Bing Slamet bersama Sam Saimun tampil di Voice of America (VOA). (Dok. Keluarga Bing Slamet).
Aa
Aa
Aa
Aa
“SAYA mau ke Jakarta, Mas. Mau ikut lomba Bintang Radio tingkat nasional,” pinta Sudarwati alias Titiek Puspa ke kakaknya, Sumarno, pertengahan 1954. Khawatir orangtua mereka marah, Sumarno tak mengizinkan adiknya pergi. Titiek tak putus arang dan berkeras meyakinkan mereka.
Hati kakak dan orangtuanya pun lumer. Mereka mengizinkan gadis berusia 17 tahun itu pergi.
Begitu mendapat restu, Titiek berangkat ke Jakarta dari Semarang. Siapa sangka tujuan sebenarnya bertemu Bing Slamet. “Apa salahnya?” Titiek membela diri dalam hati. Dia ingin berguru.
Suara Bing merasuk ke telinganya sejak 1952. “Saya menanti sebagaimana orang-orang. Aku dengar di radio. Terkesan sekali. Suaranya bagus sekali. Dia bisa menggetarkan. Dia mempunyai kedalaman dan aura yang luar biasa,” kata Titiek kepada Historia. Padahal Bing belum merengkuh gelar Bintang Radio.
“SAYA mau ke Jakarta, Mas. Mau ikut lomba Bintang Radio tingkat nasional,” pinta Sudarwati alias Titiek Puspa ke kakaknya, Sumarno, pertengahan 1954. Khawatir orangtua mereka marah, Sumarno tak mengizinkan adiknya pergi. Titiek tak putus arang dan berkeras meyakinkan mereka.
Hati kakak dan orangtuanya pun lumer. Mereka mengizinkan gadis berusia 17 tahun itu pergi.
Begitu mendapat restu, Titiek berangkat ke Jakarta dari Semarang. Siapa sangka tujuan sebenarnya bertemu Bing Slamet. “Apa salahnya?” Titiek membela diri dalam hati. Dia ingin berguru.
Suara Bing merasuk ke telinganya sejak 1952. “Saya menanti sebagaimana orang-orang. Aku dengar di radio. Terkesan sekali. Suaranya bagus sekali. Dia bisa menggetarkan. Dia mempunyai kedalaman dan aura yang luar biasa,” kata Titiek kepada Historia. Padahal Bing belum merengkuh gelar Bintang Radio.
Penghargaan Bintang Radio pada 1955 menjadi penegas: Bing kian punya kelas. “Saat itu dia sudah menemukan ciri khas, baik volume maupun teknik menyanyi, tidak lagi meniru Sam Saimun,” tulis Kompas, 18 Desember 1974. Suaranya justru dianggap mirip Bing Crosby, biduan Amerika Serikat. Fifi Young pun menyematkan nama “Bing” untuknya. Bing senang saja. Apalagi Bing Crosby memang idolanya.
Bing pun menjelma guru dan idola banyak orang. Kris Biantoro, pembawa acara sohor, juga salah satu yang mengidolakannya. Kala itu dia masih remaja. “Di mana-mana, anak-anak muda Jakarta mempercakapkan artis-artis tenar, seperti Bing Slamet,” tulis Krisbiantoro dalam Manisnya Ditolak. Dan karena itu, lanjutnya, “Saya ingin jadi Bintang Radio.”
Tapi bagi Bing gelar Bintang Radio bukan akhir pencapaian. Meski menjadi bintang, Bing tak mabuk kemenangan. Hidup Bing tetap bersahaja. “Sebagai kebanyakan warga kota lainnya, karena kesulitan rumah, keluarga Bing Slamet sudah tiga tahun lamanya harus bersyukur dengan kediaman di daerah yang jika hujan menjadi amat becek,” tulis majalah Merdeka, 1 Juni 1957.
Menurut Lukman Syah, anak Bing Slamet, rumah ayahnya sederhana. “Ada di gang kecil. Rumahnya pendek. Ini rumah kami sebelum di Arimbi,” kata Lukman Syah. Di rumah ini Bing berlatih mencipta lagu dan musik. Antara lain “Ilhamku”.
Dibawakan bersama Nick Mamahit, Abel, Capell, Nico, lagu ini bertutur tentang seseorang yang kehilangan tambatan jiwanya. Vokal Bing begitu syahdu dalam lagu ini, sesuai dengan instrumennya.
Pemerintah pun tak ragu mengutus Bing sebagai duta seni Indonesia. Bersama Titiek Puspa, Sam Saimun, Sjaiful Bachri, dan Iskandar, Bing melanglang ke Malaya pada pertengahan 1960. Mengetahui dirinya bisa serombongan bersama musisi idolanya, Titiek Puspa bangga. “Gila! Saya ada di kelompok Bing Slamet!”
Drs. Sumadi, pemimpin rombongan, mengingatkan: “Meski publik Malaya suka lagu-lagu dan artis Indonesia, jangan sampai kita tampil memalukan di sana. Persiapkan diri kalian sebaik mungkin,” kenang Titiek. Muhibah mereka sukses. Publik Malaya puas dengan penampilan mereka.
Bagi para rombongan, kunjungan itu kian memperkuat posisi mereka. Kiprah mereka tersorot hingga ke negara tetangga lainnya. Monitor, April 1975, menyatakan sejak itu Bing beroleh penggemar dari Kamboja. “Permaisuri Norodom Sihanouk merupakan salah seorang pengagum suara Bing Slamet.”
Eka Sapta dan Lenso
Pulang dari Malaya, Bing mencoba menyanyi lagu-lagu daerah. Ini bukan karena Sukarno melarang musik Barat pada 1960. Beberapa penyanyi pun terpaksa berpaling ke lagu-lagu daerah. Bing sebenarnya tak ambil pusing soal larangan itu. “Bing senang lagu Barat, tapi dia juga punya kasih sayang sama musik Indonesia,” kata Idris Sardi.
Meski bukan berasal dari Sumatra, Bing tak segan menyanyi lagu Minang, seperti “Sansaro”. Idris melihat ini sebagai kepedulian Bing terhadap musik Indonesia. “Waktu itu, sekalipun di becak, kami sering berbicara soal apresiasi masyarakat terhadap musik Indonesia,” kenang Idris.
Menurut Idris, anak muda kala itu memang gandrung musik Barat, semisal yang diusung Everly Brother. “Bukan salah. Tapi apa tak ada yang lebih bagus?” tanya Idris. Bing menjawabnya enteng, “Ya udah, Dris, bikin band. Cari teman-teman, tujuh atau delapan orang. Kita bikin musik yang menyatukan.” Idris sepakat dan mulai mencari orang.
Singkat cerita, Idris dan Bing membentuk band pada 1962. Anggotanya: Ireng Maulana (gitar pengiring), Itje Kumaunang (gitar melodi), Benny Mustafa (drum), Darmono (vibraphone), Kamid (konga), Idris Sardi (bas, biola), dan Bing (bongo, konga, vokal). Orang-orang itu punya latar belakang musik yang beragam dari jazz sampai keroncong. Karena itu, kelompok ini mampu bermain pelbagai langgam musik.
“Sekarang tinggal pemimpinnya. Mas Bing pemimpin, ya?” tanya Idris.
“Gak mau. Idris saja, ya?”
“Gak mau. Ya sudah. Kita semua memimpin. Semua punya tanggung jawab. Band ini namanya Eka Sapta, artinya tujuh yang satu.”
Mereka biasa berlatih di sebuah warung kopi di Sawah Besar. “Tempat itu kita jadikan studio. Pemiliknya Yamin Wijaya. Dia teman Mas Bing, anak juragan kopi,” kata Idris.
Meski tak punya latar belakang musik, Yamin menyukai musik. Dia menyediakan tempat dan peralatan berlatih untuk Eka Sapta. Latihan dimulai sejak pagi dan berakhir sore atau malam. Ini berlangsung selama tiga bulan hingga mereka rekaman di Remaco.
Album pertama mereka Burung Kutjitja, diluncurkan di Bandara Kemayoran. Yamin menyediakan kostum yang dipesan khusus dari Singapura. Alat musiknya pun tergolong mewah. Selain meluncurkan album, mereka membawakan lagu-lagu daerah seperti “Lies” dan “Gambang Suling”. Penampilan mereka impresif.
Bersama Eka Sapta, Bing sempat membuat album unik, Bing dan Giman Bernjanji. Dalam album itu, Bing mampu menirukan suara anak-anak. Bahkan Bing bernyanyi dengan dua jenis suara dalam satu lagu seperti “Bunda Piara” dan “Bing dan Giman Bernjanji”. Publik pun kian terpikat dengan band ini.
Denny Sakrie, pengamat musik, mengatakan, “Eka Sapta adalah band pengiring yang dianggap serba bisa mengiringi penyanyi yang lagi ngetop saat itu.” Sejumlah nama tenar bisa disebut: Suzanna, Vivi Sumanti, dan Rima Melati. Sementara Theodore KS, pengamat musik, berpendapat “semua anggota Eka Sapta termasuk pemusik nomor satu saat itu.” Tak heran banyak penyanyi ingin tampil bersama mereka.
“Perkembangan Eka Sapta ternyata bagus sekali. Sampai Bung Karno memanggil kami ke Istana Bogor,” kata Idris. Sukarno senang dengan gaya bermain dan musik yang diusung Eka Sapta.
Pada 1964, Sukarno kerap mengajak Eka Sapta menyertainya dalam kunjungan kenegaraan. Bing, Idris, Benny, dan Ireng bahkan ditugaskan ke New York selama enam bulan pada tahun yang sama. Mereka mengisi paviliun Indonesia untuk New York World Fair 1964, sebuah pameran kesenian dan bisnis kelas dunia.
Bing sempat kesal di sini. Tiap kali menyanyikan lagu ciptaan orang Amerika, selalu diklaim harus membayar royalti yang cukup mahal. Tapi justru karena itu Bing terpikir tentang pendirian sebuah union (persatuan) para musisi yang sekuat dan seteguh di Amerika.
Kepada pewarta yang menyertainya di sana, sebagaimana dikutip Sinar Harapan, 21 Desember 1974, Bing bilang, “Saya menghendaki sebuah tempat bagi para musisi, apakah ia penyanyi, pemain band maupun orchestra, dan para pencipta lagu. Union ini harus dapat menata kehidupan musik di negeri ini, memupuk artis-artis berbakat, mengukuhkan kepemilikan hak cipta setiap artis.”
Sepulang dari Amerika, tugas mereka tak lantas rampung. Sukarno meminta Bing dan Idris membuat piringan hitam yang bercita rasa khas Indonesia: irama lenso. Terbentuklah grup di luar Eka Sapta untuk mengusung irama dan lagu lenso. Grup ini dipimpin Jack Lesmana, musisi jazz. Bing menyumbangkan suaranya dalam beberapa lagu –kebanyakan lagu daerah– di album ini. Salah satu yang terkenal adalah “Genjer-Genjer”.
Sukarno puas dan memuji grup ini. Dia pun mengirim grup ini ke beberapa negara. Mereka membawakan lagu-lagu perjuangan dengan irama lenso. “Lagu perjuangan seperti ‘Halo-Halo Bandung’ dan ‘Nasakom Bersatu’ terus dikumandangkan untuk lebih mengenalkan perjuangan bangsa,” tulis Kompas, 9 Juli 1965.
Masyarakat mancanegara memuji grup ini. Di Roma, seperti dikutip Kompas, 19 Juli 1965, seorang warga Italia bilang, “Pertunjukan musik Indonesia itu sangat lain daripada yang lain. Ini pertunjukan yang menyenangkan.”
Sepulang dari lawatan, mereka kembali dijamu Presiden Sukarno. “Di sana Mas Bing bernyanyi. Ada Aidit dan Njoto. Di situ saya terakhir melihat mereka. Karena setelah itu, terjadi Gestapu,” kata Idris.
Membantu Seniman
Setelah Gestapu, Bing kembali sibuk dengan Eka Sapta. Untuk mendukung kiprah Eka Sapta, Bing berpikir soal perusahaan rekaman sendiri. Bing mengusulkannya kepada Yamin. Sepakat dengan usul Bing, dia lekas membeli tanah. Lokasinya di Pancoran, Jakarta Selatan.
Bing mengurus perizinan pendirian perusahaan rekaman ke Ali Sadikin, gubernur Jakarta. Ketika selesai dibangun, perusahaan itu diberi nama Metropolitan oleh Ali Sadikin. “Setelah itu para anggota Eka Sapta jalan sendiri-sendiri, tapi bukan bubar,” terang Idris.
Bing lantas sering menyanyi di pertunjukan amal. Jadwalnya padat. Larut malam Bing baru pulang. Tak heran Bing sering bangun pukul sepuluh pagi. Begitu bangun, sudah banyak tamu yang menunggunya di rumah.
“Dapat dibayangkan betapa sibuknya Bing sebagai ‘milik umum’. Dan memang begitulah dia,” tulis Tjaraka, 26 Agustus 1969. Tapi Bing lagi-lagi tak merasa sebagai bintang. Bing menjulurkan tangan bagi siapa saja yang butuh bantuannya.
Benyamin Suaeb, seniman sohor Betawi, sangat terkesan dengan sikap Bing itu. Dia bilang berutang banyak pada Bing. Sebelum terkenal, Ben rela mengejar-ngejar Bing hingga studio Dimita Records di Bandengan Selatan, Jakarta Utara. Ketika itu akhir 1960-an.
Tiba di studio, Ben menyodorkan secarik kertas berisi lirik lagu “Nonton Bioskop”. Hatinya berdebar. Takut kalau-kalau lagunya ditolak. Tapi Bing justru berkata, “Gua tahu lu bisa nyanyi, coba aja nyanyi.” Diyakinkan Bing, keberanian Ben tumbuh. Ben bernyanyi dan kariernya terangkat.
Meski kekuasaan sudah berganti, Bing masih berkesempatan tampil di Istana Bogor. Presiden Soeharto mengundangnya bersama sejumlah musisi seperti Titiek Puspa, Ernie Djohan, Elya Agus, dan Alwi Oslan.
“Kegiatan tersebut adalah dalam rangka membantu pameran Proyek Perikemanusiaan Presiden Soeharto untuk mengumpulkan dana bagi pendidikan anak di Irian Barat. Hasil bersih pertunjukan diserahkan kepada proyek,” tulis Kompas, 3 Januari 1970. Entah hasilnya sampai ke sasaran atau tidak.
Saat Gesang, komponis lagu “Bengawan Solo”, sakit-sakitan pada 1971, Bing merencanakan pertunjukan untuknya. Semua keuntungan diserahkan untuk Gesang. Menurut Sanip, seniman keroncong Betawi yang juga teman dekat Bing, pertunjukan itu direncanakan berbulan-bulan sebelumnya. Meski sebatas pertunjukan amal, Bing tetap serius menggarapnya. Gesang tak pernah diberi tahu rencana itu. Bing hanya mengundangnya ke Jakarta.
“Saya sebagai seorang biduan ingin tetap menjadi seorang biduan yang baik. Untuk itu selalu menjiwai pula lagu-lagu yang akan dibawa hingga penonton atau pendengar mendengarkan suara saya enak dan banyak penggemarnya,” kata Bing kepada Sinar Harapan, 7 Agustus 1971, jelang pertunjukan.
Untuk memperkuat pertunjukan, Bing meminta Broery Marantika dan Emilia Contessa untuk ikut tampil. “Berkat kewibawaan om Bing,” kata Amir Djamal, sahabat Bing, “umumnya artis-artis sedia main untuk om Bing tanpa banyak cingcong.”
Bing menyertakan pula Metropolitan Gambus Orchestra yang mengusung irama gambus India dan Melayu. Bersama Sanip, Bing memimpin orkes ini. Pertunjukan di Taman Ismail Marzuki Jakarta itu berbuah. Bing menyerahkan uang sebesar Rp400 ribu kepada Gesang.
Bagi Bing, Gesang adalah maestro keroncong. Dan Bing sendiri pernah punya niat bikin orkes keroncong asli. “Bukan keroncong modern atau yang dipermodern itu. Itu kan tak asli lagi,” kata Bing kepada Mimbar, 15 November 1971. Bing serius membicarakan ini kepada Benyamin Sueb. Bing ingin melahirkan keroncong Betawi. “Walau saya anak Banten, tapi saya bangga jadi warga Jakarta. Ke-Betawi-an mesti dipertahankan,” lanjut Bing.
Apalagi Bing menganggap tak ada seni yang rendah. “Pemusik tak boleh ngomong, ‘lagu apaan tuh?’” Belum sempat semua terwujud, Bing kelelahan. Stamina tak bisa bohong. Bing hanya sempat merekam (meng-cover) dua lagu berlanggam keroncong : “Kerontjong Moritsku” dan “Kerontjong Kemajoran” (bersama Sanip). Keduanya tersua dalam album Souvenir Pemilu 1971.
Seperti Gesang, Bing mulai sakit-sakitan. “Saya belum sempat membalas kebaikannya,” kata Gesang.*