Pengambilan sumpah dan pelantikan Wali Negara Pasundan R.A.A. Wiranatakusumah di Yogyakarta, 26 April 1948. (IPPHOS/ANRI).
Aa
Aa
Aa
Aa
PADA 4 Mei 1947, Suria Kartalegawa, mantan bupati Garut periode 1929–1944, memproklamasikan Negara Pasundan di alun-alun Bandung. Sebelumnya, dia mendirikan Partai Rakyat Pasundan (PRP). Proklamasi tersebut dihadiri ribuan orang yang dikerahkan dari Ujungberung dan Kiaracondong dengan truk-truk Belanda. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook hadir.
Juhana, anak Kartalegawa, heran dengan ulah ayahnya yang mendirikan Negara Pasundan. Padahal, baginya, sang ayah selalu berselisih paham dengan pembesar Belanda. Demikian juga orang tua Kartalegawa. Ibunya yang lanjut usia berbicara di corong radio untuk menyatakan tak setuju Kartalegawa mendirikan Negara Pasundan.
PADA 4 Mei 1947, Suria Kartalegawa, mantan bupati Garut periode 1929–1944, memproklamasikan Negara Pasundan di alun-alun Bandung. Sebelumnya, dia mendirikan Partai Rakyat Pasundan (PRP). Proklamasi tersebut dihadiri ribuan orang yang dikerahkan dari Ujungberung dan Kiaracondong dengan truk-truk Belanda. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook hadir.
Juhana, anak Kartalegawa, heran dengan ulah ayahnya yang mendirikan Negara Pasundan. Padahal, baginya, sang ayah selalu berselisih paham dengan pembesar Belanda. Demikian juga orang tua Kartalegawa. Ibunya yang lanjut usia berbicara di corong radio untuk menyatakan tak setuju Kartalegawa mendirikan Negara Pasundan.
Para pemuka Sunda bereaksi keras. Menak Sunda R.A.A. Wiranatakusumah mengirimkan surat kepada Sukarno bahwa keluarganya, yang umumnya menduduki jabatan-jabatan penting pemerintahan Republik, menolak Negara Pasundan dan berdiri di belakang pemerintah Republik.
Menyadari Kartalegawa kurang mendapat dukungan, pemerintahan peralihan Belanda (Recomba) menghelat konferensi untuk membentuk negara federal baru yang melibatkan berbagai kalangan di Jawa Barat. Konferensi dilakukan tiga kali (13–18 Oktober 1947, 16–20 Desember 1947, dan 23 Februari–5 Maret 1948).
Menurut Helius Sjamsuddin dkk. dalam Menuju Negara Kesatuan: Negara Pasundan, Konferensi Jawa Barat I dianggap sebagai peletak dasar pembentukan Negara Pasundan. Dalam konferensi terpecah tiga pendapat: setuju Negara Pasundan; tidak setuju; dan di tengahnya bersikap ambivalen dengan varian setuju pemerintahan baru tetapi sementara, pemerintahan bercorak Islam, atau menuntut daerah istimewa.
“Gambaran serupa dapat dilihat dalam Konferensi Jawa Barat II dan III,” tulis Helius. “Bahkan setelah Negara Pasundan harus diterima sebagai suatu kenyataan dan Konferensi Jawa Barat III menjelma menjadi Parlemen Pasundan, ketiga sikap itu terus terbawa-bawa.”
Dalam sidang Parlemen tanggal 4 Maret 1948, Wiranatakusumah, yang yakin Republik takkan keberatan, terpilih sebagai wali negara. R. Adil Puradireja, yang juga Republiken, jadi perdana menteri. Kabinet pertama ini hanya bertahan enam bulan. Jumhana Wiriaatmaja, yang juga pro-Republik, menggantikan Puradireja yang kemudian jadi wakil perdana menteri. Posisi perdana menteri terakhir dijabat Anwar Tjokroaminoto.
Menurut Agus Mulyana, dalam tesisnya tentang Negara Pasundan di Universitas Indonesia tahun 1996, karena tampilnya menak-menak Republiken itulah Belanda memberi wewenang terbatas.
Dalam keterbatasan itu, negara ini berupaya menjalankan pemerintahan. “Di Kota Bandung sebagai ibu kota negara masih sempat terdapat kegiatan-kegiatan sosial, budaya, serta agama sebagai penyaluran aspirasi mereka, meskipun dalam ruang gerak SOB (keadaan darurat perang),” tulis Helius. Terdapat pula aktivitas dari organisasi-organisasi profesi, perempuan, dan pemuda.
Pada akhir 1949, Parlemen bergolak. Banyak anggota menuntut pembubaran Negara Pasundan karena dianggap gagal. Aksi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin Kapten Raymond Westerling mempercepat pembubaran Negara Pasundan.
Pada 10 Februari 1950, Komisaris Pemerintah Republik Indonesia Serikat mengambil alih Negara Pasundan. Pada 8 Maret 1950, sidang penentuan suara rakyat Jawa Barat digelar di bekas gedung Parlemen Pasundan yang dihadiri 159 wakil dari berbagai golongan dan wilayah. Semua sepakat, Jawa Barat kembali menjadi bagian Republik Indonesia. Pada 11 Maret 1950 keluar Surat Keputusan RIS No. 113 yang menyatakan Jawa Barat termasuk wilayah Republik Indonesia.*