. 1 tahun 1969 keluaran Ditjen Radio-Televisi-Film Departemen Penerangan, film Orang-Orang Liar dibuat dalam tone dan suntingan sinematografi modern yang diproses laboratorium Eastman Color di Hong Kong. Film ini lumayan sukses. Premiernya juga ditayangkan pada 17 Agustus 1969 di Hong Kong atas permintaan Konsul Jenderal Hong Kong.

Bagi Rina, meski hanya mendapat peran pembentu, film ini jadi titik balik dalam hidupnya. Dengan senang hati, dia merepotkan diri untuk mencari beberapa trofi penghargaan.

“Ini (Piala Citra) yang tahun 1991 ya. Film Zig Zag itu. Kalau ini penghargaan Asia Pasifik untuk film Akibat Kanker Payudara (1987),” ujarnya sembari mengusap-usap piala yang sudah kusam dimakan usia.

Dia juga menikah dengan Christian Pattikawa, seorang sutradara dan produser film. Rina memperlihatkan foto-foto suaminya di masa muda. 


Totalitas di Balik Layar

Sejak debutnya di film Orang-Orang Liar, Rina terbilang laris di blantika perfilman nasional. Nyaris tak ada satu tahun pun absen membintangi film, baik sebagai pemeran utama maupun pemeran pembantu. 

Setelah film pertama, Rina bermain untuk film Bunga-Bunga Berguguran (1970) karya Wim Umboh yang diproduksi PT Aries Film. Pada tahun yang sama, dia membintangi film Si Pitung yang disutradarai Nawi Ismail. 

Rina mendapat peran dalam Si Pitung tanpa sengaja. Ada andil Godfried Sancho, kawan dekatnya sejak sama-sama membintangi film Orang-Orang Liar.

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/637628870646510891e60e6b_RINA-HASSIEM-2-p-500.jpg" alt="img"></div><figcaption>Rina Hassim ( Ketiga dari kiri ) berpose bersama para pemeran lainnya disela-sela syuting saat itu. ( Dok Rina Hassim/Repro Oleh Historia/Fernando Randy )</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/6376288707e8bd03b308385c_RINA-HASSIEM.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/34/Podcast-Rina-Hassim.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Rina Hassim</b><br>( Fernando Randy/Historia.id )</span></div></div></div>

Suatu hari, Rina diantar ke kantor rumah produksi PT Aries Film untuk ambil honor film keduanya. Saat becak yang mereka tumpangi melewati kantor Dewi Films di Jalan Tosari, Godfried mendadak minta berhenti. Godfried turun dan membiarkan Rina menunggu di becak. 

Di dalam kantor Dewi Films, Godfried bertemu dengan Nawi Ismail dan beberapa pemeran Si Pitung seperti Dicky Zulkarnaen, Sandy Suwardi Hassan, dan Hamid Arif. Tak lama, Sandy Suwardi keluar dan mengajak Rina masuk ke kantor Dewi Films. Rina sudah kenal Sandy karena istrinya adalah teman baiknya semasa di Makassar.

“Jadi memang Godfried itu yang bawa nama saya. Saya dipanggil dan diketemukan dengan Om Nawi Ismail,” ujar Rina.

Dalam pertemuan itu, dengan ceplas-ceplos, Rina ditawari main film oleh Nawi Ismail. Tapi dia tak langsung mengiyakan dan hanya berucap, “Enggak tahu, Om. Saya tanya suami dulu.”

Rina Hassim (kiri) bersama dengan Chintami Atmanegara ( ketiga dari kiri ) saat bermain di salah satu film bertema tradisi. Rina terkenal tidak pernah pilih-pilih peran dan jenis film dalam berkarya. ( Dok Rina Hassim/Repro Oleh Fernando Randy/Historia.ID )

Kesokan harinya, Rina dibawa ke lokasi syuting di Serpong untuk tes (casting). “Kita dites, semua, on location. Saya belajar bahasa Betawi juga langsung di lokasi,” kenang Rina.

Rina tak menyangka bakal dapat peran penting. Dia memperoleh kesempatan itu kala salah satu calon pemeran utamanya, Paula Rumokoy, datang terlambat ke lokasi syuting.

“Itu yang bikin (karier) saya naik, di situ saya melihat, oh begini-begini caranya (proses syuting). Di samping bakat alam juga sih kayaknya. Padahal keluarga enggak ada darah seni,” ujarnya.

Di film itu, Rina dijui komitmen dan totalitasnya dalam seni peran. Saat diminta mengenakan kostum yang sangat terbuka, Rina keberatan. Dalihnya, kutip majalah Golden edisi Maret-April 2018, dia tak ingin membuat orangtuanya malu. Alih-alih keberatannya diterima, dia “didamprat” balik oleh Nawi Ismail.

“Kamu engak mau pakaian seperti ini? Ceritanya memang seperti itu. Kenapa lu malu? Anjing saya teteknya 7 enggak malu, masak lu yang teteknya 2 malu?” ketus Nawi.

Rina Hassim saat melihat kembali salah satu piala yang dia raih selama berkarir di dunia perfilman Indonesia. (Fernando Randy/Historia.ID)

Rina akhirnya bersedia. Toh bukan adegan yang berbau pornografi. Dan dia patut bersyukur kala filmnya meledak, tak ada komentar buruk tentang wardrobe yang dipakainya. Keluarganya, yang akhirnya tahu Rina sudah beralih dari karyawan biro travel biasa menjadi aktris, pun tak mencap negatif.

Si Pitung itu film legendaris benar untuk orang Betawi. Makanya sempat dibikin tiga (trilogi), disusul Banteng Betawi (1971) dan Pembalasan SI Pitung (Dji’ih) (1977). Saya perannya jadi Siti yang wardrobe-nya pakai BH yang banyak kancingnya. Saya saat itu kan sudan netein (menyusui) makanya saya seksi banget di Si Pitung itu,” kelakarnya.

Sembari mengurus keluarga, Rina menyibukkan diri di dunia film. Dia mengatur sendiri jadwal syutingnya. Meski terbilang padat, dia tak pernah mau ikut manajemen manapun. Salah satu rahasia langgengnya Rina di perfilman nasional dan kemudian layar kaca pun karena dia tak pernah selektif asalkan bayarannya pas.

Rina Hassim (kanan) saat bermain dalam film trilogi Si Pitung. Film Pitung sendiri adalah film yang sangat kental dengan budaya Betawi. ( Dok Rina Hassim/Repro Oleh Fernando Randy/Historia.ID)

“Saya sudah lupa di zaman itu berapa bayarannya. Sempat ingat film pertama saya (Orang-Orang Liar) bayarannya kira-kira Rp13 ribu atau Rp14 ribu. Ya cuma buat hidup saja, enggak ada ditabung-tabung. Tapi di zaman itu kita sudah senang dapat segitu,” ujarnya.

Selain tak selektif genre, Rina juga tak pilih-pilih peran atau karakter. Dia memainkan hampir semua karakter. Baik sebagai gadis baik-baik, binal, hingga gila. Baginya, setiap karakter punya tantangannya sendiri.

“Untuk saya, bukan sudah puas tapi bersyukur mendapat peran-peran itu,” ujarnya. 

Guna-Guna Istri Muda (1977) itu saya didukunin, ngamuk, manjat-manjat meja. Mau peran apa lagi? Peran pelacur, peran hantu, sudah juga.”

Komitmen dan totalitasnya berbuah manis. Rina dianugerahi Piala Citra sebagai pemeran utama wanita terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 1976 untuk film Semalam di Malaysia (1975), pemeran pendukung wanita terbaik Asia Pacific Film Festival 1986 untuk film Akibat Kanker Payudara (1987), dan Piala Citra kedua untuk pemeran pendukung wanita terbauk di FFI 1991 untuk film Zig Zag (1991).

Dukungan Suami

Rina bersyukur mendapat dukungan dari suaminya, Chris Pattikawa, yang sudah malang-melintang di dunia perfilman dan pertelevisian. Dia diwanti-wanti agar total dalam setiap peran yang dimainkan serta menjaga diri dan sikap agar jauh dari gosip. 

Rina memegang teguh nasihat suaminya. Tak seperti rekan-rekannya sesama artis yang acap kawin-cerai, perkawinannya dengan Chris langgeng tanpa terpaan gosip.

Rina kali pertama bertemu Chris tak lama setelah merampungkan film perdananya, Orang-orang Liar. Saat itu, Rina diundang temannya yang menggelar pesta. Semacam farewell party karena si empunya acara hendak melancong ke luar negeri. 

“Dulu kan saya gaul banget di Jakarta. Jadi ada pesta, teman saya mengundang pestanya di Gedung Bapindo, Gondangdia,” ujarnya.

Ketika melantai, Rina didekati dan diajak berdansa oleh Christian Pattikawa. Dia tak menolak. Sembari berdansa, obrolan pun mengalir. “Orangnya to the point banget. Terus dengan rayuannya, entah apalah, macam-macam. Saya orangnya waktu itu masih agak keras. Saya bilang, ‘Ah! Banyak omong saja!’. Tapi dia ladenin saya terus,” kenangnya.

Potret Rina Hassim dan Alm suaminya Chris Pattikawa. Dia diwanti-wanti agar total dalam setiap peran yang dimainkan serta menjaga diri. (Dok Rina Hassim/Repro Oleh Fernando Randy/Historia.ID)

Pertemuan pertama itu berlanjut. Rina kerap disambangi Chris sepulang dari kantornya di TVRI. Terkadang dibawakan ikan pepes. Perhatian itu membuat Rina luluh. Makin lama mereka makin dekat dan intim.

“Dia sebenarnya romantis sih enggak ya. Untuk seorang Ambon itu bagi saya biasa saja,” ujar Rina. 

“Sampai akhirnya dia lamar saya. Melamarnya juga sekadar: ‘Saya suka sama kamu’. Dia juga enggak melamar ke orangtua saya di Makassar. Makanya kemudian orangtua saya juga kaget-kaget karena tahu-tahu saya sudah kawin sama dia.”

Rina dan Chris menikah pada medio 1970 di GPIB Koinonia Jakarta Timur. Baru sebatas pencatatan sipil, belum pemberkatan. Sejoli itu baru melangsungkan pemberkatan pernikahan mereka satu dekade berselang di Gereja Martin Luther Jakarta ketika sudah punya dua anak: Julia dan Jean Pattikawa.

Potret Rina Hassim dan Alm suaminya Chris Pattikawa saat berlibur ke Amerika Serikat. Hubungannya yang harmonis membuatnya jauh dari gosip dan perceraian. (Dok Rina Hassim/Repro Oleh Fernando Randy/Historia.ID)

“Agar anak-anak kami bisa hadir dan lebih mengerti apa arti baptis,” singkat Chris beralasan, dikutip Tempo, 1 November 1986.

Begitu mendengar pernikahan mereka, keluarga Rina semula keberatan. Tapi restu kemudian diberikan. Selain karena keduanya seiman, Chris dianggap keluarga Rina bisa membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam karier Rina.

Perkawinan Rina dan Chris langgeng selama setengah abad sampai maut memisahkan. Pada 1 Januari 2020, Chris Pattikawa wafat karena akibat penyakit stroke. 

Rina terdiam sejenak. Gemuruh suara geledek yang mengiringi hujan di luar rumah memecah keheningannya. 

<div class="video-content"><video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/34/Rina-Hasyim.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/34/Rina-Hasyim.mp4"></video></div>

“Gadis” Lincah

Di usia senjanya, Rina Hassim masih lincah dan ceplas-ceplos. Seolah tak mau disebut nenak-nenek yang hanya diam dimakan usia. “Kegenitan” bersama sahabat-sahabat seusianya sesama aktris senior, masih membekas. Ya, bersama Connie Sutedja, Nani Wijaya, dan Ida Kusumah, dia dikenal dengan kelompok yang dinamakan Golden Girls pada 1994.

“Sama Connie saya sudah bareng main di film Banteng Betawi. Sama Nani di film juga ketika dia masih cantik. Begitu juga yang lain. Ya kalau sekarang sudah 40 tahunan saling kenal. Walau karena pandemi paling sama Connie teleponan saja pas ulang tahun, Natalan, atau Lebaran,” ujarnya.

Potret Connie Sutedja salah satu anggota Golden Girls yang juga sahabat baik Rina Hassim. (Dok. Connie Sutedja)

Keempat aktris lintas zaman itu pernah satu frame dalam serial Pondokan yang ditayangkan TVRI sejak 1989. Persahabatan mereka makin dekat dan erat kala dipersatukan oleh Sys Ns, seorang aktor dan sutradara, dengan nama Golden Girls. 

Kelahiran Golden Girls juga berkelindan dengan aksi sejumlah aktor dan aktris yang tergabung dalam Gabungan Artis Nusantara (GAN). 

GAN, diketuai Sys NS, lahir seusai kongres XI Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) di Gedung Graha Purna Yudha Jakarta pada 10-12 Mei 1993. Kongres itu sendiri berlangsung ricuh. Sejumlah peserta hengkang dari ruang sidang sebagai bentuk protes atas diterimanya secara aklamasi laporan pertanggungjawaban ketua Parfi Ratno Timoer. Di tengah gelombang protes, Ratno Timoer terpilih kembali sebagai ketua Parfi untuk keempat kalinya. 

GAN muncul sebagai tandingan Parfi. Bahkan lebih popular. Mereka berusaha bangkit dan kreatif di tengah situasi perfilman nasional yang lesu dan produksi terus menurun. Demi menunjang organisasi maupun kantong para seniman anggotanya, GAN membuat beragam kegiatan dan acara, termasuk acara televisi. SCTV 

Rina yang di usia senjanya saat ini banyak menghabiskan waktu dengan mengurus berbagai tanaman di halaman rumahnya. (Fernando Randy/Historia.ID)

Mengutip Pikiran Rakyat, 28 Agustus 1994, GAN juga menelurkan lima program acara hiburan untuk stasiun televisi swasta yang sedang berkembang, SCTV. Salah satu paket programnya adalah sitkom mingguan Opera Sabun Colek (1994), sebanyak 20 episode, dengan ide cerita dari Sys NS dan Franky Rorym Pandey (merangkap sutradara). Sitkom inilah yang melambungkan Golden Girls hingga dikenal luas.

Golden Girls sendiri terinspirasi dari acara sitkom populer di Amerika Serikat berjudul The Golden Girl yang tayang di NBC selama 1985-1992. Di Indonesia, sitcom yang dibintangi para artis lanjut usia ini tayang di RCTI.

“Ya memang Golden Girls itu gara-gara kami sudah berteman lama. Kita protes dan keluar semua dari rapat itu. Dan kemudian lahirlah Golden Girls. Saya yang paling muda dari empat ini. Dan ya kadang saya jadi korban senioritas,” Rina tertawa.

“Yang paling tua kan Ida, lalu Nani, saya, baru Rina. Orangnya suka disuruh-suruh. Kalau baju kita lecek, minta Rina yang setrikain. Di sini berlaku senioritas,” Connie Sutedja pun tertawa dalam wawancara di waktu yang berbeda.

Seingat Connie, Rina sosok paling pemberani di antara keempatnya. “Kayak laki-lakilah. Kalau ke mana-mana juga berani nyetir mobil sendiri.”

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/63762887e6d17650fc087b5e_Gadis-Lincah-p-500.jpg" alt="img"></div><figcaption>Rina Hassim saat ditemui di rumahnya kawasan Pulomas Jakarta Timur. Saat ini Rina bersyukur karena masih bisa terus berkarya di dunia perfilman Indonesia. (Fernando Randy/Historia.ID)</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/6376288707e8bd14a508385b_CONNIE-(Randy-Wirayuda).jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/34/Podcast-Connie-Sutedja.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Connie-Sutedja</b><br>Sahabat baik Rina Hassim. (Fernando Randy/Historia.ID)</span></div></div></div>

Rina memahami segala yang dilakukan ketiga sahabatnya di belakang layar adalah bentuk cinta dan kasih sayangnya. “Sebenarnya saya juga keras, kan saya orang Makassar. Tetapi saya memang mau cari teman. Connie juga agak tegas dan keras orangnya. Kalau Ida orangnya sabar. Nani itu yang manjaan, penginnya diperhatiin,” ujar Rina. 

Golden Girls sudah lama vakum. Tapi mereka tetap merawat persahabatan yang terjalin lama, meski harus merelakan kepergian Ida Kusumah yang wafat tahun 2010. Mereka juga terbilang aktris yang masih laris dalam seni peran.

Rina bersyukur, meski sudah uzur, rezekinya panjang umur. Sepanjang hayat dikandung badan, dia tetap berkiprah di dunia hiburan. Seolah tak kenal musim. “Jadi ya, pekerja seni itulah kehidupan saya,” ujarnya. *

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
636df93e7d1f020125535b1a