WACANA redenominasi rupiah telah muncul sejak 2010. Lalu Bank Indonesia memulai konsultasi publik pada 2013. Penyederhanaan dan penyetaraan nilai rupiah dengan menghilangkan beberapa digit nol ini menimbulkan pro dan kontra. Dianggap belum mendesak, Bank Indonesia jalan terus. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil dan terus tumbuh bahkan imun terhadap krisis global pada 2008, menjadi alasan Bank Indonesia melanjutkan redenominasi. Namun, redenominasi belum juga terealisasi dan kini isunya kembali mengemuka.
Selama ini, nilai pecahan rupiah merupakan salah satu yang terbesar di dunia dan masuk kategori mata uang sampah atau the worst currencies karena banyak nolnya. Dengan redenominasi, satu rupiah akan bernilai.
WACANA redenominasi rupiah telah muncul sejak 2010. Lalu Bank Indonesia memulai konsultasi publik pada 2013. Penyederhanaan dan penyetaraan nilai rupiah dengan menghilangkan beberapa digit nol ini menimbulkan pro dan kontra. Dianggap belum mendesak, Bank Indonesia jalan terus. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil dan terus tumbuh bahkan imun terhadap krisis global pada 2008, menjadi alasan Bank Indonesia melanjutkan redenominasi. Namun, redenominasi belum juga terealisasi dan kini isunya kembali mengemuka.
Selama ini, nilai pecahan rupiah merupakan salah satu yang terbesar di dunia dan masuk kategori mata uang sampah atau the worst currencies karena banyak nolnya. Dengan redenominasi, satu rupiah akan bernilai.
Bank Indonesia dalam siaran persnya pada 3 Agustus 2010 menegaskan bahwa redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat. Sedangkan sanering adalah pemotongan uang dalam kondisi perekonomian tidak sehat, di mana yang dipotong hanya nilai uangnya. Dalam redenominasi, baik nilai uang maupun barang, hanya dihilangkan beberapa angka nolnya saja.
Dengan demikian, redenominasi akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran (uang). Selanjutnya, hal ini akan menyederhanakan sistem akuntansi dalam sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.
Dalam 80 tahun terakhir, 50 negara telah melakukan redenominasi. Penghilangan nol mulai dari satu digit sampai terbanyak 12 digit, yaitu Jerman yang melakukan redenominasi pertama pada 1923.
Menurut Simon Saragih dalam “Kisah Sukses Redenominasi Lira Turki,” Kompas, 5 Agustus 2010, salah satu negara yang tergolong relatif sukses melakukan redenominasi adalah Turki. Dalam rangka persiapan memasuki keanggotaan Uni Eropa, Turki memutuskan redenominasi pada 1998.
Setelah persiapan selama tujuh tahun, mulai 1 Januari 2005, Turki melakukan redenominasi terhadap mata uangnya, lira (TL). Redenominasi dilakukan di awal tahun anggaran dengan tujuan agar semua catatan pembukuan keuangan negara dan perusahaan langsung menggunakan mata uang baru dengan angka nominal yang lebih kecil. Redenominasi itu menghapus enam digit nol: 1.000.000 TL menjadi 1 YTL (Y, singkatan dari yeni, artinya baru).
Syarat sukses redenominasi Turki adalah keharusan negara pelaku redenominasi melakukan stabilisasi harga, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mengendalikan inflasi. Tanpa itu, redenominasi bisa gagal seperti negara Zimbabwe, Ghana, Argentina, Rusia, dan Brasil –meski Brasil kemudian berhasil melakukan redenominasi pada 1994.
“Di Rusia, redenominasi bahkan dianggap sebagai instrumen tak langsung pemerintah merampok kekayaan rakyat,” tulis Simon. Jika demikian, redenominasi pun menjadi sama dengan sanering: merampok uang rakyat.
Dari Gunting Sampai Sanering
Dalam perjalanan sejarah, pemerintah pernah melakukan beberapa kali kebijakan sanering (pemotongan). Pada 30 Maret 1950, Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara mengambil kebijakan pemotongan uang yang kemudian dikenal dengan “Gunting Sjafruddin”. Pada waktu itu, ada dua mata uang yang beredar, uang Republik dan uang Belanda.
Menurut Sjafruddin, kita harus memiliki uang yang seragam untuk seluruh Indonesia. Jadi, perlu menghapus perbedaan antara kedua mata uang itu, dan bersamaan dengan itu mengurangi volume uang yang beredar untuk menurunkan harga. Uang Belanda dipotong menjadi dua bagian, sebelah diubah menjadi uang Republik dan sebelah lagi dikonversikan menjadi obligasi keuangan.
“Jadi kita tidak dapat dituduh merampok separuh uang rakyat. Belakangan, ketika inflasi melonjak, rakyat memang betul-betul dirampok,” kata Sjafruddin dalam Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an karya Thee Kian Wie.
Sanering yang “merampok uang rakyat” sebagaimana dimaksud Sjafruddin terjadi pada 1959 dan 1965 karena inflasi. “Penyebab pokok hiperinflasi adalah defisit anggaran pemerintah yang terus melonjak, yang dibiayai dengan cara sederhana, yaitu mencetak uang,” tulis Thee Kian Wie.
Perkembangan defisit anggaran pada awal pembangunan sistem ekonomi terpimpin, menurut Sri Suyanti dalam tesisnya tentang kebijakan moneter sanering pada sistem ekonomi terpimpin 1959–1966 di Universitas Indonesia tahun 2004, karena pemerintah tidak dapat meningkatkan penerimaannya untuk membiayai pengeluaran yang semakin meningkat. Besarnya pengeluaran tersebut karena pemerintah dalam merealisasikan proyek-proyeknya tanpa menyesuaikan diri dengan besarnya pengeluaran negara.
Jadi kita tidak dapat dituduh merampok separuh uang rakyat. Belakangan, ketika inflasi melonjak, rakyat memang betul-betul dirampok.
Untuk tetap bisa mewujudkan proyek-proyeknya, pemerintah meminjam uang dari Bank Indonesia. Bank Indonesia kemudian mencetak uang baru untuk memenuhi pinjaman pemerintah. Pemerintah tidak berhasil menutup pinjaman tersebut dan tidak dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Uang yang beredar pun dari tahun ke tahun semakin meningkat dengan tidak diimbangi kenaikan barang-barang. Akibatnya, inflasi semakin meningkat. Pada 1958 inflasi mencapai 45,76 persen. Untuk menanggulangi inflasi berat tersebut pemerintah mengambil kebijakan sanering.
Pada 24 Agustus 1959, Presiden Sukarno berpidato: “Pemerintah tidak melihat jalan daripada jalan yang telah ditempuh itu (pemotongan nilai uang). Pemerintah tidak sependapat dengan pandangan sementara orang bahwa ada jalan lain yang lebih baik, misalnya dengan memperbaiki dulu sistem distribusi, meningkatkan lebih dulu produksi atau mendahulukan usaha lainnya dalam pembangunan.”
Kebijakan sanering mulai berlaku pada 25 Januari 1959: nilai uang kertas Rp500 dan Rp1.000 dipotong nilainya menjadi Rp50 dan Rp100. Tindakan sanering tersebut tidak dapat menahan laju inflasi, bahkan intensitasnya semakin meningkat menjadi hiperinflasi.
“Setelah 1962 inflasi mencapai di atas seratus persen,” tulis Sri Suyanti.
Pada 13 Desember 1965, pemerintah kembali melakukan sanering. Kali ini, Rp1.000 dipangkas nilainya menjadi Rp1. Alhasil, kebijakan sanering bukan hanya merampok uang rakyat, tapi juga menyengsarakan rakyat karena harga kebutuhan pokok melambung dan langka.
Dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1966–1982, Frans Seda, yang kala itu menjabat menteri perkebunan, mengatakan tidak setuju dengan sanering karena ia adalah demonetisasi (penurunan nilai mata uang) yang tidak ada ujung pangkalnya.
“Saya cuma bisa menyetujui sanering di negeri kita dalam dua situasi. Yang pertama tahun 1950, yang waktu itu banyak sekali uang: ORI (Oeang Republik Indonesia), uang Belanda, dan uang Gurkha. Yang kedua adalah di tahun 1966. Sebenarnya pada mulanya saya tidak setuju. Tetapi saya kalah dalam argumentasi, karena waktu itu uang kira-kira setengah milyar rupiah ada di tangan PKI (Partai Komunis Indonesia).”*