Nyanyi Senyap Radio Gelap

Siaran Radio Pemberontakan mengobarkan semangat para pejuang dalam Pertempuran Surabaya.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Nyanyi Senyap Radio GelapNyanyi Senyap Radio Gelap
cover caption
Bung Tomo di depan radio.

SEBUAH rumah di Jalan Mawar No. 10 Surabaya berdiri di atas tanah seluas 2.000 meter persegi. Pepohonan yang rindang membuatnya tidak terlihat utuh. Suasananya sepi. Tak terdengar lagi suara berapi-api yang dulu membangunkan semangat para pejuang di media pertempuran Surabaya.

Sebuah plakat di dinding menjadi penandanya, bertuliskan: “Rumah Tinggal Pak Amin (1935). Tempat Studio Pemancar Radio Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (RPPRI) Bung Tomo. Di sini Ktut Tantri (warga negara Amerika) menyampaikan pidatonya sehingga perjuangan Indonesia bisa dikenal di luar negeri Jl. Mawar 10-12 Surabaya.”

SEBUAH rumah di Jalan Mawar No. 10 Surabaya berdiri di atas tanah seluas 2.000 meter persegi. Pepohonan yang rindang membuatnya tidak terlihat utuh. Suasananya sepi. Tak terdengar lagi suara berapi-api yang dulu membangunkan semangat para pejuang di media pertempuran Surabaya.

Sebuah plakat di dinding menjadi penandanya, bertuliskan: “Rumah Tinggal Pak Amin (1935). Tempat Studio Pemancar Radio Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (RPPRI) Bung Tomo. Di sini Ktut Tantri (warga negara Amerika) menyampaikan pidatonya sehingga perjuangan Indonesia bisa dikenal di luar negeri Jl. Mawar 10-12 Surabaya.”

Sebelum jadi markas radio, rumah ini sempat menjadi asrama Nederland Indische Landbouws Maaschapij (NILM), perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan. Seorang penduduk Surabaya bernama Aminhadi kemudian membelinya dan kemudian mewariskan kepada anak-cucunya.

“Saya dititipi rumah ini oleh eyang saya, Aminhadi, untuk menjaga, merawat, dan mengurus rumah ini karena eyang berpesan rumah ini ditinggalkan untuk anak-cucunya kelak,” ujar Kurnia Ifinatalia, 46 tahun, cucu Aminhadi yang kini menempati rumah itu.

Fina merasa kesulitan merawat rumah ini. Setiap tahun keluarganya harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang tak kecil tanpa sokongan dari pemerintah daerah. Padahal, berdasarkan Surat Keputusan Walikota Surabaya pada 1998, rumah ini merupakan cagar budaya. “Pemerintah hanya membantu sekali dalam pengecatan. Kata mereka agar terlihat apik saat ada napak tilas tanggal 10 November,” ujar Fina.

Nyaris tiap tahun, rumah ini dikunjungi untuk napak tilas 10 November, pertempuran heroik yang menelan ribuan korban jiwa dan kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Sayangnya, pada 2016 rumah bersejarah itu kini telah rata dengan tanah untuk lahan parkir sebuah plaza.

Rumah di Jalan Mawar No. 10 Surabaya ini pernah menjadi tempat Radio Pemberontakan.

Mendirikan Radio

Rumah di Jalan Mawar ini tak bisa dilepaskan dari sosok Bung Tomo, aktor penting dalam Peristiwa 10 November 1945. Menurut sejarawan Benedict R.O’G. Anderson, sepintas Bung Tomo bukanlah seorang yang mungkin menjadi lambang utama gerakan pemuda di Jawa. Sebelum perang, dia memperoleh pendidikan yang baik di sekolah menengah Belanda dan terkenal dalam gerakan pandu di Jawa Timur. Dia kemudian bekerja sebagai wartawan dan pada zaman Jepang menjadi pegawai kantor berita Domei di Surabaya.

“Ketika dia kembali dari Jakarta pada tanggal 12 Oktober 1945, dia membawa gagasan yang membuat dia terkenal: mendirikan stasiun pemancar radio, yang dinamakannya Radio Pemberontakan, sebagai sarana untuk menciptakan solidaritas massa dan memperbesar semangat perjuangan pemuda,” tulis Anderson dalam Revolusi Pemuda.

Kala itu, Radio Republik Indonesia (RRI) sudah berdiri di beberapa kota besar di Indonesia. Namun RRI adalah lembaga penyiaran resmi yang membawa suara pemerintah. Artinya, RRI tak bisa fleksibel untuk menyuarakan perlawanan. Karena itu, saat bertemu Presiden Sukarno dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin di Jakarta, Bung Tomo melontarkan gagasan pendirian Radio Pemberontakan, yang bisa dibilang radio gelap. Amir menyetujuinya. “Asal bukan milik resmi pemerintah,” tulis Barlan Setiadijaya dalam 10 November Gelora Kepahlawanan Indonesia.

Sesampai di Surabaya, Bung Tomo bergegas menuju RRI Surabaya di Jalan Simpang. Kepada kepala RRI Surabaya, dia menyampaikan pesan Amir. “Karena pemancar yang aku maksudkan itu masih harus dibuat, menteri penerangan tidak keberatan kalau sementara aku memakai pemancar Radio Surabaya,” kata Bung Tomo dalam Pertempuran 10 November 1945.

Kepala RRI Surabaya tak keberatan, asalkan ada izin dari Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Surabaya Doel Arnowo atau Residen Surabaya Sudirman.

Malam harinya, Bung Tomo mengundang beberapa kawannya untuk berembuk di sebuah rumah di Jalan Biliton No. 7 Surabaya. Pertemuan itu menyepakati pembentukan Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), organisasi kelaskaran yang terkenal berani mati. Selain itu mempersiapkan operasi Radio Pemberontakan.

Aku lupa bahwa aku sedang berada sendirian di dalam studio. Seolah-olah di hadapanku ada beribu-ribu, bahkan puluhan ribu orang yang mendengarkan pidatoku.

Pada 15 Oktober 1945, melalui surat kabar Soeara Rakjat, Bung Tomo mengumumkan bahwa Radio Pemberontakan mulai hari itu akan mengudara perdana dengan gelombang 34 meter. Residen Sudirman dan Doel Arnowo hadir untuk memastikan peminjaman pemancar RRI Surabaya. Bung Tomo minta diputarkan musik mars sebagai pembuka. Karena tak bisa menyediakan dalam waktu dekat, RRI Surabaya menawarkan lagu Hawaiian, Tiger Shark karya Peter Hodgkinson. Lagu inilah yang kemudian dipakai sebagai pembuka dan penutup siaran.

Dalam pidatonya, Bung Tomo melukiskan kembali dan menumpahkan segala kejadian yang dia alami di Jakarta. “Aku lupa bahwa aku sedang berada sendirian di dalam studio. Seolah-olah di hadapanku ada beribu-ribu, bahkan puluhan ribu orang yang mendengarkan pidatoku. Seakan-akan para pendengarku itu seorang demi seorang kudekati dan kupegang bahunya, kuajak waspada, bersiap menghadapi bahaya yang mengadang. Tak dapat kulukiskan betapa gembiranya hatiku ketika aku selesai membaca. Hampir tak kubersihkan peluh yang membasahi wajahku, kalau tidak ada kawan yang memperingatkan akan hal itu,” ujar Bung Tomo.

Usai siaran, Doel Arnowo berpesan agar urusan pemancar Radio Pemberontakan segera dirampungkan. Beruntung, Menteri Pertahanan drg. Moestopo memberi bantuan pesawat pemancar bergelombang pendek bekas Jepang yang dimiliki Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pesawat pemancar itu kemudian dikembangkan oleh teknisi radio dan anggota BPRI seperti Hasan Basri, Ali Oerip, dan Soemadi.

Radio Pemberontakan mengudara setiap Rabu malam dan Minggu malam. Siarannya bukan hanya dalam bahasa Indonesia, tapi juga bahasa daerah, bahkan bahasa asing terutama Inggris. Atas prakarsa dr. Sugiri, seorang Amerika yang bersimpati pada perjuangan Indonesia, Miss Daventery atau lebih dikenal dengan nama Bali, Ktut Tantri, menyediakan diri menjadi penyiar bahasa Inggris. “Target utama dari siaran berbahasa Inggris adalah pendengar di luar negeri untuk mengumpulkan dukungan luar negeri terhadap kasus yang menimpa Indonesia,” tulis Timothy Lindsey dalam The Romance of K’Tut Tantri and Indonesia.

Di dalam negeri, hampir semua RRI memancarluaskan siaran Radio Pemberontakan –sebaliknya, Radio Pemberontakan juga mengambil bahan siaran dari RRI Surabaya, Malang, Solo, dan Yogyakarta. Beberapa surat kabar juga mengutip isi siarannya.

Ahli radio Hasan Basri (kiri) dan Bung Tomo (kanan). (Repro Pertempuran 10 November 1945).

Pertempuran Surabaya

Tak lama setelah Radio Pemberontakan mengudara, tentara Inggris yang tergabung dalam Allied Firces Netherlands East Indies (AFNEI) mendarat di Surabaya. Mereka bertugas melucuti senjata tentara Jepang, memulangkan tentara Jepang, serta membebaskan tawanan perang. Tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA) membonceng dengan tujuan mengembalikan Indonesia ke administrasi pemerintahan Belanda. Terjadilah perlawanan.

Setelah insiden bendera di Hotel Yamato, meletuslah pertempuran pertama melawan tentara Inggris pada 27 Oktober 1945 yang menelan banyak korban jiwa. Dua hari kemudian disepakati gencatan senjata. Sukarno mengumumkannya melalui Radio Pemberontakan, karena RRI Surabaya mengalami kerusakan akibat terbakar.

Namun gencatan senjata tak menurunkan ketegangan. Bentrokan senjata masih sering terjadi, yang memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby. Tak terima, Inggris mengultimatum agar pihak Indonesia meletakkan senjata dan menghentikan perlawanan. Karena dianggap sepi, Inggris melakukan serangan besar-besaran. Pertempuran berkobar di seluruh kota.

Radio Pemberontakan memainkan peranan penting. Pada 10 November pagi Bung Tomo menganjurkan semua pemuda Surabaya, di mana pun berada, segera kembali ke Surabaya. Kiai Mashoed menggunakan corong radio ini untuk menyerukan para kiai dan rakyat Indonesia menuju Surabaya. “‘Di Surabaya terbuka pintu surga’,” tulis Barlan. Begitu pula seruan sejumlah kesatuan dan kelompok terhadap kawan sepejuangan mereka.

Perwakilan dari sejumlah negara juga bersuara atas serangan Inggris melalui Radio Pemberontakan. Rusia, misalnya, dikutip Warta Indonesia, 14 November 1945, menyebut pertempuran itu merupakan pembunuhan besar-besaran dan berharap pemerintah Rusia menyampaikan protes atas nama kemanusiaan.

Di luar dugaan Inggris, perlawanan di Surabaya tak bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu hingga tiga minggu sebelum Surabaya akhirnya jatuh ke tangan Inggris.

Pemancar Radio Pemberontakan. (Repro Pertempuran 10 November 1945).

Keteledoran dalam Siaran

Terkadang Bung Tomo teledor, yang mengganggu gerak pasukannya. Contohnya, tanpa sengaja dia memperingatkan penembak meriam di sekitar Undaan bahwa tembakannya tak mencapai sasaran, bahkan jatuh di daerah kawan. Peringatan ini justru menjadi informasi penting bagi pihak lawan yang kemudian menghancurkan kedudukan meriam di Undaan. “Keadaan semacam ini terjadi beberapa kali tanpa disadari,” tulis Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya. Mengetahuinya, Isa Edris, anggota TKR yang memimpin batalyon tank, segera menemui Bung Tomo.

Namun keteledoran ini masih kerap terjadi. Suatu waktu, dengan suara berapi-api, Bung Tomo menyerukan: “Bongkar semua senjata di Kedung Cowek, bagikan seluruhnya kepada rakyat. Kita memerlukan segala macam senjata untuk menembak pesawat terbang musuh, membunuh semua tentara Inggris.” Dua jam setelah pidato mengudara, pasukan Inggris menemukan lokasi Kedung Cowek dan menghujaninya dengan tembakan meriam.

“Aku beruntung, hanya dua hari sebelum penghancuran Kedung Cowek, bersama sejumlah anak buahku sempat mengangkut persenjataan sebanyak dua truk dari gudang di sana,” kata Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945. Mereka kemudian membagikan senjata itu kepada pasukan yang membutuhkannya. Namun, Des Alwi menambahkan, para komandan tempur pasukan Republik, antara lain Soengkono, Jonosewojo, dan Rambei, sangat marah. “Mereka menuduh Bung Tomo gegabah dan tidak sadar keamanan.”

Keteledoran lainnya pernah bikin suasana jadi runyam. Ketika arak-arek Suroboyo berjuang menghadapi Inggris, Bandung yang lagi kosong dari pendudukan Inggris malah adem-ayem. Dalam siarannya, Bung Tomo menyerukan: “Hai pemuda-pemuda Sunda, Jawa Barat, jangan engkau bersemangat peuyeum (tapai asal Jawa Barat), tapi mari bersama arek-arek Suroboyo berjuang mempertahankan kemerdekaan dengan tekad merdeka atau mati.”

Sumber lain menyebut yang pidato itu bukan Bung Tomo asli tetapi “Bung Tomo dari Cicadas, yaitu Soetomo, seorang pemuda asal Bandung salah satu anggota delegasi pemuda Jawa Barat yang datang ke Kongres Pemuda di Yogyakarta. Usai mengikuti kongres, mereka pergi ke front Surabaya.

Untuk mendukung proses diplomasi, pemerintah melarang Bung Tomo melakukan pidato di Radio Pemberontakan.

Sementara itu, Muhammad Jasin kebetulan berada di markas BPRI ketika menyaksikan pidato itu. Dampaknya luar biasa. Sebagai reaksi atas ajakan itu, ujar Jasin dalam Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang, “pemuda Jawa Barat mencetuskan Bandung menjadi lautan api.”

Namun, ada efek samping lainnya. Laskar Wanita Indonesia (Laswi) Jawa Barat gusar. Untuk membuktikan mereka bukan peuyembol, seorang anggota Laswi menembak mati serdadu Gurkha dan memenggal kepalanya dan dikirimkan ke Jawa Timur. “Karena kiriman kepala Gurkha dan potongan pedang samurai nyangkut di Yogyakarta,” tulis Barlan, “Pejuang Jawa Tengah pun turun tangan menengahi kesalahpahaman antara pejuang Jawa Barat dan Jawa Timur, dan selesailah ‘perang mulut’ antara sesama pejuang, karena musuh segera meningkatkan serangannya di semua front di seluruh Jawa.”

Ketika tentara Inggris mulai menduduki kota Surabaya, pemancar Radio Pemberontakan dibawa keluar kota. Menurut Agung Ari Widodo, peneliti sejarah Pertempuran Surabaya, mula-mula ke Bangil, kemudian ke Jalan Glintung di kota Malang dan akhirnya ke Kedung Kandang, sebuah desa di luar kota Malang. Pada waktu Indonesia dan Belanda saling menyetujui perjanjian Linggarjati, keadaan sementara mulai damai.

“Untuk mendukung proses diplomasi ini pemerintah melarang Bung Tomo untuk melakukan pidato di Radio Pemberontakan. Hal ini dilakukan pemerintah karena siaran-siaran Bung Tomo dianggap membahayakan proses perjanjian,” ujar Agung. Sejak 17 Desember 1947, Radio Pemberontakan berhenti mengudara. Larangan itu dicabut pada 27 Januari 1948.

Pada akhir 1948, Radio Pemberontakan digunakan untuk Radio Gerilya oleh Brigade Mobil Polisi Jawa Timur yang dipimpin oleh Muhammad Jasin di daerah Gunung Wilis. Selama Pertempuran Surabaya, BPRI di bawah Bung Tomo dan pasukan Polisi Istimewa –cikal-bakal Brigade Mobil– di bawah Jasin bahu-membahu dalam perjuangan. Bahkan Bung Tomo mengakui bahwa dia begitu berani karena keberadaan pasukan Jasin. Akhirnya, pemancar itu dipergunakan sebagai pemancar perhubungan oleh Pusat Kepolisian Republik Indonesia.*

Majalah Historia No. 7 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6476d931d3fd3c906c8d9c13