Foto Nurnaningsih untuk promosi berukuran kartu pos dari studio foto Hollywood, Jakarta, 1955.
Aa
Aa
Aa
Aa
USMAR Ismail, sutradara terkemuka Indonesia, membuka satu per satu surat lamaran yang masuk ke kantor Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Sebuah surat lamaran yang tak lazim membuatnya tertarik. Pengirimnya seorang perempuan biasa, bukan artis film. Yang bikin dia kaget, ada darah mengering di surat lamaran itu. Si pengirim juga bukan hanya melampirkan satu pas foto ukuran 4 x 6. Usmar merasa, perempuan cantik di pas foto itu sungguh-sungguh ingin tampil di layar lebar.
Usmar memutuskan menerimanya dan akan memberikan peran utama, bersama Rd. Sukarno dan Tina Melinda, dalam film yang akan diproduksi Perfini dengan judul Krisis (1953).
Perempuan tersebut bernama Nurnaningsih atau biasa dipanggil Nurna. Dia memang masih hijau di dunia akting. Tapi dia punya modal memadai sebagai pemain teater dan penyanyi lokal di Surabaya.
USMAR Ismail, sutradara terkemuka Indonesia, membuka satu per satu surat lamaran yang masuk ke kantor Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Sebuah surat lamaran yang tak lazim membuatnya tertarik. Pengirimnya seorang perempuan biasa, bukan artis film. Yang bikin dia kaget, ada darah mengering di surat lamaran itu. Si pengirim juga bukan hanya melampirkan satu pas foto ukuran 4 x 6. Usmar merasa, perempuan cantik di pas foto itu sungguh-sungguh ingin tampil di layar lebar.
Usmar memutuskan menerimanya dan akan memberikan peran utama, bersama Rd. Sukarno dan Tina Melinda, dalam film yang akan diproduksi Perfini dengan judul Krisis (1953).
Perempuan tersebut bernama Nurnaningsih atau biasa dipanggil Nurna. Dia memang masih hijau di dunia akting. Tapi dia punya modal memadai sebagai pemain teater dan penyanyi lokal di Surabaya.
Nurna lahir di Wonokromo, Surabaya, pada 5 Desember 1928. Dia anak ketiga dari pasangan Raden Kadjad Kartodarmodjo dari Karanganyar dan Sukini Martindjung dari Yogyakarta. Menilik gelar raden di depan nama ayahnya, Nurna memang keturunan ningrat. “Nurna adalah keturunan raja Solo dari garis ibu dan raja Yogyakarta dari garis ayah. Hal ini dibuktikan dari sertifikat kerajaan yang dimiliki keluarga,” ujar R. Julius Hargowo Bintoro, anak kedua Nurna, kepada Historia.
Nurna merantau ke Jakarta saat berusia 25 tahun. Terbilang terlambat untuk ukuran seorang artis yang baru merintis karier di layar lebar. Menurut majalah Cinta, Juli 1973, di Jakarta Nurna tinggal di sebuah gubuk di pinggir kali Ciliwung. Dia sudah membulatkan tekad, menjadi bintang film seumur hidupnya.
Dan kesempatan itu datang ketika surat lamarannya diterima Usmar Ismail.
Dalam film Krisis, Nurna berperan sebagai Ros. Kendati memainkan peran utama, dia tak mendapat bayaran tinggi hanya Rp180. Toh keterlibatannya dalam film itu berbuah manis.
Krisis menuai sukses. Perfini, yang tengah dilanda krisis keuangan, terselamatkan.
Nurna ikut tenar. Ribuan surat pujian melayang ke rumahnya. Banyak penonton, terutama kaum lelaki, jatuh hati pada kecantikan dan akting Nurna. Bahkan, tulis Sukanjata dalam Nurnaningsih Luar Dalam (1955), banyak perempuan ingin menjadi seperti Nurna.
Setelah debut pertamanya, Nurna mendapat tawaran tampil dalam film Harimau Tjampa (1954) arahan sutradara D. Djajakusuma. Film ini juga meraih sukses, menyabet dua penghargaan bergengsi: skenario terbaik di ajang Festival Film Indonesia dan musik terbaik di ajang Asian Film Festival pada 1955.
Banyak informasi, terutama di media-media saat ini, menyebut Nurna tampil setengah telanjang dalam film itu. Dan karenanya dia ditahbiskan sebagai bom seks pertama film Indonesia. Nyatanya, tak ada adegan panas. Tak ada Nurna setengah telanjang. Nurna malah terlihat anggun mengenakan kebaya dan kain.
“Karena di Indonesia buka-bukaan kan tabu. Jadi tidak mungkin,” ujar Maria Nina Zunaria, anak ketiga Nurna. Predikat bom seks, menurut Nina, muncul karena ibunya cantik sekali, dengan tubuh yang sangat seksi.
Skandal Foto
Setelah berakting di Harimau Tjampa, Nurna bikin geger jagat hiburan tanah air. Foto bugilnya tersebar. Bukan hanya di Jakarta tapi juga Medan, bahkan Amerika Serikat dan Italia. Buku Nurnaningsih Affair, berisi sejumlah artikel media yang disusun Djambak, cukup gamblang menelusuri kasus foto-foto Nurna.
Akibat peredaran foto-foto itu, Nurna dicerca banyak pihak. Dia dituduh amoral. Presiden Direktur Perseroan Artis Indonesia (Persari) Djamaluddin Malik menyebut perbuatan Nurna mencemarkan perkembangan industri film di Indonesia.
Cercaan juga datang dari keluarga. Nurpeni, adik Nurna yang seorang aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) cabang Magelang, bersama organisasinya ikut menentangnya.
“Kita jadi dimusuhin keluarga, karena kita kan keluarga ningrat. Kita dikucilkan keluarga. Dampaknya [hubungan] sama keluarga jadi jauh,” ujar Nina.
Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Foto-foto itu sudah terlanjur tersebar dan dijual dengan harga Rp200 per lembar, kemudian naik menjadi Rp300 per lembar.
Polisi dan kejaksaan tinggi turun tangan. Menurut Djambak, dari sembilan gaya foto yang beredar, polisi hanya menyita tujuh foto. Namun itu tak menghalangi orang memperjualbelikannya di pasar gelap. Polisi juga melakukan penyelidikan dan memeriksa Nurna.
Kepada media, Nurna memberikan keterangan yang berbeda-beda. Kali waktu dia menyebut foto-foto itu tadinya sebagai bahan studi untuk para pelukis melukis tubuh perempuan. Bahkan lebih jauh lagi, Nurna seolah ingin menjadi garda terdepan dalam menghancurkan pandangan kolot mengenai seni, yang terkungkung tradisi dan moralitas semu masyarakat. Namun dalam kesempatan lain dia bilang foto-foto itu dimaksudkan untuk mendongkrak namanya. Dia juga ingin bermain film di Hollywood dan setenar idolanya, Marlyn Monroe.
“Waktu itu saya ingin semua mulut laki-laki menyebut nama saya seperti menyebut nama MM,” katanya kepada Tempo, 6 Maret 1971. MM singkatan dari Marlyn Monroe.
Sempat berembus kabar 20th Century Fox, perusahaan film raksasa Hollywood, tertarik mengajak Nurna main film. Namun tak ada kabar lebih jauh soal itu. Tampaknya isapan jempol semata.
Menurut Djambak, dua mahasiswa dan tujuh opsir tentara membayar sejumlah uang demi bisa memotret Nurna bugil. Beberapa tahun kemudian, kepada Tempo, 5 Juni 1976, Nurna berkilah, “Tapi saya tidak pernah dapat uang sesen pun untuk potret-potret tersebut.” Nurna juga mengatakan tak bermaksud menyebar foto-foto itu ke publik.
“Coba Bung pikir, seorang lonte kelas kambing juga tidak bersedia digambar telanjang untuk kemudian gambar-gambar itu dijual di pasar. Mereka lebih berani menjual kehormatan daripada menjual gambar telanjangnya,” katanya kepada Sukanjata.
Mengenai pemotret dan penyebar foto-foto aduhai Nurna, tak ada pemberitaan lanjutan. Apakah mereka ditangkap, masih sumir. Setelah beberapa kali menjalani pemeriksaan, Nurna dinyatakan tak bersalah dan lepas dari jerat hukum.
“Yang diperedarkan orang sekarang bukan gambar saya yang asli. Tetapi potret kepala saya ditempelkan kepada tubuh orang lain. Saya tahu ini dengan pasti, karena bentuk tubuh saya, achtergrond (latar belakang) ketika saya dipotret bukan seperti gambar itu. Dan pose saya juga tidak seperti dalam potret palsu itu!” kata Nurna, dikutip Aneka, 20 Desember 1955.
Nurna mengatakan, seni foto seperti itu bukan barang baru di luar negeri. Mungkin yang dimaksud Nurna adalah teknik montase, penggabungan beberapa gambar menjadi sebuah foto. Meski demikian, Nurna bilang tak akan menuntut orang yang memperjualbelikan fotonya.
Apakah pernyataan itu menunjukkan bahwa Nurna memang pernah dipotret telanjang, yang berbeda dari foto-foto montasenya? Entahlah. Dari beberapa majalah yang memuat foto-foto Nurna, tak ada yang tanpa busana. Di majalah Aneka, 1 November 1954 dan Dunia Film, 1 Mei 1955, Nurna mengenakan celana dalam dan bra. Sedangkan di Aneka, 20 Desember 1955, Nurna mengenakan bra, menghadap ke dinding dengan senyumannya. Bisa jadi, untuk konteks zaman itu, hanya mengenakan bikini sama saja bugil. “Pada zaman itu, orang yang foto seperti itu dianggap tidak normal alias gila,” kata Nina.
Peran Kecil
Di tengah heboh foto telanjangnya, Nurna dikontrak Golden Arrow selama setahun dengan bayaran hanya Rp600 sebulan. Media kala itu menyebut Nurna menjadi pemeran utama dalam film Tjemburu.
Sayangnya, Tjemburu tak sebagus film-film Nurna sebelumnya. Sukanjata mengkritik habis film itu. Menurutnya, cerita yang ringan dan lumayan dalam film itu rusak gara-gara beberapa adegan yang membosankan berupa tarian Barat yang dibawakan pedansa dengan gerakan kaku dan sangat jelek. “Film Tjemburu ini juga memberikan kesan, bahwa Nurnaningsih tidak dapat memegang peranan drama. Permainannya di dalam film ini tidak kuat sebagai di dalam Krisis,” tulis Sukanjata.
Setelah itu, Nurna bermain dalam film Klenting Kuning (1954), Derita (1954), Kebon Binatang (1955), dan Rewel (1955).
Namun, nama Nurna kadung tercoreng. Film-filmya diboikot di sejumlah kota. Pada akhir 1954, Nurna melakukan perjalanan ke Pontianak untuk memberikan penjelasan kepada para pelajar yang memboikot film-filmnya di Kalimantan.
Di dunia teater, nama Nurna tak luntur. Buktinya, dia pentas di Medan selama seminggu pada akhir November 1955. Disebutkan Aneka, 20 Desember 1955, Nurna diserbu ribuan penggemarnya saat baru turun di bandara Polonia Medan. Mereka penasaran melihat sosok asli bintang film yang fotonya tersebar luas di Medan.
“Belum pernah orang begitu berdesak-desakan sehingga pintu kaca restoran Polonia pecah ditubruk orang, karena buru-buru mau mencari tempat untuk dapat melihat Nurnaningsih. Belum pernah PAU (Polisi Angkatan udara) di Polonia sesibuk mengawasi keadaan seperti waktu itu,” tulis Aneka.
Namun, keramaian itu diwarnai insiden. Seseorang melempar batu ke arah Nurna, tapi meleset. Batu itu malah terkena seorang wartawan, yang berusaha melindunginya. Meski motifnya tak jelas, ada dugaan pelemparan batu itu merupakan reaksi atas kekecewaan pelaku terhadap kesediaan Nurna difoto telanjang.
Apa yang dialami Nurna mendorong Gusti Bendahara Raden Ayu Mangkunegoro, salah seorang putri keraton Mangkunegara, Solo, berkunjung ke rumah Nurna di Jalan Lombok, Jakarta. Alih-alih melihat kehidupan artis bergelimang harta, Gusti Bendahara justru menemukan kenyataan sebaliknya. Rumah Nurna berada di sebuah jalan kecil di Jakarta, dengan perabot yang biasa, dan ukuran rumah sederhana.
Kendati hidup sederhana, seperti disebutkan dalam sebuah surat kepada ayahnya, setiap bulan Nurna merogoh kocek Rp50 untuk menyumbang organisasi-organisasi mahasiswa bagian kebudayaan. Nurna pun pernah berkata kepada Usmar Ismail.
“Saya tidak sejelek yang disangkakan orang. Saya sembahyang tarikat,” katanya, dikutip Djambak. Tak jelas apa yang dimaksud. Sebab, dalam beberapa keterangan, Nurna tak menganut Islam. Dia berpegang pada kepercayaan yang disebutnya agama yogi.
Setelah tahun 1955, Nurna raib dari sorot kamera dan pergunjingan media.
“Ibu saya sempat populer, karena foto itu jadi menurun. Jadi, nggak pernah dipakai main film lagi,” kata Nina.
Kisah asmaranya yang bolak-balik kandas juga punya andil.
Nurna Gila
Selain foto telanjangnya, media kerap menyoroti kisah asmara dan kebiasaan kawin-cerai Nurna. Nurna setidaknya sudah enam kali kawin-cerai sebelum menjanda sampai akhir hidupnya.
Nurna menikah untuk kali pertama dengan Wabirun, pegawai kereta api di Yogyakarta, karena dijodohkan orangtuanya. Kala itu usianya masih 18 tahun. Pernikahan ini hanya bertahan dua bulan. “Wabirun itu kena sifilis. Dia suka main pelacur. Ibu kabur ke rumah orangtuanya,” kata R. Julius.
Gagal dengan Wabirun, Nurna menikah lagi dengan pelukis Kartono Judokusumo. Mereka lantas tinggal di Bandung. Di sini, Nurna belajar dan mengasah kemampuannya melukis. Namun, pernikahan yang menghasilkan seorang putri itu kandas tujuh tahun kemudian.
“Hidup susah, tapi uang dibelikan terus untuk cat merk Rembrandt. Tentu saja ibu minta cerai,” tutur Karti Yudaningsih, dikutip Tempo Interaktif, 7 Agustus 2000, tentang ayahnya yang tak mau memakai cat murahan.
Setelah itu, Nurna menikah dengan Sabransjah, seorang gitaris Krontjong Orkest Kemala. Lagi-lagi gagal. Pernikahannya hanya bertahan empat bulan. Nurna tak mau dimadu.
Tapi, Nurna tak kapok. Dia melanjutkan petualangan asmaranya. Dia menikah dengan Duri Abdul Rachman, seorang guru SMA. Tapi dua bulan kemudian kandas, setelah Nurna tahu suaminya ternyata sudah menikah dengan perempuan lain. Pertunangannya dengan Caidir Muchtar, seorang pegawai bea cukai, juga gagal ketika tunangannya mensyaratkan agar Nurna menanggalkan karier sebagai bintang film.
Akhir 1954, Nurna menjalin cinta dengan seorang mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian bernama Boggie Harrieanto. Tapi, orangtua Boggie tak merestui hubungan mereka, karena reputasi Nurna yang tercoreng lantaran foto-foto bugilnya beredar di publik. Nurna patah hati. Hampir bunuh diri.
Penulis artikel Rd. Lingga Wisjnu MS dalam majalah Aneka, 1 Juni 1955, menyebut Nurna hendak bunuh diri lantaran sudah hamil tiga bulan. Lingga menyebut Nurna terkena penyakit angst psychoge (penyakit psikologis, penderita mengalami kecemasan dan ketidakberartian). Dia seperti dikejar bayangan sendiri.
Nyawa Nurna tak pupus. Basir Ibrahim, mantan letnan polisi militer yang jadi pedagang, menerima keadaan Nurna dan menikahinya pada April 1955. Dari perkawinan ini mereka mendapatkan seorang putri. Menurut Nina, ibu dan ayahnya bercerai ketika usianya masih satu tahun. “Kan suaminya memanfaatkan ketenaran ibu saya pada waktu itu. Itu fakta yang tak bisa dipungkiri,” ujar Nina.
Menurut Karti, suami terakhir Nurna adalah Yan Karel, yang juga tak bertahan lama. Dari perkawinan ini Nurna mendapatkan anak bernama Yanto Ganggono.
Praktis, dari perkawinan-perkawinan itu Nurna memiliki empat anak.
Perjalanan hidup Nurna menginspirasi Nazar Dollar, seorang juragan sandiwara keliling, untuk membuat lakon drama berjudul Nurnaningsih Gila. Menurut Karti, inti cerita lakon tentang perempuan yang terkenal dan kaya, akhirnya jatuh miskin dan jadi gila. “Itu menggambarkan kehidupan pribadi beliau sendiri. Untungnya beliau tabah, jadi tidak gila,” kata Karti.
Lakon Nurnaningsih Gila sukses dipentaskan keliling Indonesia. Karti berkisah, saat usianya enam tahun, dia pernah menonton lakon itu di Gedung CHTH Yogyakarta. “Gedungnya penuh penonton dan aku nangis,” kata Karti. Menurut Karti, saat itu pertunjukan dipimpin (sutradara) oleh aktor kawakan Tan Tjeng Bok.
Di balik kesuksesan Nurnaningsih Gila, muncul gosip tak sedap soal hubungan Nurna dengan Nazar Dollar. Dalam surat terbuka yang dimuat Star Weekly, 10 Juli 1955, Nurna menyemprot Lingga yang menulis gosip tersebut. Nurna mengatakan dia tak pernah dilamar Nazar dan hubungan mereka sebatas masalah kontrak sandiwara saja.
Kisah asmara itu sedikit-banyak mempengaruhi kehidupan Nurna. Menurut Nina, karena kondisi keluarga yang tak stabil, dia harus terpisah dari ibunya. Dia dirawat neneknya di Magelang, Jawa Tengah. Hingga 1960-an dia diboyong ibunya kembali ke Jakarta. Namun, saat itu pamor Nurna sudah meredup.
Nurna Kembali
Setelah lama menghilang, Nurna muncul kembali. Dia mendapat peran kecil dalam film Djakarta-Hongkong-Macao (1968) dan Orang-Orang Liar (1969). Kemudian dia bermain dalam Bernafas dalam Lumpur (1970) yang dibintangi Suzanna. Di film ini, adegan seks dieksploitasi. Namun, bukan Nurna yang melakukannya. Tapi Suzanna.
Toh, maraknya film sensual pada 1970-an juga dicicipi Nurna. Tempo, 6 Maret 1971, menyebut Nurna beradegan mesra dalam Noda Tak Berampun (1970). Dia berperan sebagai perempuan setengah baya yang membayar laki-laki untuk menidurinya. Tapi dia hanya membuka baju, menyubit-nyubit sembari tertawa-tawa; tidak telanjang. Ditanya soal kesediaan beradegan seks, Nurna mengatakan: “Tidak, saya tahu diri. Sudah tua.”
Dengan honor main film yang tak seberapa, Nurna terpaksa berpindah-pindah tempat tinggal. Pada 1971, dia tinggal di markas rombongan musik Kerontjong Harapan Masa di Tebet Utara. Dia jadi penyanyi untuk rombongan musik itu. Sesekali main film, membuka usaha jahitan kecil-kecilan, dan mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak rekan artisnya.
Dua tahun kemudian Nurna menerima bantuan Rp150 ribu dari pemerintah provinsi DKI Jakarta, yang dipimpin Gubernur Ali Sadikin. Dengan uang itu dia bisa tinggal bersama ketiga anaknya di rumah petak di daerah Manggarai. Sementara Karti sudah berkeluarga dan tinggal di Semarang.
Pada 1976 Nurna tak memiliki rumah lagi. Dari hari ke hari dia menumpang di rumah kenalan-kenalannya. “Ibu saya pernah tinggal sama seorang penyanyi dangdut, namanya saya lupa. Saking miskinnya,” kata Nina.
Nurna melanjutkan kariernya di dunia film sebagai peran pembantu dan figuran pada 1970-an hingga 1980-an. Di antaranya Derita Tiada Akhir (1971), Seribu Janji Kumenanti (1972), Akhir Sebuah Impian(Begitu Kehendak Tuhan) (1973), Benyamin Spion 025 (1974), Mencari Ayah (1974), Aladin Agen Rahasia (1975), Cowok Komersil (1977), dan Kembang-kembang Plastik (1977). JB Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-2005 mencatat, film terakhir Nurna adalah Malam Satu Suro (1988), sebuah film horor dengan bintang Suzanna.
Di usianya yang setengah abad, Nurna juga kembali naik panggung teater bersama Himpunan Artis Tempo Doeloe (Hartedo). Dia bermain dalam lakon Nurnaningsih Gila, yang pernah sukses keliling Indonesia pada 1950-an. Pertunjukan yang berlangsung di Pasar Seni Ancol pada 16 September 1980 itu sukses. Penontonnya membludak. Hartedo juga membentuk kesebelasan sepakbola, dengan Nurna sebagai kiper.
Julius menyebut, Nurna direkrut sebuah klub sepakbola untuk mendongkrak penjualan tiket. Sementara Nina mengisahkan, ibunya bermain sepakbola berpindah-pindah, “keliling ke mana-mana.” Menurut Nina, ibunya juga melakoni bermain akrobat (sirkus) dan pernah naik panggung bersama Srimulat.
Senja dalam Kesendirian
Sebuah lukisan bergambar harimau, berukuran sedang, terpasang di dinding ruang tengah rumah Nina di Menteng Dalam, Jakarta. Lukisan itu karya Nurnaningsih. Selesai digarap 1 Maret 1990.
Menurut Nina, ibunya suka melukis. Lukisan-lukisan itu tak pernah ikut pameran-pameran lukisan. Hanya dibagikan kepada teman-temannya. “Cuma satu lukisan yang saya punya,” ujarnya.
Nurna memang artis serbabisa. Dia bisa bermain piano, bernyanyi, dan melukis. Terkait kemahirannya melukis, Mimbar Umum, 11 Oktober 1954, menyebut Nurna pernah belajar melukis di Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, selama enam bulan dan di sebuah akademi lukis di Bandung di bawah arahan Sumardjo. Selain itu, dia belajar dengan pelukis Djaja Asmara, Kartono Judokusumo, Sudjojono, dan Affandi. Dalam melukis, Nurna menganut aliran ekspresionis.
“Cuma tidak bisa menghasilkan sesuatu (materi), sampai anak-anaknya terlantar. Kita nggak punya apa-apa, menderita. Itu yang membuat saya sedih. Jadi kok, punya kepandaian dan kepintaran, nggak menghasilkan sesuatu. Itu yang saya bingung,” ujar Nina. Kendati demikian, Nina bangga dengan kegigihan ibunya.
Di rumahnya yang sederhana, Nina merawat ibunya yang menderita kelumpuhan hingga wafat pada 21 Maret 2004, di usia 76 tahun, karena menderita diabetes. Nurnaningsih dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta.*
Majalah Historia No. 36 Tahun III 2017
Penulis dan peneliti sejarah. Berminat pada kajian sejarah hiburan, terutama film, teater, dan musik. Tinggal di Jakarta.