Abdul Malik membacakan resolusi pembentukan Negara Sumatra Selatan, 16 Agustus 1948. (KITLV).
Aa
Aa
Aa
Aa
ABDUL Malik bukanlah orang terkenal. Dia bukan berasal dari keluarga raden, sekalipun berada di lingkaran anggota-anggota keluarga terkemuka yang punya kaitan dengan Kesultanan Palembang. Dia seorang guru HIS (Hollandsch Inlandsche School) atau sekolah dasar Belanda untuk bumiputra, yang kemudian jadi kepala bagian pendidikan dan kebudayaan Keresidenan Palembang. Namun, ketika Belanda mendorong berdirinya negara federal Sumatra Selatan, namanya tiba-tiba mencuat.
“Recomba membutuhkan orang Palembang semacam dia yang dapat ‘dipakai’ untuk menghadapi tokoh-tokoh Republik di Palembang yang menurut Belanda didominasi ‘elemen asing’,” tulis Mestika Zed dalam Kepialangan Politik dan Revolusi: Palembang 1900–1950.
ABDUL Malik bukanlah orang terkenal. Dia bukan berasal dari keluarga raden, sekalipun berada di lingkaran anggota-anggota keluarga terkemuka yang punya kaitan dengan Kesultanan Palembang. Dia seorang guru HIS (Hollandsch Inlandsche School) atau sekolah dasar Belanda untuk bumiputra, yang kemudian jadi kepala bagian pendidikan dan kebudayaan Keresidenan Palembang. Namun, ketika Belanda mendorong berdirinya negara federal Sumatra Selatan, namanya tiba-tiba mencuat.
“Recomba membutuhkan orang Palembang semacam dia yang dapat ‘dipakai’ untuk menghadapi tokoh-tokoh Republik di Palembang yang menurut Belanda didominasi ‘elemen asing’,” tulis Mestika Zed dalam Kepialangan Politik dan Revolusi: Palembang 1900–1950.
Mulanya, H.J. Wijnmalen, pemimpin Recomba (Regeringscommissaris voor Bestuursaangelegenheden) atau pemerintahan peralihan Belanda, di Sumatra Selatan, bersandar pada kelompok raden, yang sebagian dari mereka kemudian membentuk perkumpulan Angkatan Pemoeda Sriwidjaja (APS) dengan tujuan memperkuat tali persaudaraan.
Meski awalnya diremehkan, Wijnmalen mendorong APS untuk berhimpun di dalam Gerakan Daerah Istimewa Sumatra Selatan (GDISS) yang dibentuk pada Agustus 1947. Namun, para raden ini kurang populer di masyarakat. Akibatnya, pembentukan Negara Sumatra Selatan, yang berlangsung intensif, berjalan lamban.
Pasca Perjanjian Renville, Belanda membentuk Badan Persiapan Negara Sumatra Selatan (BPNSS), bentuk baru dari GDISS, yang kemudian membentuk Dewan Penasihat Sumatra Selatan. Pada April 1948, Dewan dilantik dengan beranggotakan 36 orang: 30 orang Indonesia, sisanya wakil dari etnis-etnis asing. Abdul Malik jadi ketuanya. Dia pula yang berangkat ke Konferensi Federal di Bandung.
Setelah melewati masa persidangan, mendadak pada 14–16 Agustus 1948 Dewan Penasihat menelurkan resolusi pembentukan Negara Sumatra Selatan. Resolusi itu kemudian diajukan kepada pemerintah Belanda; meminta agar Sumatra Selatan mendapat status “negara” dan Dewan diakui sebagai “parlemen sementara teritorial Sumatra Selatan yang dikuasai Belanda.”
Pemerintah Belanda memenuhi kedua tuntutan itu. Abdul Malik diangkat jadi wali negara dengan imbalan gaji f.2.250 per bulan. Upacara pelantikannya berlangsung di Masjid Agung Palembang pada 18 Desember 1948.
Abdul Malik merencanakan Negara Sumatra Selatan meliputi Palembang, Lampung, Jambi, dan Bengkulu. Namun, menurut George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Negara Sumatra Selatan hanya meliputi Keresidenan Palembang, kira-kira seperempat wilayah Sumatra Selatan. Dan dalam praktiknya, meski kepala-kepala departemen di Negara Sumatra Selatan dipegang orang-orang Indonesia, penyelenggarannya orang Belanda dan Indo.
Menurut Alian dalam tesisnya tentang Negara Sumatra Selatan di Universitas Indonesia tahun 2000, perekonomian Negara Sumatra Selatan, yang mengandalkan hasil perkebunan karet, minyak, dan batu bara pada pertengahan 1948 tak terlalu menggembirakan. Kendati Abdul Malik menyatakan harga karet cukup tinggi dan ekspor karet mencapai 1,5 juta ton, minyak 400 ribu ton, dan batu bara 30 ribu ton, pendapatan negara hanya f.15 juta per tahun. Sedangkan belanja negara mencapai f.70 juta per tahun.
Kekuatan Republik juga masih kuat. Pascapenyerahan kedaulatan, gerakan massa rakyat, pemuda, partai politik, dan fraksi pro-Republik dalam DPR Sementara mengajukan mosi pembubaran Negara Sumatra Selatan. Wali Negara Abdul Malik menyerahkan kekuasaannya pada 18 Maret 1950. Negara Sumatra Selatan pun berakhir.*