Demonstrasi pengambilalihan perusahaan Inggris dan Amerika ketika Konfrontasi Indonesia-Malaysia. (gahetna.nl).
Aa
Aa
Aa
Aa
RIBUAN demonstran menyerang kantor Kedutaan Malaya (kini, Malaysia) di Jakarta. Lemparan batu menghancurkan jendelajendelanya. Dari sana, mereka bergerak menuju kantor Kedutaan Inggris. Mereka menurunkan bendera Inggris, membakar mobil duta besar, dan menghancurkan setiap jendela di gedung itu sebelum dibubarkan polisi dengan gas air mata.
Selain di Jakarta, aksi pengrusakan juga terjadi di tempat lain. Di Medan, massa merusak Konsulat Inggris dan Malaysia. Di Balikpapan, buruh menggelar aksi massa dan memaksa para pekerja asing Shell tetap tinggal di rumah.
Aksi itu terjadi sebagai reaksi dan bentuk kemarahan atas deklarasi terbentuknya Federasi Malaysia, yang terdiri dari Malaya, Singapura, dan Serawak (Kalimantan Utara). Presiden Sukarno menyebut Federasi Malaysia sebagai “boneka Inggris” dan bentuk baru dari neokolonialisme. Sukarno pun mendengungkan Konfrontasi atau kampanye “Ganyang Malaysia”.
RIBUAN demonstran menyerang kantor Kedutaan Malaya (kini, Malaysia) di Jakarta. Lemparan batu menghancurkan jendelaj-endelanya. Dari sana, mereka bergerak menuju kantor Kedutaan Inggris. Mereka menurunkan bendera Inggris, membakar mobil duta besar, dan menghancurkan setiap jendela di gedung itu sebelum dibubarkan polisi dengan gas air mata.
Selain di Jakarta, aksi pengrusakan juga terjadi di tempat lain. Di Medan, massa merusak Konsulat Inggris dan Malaysia. Di Balikpapan, buruh menggelar aksi massa dan memaksa para pekerja asing Shell tetap tinggal di rumah.
Aksi itu terjadi sebagai reaksi dan bentuk kemarahan atas deklarasi terbentuknya Federasi Malaysia, yang terdiri dari Malaya, Singapura, dan Serawak (Kalimantan Utara). Presiden Sukarno menyebut Federasi Malaysia sebagai “boneka Inggris” dan bentuk baru dari neokolonialisme. Sukarno pun mendengungkan Konfrontasi atau kampanye “Ganyang Malaysia”.
Keesokan harinya, tak ada aksi susulan di Kedutaan Inggris dan Malaysia. Namun, situasi berbeda terjadi di kantor J.A. Wattie & Co., perusahaan manajemen perkebunan yang mengelola sekitar 25 perkebunan asing di Jawa, yang diambilalih anggota Dewan Pimpinan Sentral Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia (DPS-KBKI).
“Tak ada kekerasan dan, selain beberapa coretan di dinding kantor dan rumah direktur (yang dimiliki perusahaan), tidak ada kerusakan properti Wattie,” tulis William A. Redfern dalam disertasinya di Universitas Michigan dengan judul “Sukarno’s Guided Democracy and the Takeovers of Foreign Companies in Indonesia in the 1960s”.
Pada saat yang sama, cabang-cabang berbeda dari DPS-KBKI mengambilalih kantor pusat tiga perusahaan Inggris lainnya di Jakarta: Harrison and Crosfield, Dunlop Rubber, dan Commercial Union Assurance Company. Di Baikpapan, Kolonel Soehardjo, komandan militer Kalimantan Timur yang juga merangkap ketua panitia Front Nasional Kalimantan Timur, mengambilalih kilang minyak Shell.
Aksi pengrusakan terhadap kedutaan Inggris ternyata belum berakhir. Pada 18 September, massa membakar serta menjarah kedutaan serta rumah-rumah warga Inggris.
Yang Tak Tersentuh
Pemerintah Inggris melayangkan protes keras. Di London, Kementerian Luar Negeri dua kali memanggil BM Diah, dutabesar Indonesia. Menurut Keesing Contemporary Archives, Vo. 9, November 1963, Diah menyatakan pemerintah Indonesia menyesalkan serangan terhadap kedutaan Inggris, memastikan peristiwa itu tak terulang kembali, dan menjamin keselamatan warga dan properti Inggris di Indonesia.
“Pers Inggris tidak memberikan kesempatan untuk bernafas dan menanyakan tentang berbagai hal tentang insiden di Jakarta itu,” ujar BM Diah kepada Dasman Djamaluddin dalam Butir-butir Padi B.M. Diah.
Namun, sampai sejauh ini pemerintah belum memberikan pernyataan resmi kepada publik. Anehnya, tulis Redfern, respon pertama datang dari Gubernur Jawa Barat Mashudi. Pada 19 September, Mashudi mengeluarkan setidaknya tiga keputusan menyangkut perusahaan Inggris dan asing lainnya. Salah satunya, lengkap dengan daftarnya, menempatkan perusahaan di bawah “supervisi” pemerintah provinsi Jawa Barat.
“Gubernur tampaknya bertindak lebih dulu, untuk mencegah pengambilalihan oleh serikat buruh atau ‘elemen-elemen yang tak bertanggungjawab lainnya’,” tulis Redfern.
Pada hari yang sama, kaum buruh DPS-KBKI bergerak mengambilalih kilang Shell di Pladju, Sumatra Selatan. Malam harinya pemerintah bereaksi. Presiden Sukarno mengeluarkan tiga keputusan yang menentang pengambilalihan perusahaan-perusahaan Inggris.
“Sulit untuk tahu, tapi waktunya memberi kesan bahwa penyitaan kilang Pladju milik Shell pada 19 September mendorong pemerintah Indonesia untuk bertindak,” tulis Redfern.
Yang pertama dan paling penting adalah Keppres No. 194/1963. Keppres itu menyebut semua perusahaan nontambang minyak, yang diambil buruh, diserahkan kepada menteri. Keppres juga melarang pengambilalihan lebih lanjut perusahaan-perusahaan Inggris. Dua keputusan lainnya memerintahkan pengembalian PT Shell Pladju dan melarang pengambilalihan PT Shell Indonesia (selain Pladju).
Tampaknya, selain menunjukkan betapa pentingnya Shell bagi perekonomian Indonesia, Keppres ini ingin memastikan agar penandatanganan Kontrak Karya antara tiga perusahaan minyak asing raksasa dan perusahaan Indonesia tidak terhambat.
Perintah presiden memang didengar. Ladang dan kilang minyak di Plaju diserahkan kembali kepada manajer Shell. Namun, tidak demikian dengan kilang Shell di Balikpapan. Menurut Bambang Sulistyo, dosen sejarah Universitas Hasanuddin, Makassar, dalam “Menuju Nasionalisasi Perusahaan Minyak di Balikpapan (1930-1965), dimuat dalam Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa suntingan Erwiza Erman dan Ratna Saptari, Shell melakukan pendekatan pada pihak pemerintah. Namun upaya mempengaruhi presiden gagal karena Soehardjo bertanggungjawab atas kebijakan Konfrontasi melawan Malaysia. Kilang Shell di Balikpapan baru diserahkan Soehardjo pada Desember 1963.
“Dengan pengecualian sensitifnya kepemilikan Shell, tidak ada perusahaan lain yang dikembalikan ke pemiliknya, Inggris,” tulis sejarawan Pham Van Thuy dalam “Beyond Political Skin: Convergent Paths to an Independent National Economy in Indonesia and Vietnam,” disertasinya di Universitas Leiden Belanda tahun 2014.
Perkebunan Malaysia
Ketika Konfrontasi dengan Malaysia kian meningkat, Presiden Sukarno mengeluarkan kebijakan tentang pengambilalihan perusahaan-perusahaan Malaysia. Yang pertama, 29 Oktober 1963, pemerintah mengambil kontrol atas semua perusahaan pengolahan karet dan smokehouses Malaysia.
Menurut pers dari Jakarta, tulis Keesing Contemporary Archives, pengambilalihan perusahaan pengolahan karet itu disebabkan adanya laporan bahwa tengkulak Tionghoa “berencana menyelundupkan karet giling melintasi Selat Malaka ke Singapura dan Penang.”
Lalu, pada 27 November, dengan cakupan lebih luas, Sukarno mengeluarkan Keppres tentang pembekuan dan penguasaan semua perusahaan yang dimiliki, dimodali, dan dikuasai warga Malaysia atau warga Indonesia yang berdomisili di Malaysia.
Menurut Redfern, bisnis Malaysia yang terdiri dari perusahaan-perusahaan Singapura, Malaya, Sarawak, dan Sabah, terbilang cukup kecil di Indonesia. Umumnya bergerak dalam bisnis pengolahan atau rumah asap (smokehouse) karet di Sumatra atau Kalimantan.
Selain itu, ada juga perusahaan yang bergerak di bidang perbankan, yakni Overseas Chinese Banking Corporation (OCBC), berkantor pusat di Singapura. OCBC dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia pada 15 Oktober 1963.
“Berapa banyak perusahaan Malaysia yang benar-benar diambilalih masih belum jelas, tapi setidaknya 10 perusahaan pengolahan di Sumatra dan Kalimantan disita,” tulis Redfern. “Pengambilalihan ini dimaksudkan untuk menjadi senjata bagi kebijakan luar negeri Indonesia dalam Konfrontasi.”
Menteri Pertanian dan Agraria Sadjarwo kemudian mengeluarkan peraturan pada Desember 1963 yang menyerahkan kontrol dan manajemen atas perusahaan pengolahan karet dan rumah asap Malaysia kepada Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Karet Negara (BPU-PPN Karet). Namun, dalam praktiknya, perusahaan-perusahaan itu dikendalikan tiga kelompok berbeda. Setidaknya sepuluh pabrik diserahkan kepada pemerintah provinsi, enam pabrik “disewa” perusahaan swasta, dan empat yang tersisa tetap berada di bawah kendali BPU-PPN Karet. Tak lama peraturan lain dikeluarkan untuk mengatur semua bisnis Malaysia di Indonesia.
“Tampaknya tak ada peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan kementerian lain terkait bisnis Malaysia,” tulis Redfern.
Sekali Lagi: Inggris
Pada Januari 1964, gelombang baru pengambilalihan perusahaan-perusahaan Inggris oleh serikat-serikat buruh dimulai. Pemicunya, tindakan otoritas Hong Kong, saat itu koloni Inggris, yang menolak ekspor peralatan militer ke Indonesia dan menahan dua kapal haji Indonesia. Mereka mengambilalih P&T Lands, Shell Oil, Unilever, British American Tobacco (BAT), Maclaine Watson, Harrisons & Crosfield, hingga perkebunan Anglo-Sumatra Estate Agency dan Guthries. Pada 31 Januari, Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh mengeluarkan surat edaran yang menempatkan perusahaan-perusahaan Inggris yang disita di bawah kontrol dan pengawasan menteri-menteri terkait.
“Pemerintah Indonesia mengabaikan semua klaim hak kepemilikan oleh perusahaan-perusahaan Inggris dan juga pemerintah Inggris,” tulis Pham. “Pengawasan pemerintah dinyatakan sebagai tindakan sementara dan diperlukan untuk tujuan menjaga terus beroperasinya perusahaanperusahaan Inggris.”
Menindaklanjuti surat edaran itu, Menteri Pertanian dan Agraria Sadjarwo membentuk Badan Penguasaan Sementara Perusahaan2 Perkebunan Inggris. Pada awal September 1964 Sadjarwo juga menetapkan semua perkebunan Inggris dikelompokkan menjadi lima unit kerja yang dikenal sebagai Dwikora –kemudian dikelompokkan lagi pada awal 1965 menjadi tujuh Dwikora– yang didasarkan baik secara geografis dan/atau perusahaan. Pengelolaan dalam struktur Dwikora kemudian diambilalih Badan Pimpinan Umum Dwikora (BPU-Dwikora). Sementara Menteri Perindustrian Rakyat Azis Saleh membentuk Badan Penguasaan Perusahaan2 Inggris.
Pada akhirnya, setelah setahun lebih tak mengeluarkan keputusan soal pengambilalihan perusahaan Inggris, pada 26 November 1964, Presiden Sukarno mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No. 6/1964 yang menempatkan semua perusahaan Inggris di bawah kontrol pemerintah. Penetapan ini dilengkapi dengan daftar perusahaan yang akan dikontrol kementerian-kementerian terkait (Lihat Tabel).
Kedutaan Inggris menyampaikan nota ke Departemen Luar Negeri Indonesia pada 1 Desember 1964. Mereka menyatakan prihatin atas perlakuan yang dialami perusahaan-perusahaan Inggris dan meminta pemerintah Indonesia “menjelaskan maksud mereka kepada perusahaan-perusahaan Inggris dan... menentukan status mereka saat ini dalam hukum Indonesia.” Nota itu lebih lanjut menyatakan langkah pemerintah Indonesia sama dengan “perampasan dan pengambilalihan secara de facto dan dengan demikian menimbulkan kewajiban untuk memberikan kompensasi sesuai hukum internasional.”
Pemerintah Indonesia tidak pernah menjawab surat itu. Pemerintah Inggris mengirim dua nota lagi selama delapan bulan ke depan, tapi juga diabaikan.
Menyetrika Amerika
Setelah Inggris, perusahaan-perusahaan Amerika mendapat giliran. Hubungan diplomatik Indonesia dengan Amerika terus memburuk sejak awal 1964, ketika Amerika menghentikan bantuan keuangan kepada Indonesia, yang disambut dengan respon Presiden: “Go to heel with your aid”. Dukungan Amerika kepada Malaysia selama Konfrontasi dan meningkatnya keterlibatan Amerika di Vietnam menambah retorika anti-AS di Indonesia.
Antara Februari dan pertengahan April 1964, setelah buruh bergerak, pemerintah mengambilalih 13 perusahaan asing, sebelas di antaranya milik Amerika, termasuk perkebunan Goodyear Tire and Rubber Company dan United State Rubber Corporation (USR) di Sumatra Utara. Korban lainnya adalah tiga perusahaan minyak Caltex, Stanvac, dan Shell.
“Lagipula, pada akhir 1964, minyak bumi adalah benteng perusahaan asing yang masih bertahan di Indonesia,” tulis Alex Hunter, “The Indonesian Oil Industry”, dalam The Economy of Indonesia: Selected Readings yang disunting Bruce Glassburner.
Setelah itu, disusul kemudian Union Carbide Battery Plant, American and Foreign Insurance Association (AIFA), National Cash Register (NCR), dan beberapa perusahaan film Amerika yang tergabung dalam Motion Picture Export Association of America (MPEAA).
“Pengambilalihan perusahaan-perusahaan ini oleh pemerintah Indonesia seolah-olah digerakkan serikat-serikat buruh dan aktivitas buruh, baik dalam bentuk penyitaan/pengambilalihan atau ancaman pengambilalihan,” tulis Redfern.
Semua perusahaan itu ditempatkan di bawah penguasaan dan pengawasan pemerintah. Namun, khusus untuk perusahaan minyak, penguasaan dan pengawasan pemerintah tidak menggusur manajemen yang ditunjuk pemilik dan secara signifikan tak mengganggu operasi perusahaan. Julius Tahija, orang Indonesia dengan kedudukan tertinggi di Caltex, ingat bagaimana para karyawan mengalami banyak hal yang merepotkan, “termasuk sesi-sesi indoktrinasi anti-kapitalisme berjam jam lamanya setiap hari,” dikutip Paul F. Gardner dalam 50 Tahun Amerika Serikat-Indonesia.
Pada 26 Februari 1965, Keputusan Presidium Kabinet menempatkan perusahaan perkebunan Amerika di bawah pengurusan pemerintah Indonesia, tanpa mengurangi hak kepemilikan perusahaan tersebut. Kebanyakan perkebunan milik Goodyear dan USR diserahkan ke PPN Karet. Pemerintah kemudian mengubah nama Goodyear menjadi Perusahaan Perkebunan Ampera I dan USR menjadi Perusahaan Perkebunan Ampera II.
Perusahaan lainnya, yang terbilang kecil, juga diatur. Union Carbide berada di bawah tanggung jawab dan kontrol Kementerian Perindustrian Rakyat. NCR ditempatkan di bawah penguasaan/pengurusan Departemen Perdagangan Luar Negeri. AIFA, tanpa diatur dalam keputusan spesifik, diserahkan ke Departemen Keuangan. Begitu pula dengan MPEAA, yang konteks pengambilalihan lebih pada aspek budaya ketimbang ekonomi –aset-aset mereka terutama ada pada film.
Pembelian
Pada 24 April 1965, dengan alasan Berdikari, Presiden Soekarno mengeluarkan Penpres No. 6/1965 yang menempatkan semua perusahaan asing di bawah penguasaan pemerintah, terlepas dari asal negara.
Namun, pada akhir tahun, ada dorongan dari pemerintah pusat untuk menghilangkan sepenuhnya kehadiran investasi asing di negeri ini. Upaya ini memiliki dua komponen utama: membeli semua saham atau mengambilalih manajemen dari tiga perusahaan minyak besar, dan pengambilalihan manajemen dan pembelian semua saham perusahaan perkebunan asing non-Inggris.
“Ini adalah satu-satunya kelompok perusahaan asing di mana pemerintah Indonesia terlibat dalam negosiasi kompensasi yang serius,” tulis Redfern.
Shell menjual aset dan wilayahnya kepada pemerintah pada akhir Desember 1965 seharga $110 juta dengan pembayaran angsuran selama lima tahun. Caltex dan Stanvac menahan diri dari tekanan pengambilalihan oleh pemerintah Indonesia. Dalam kasus perkebunan non-Inggris, pada akhir 1965, 16 perusahaan perkebunan yang memiliki setidaknya 58 perkebunan menyetujui persyaratan kompensasi dengan pemerintah Indonesia sebesar $29 juta ditambah Rp1,85 miliar, umumnya dibayar lebih dari tujuh sampai 10 tahun.
Bersamaan dengan pembelian itu, Kementerian Perkebunan membentuk Petugas Pengawas Perkebunan Asing (PPPA) sebagai otoritas tertinggi di perkebunan. Setelah pembelian itu, sebagian besar perkebunan (kecuali Goodyear dan US Rubber, dan sekitar 10 yang disita pada 1964 dan sudah ditempatkan di Dwikora) dikelompokkan menjadi unit terpisah yang disebut PPN Expera –kependekan dari Ex Perkebunan Asing. Ada empat unit Expera yang dibentuk, dengan Expera II khusus untuk perkebunan SOCFIN (milik Belgia) menjadi yang terbesar.
Praktis, pada akhir 1965, investasi asing di Indonesia, dengan dua pengecualian Caltex dan Stanvac, telah dilenyapkan.
Dikembalikan
Konfrontasi berakhir ketika kekuasaan Sukarno melemah pascaperistiwa 1965. Perjanjian damai Indonesia-Malaysia ditandatangani pada Agustus 1966. Hubungan kedua negara kembali normal setelah penandatanganan perjanjian kerjasama perdagangan dan ekonomi dan teknis pada Mei 1967.
Untuk mendorong investasi asing, pemerintah merancang pengembalian perusahaan asing yang disita selama 1963-1965. Pada 12 Desember 1966, beberapa hari sebelum negara-negara kreditor Indonesia bertemu di Paris dan sepakat menjadwal ulang utang luar negeri Indonesia, Jenderal Soeharto mengeluarkan Instruksi Presidium Kabinet tentang pengembalian perusahaan-perusahaan asing ke tangan pemiliknya.
Setelah proses negosiasi, yang kadang berjalan lambat, 12 perusahaan manufaktur yang diambilalih dikembalikan, meskipun beberapa pemilik memutuskan mengakhiri operasi. Untuk perusahaan perkebunan, Goodyear dan US Rubber adalah yang pertama dikembalikan pada akhir 1967, diikuti yang lainnya pada paruh pertama 1968. Sekitar 50% perusahaan perkebunan dikembalikan, meski tidak semua perkebunan mereka dikembalikan. Salah satu perusahaan perkebunan, SOCFIN, dikembalikan sebagai sebuah perusahaan patungan dengan pemerintah Indonesia.
“Sebagian besar perusahaan yang dikembalikan, apakah fasilitas manufaktur atau perkebunan, berada dalam kondisi fisik yang sangat buruk, dan hampir semua yang kembali sepakat untuk melakukan investasi baru yang signifikan dalam bisnis mereka,” tulis Redfern.
Selain itu, setidaknya 10 perusahaan Malaysia dikembalikan pada 1968. Dan pada musim panas 1966, pemerintah Indonesia juga setuju membayar kompensasi atas penyitaan dan nasionalisasi perusahaan Belanda selama 1957-1959 dengan jumlah fl.600 juta (sekitar $165 juta), yang diangsur selama 30 tahun dan dimulai pada 1971.
Selesailah gegap-gempita pengambilalihan dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Kendati demikian, sebagai sebuah wacana, ia tak pernah mati.*