Nasib Helicak Tak Lagi Rancak

Helicak digadang-gadang sebagai moda transportasi manusiawi untuk menggantikan becak. Namun kemudian kalah bersaing melawan moda transportasi yang lebih baru seperti bajaj.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Nasib Helicak Tak Lagi Rancak Nasib Helicak Tak Lagi Rancak
cover caption
Pangkalan helicak di kawasan perumahan Jakarta. (scooterotica.org).

ARENA Promosi dan Hiburan Djakarta (APHD) ramai siang itu. Puluhan orang berkerumun di satu titik. Hampir semuanya serius. Mereka menunggu giliran untuk tes calon pengemudi moda transportasi baru: helicak. 

Pemda DKI Jakarta baru saja mendatangkan helicak. APHD tahun 1971, kegiatan promosi dagang tahunan yang dihelat Pemda DKI Jakarta, menjadi ajang mempromosikan helicak sekaligus menggelar tes calon pengemudi helicak. Untuk mengikuti tes ini, syaratnya mudah, minimal berpendidikan SD, dengan prioritas pengemudi tamatan SMA dan STM. 

Dua puluh empat peserta mengikuti tes gelombang pertama yang berlangsung pada 22 Maret 1971. Setiap peserta harus bisa mengendarai helicak sesuai yang dipersyaratkan panitia. “Para calon diperhatikan kesigapannya memainkan rem, kopling, gas. Agaknya ini tak terlampau mudah,” tulis Kompas, 24 Maret 1971. Bukan hanya lantaran helicak merupakan moda transportasi baru. Bentuknya pun unik. Bagian depannya yang diperuntukkan bagi penumpang bak helikopter, sementara pengemudi duduk di belakang laiknya tukang becak. 

ARENA Promosi dan Hiburan Djakarta (APHD) ramai siang itu. Puluhan orang berkerumun di satu titik. Hampir semuanya serius. Mereka menunggu giliran untuk tes calon pengemudi moda transportasi baru: helicak. 

Pemda DKI Jakarta baru saja mendatangkan helicak. APHD tahun 1971, kegiatan promosi dagang tahunan yang dihelat Pemda DKI Jakarta, menjadi ajang mempromosikan helicak sekaligus menggelar tes calon pengemudi helicak. Untuk mengikuti tes ini, syaratnya mudah, minimal berpendidikan SD, dengan prioritas pengemudi tamatan SMA dan STM. 

Dua puluh empat peserta mengikuti tes gelombang pertama yang berlangsung pada 22 Maret 1971. Setiap peserta harus bisa mengendarai helicak sesuai yang dipersyaratkan panitia. “Para calon diperhatikan kesigapannya memainkan rem, kopling, gas. Agaknya ini tak terlampau mudah,” tulis Kompas, 24 Maret 1971. Bukan hanya lantaran helicak merupakan moda transportasi baru. Bentuknya pun unik. Bagian depannya yang diperuntukkan bagi penumpang bak helikopter, sementara pengemudi duduk di belakang laiknya tukang becak. 

Dari 24 peserta, hanya 14 orang yang lolos dan berhak mengikuti tes lanjutan untuk mendapatkan rebewiys (surat izin mengemudi) C umum. “Si pengemudi harus mengikuti pendidikan lamanya satu bulan,” tulis Paul L. Tobing dalam “Helitjak”, dimuat Kompas, 21 Juni 1971. Mereka mendapat bekal pengetahuan umum dan seluk-beluk mesin yang bermanfaat jika helicak mogok atau rusak. 

Tes itu merupakan bagian dari keseriusan Pemda DKI Jakarta menggarap moda transportasi anyar tersebut, yang resmi diluncurkan pada 24 Maret 1971. 

Pabrik perakitan helicak. (scooterotica.org).

Lebih Manusiawi 

Ketika mendapat kepercayaan dari Presiden Sukarno untuk memimpin ibukota Jakarta pada 1966, Ali Sadikin menghadapi banyak masalah pelik. Salah satunya buruknya sistem transportasi di Jakarta. Transportasi massal seperti bus kurang memadai, dari segi fisik maupun daya tampung. Angkutan umum yang lebih kecil (paratransit) masih didominasi becak. 

Untuk mengatasinya, selain mendatangkan bus-bus baru, Pemda DKI Jakarta memutuskan mendatangkan helicak untuk menggantikan becak, moda transportasi yang dianggap tak manusiawi. Selain itu jumlah bemo mulai menyusut karena usia tua sementara tak ada penambahan armada baru. 

“Sektor paratransit Asia Tenggara telah menjadi sumber penting mobilitas di banyak kota. Keuntungan kendaraan paratransit mampu bermanuver ke daerah-daerah yang tak mampu dijangkau bus standar,” tulis Robert Cervero dalam “Paratransit in Southeast Asia: A Market Response to Poor Roads?”, dimuat Review of Urban and Regional Development Studies, Vol. 3, tahun 1991, yang diterbitkan University of California Transportation Center. 

Secara bertahap Pemda DKI Jakarta membatasi wilayah operasioanl becak dengan memberlakukan Kawasan Bebas Becak (KBB) atau Zona Bebas Becak (ZBB). Ali sadar kebijakannya bakal menuai kritik. Dan itu terbukti. “Kegaduhan terjadi ketika kami mengatur soal becak, waktu Pemda DKI Jakarta menetapkan ‘zona bebas becak’,” kenang Ali dalam biografi Ali Sadikin, Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi yang ditulis Ramadhan KH. 

Di setiap KBB, helicak mengambil peran becak sebagai moda transportasi umum Golongan IV (kendaraan umum berpenumpang 2–6 orang). Bersamaan dengan itu, Pemda DKI Jakarta bikin Pekan Pendidikan Lalu Lintas bagi kalangan umum dan pendidikan khusus bagi para calon pengemudi helicak. Diharapkan para tukang becak mau beralih jadi pengemudi helicak. Ini jelas bukan pekerjaan mudah. Alan K. Meier dalam “Intermediate Transport in South East Asian Cities”, dimuat I.T.D.G. Transport Panel Information Paper No. 4 tahun 1977, memperkirakan ada sekira 90 ribu tukang becak, yang bakal kehilangan pekerjaan. 

Untuk memuluskan rencana ini, Pemda DKI Jakarta menggandeng PT Italindo untuk mendatangkan helicak. PT Italindo, beralamat di Jalan Matraman Jakarta, didirikan Sunarisasi Tjakraningrat, perempuan kelahiran Situbondo, 20 November 1936. Sebagai keturunan ningrat, Rini, begitu dia disapa, menghabiskan masa remajanya di Italia. Selain kuliah, dia sempat menekuni hobi balap. Hobi ini kemudian disalurkannya ke dunia bisnis. Dia bergabung dengan pabrik Lambretta di Roma. Setelah menikah, dia membangun perusahaan skuter Lambretta di bilangan Matraman, Jakarta, pada 1962. 

Setelah dikenal pasar, PT Italindo membuat perakitan di Jakarta. “Waktu G30S sempat berhenti. Kemudian akhir 1960-an mulai lagi,” ujar Soehari Sargo, pakar otomotif yang juga suami Rini, ketika disambangi Historia di rumahnya di Cinere, Depok, Jawa Barat. Sayang, usahanya gagal. Rini kemudian beralih ke helicak. 

Keuntungan kendaraan paratransit mampu bermanuver ke daerah-daerah yang tak mampu dijangkau bus standar.

Italindo mula-mula mengimpor sebanyak 400 unit helicak dari Italia. Setelah itu, Italindo hanya mengimpor skuter untuk helicak dari pabrik Lambretta di Milan, Italia. Bagian depan helicak dibuat di dalam negeri. Keduanya lalu dirakit. “Tempatnya sekarang jadi gedung Direktorat Jenderal Bea Cukai di Rawamangun,” ujar Soehari menyebut bengkel perakitan PT Italindo. 

“Pertambahan jumlah assembling akan disesuaikan dengan permintaan helicak sebagai kendaraan penumpang yang praktis,” tulis Kompas, 21 Juni 1971. 

Pada tahap awal, untuk sosialisasi, Pemda DKI Jakarta memasukkan helicak dalam status perkenalan selama satu bulan. Dalam rentang waktu itu, pemda memberikan delapan liter bensin sehari kepada pengemudi. “Sedangkan uang yang diperoleh dari penumpang, hak penuh si pengemudi,” tulis Paul. 

Karena jumlahnya masih terbatas, yang belum memungkinkan penggunaan sistem zonasi operasional, Pemda DKI Jakarta memprioritaskan operasional helicak di titik-titik keramaian tertentu yang tak terjangkau bus kota dan sudah ditetapkan sebagai daerah bebas becak. Salah satunya di kawasan wisata Bina Ria. Pada tahap awal sebanyak sepuluh unit. Dengan adanya helicak, tulis Kompas, 16 Januari 1971, “yang tidak berkendaraan motor pun kini dapat menikmati seluruh panorama taman pantai Ancol ini.” 

Menurut Paul, PT Italindo melepas helicak ke pasaran seharga Rp260 ribu per unit. Harga itu sudah dipertimbangkan masak-masak. “Selain memperhitungkan penerimaan, lebih-lebih segi kemampuan masyarakat umumnya dalam pemakaian sehari-hari, diperhitungkan oleh PT Italindo persaingan dengan kendaraan penumpang lainnya.” 

Kendati harganya relatif murah, Pemda DKI Jakarta membantu calon pengemudi helicak untuk membeli kendaraan bermotor itu. “Namun, karena korupsi ada kemungkinan hanya sedikit tukang becak yang akan mendapatkan keuntungan dari program ini,” tulis Alan. Praktis, juragan becak pula yang ketiban pulung dari peluang bisnis ini. 

H. Mukali, warga asli Indramayu, salah satunya. Bermula dari penarik becak, dia akhirnya memiliki 186 becak yang disewakan ke beberapa abang becak dari Indramayu dan Karawang. Namun, pada 1970-an, Pemda DKI Jakarta memberlakukan kawasan bebas becak di sejumlah ruas jalan. Sadar bisnisnya mulai terancam, Mukali ambil siasat. “Makanya saya ambil jalan pintas semua becak dijual lalu dibelikan mobil taksi, helicak dan mobil opelet,” ujar Mukali, dikutip Ichsanudin dalam Kalau Mau Kaya Jangan Jadi Pengusaha Apalagi Jadi Pekerja

Dalam grand design pengelolaan lalu lintas Pemda DKI Jakarta, helicak –dan juga moda transportasi lain Golongan IV– menjadi sarana transportasi umum masa transisi sebelum sarana transportasi massal (bus dan kereta api) bisa terwujud.

Helicak beroperasi di kawasan Jakarta Timur sekitar 1973-an. (scooterotica.org).

Pengemudi Nakal 

Kehadiran helicak bermesin 148 cc disambut hangat warga Jakarta. Umumnya mereka penasaran karena bentuk helicak yang unik. “Dibilang helikopter bukan, karena tanpa baling-baling besar di atasnya. Dibilang becak juga bukan, karena digerakkan bukan dengan enjotan kaki. Ada mesinnya,” tulis majalah Ekspres edisi 12 Juli 1971. “Diambil jalan tengah, kendaraan tersebut dinobatkan dengan nama Helicak.” 

Di balik keunikan itu, warga Jakarta mempertanyakan faktor keamanannya. Mereka takut terjungkal karena beban tertumpu pada bagian kabin penumpang. Terlebih jika melalui jalan landai. Kalau terjadi tabrakan, penumpang pula yang akan merasakan akibatnya. Untuk meyakinkan warga Jakarta, Pemda DKI Jakarta maupun PT Italindo memberikan jaminan dengan menyediakan asuransi biaya pengobatan dan rumah sakit untuk penumpang dan pengemudi. 

Ketakutan itu juga tak terbukti. “Selama tiga tahun helicak beroperasi, tak ada korban jiwa dan beberapa cedera serius,” tulis Alan. 

Keluhan lain mengarah pada faktor kenyamanan. Goncangan keras terasa bila helicak mengangkut satu penumpang –shockbreaker helicak baru efektif bila penumpang lebih dari seorang. Selain itu, bising suara mesin terdengar masuk ke kabin bila jendela tak ditutup. “Tapi bila jendela ditutup, pengap. Nggak nyaman. Kita terkurung di dalam kayak masuk ke dalam tabung plastik kaca,” kenang Nurdentin Wali, 63 tahun, mantan karyawati di sebuah hotel, kepada Historia

Toh, moda transportasi itu menjadi alternatif bagi warga Jakarta untuk bepergian. Mereka senang dengan ongkosnya yang murah. “Biasanya tawar-menawar dulu sebelum naik. Cocok harga baru deh naik, diantar sampai tujuan,” ujar Nurdentin. 

Ongkos memang jadi salah satu perhatian utama Pemda DKI Jakarta dan PT Italindo. Penetapan batas tarif minimal dan maksimal diberlakukan agar helicak terjangkau kalangan menengah-bawah. Tarif untuk satu rit (satu trayek) jarak dekat minimal Rp50 dan jarak jauh Rp200. Sedangkan carteran untuk satu jam berkisar Rp150 sampai Rp250 per jam. 

Namun, beberapa bulan beroperasi, penumpang mulai mengeluhkan ulah pengemudi helicak nakal yang menaikkan tarif. Tarik urat leher kerap terjadi antara pengemudi dan penumpang. Selain itu, banyak penumpang jengkel lantaran pengemudi kerap mengangkut penumpang di tengah jalan. 

Moda paratransit telah menghambat pengembangan sistem dan teknologi transportasi yang lebih modern.

Terpinggirkan dan Mati

Seiring waktu, varian helicak bertambah dengan kehadiran super helicak 125 cc pada 1974 serta super helicak 250 cc, super helicak mark II 125 cc, dan super helicak mark III 250 cc pada 1976. Maka, jumlah moda transportasi ini pun meningkat. Tak ada angka pasti berapa jumlah helicak yang beroperasi di Jakarta. Pada 1980-an, diperkirakan mencapai lebih dari seribu unit. Belum lagi di Surabaya, Yogyakarta, dan kota-kota lain. 

Namun, kebijakan Pemda DKI Jakarta yang tak konsisten membuat keberadaan helicak mulai terpinggirkan. Masuknya bajaj pada 1975 berperan penting dalam menyingkirkan helicak. Banyak orang menilai bajaj lebih aman dan nyaman, baik bagi penumpang maupun pengemudi. Perlahan tapi pasti, orang mulai beralih ke moda transportasi yang dinilai lebih aman dan manusiawi itu –lantaran sopir dan penumpang sama-sama berada di dalam. 

Perubahan ini berimbas pada para pemilik helicak. Lima tahun berjalan, Mukali tak sanggup menutupi pengeluaran untuk suku cadang, pajak, hingga biaya trayek helicak-helicaknya. Terlebih ketika opelet dan helicak mulai dilarang dan digantikan bajaj. “Makanya daripada saya menyerah dan mengorbankan kehidupan ratusan sopir, lebih baik semua kendaraan bermotor itu saya jual dan belikan bajaj, sampai sekarang,” ujar Mukali. 

Helicak, bajaj, atau moda paratransit lainnya jelas bukan pilihan bagus bagi ibukota. Menurut Robert Cervero, jumlah kendaraan paratransit membengkak dan mulai bersaing mengambil ruang jalan sehingga memperburuk kondisi lalu lintas. Terlebih laju mereka lambat. Operator paratransit juga sering dikritik karena mengemudi secara sembrono, menghalangi jalan untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, kelebihan muatan, dan mengoperasikan kendaraan yang tak aman dan gila-gilaan menurut sejumlah penumpang. 

“Banyak konsultan asing juga berpendapat bahwa moda paratransit telah menghambat pengembangan sistem dan teknologi transportasi yang lebih modern,” tulis Cervero. “Untuk alasan ini dan lainnya, tekanan kian meningkat untuk membatasi dan, dalam beberapa kasus, bahkan menghapus secara bertahap operasional paratransit.” 

Helicak kalah bersaing, terutama terhadap bajaj. Para pengemudi helicak mengeluh karena minimnya pemasukan. Secara perlahan helicak menghilang dari jalan-jalan ibukota. Terakhir yang beroperasi sekira tahun 2004 di sekitar Menteng, Jakarta.*

Majalah Historia No. 19 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
659bd8a52e672fe7add81b27
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID