Kantor redaksi majalah Penjebar Semangat. (Fajar Riadi/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
SEPUCUK surat tiba di kantor redaksi Panjebar Semangat di Jalan Bubutan 87 Surabaya. Pengirimnya pensiunan pegawai negeri di Surakarta, Jawa Tengah. Dalam suratnya, ia menulis mohon pamit. Ia hendak undur diri sebagai pembaca. Musababnya, di usia 83 tahun, penglihatannya rabun. Ia ingin melanjutkan berlangganan namun tak ada anggota keluarganya yang mau membaca majalah ini.
Si pengirim surat, seperti banyak pelanggan seusianya, menjadi pembaca setia selama puluhan tahun. Namun satu per satu dari mereka dimakan usia. Banyak pula yang meninggal dunia. Jumlah pelanggan Panjebar Semangat pun merosot dari tahun ke tahun, sementara pertumbuhan pembaca muda tak menggembirakan. Majalah ini hidup segan mati tak mau.
SEPUCUK surat tiba di kantor redaksi Panjebar Semangat di Jalan Bubutan 87 Surabaya. Pengirimnya pensiunan pegawai negeri di Surakarta, Jawa Tengah. Dalam suratnya, ia menulis mohon pamit. Ia hendak undur diri sebagai pembaca. Musababnya, di usia 83 tahun, penglihatannya rabun. Ia ingin melanjutkan berlangganan namun tak ada anggota keluarganya yang mau membaca majalah ini.
Si pengirim surat, seperti banyak pelanggan seusianya, menjadi pembaca setia selama puluhan tahun. Namun satu per satu dari mereka dimakan usia. Banyak pula yang meninggal dunia. Jumlah pelanggan Panjebar Semangat pun merosot dari tahun ke tahun, sementara pertumbuhan pembaca muda tak menggembirakan. Majalah ini hidup segan mati tak mau.
Rudi, seorang konsultan psikologi di kota Malang, punya pengalaman serupa. Ia meneruskan langganan majalah ini dari ayahnya. Di rumahnya, ia membaca majalah itu bersama istrinya. Ia ingin anak-anaknya ikut membaca agar pandai bahasa Jawa. Hasilnya nihil. “Kalaupun pintar bahasa Jawa, apa gunanya?” ujarnya menirukan kata-kata anaknya.
Namun keyakinan masih membekas pada diri Moechtar, pemimpin redaksi yang baru saja undur diri Februari 2012 setelah mengabdi 31 tahun. Bahkan ketika George Quinn, seorang peneliti budaya dan sastra Jawa dari Australia National University, bertanya padanya apakah Panjebar Semangat akan ikut mati bersama matinya pembaca generasi tuanya, Moechtar menjawab: “Saya tetap optimis. Setidaknya suatu hari nanti generasi muda akan mencari jati dirinya dan beberapa menemukannya di Panjebar Semangat.”
Moechtar boleh optimis, tapi kenyataan berkata lain. Upaya redaksi menarik pembaca muda dengan menyediakan rubrik Gelanggang Remaja terbukti gagal. Sampai-sampai muncul anekdot singkatan PS untuk Panjebar Semangat lebih cocok diganti “Priayi Sepuh” alias khusus untuk orang tua.
Tak adanya regenerasi pembaca menjadi masalah serius yang mengancam eksistensi majalah ini. Kini, sebagian besar majalah dicetak untuk pelanggan setia. “Mungkin sampai 95 persen,” ujar Kukuh Setyo Wibowo, berusia 36 tahun, wartawan termuda.
Pesan Soetomo
Panjebar Semangat bukanlah media berbahasa Jawa pertama. Pelopornya adalah Bromartani, surat kabar yang terbit di Solo pada 1855 dan dicetak dengan huruf Jawa (hanacaraka). Setelah itu muncul yang lainnya, dari Jurumartani hingga Rudjak Polo.
Panjebar Semangat terbit kali pertama pada Sabtu, 2 September 1933. Soetomo, seorang dokter sekaligus pendiri dan penggerak utama organisasi Boedi Oetomo, menjadi pencetusnya. Dalam editorialnya berjudul “Toedjoean lan kekarepan” (Tujuan dan Harapan), Soetomo menjelaskan bahwa bahasa Indonesia masih jarang digunakan dalam pergaulan sehari-hari maupun rapat-rapat. Apalagi di kalangan kaum krama, masyarakat kebanyakan, di desa-desa. Karena itulah pilihan jatuh pada bahasa Jawa ngoko.
“Apakah bangsa kita yang beribu-ribu jumlahnya itu tak perlu diberi penerang? Apa bangsa kita yang masih belum bisa berbahasa Indonesia itu tak perlu dididik agar mau berkecimpung di lingkungan pergerakan kita?” tulis Soetomo.
Soetomo juga membantah anggapan penggunaan bahasa Jawa akan memisahkan pengguna bahasa lainnya. “Sangat keliru bila orang punya pendapat kita mempunyai tujuan yang provincialistich,” katanya.
Soetomo menjabat direktur. Hingga akhir, Soetomo tetap mengasuh Panjebar Semangat. Namun penggerak utama majalah adalah seorang redaktur bernama Imam Soepardi, kelahiran Lumajang 10 Mei 1904. Mulanya ia bekerja sebagai guru bantu pada Noormal School Probolinggo merangkap guru sekolah dasar di Puger, Jember. Di sela kesibukannya, Imam menulis artikel untuk Bintang Timoer di Jakarta dan Soeara Oemoem di Surabaya. Karena kemampuannya, ia mendapat tawaran untuk mengelola Panjebar Semangat.
Pada tahun pertamanya, Panjebar Semangat hanya punya 37 pelanggan. Peningkatannya berjalan lamban. Tahun 1936, ketika Soetomo hendak pergi ke luar negeri (di antaranya ke Jepang, India, Mesir, Inggris, Belanda, Turki, Palestina, dan Semenanjung Malaka) untuk studi banding dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, ia berpesan agar sepulangnya ke tanah air pelanggan harus mencapai 4.000 orang. Nyatanya jumlahnya terlampaui hingga dua kali lipatnya. Panjebar Semangat sempat tercatat sebagai media beroplah tertinggi pada 1942.
Pendudukan Jepang menghentikan semuanya karena adanya larangan menerbitkan surat kabar. Setelah situasi memungkinkan, pada 1949 Imam Soepardi kembali menghidupkan Panjebar Semangat bersama adiknya, Mohammad Ali.
Perkembangannya lumayan menggembirakan. Bahkan pada 1950-an majalah ini mengembangkan usaha dengan menerbitkan risalah-risalah Watjan Rakjat. Tujuannya meneruskan cita-cita Soetomo pada 1933 untuk memberikan bacaan untuk rakyat. Mereka antara lain menerbitkan Bung Karno: Saka Suka Miskin Ngganti Istana Merdeka, Sri Sultan Hamengkubuwono, Wahidin Sudiro Husodo, dan Ibu Kita Kartini.
Semua majalah yang membantu perjuangan nasional besar jasanya. Kudoakan, semoga Penjebar Semangat lestari membantu perjuangan kita.
Presiden Sukarno punya perhatian tersendiri terhadap majalah ini. Pada ulang tahun Panjebar Semangat ke-20 pada 1953, presiden menyampaikan sebuah memo dalam bahasa Jawa. Isinya: “Semua majalah yang membantu perjuangan nasional besar jasanya. Kudoakan, semoga Penjebar Semangat lestari membantu perjuangan kita.”
Di tangan Imam Soepardi pula oplah majalah menembus 85.000 eksemplar pada 1962. Angka itu hanya bisa dikalahkan Star Weekly milik grup Kompas. Namun seiring meninggalnya Imam Soepardi dan ketidakstabilan situasi politik, oplahnya turun tajam menjadi 18.000 pada 1964.
Mohammad Ali, yang mengambil alih kendali, berusaha melakukan pembenahan dengan membeli mesin cetak. Oplahnya kembali membaik. Setelah Mohammad Ali mundur tahun 1986, posisinya digantikan putra tunggalnya, Soedjatmiko. Namun kepemimpinan Soedjatmiko tak bertahan lama. Ia meninggal dunia karena kecelakaan. Sejak itu hingga kini, pemimpin umum dipegang putra tunggal Soedjatmiko, Kustono Jatmiko.
Panjebar Semangat tak hidup sendirian. Setidaknya ada dua majalah berbahasa Jawa lainnya yang masih langgeng: Joyo Boyo di Kediri dan Djoko Lodang di Yogyakarta. Ketiganya memiliki pembaca setia dengan sebaran distribusi berbeda: Joyo Boyo di Jawa Timur bagian selatan, Djoko Lodang di Yogyakarta, sementara Panjebar Semangat di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat. Panjebar Semangat bahkan memiliki pembaca di Belanda, Suriname, Australia, dan Kaledonia Baru sekalipun jumlahnya sedikit.
Dapur Redaksi
Ketika Moechtar mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi pada 22 Februari 2012, usianya tepat 87 tahun. Mungkin ia orang tertua yang pernah menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah di Indonesia. Pengalamannya menjadikannya panutan oleh rekan-rekannya di redaksi yang usianya jauh lebih muda.
Moechtar malang melintang di dunia jurnalistik sejak usia muda. Pada 1950, ia menjadi wartawan Express, Harian Oemoem, Repelita, dan Bhirawa. Ia juga pernah menjadi dosen di Akademi Wartawan Surabaya (sekarang Stikosa) selama 1972–1989. Tawaran untuk bergabung dengan Panjebar Semangat datang pada 1981. “Kebetulan saya memang suka mempelajari bahasa Jawa. Jadi ketika ada tawaran masuk ke Panjebar Semangat, saya senang,” ujar Moechtar.
Moechtar punya kemampuan mumpuni dalam bahasa dan sastra Jawa. Ia juga menguasai bahasa Inggris, Jerman, Prancis, dan Belanda. Ditunjang keterampilan jurnalistiknya, tak heran jika kariernya melesat. Pada 2000, ia menjabat pemimpin redaksi dengan membawa misi “memetri basa Jawa” (melestarikan bahasa Jawa). Ia pun menjadi satu-satunya orang di luar keluarga besar Imam Soepardi yang menempati posisi kunci di Panjebar Semangat.
Moechtar harus mengelola majalah dengan segala keterbatasan. Redaksinya hanya enam orang. Menambah wartawan baru bukan perkara gampang. Ada yang pandai berbahasa Jawa, misalnya pensiunan guru bahasa Jawa, namun tak punya kemampuan jurnalistik. “Kalaupun ada yang pandai menulis, pandai basa Jawa, apa ya mau jadi wartawan? Wong gajinya juga tidak banyak,” tuturnya.
Moechtar kerap mengkritik stafnya yang muda-muda. Menurutnya, mereka kurang mau mendalami bahasa Jawa. Akibatnya kemampuan eksplorasi tema jadi terbatas. “Pernah ketika saya sakit, saya minta wartawan lain menulis tajuk, ia ndak mau. Takut salah katanya,” ceritanya.
Selama ini Panjebar Semangat mengandalkan isinya dari kiriman masyarakat. Redaksi tinggal mengeditnya. “Hampir setiap hari ada kiriman naskah. Per minggu kurang lebih 15 kiriman baik Cerbung, Cerkak, Alaming Lelembut, Layang Saka Warga,” ujar Kukuh menyebut beberapa rubrik Panjebar Semangat.
Redaksi hanya mempersiapkan naskah rubrik Sariwarta. Namun itu pun sering kali mengambil berita dari media lain yang kemudian dialihbahasakan. “Hanya kalau ada momen-momen penting dan menarik, ada peliputan sendiri,” kata Kukuh.
Tantangan lainnya, Panjebar Semangat hampir tak memasang iklan di halamannya. Kalaupun ada, hanya sesekali, itu pun kecil pemasukannya. Mereka bukannya tak mau mencari. Berkali-kali menawarkan ke perusahaan atau instansi namun ditolak. “Tak ada yang mau taruh iklan. Katanya, majalahnya bahasa Jawa, siapa mau baca?” ujar Kukuh.
Akibatnya nyaris pendapatan berasal dari langganan dan penjualan majalah. Segmen pembaca yang kebanyakan berusia tua, pensiunan pegawai, dan tinggal di desa-desa jadi pertimbangan utama untuk tak menaikkan harga jual dan langganan. Ada kekhawatiran jika harga dinaikkan, jumlah pelanggan menyusut.
Grup Jawa Pos, perusahaan media terbesar di Jawa Timur, pernah berniat mengakuisisi Panjebar Semangat. Mengingat kemampuan pendanaannya, tawaran itu tentu menggiurkan. Namun niat Jawa Pos ditolak. Keluarga besar Imam Soepardi sebagai pemilik perusahaan tak rela menyerahkan wewenang untuk mengatur kebijakan, manajemen maupun isi majalah. Di tengah-tengah merosotnya minat masyarakat untuk membaca majalah berbahasa Jawa, sikap itu tak berubah.
“Selama pengeluaran tak melebihi pendapatan, kita akan berjalan seperti biasa. Majalah ini tetap akan kami kelola sendiri,” ujar Arkandi Sari, pemimpin redaksi yang baru sekaligus pemimpin perusahaan, yang tak lain istri Kustono Jatmiko. Seberapa lama Sang Kalawarti masih bisa bernapas?
Mengasong Sastra Jawa
Sebagian menjadi legenda. Sebut saja Any Asmara, Esmiet, Widi Widayat, dan Satim Kadaryono. Bahkan Imam Soepardi adalah penulis novel Kintamani yang pernah tersohor di kalangan pembaca sastra berbahasa Jawa.
Suparto Brata, 80 tahun, masih ingat ketika tahun 1958 ia mengirimkan naskah cerita “Lara Lapane Kaum Republik” ke sayembara menulis cerbung di Panjebar Semangat. Tak disangka, ia menang. Mulailah ia rutin menulis cerita sastra Jawa.
Karya-karya Suparto umumnya cerita detektif. Terlihat dari beberapa karyanya. Sebut saja novel Tanpa Tlatjak atau Garuda Putih. “Pernah ada yang bilang, tulisan saya jadi genre baru dalam sastra Jawa modern. Soalnya waktu itu cerita detektif itu tidak umum,” ujarnya.
Karena dedikasinya dalam sastra Jawa, namanya tercatat dalam Five Thousand Personalities of the World Sixth Edition, 1988, terbitan The American Biographical Institute. Ia juga menerima Sea Write Award dari Ratu Sirikit di Thailand selain tiga kali meraih Hadiah Sastra Rancage, penghargaan untuk orang-orang yang dianggap berjasa dalam pengembangan bahasa dan sastra daerah.
Seperti halnya Suparto, Nyai Karmiasih Soemardi Sastro Oetomo, 81 tahun, yang oleh pembaca setia lebih dikenal dengan nama pena Mbah Brintik, juga menghasilkan ratusan cerita. Sebagian besar diterbitkan Panjebar Semangat dan bertema roman percintaan. “Saya seperti keluarga saja kalau sama Panjebar Semangat. Saking banyaknya (cerita) yang dimuat,” ujarnya.
Suparto dan Mbah Brintik sepakat sastra Jawa kini mengalami masa-masa sulit. Jumlah penutur bahasa Jawa bejibun namun buku sastra Jawa tak laku di pasaran. “Jadi saya simpulkan, sastra Jawa itu sastra majalah,” kata Suparto, “tak laku dibaca kalau tak dititipkan di majalah.”
Mbah Brintik sependapat dengan koleganya. “Benar juga kalau dibilang sastra majalah. Tapi rasa-rasanya sudah jadi sastra asongan. Soalnya tawarkan ke sana ke mari ndak laku-laku.”
Keduanya masih terus menulis. Suparto bahkan ngeblog di situs web supartobrata.com. Meski sudah berusia senja, keduanya bilang inspirasi menulis masih deras mengalir. Tak takut buku-bukunya tak laku? “Tak apa-apa tak laku. Yang penting saya sudah bikin warisan,” ujar Mbah Brintik.
Yang melegakan, kini muncul penulis-penulis muda. Salah satunya Bambang Purmianto, seorang guru muda di Wonogiri yang kerap mengirim cerita pendek ke Panjebar Semangat. Bambang bercerita sejak kecil sudah membaca majalah ini karena ayahnya, seorang dalang wayang kulit, berlangganan.
Cerita-cerita yang ditulis Bambang dipengaruhi lingkungan keluarganya. Sebagai seorang dalang, ayahnya memperkenalkan wayang sejak ia kecil. “Memang dari wayang pula saya banyak dapat inspirasi menulis,” ujarnya.
Lulus dari Universitas Veteran Bangun Nusantara pada 2002, Bambang menjadi guru SMP PGRI Ngadirojo, Wonogiri. Ia mengajar mata pelajaran bahasa Jawa. Ketika mengajar, ia sering mengenalkan Panjebar Semangat kepada murid-muridnya. “Kadang murid-murid saya beri tugas bikin kliping artikel berbahasa Jawa. Saya kasih referensinya, ya ambil ke Panjebar Semangat,” ujarnya.*