Nasib PNI Setelah Fusi

Penggabungan partai-partai menjadi PDI mengakhiri cerita PNI. Unsur PNI yang mayoritas dalam PDI tidak solid bahkan konflik.

OLEH:
Arief Ikhsanudin
.
Nasib PNI Setelah FusiNasib PNI Setelah Fusi
cover caption
Musyawarah Nasional PNI tanggal 27-28 Januari 1973 membicarakan masalah fusi partai, antara lain PNI, ke dalam Partai Demokrasi Indonesia tanggal 10 Januari 1973. (Repro Banteng Segitiga).

RABU, 10 Januari 1973, pukul 20:00 malam, Sekretariat Partai Nasional Indonesia (PNI) di Salemba Raya, Jakarta ramai dengan kedatangan beberapa pimpinan partai politik. Mereka mewakili partainya masing-masing: Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Murba. Di luar gedung, wartawan setia menunggu hasil pembicaraan para pemimpin kelima partai politik itu.

Empat jam kemudian, tepat pukul 24.00, perwakilan partai menemui awak media yang sudah lama menunggu. Kepada pers, Mohammad Isnaeni, ketua I sekaligus pelaksana tugas ketua umum PNI, mengatakan bahwa penyederhanaan partai kini berbeda dengan Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis).

“Beda pangkal tolak dan manifestasinya berlainan,” kata Mh. Isnaeni, seperti yang dikutip harian Indonesia Raya edisi 12 Januari 1973.

RABU, 10 Januari 1973, pukul 20:00 malam, Sekretariat Partai Nasional Indonesia (PNI) di Salemba Raya, Jakarta ramai dengan kedatangan beberapa pimpinan partai politik. Mereka mewakili partainya masing-masing: Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Murba. Di luar gedung, wartawan setia menunggu hasil pembicaraan para pemimpin kelima partai politik itu.

Empat jam kemudian, tepat pukul 24.00, perwakilan partai menemui awak media yang sudah lama menunggu. Kepada pers, Mohammad Isnaeni, ketua I sekaligus pelaksana tugas ketua umum PNI, mengatakan bahwa penyederhanaan partai kini berbeda dengan Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis).  

“Beda pangkal tolak dan manifestasinya berlainan,” kata Mh. Isnaeni, seperti yang dikutip harian Indonesia Raya edisi 12 Januari 1973.

Para pemimpin partai itu telah mencapai kata sepakat membubuhkan tanda tangan tanpa cap partai pada sebuah deklarasi. Mereka menyatakan bahwa kelima partai yang hadir berfusi dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).  

Dengan fusi, PNI, IPKI, Partai Katolik, dan Parkindo, yang sebelumnya tergabung dalam kelompok Demokrasi Pembangunan di DPR, telah melaksanakan TAP MPRS XXII/MPRS/1966 tentang Penyederhanaan Partai Politik. Sebelumnya, partai Islam telah melakukan fusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).  

Mohammad Isnaeni, pelaksana tugas ketua umum PNI.

Pertemuan di Sekretariat PNI hanya sebatas kesepakatan fusi. Pertemuan selanjutnya dilakukan pada Sabtu, 13 Januari 1973 di rumah Mh. Isnaeni. Pertemuan itu membahas struktur DPP PDI. Mh. Isnaeni terpilih menjadi ketua umum, sedangkan lima perwakilan partai politik lainnya menjadi ketua, seperti Achmad Sukarmadidjaja (ketua umum IPKI), Beng Mang Reng Say (ketua umum Partai Katolik), Alexander Wenas (ketua Parkindo), Sugiarto Mubantoko (ketua umum Partai Murba), dan Sunawar Sukowati (ketua PNI).

Mh. Isnaeni dan struktur PDI pertama bertanggungjawab mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan keorganisasian seperti Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PDI. Saat itu, Mh. Isnaeni mengatakan kongres akan diadakan tetapi tidak dalam waktu dekat.

“Selain alasan teknis dan administratif, seperti umumnya akhir-akhir ini, semua baru dapat berlangsung setelah bulan Maret berlalu,” tulis majalah Tempo, 20 Januari 1973. Kenyataannya, kongres pertama baru dilaksanakan pada 12–13 April 1976.

Sebelum fusi dilakukan, Pemilu 1971 memberi hasil buruk pada tiap partai kecuali Golongan Karya. Golongan Karya, ditambah tentara menguasai lebih dari tujuh puluh persen suara DPR hasil Pemilu 1971. Sedangkan PNI hanya meraih posisi ketiga setelah Golkar dan NU, dengan perolehan 20 kursi di parlemen dari total 360 yang diperebutkan.  

“Demikianlah proses yang mendahuluinya dan hasil dari pemilihan umum itu sendiri telah menciptakan suatu keadaan yang tidak bisa ditawar lagi oleh partai-partai politik dan karenanya harus menerima gagasan pemerintah tentang pemfusian partai-partai itu,” tulis Manuel Kaisiepo dalam “Dilema Partai Demokrasi Indonesia, Perjuangan Mencari Identitas,” di Prisma nomor 12, Desember 1981.  

Beng Mang Reng Say, ketua umum Partai Katolik.

Konflik PNI dalam PDI

Fusi ternyata tak semulus yang diduga. Trah PNI yang mayoritas di dalam PDI tak solid satu suara. Pada akhir November 1977 terjadi keributan dalam tubuh PDI. Achmad Sukarmadidjaja, salah satu ketua DPP PDI melakukan perombakan kepengurusan DPP PDI. Dia mengangkat Mh. Isnaeni sebagai ketua umum dan Soenawar Soekowati sebagai ketua, menggantikan Sanusi Hardjadinata dan Usep Ranuwidjaja. Sanusi dan Usep, yang terpilih dalam kongres PDI pertama pada 1976, mengatakan tindakan perombakan inkonstitusional.  

Konflik itu bermula dari pemilihan Wakil Ketua MPR dari fraksi PDI. Mh. Isnaeni terpilih, yang mendapat dukungan dari Fraksi Karya Pembangunan dan Tentara, tidak didukung oleh Sanusi.

Konflik ini adalah konflik antara unsur PNI sebagai unsur dominan di PDI. Namun, konflik merambat ke unsur lain, IPKI dan Murba ikut mendukung perombakan, sedangkan Parkindo dan Partai Katolik menolaknya. Konflik ini selesai pada 16 Januari 1978 setelah melakukan pertemuan dengan Badan Kordinasi Intelijen (Bakin).

Keterlibatan Bakin dalam konflik PDI menandakan pemerintah Orde Baru ikut campur dalam konflik partai politik. Meski sebelumnya, PDI meminta pemerintah untuk menyerahkan permasalahan ini kepada internal PDI.  

“Walaupun pemerintah berkali-kali mengatakan tidak ikut campur dalam konflik dan menganggapnya sebagai masalah internal PDI, namun kesan adanya campur tangan dari luar cukup menonjol waktu itu di kalangan luas,” tulis Manuel Kaisiepo.  

Konflik dalam tubuh PDI tidak berhenti di sana. Setelah itu, konflik di tingkatan elite beberapa kali terjadi. Konflik di tingkat pimpinan dilakukan oleh unsur PNI. PNI selalu mendapatkan kursi ketua umum PDI. Menurut Manuel Kaisiepo, konflik dalam tubuh PDI lebih mendekati konflik kepentingan individu daripada ideologis. Menurut dia, orang PNI yang masuk dalam PDI adalah kelompok yang pro terhadap Orde Baru. PDI telah menjadi partai elite, yang tidak memiliki basis massa yang kuat.  

Organisasi sayap marhaen milik PNI tidak lagi menjadi unsur penunjang PDI karena tidak aktif. Lembaga Krida Budaya didirikan untuk menampung ormas-ormas marhaen pada 4 Juli 1973. Menurut musyawarah pimpinan partai PNI dengan ormas-ormas marhaen, Lembaga Krida Budaya mendapat mandat untuk menjalankan kegiatan PNI di luar politik praktis. Namun, Lembaga Krida Budaya tidak berjalan bahkan tidak diakui eksistensinya karena tidak bisa memenuhi ketentuan-ketentuan UU No. 8 tahun 1985 mengenai ormas-ormas.  

“Saling berebut kursi –sambil mendekatkan diri kepada pihak penguasa– adalah konsekuensi logis dari rasa tidak perlunya pertanggungjawaban kepada anggota atau massa pendukung, yang memang tidak ada manfaatnya lagi,” tulis Manuel Kaisiepo.

Soerjadi, ketua umum PDI.

Masa Surut PNI

Deklarasi pembentukan PDI pada 10 Januari 1973. Pernyataan pengakhiran eksistensi PNI oleh Notosukardjo sebagai unsur PNI pada kongres II PDI pada Januari 1981 menandakan bubarnya PNI. “Berakhirlah secara formal dan konstitusional eksistensi Partai Nasional Indonesia yang telah berdiri sejak 4 Juli 1927,” tulis Soenario, salah satu pendiri PNI, dalam Banteng Segitiga.

Namun, unsur PNI masih kental di tubuh PDI. PDI menggunakan lambang banteng dengan warna merah dan hitam, yang dulu digunakan oleh PNI meski dalam bentuk yang berbeda. Selain itu, ketua PDI selalu berasal dari unsur PNI. Semua ini karena PNI memegang posisi mayoritas di antara partai lain di PDI.  

“Semuanya menimbulkan kesan bahwa PDI adalah jelmaan dari PNI,” tulis Adriana Elisabeth Sukamto dalam PDI dan Prospek Pembangunan Politik.  

Selain itu, PDI kembali menggunakan ikon Sukarno dalam pemilihan umum tahun 1987. Saat kampanye, terdapat poster atau banner berbau Bapak Proklamator itu. Soerjadi, ketua PDI saat itu, mengatakan tidak menginstruksikan pendukungnya untuk membawa poster Sukarno. Selain itu, PDI menampilkan keluarga Sukarno, yaitu Megawati dan Guruh saat kampanye.  

Menurut Adriana, PDI hanya memanfaatkan tokoh karismatik Bung Karno untuk tujuan-tujuan politik sesaat.  

Dominansi eks-PNI dalam PDI tentu membawa masalah jika dikaitkan dengan unsur lain. Menurut Manuel Kaisiepo, konflik antarunsur jarang sekali terdengar.  

Konflik antarunsur yang paling terlihat terjadi pada 20 November 1981. Pada saat itu unsur eks Partai Katolik dari PDI Madiun menyatakan keluar dari PDI karena merasakan adanya mayoritas yang dominan dan merugikan mereka sebagai unsur minoritas.  

Kemudian, Frans Seda, mantan pemimpin Partai Katolik mengemukakan gagasan mengenai perubahan jumlah partai politik di Indonesia. Dia mengusulkan partai politik di Indonesia menjadi lima yaitu Golkar, dua partai agama, dan dua partai nasionalis. Gagasan tersebut secara tidak langsung dapat dianggap sebagai keinginan mendirikan partai Nasrani (gabungan Parkindo dan Partai Katolik).*

Mahalah Historia No. 31 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66925d2431e6bc21a6536d2b