Monumen Monolith Hitam. Di sinilah hypocenter atau pusat ledakan bom atom di kota Nagasaki pada 9 Agustus 1945.
Aa
Aa
Aa
Aa
DARI kota Beppu, saya bertolak menuju Nagasaki, wilayah barat Pulau Kyushu, Jepang. Setelah tiga kali berganti kereta, menghabiskan setengah jam perjalanan, saya akhirnya menginjakkan kaki di Nagasaki, kota yang terkenal dengan industri perkapalannya. Miniatur beragam kapal menyambut begitu tiba di stasiun JR Nagasaki Station.
“Atomic Bomb wa doko des ka?” tanya saya kepada petugas informasi di stasiun mengenai lokasi jatuhnya bom atom.
Sebetulnya, saya kurang percaya diri dengan bahasa Jepang yang saya pelajari secara kilat hanya dengan membaca kamus kecil di buku pedoman perjalanan ke Jepang. Karena petugas informasi itu tak fasih berbahasa Inggris, jadilah saya yang mengalah. “Kaite kuremasen ka?” pinta saya kepadanya untuk menuliskan bagaimana menuju ke sana.
Setelah mendapat informasi yang saya butuhkan, saya mengucapkan terima kasih dan segera menaiki streetcar menuju pemberhentian Matsuyama-Machi. Dari pemberhentian ini, saya berjalan kaki beberapa ratus meter menuju area jatuhnya bom atom. Nagasaki Atomic Bomb Museum menjadi tujuan pertama saya. Dengan membayar tiket 200 yen, saya pun melenggang masuk.
DARI kota Beppu, saya bertolak menuju Nagasaki, wilayah barat Pulau Kyushu, Jepang. Setelah tiga kali berganti kereta, menghabiskan setengah jam perjalanan, saya akhirnya menginjakkan kaki di Nagasaki, kota yang terkenal dengan industri perkapalannya. Miniatur beragam kapal menyambut begitu tiba di stasiun JR Nagasaki Station.
“Atomic Bomb wa doko des ka?” tanya saya kepada petugas informasi di stasiun mengenai lokasi jatuhnya bom atom.
Sebetulnya, saya kurang percaya diri dengan bahasa Jepang yang saya pelajari secara kilat hanya dengan membaca kamus kecil di buku pedoman perjalanan ke Jepang. Karena petugas informasi itu tak fasih berbahasa Inggris, jadilah saya yang mengalah. “Kaite kuremasen ka?” pinta saya kepadanya untuk menuliskan bagaimana menuju ke sana.
Setelah mendapat informasi yang saya butuhkan, saya mengucapkan terima kasih dan segera menaiki streetcar menuju pemberhentian Matsuyama-Machi. Dari pemberhentian ini, saya berjalan kaki beberapa ratus meter menuju area jatuhnya bom atom. Nagasaki Atomic Bomb Museum menjadi tujuan pertama saya. Dengan membayar tiket 200 yen, saya pun melenggang masuk.
Nagasaki Atomic Bomb Museum, berdiri pada April 1996, menyimpan kepingan kepedihan atas tragedi kematian dan kehancuran massal yang dibekukan di kota ini. Ia memuat sejarah kota dan deritanya dalam sebuah cerita yang mencekam dalam bentuk foto, gambar, dan video. Horor diciptakan agar malapetaka dari senjata bom nuklir takkan pernah terulang.
Tangga spiral dari pintu masuk membawa pengunjung turun menuju dasar museum. Seperti perjalanan menggunakan mesin waktu, saya mendapati diri terlontar pada Jepang di masa Perang Dunia. Lanskap Nagasaki sebelum dijatuhi bom atom mengawali perjalanan sebelum pengunjung dihadapkan pada horor ketika potret awan jamur setinggi 45.000 kaki menghiasi langit kota. Manusia menjadi debu dalam sepersekian detik. Tubuh tercerai-berai. Nagasaki setelah bom atom tampak seperti pesakitan yang tengah sekarat!
Untungnya, setelah berjalan semakin dalam, representasi mengenai kota yang tengah berbenah mulai terlihat. Kengerian mulai tergantikan dengan harapan. Kendati begitu masih ada foto-foto dan informasi mengenai radiasi dan dampak lainnya dari bom atom terhadap mereka yang bertahan hidup. Kita pun disuguhi sejarah pengembangan senjata nuklir dan replika dari senjata pemusnah massal itu. Pada akhirnya, kita diundang untuk berpikir mengenai beragam isu tentang perang dan nuklir.
Untuk melengkapi perjalanan, terdapat Nagasaki National Peace Memorial Hall For The Atomic Bomb Victim, yang terletak di samping museum. Ruangan ini dirancang khusus untuk mengenang dan mendoakan korban-korban yang tewas dalam peristiwa bom atom. Terdapat 12 pilar bercahaya di dalam ruangan, sebagai simbol harapan untuk perdamaian, yang menopang kolam air di atasnya. Saat malam, kolam air itu akan ditemani pijar lampu yang berderet di permukaannya sebagai simbol dari korban. Sungguh menakjubkan, betapa kematian bisa menjadi semiotika yang menawan.
Dari Hall For The Atomic Bomb Victim, saya bergerak ke utara menuju lokasi jatuhnya bom atom.
Pusat Ledakan
Kawasan ini terlihat menyenangkan di pagi hari. Pepohonan rindang meneduhkan pejalan kaki. Bangku-bangku terisi orang-orang yang melepas lelah sehabis berolahraga. Beberapa tugu dan patung melengkapi estetika area ini.
Sebuah tugu batu bebentuk kotak menjulang setinggi lima meter menarik perhatian saya. Warnanya hitam, seakan menyampaikan kabar duka bagi siapapun yang menatapnya. Di depannya, beberapa karangan bunga yang masih segar tergeletak. Ada pula sebaris tulisan kanji yang menjelaskan inilah hypocenter, 500 meter di atas titik ini pada 9 Agustus 1945, tepat pukul 11.02 waktu setempat, malapetaka turun dari langit.
Nagasaki sebenarnya bukanlah target dari serangan bom atom, kendati mendapat hantaman bom-bom kecil. Setelah Enola Gay, pesawat jenis B-29, meluluhlantakkan Hiroshima dengan bom atom berkode “Fatman” pada 6 Agustus 1945, sasaran berikutnya adalah Kokura. Karena Kokura diselimuti awan hari itu, sasaran dialihkan ke Nagasaki. Sejarah mencatat hantaman nuklir dengan massa 105 ton itu membumihanguskan sekira 100 kilometer persegi atau hampir sepertiga wilayah Nagasaki. Lebih dahsyat ketimbang ledakan di Hiroshima, namun korbannya lebih sedikit karena penduduk Nagasaki tidak lebih padat.
Di antara korban yang selamat (hibakusha) adalah Tsutomo Yamaguchi. Dia satu-satunya saksi hidup yang diketahui berada di Hiroshima dan Nagasaki saat terjadi ledakan bom atom. Yamaguchi yang bekerja di industri alat berat Mitsubishi sedang melakukan perjalanan bisnis di Hiroshima saat musim panas selama tiga bulan. Pada 6 Agustus 1945, dia bersiap meninggalkan kota untuk pulang ke Nagasaki bersama dua rekannya. Lalu bom atom meledak yang menulikan telinga kirinya dan membakar sebagian tubuhnya. Sesampainya di Nagasaki, 9 Agustus, Yamaguchi melapor tentang ledakan di Hiroshima kepada atasannya. Dan dia kembali mengalami ledakan bom atom, dengan pusat ledakan berjarak 3 km dari tempat kerjanya. Kendati kali ini tak mengalami luka fisik, Yamaguchi demam tinggi selama satu minggu lebih.
Yamaguchi menuliskan pengalamannya dalam sebuah buku berjudul Ikasareteiru Inochi (2007) dan berpartisipasi dalam film dokumenter Twice Survived: The Doubly Atomic Bombed of Hiroshima and Nagasaki (2006) yang diputar di Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York. Selama sisa hidupnya, Yamaguchi vokal mendukung pelucutan senjata nuklir. Yamaguchi meninggal pada 4 Januari 2010 karena kanker perut di usia 93 tahun. Beberapa tahun sebelumnya, istrinya meninggal karena penyakit ginjal dan kanker hati akibat radiasi beracun dari black rain saat ledakan di Nagasaki. Walau kini dia telah tiada, kisahnya akan selalu dikenang.
Selain membunuh manusia, bom atom juga merusak banyak bangunan penting di Nagasaki. Salah satunya Urakami Cathedral, yang juga dikenal dengan St. Mary’s Cathedral, dibangun sejak 1895 selama 30 tahun. Urakami Cathedral hancur lebur, hanya menyisakan puing-puing yang nelangsa. Pada 1959 katedral ini dibangun kembali di lokasi yang sama, walau dengan perdebatan alot. Tahun 1980, tepat satu tahun sebelum kedatangan Paus, katedral ini dikembalikan menjadi bentuk aslinya. Sebelumnya di bagian depan terdapat reruntuhan dan patung. Namun, atas seizin katedral, puing-puing itu dipindahkan ke dekat Hypocenter.
Saya jadi teringat potret mengenai bom atom di Nagasaki Atomic Bomb Museum. Gambaran horor mengenai kilatan cahaya yang membutakan mata setelah meledak, disusul panas yang mencapai 4.000 derajat celcius, gelombang yang menyapu dengan kecepatan luar biasa, dan radiasi beserta hujan hitam yang membawa sengsara kembali terbayang. Membuat bulu kuduk menjadi berdiri. Saya pun bergegas mencari damai di tempat lain.
Taman Perdamaian
Siang itu, Nagasaki Peace Park, yang lokasinya tak jauh dari Hypocenter, dibanjiri turis lokal, dari anak-anak sekolah hingga orang tua. Terik matahari begitu menyayat. Namun, keberadaan Fountain of Peace, sebuah kolam, memberikan nuansa kesegaran dengan semburan airnya yang membentuk sayap. Rasanya seperti melihat fatamorgana. Fountain of Peace, dibangun Agustus 1969, didedikasikan untuk ribuan korban yang menderita luka bakar atau tewas memohon air. Ia seolah mengajak kita untuk bersama berjuang menjaga perdamaian dunia.
Setelah melewati Fountain of Peace, kita akan melalui reruntuhan penjara Nagasaki. Sisa tembok-tembok itu kini telah diselimuti rumput hijau dan dipagari dengan kawat pembatas. Di sesela itu, terdapat Nagasaki Peace Bell yang akan dibunyikan setiap tanggal 9 Agustus tepat pukul 11.02 untuk mengenang tragedi bom atom.
Di ujung taman, kita bisa melihat The Peace of Statue, sebuah patung perunggu setinggi sepuluh meter yang dirancang pematung Seibo Kitamura. Patung ini dibangun pada Agustus 1955 saat peringatan sepuluh tahun tragedi bom atom di Nagasaki. Tangan kanan yang menunjuk ke atas menandakan ancaman dari senjata nuklir, sedang tangan kiri membentang horizontal menyimbolkan kesetaraan dan perdamaian dunia. Perwujudan cinta tampak dalam wajah patung yang terkesan lembut. Matanya tertutup sebagai doa untuk jiwa para korban perang yang telah pergi. Kaki kanan yang terlipat menyimbolkan ketenangan meditasi, sedang kaki kirinya bersiap membantu kemanusiaan.
Saya jadi teringat patung lain di dekat pusat ledakan yang memiliki semiotika kuat dengan perdamaian. Seorang perempuan cantik berambut panjang, mengenakan rok bertaburan bunga mawar, tengah menggendong bayinya. Patung ini dibuat Naoki Tominaga, pematung kelahiran Nagasaki, untuk menyampaikan pesan perdamaian dan masa depan yang lebih baik. Bayi yang sedang digendong merepresentasikan Jepang saat tragedi bom atom, sedang ibu melambangkan dukungan dan bantuan dari berbagai negara yang membantu mewujudkan perdamaian seperti kehangatan kasih ibu. Di tugu penyangganya terdapat plakat bertuliskan: 1945-8-9 11:02.
Senada dengan simbol-simbol perdamaian di Nagasaki, berbagai origami berbentuk bangau dengan mudah kita temui di sana. Legenda kuno Jepang menjanjikan, barang siapa yang membuat senbazuru (ribuan origami bangau) akan dikabulkan keinginannya dan diberikan keberuntungan yang kekal. Itulah mengapa ribuan origami bangau dibuat; satu origami bangau untuk keberuntungan selama satu tahun dan ribuan agar keberuntungan menjadi abadi.
Senbazuru mulai terkenal melalui cerita Sadako Sasaki, gadis Jepang berusia 12 tahun yang terkena radiasi bom atom. Dia menderita leukemia dan akhirnya menjalani perawatan di rumah. Gadis kecil itu kemudian mulai membuat origami bangau dengan target seribu burung sesuai legenda senbazuru. Sayangnya, dia hanya berhasil membuat 644 burung sebelum akhirnya melemah dan tak bisa melipat lagi. Dia mengembuskan napas terakhirnya pada 25 Oktober 1955. Sebagai penghormatan, teman-teman sekelasnya melanjutkan proyeknya. Dan terkenallah cerita ini. Kini, senbazuru disandingkan dengan simbol-simbol perdamaian.
Menolak Lupa
Saya diingatkan betapa waktu nyaris bisa mengubah segalanya. Gambaran kota yang pernah hancur menghilang dalam hitungan tahun dapat berubah dan melanjutkan denyut kehidupannya lagi –walau tentu bukan perkara mudah. Nagasaki melanjutkan pengembangan sebagai kota industri, produk kelautan, dan turisme internasional. Kondisi sekarat yang pernah dialaminya membuat kota ini lebih menghargai kehidupan, terlebih perdamaian. Maka, simbol dan situs perdamaian dunia bertebaran di penjuru kota agar tragedi bom atom tak terulang lagi.
Jika ada yang tidak bisa dihapus oleh waktu, mungkin itu adalah bekas luka. Bekas luka itu dibawa oleh mereka yang berhasil bertahan hidup. Terdiam dalam bekas-bekas reruntuhan. Terukir dalam beragam cerita. Kita dibuat berkaca betapa mahal harga sebuah perdamaian. Maka, tak heran setelah perang, gerakan antibom atom merebak, juga pelarangan kepemilikan senjata nuklir.
Di ujung perjalanan singkat di Nagasaki, saya berdoa sebagai penghormatan untuk para korban. Setelah itu, saya bergegas pergi menuju stasiun kereta, dan dalam hati berjanji untuk menolak lupa akan tragedi yang pernah ada di tanah ini.*