TAK peduli apapun risikonya, pada Maret 1964, Kartonodimedjo mendatangi Pantosuhardjo yang menyewa tanahnya. Dia menuntut Pantosuhardjo menyerahkan separuh lahan sewaannya yang seluas 3.235 m2 untuk digarapnya sendiri.
Menurut arsip Laporan DPP Petani Surakarta, aksi Kartonodimedjo, penduduk Desa Kingkang, Wonosari, Klaten, Jawa Tengah itu dipicu pidato Ketua CC PKI D.N. Aidit pada Februari 1964. Aidit kecewa terhadap pelaksanaan land reform dan memutuskan mengadakan aksi sepihak. Pernyataan Aidit itu mendorong Barisan Tani Indonesia (BTI) Klaten, di mana Kartonodimedjo jadi simpatisannya, memulai aksi.
Pantosuhardjo menolak tuntutan Kartonodimedjo. Sesuai kesepakatan, dia masih punya waktu dua tahun untuk mengolah lahan yang disewanya itu. Dia mengadukan persoalan ini ke lurah Kingkang.
TAK peduli apapun risikonya, pada Maret 1964, Kartonodimedjo mendatangi Pantosuhardjo yang menyewa tanahnya. Dia menuntut Pantosuhardjo menyerahkan separuh lahan sewaannya yang seluas 3.235 m2 untuk digarapnya sendiri.
Menurut arsip Laporan DPP Petani Surakarta, aksi Kartonodimedjo, penduduk Desa Kingkang, Wonosari, Klaten, Jawa Tengah itu dipicu pidato Ketua CC PKI D.N. Aidit pada Februari 1964. Aidit kecewa terhadap pelaksanaan land reform dan memutuskan mengadakan aksi sepihak. Pernyataan Aidit itu mendorong Barisan Tani Indonesia (BTI) Klaten, di mana Kartonodimedjo jadi simpatisannya, memulai aksi.
Pantosuhardjo menolak tuntutan Kartonodimedjo. Sesuai kesepakatan, dia masih punya waktu dua tahun untuk mengolah lahan yang disewanya itu. Dia mengadukan persoalan ini ke lurah Kingkang.
Upaya mediasi yang dilakukan lurah gagal. Bersama sekira 200 orang, Kartonodimedjo menduduki dan menanami padi di lahan yang disewa Pantosuhardjo. Tak terima, Pantosuhardjo mengadu ke Kejaksaan Negeri Klaten.
Jaksa Marah Djohan mengajak pihak-pihak yang bersengketa bermusyawarah serta memerintahkan Kartonodimedjo mencabuti tanaman. Karena Kartonodimedjo bergeming, jaksa menahan dan menuntutnya ke meja hijau. Jaksa juga kembali memerintahkan pencabutan tanaman.
Dengan didampingi lurah, polisi, dan asisten wedana, Pantosuhardjo bersama orang-orangnya bergerak ke lokasi. Namun, di sana, Purwodihardjo, anak Kartonodimedjo, dengan seribuan orang bersenjatakan pacul hingga arit menghadang. Purwodihardjo minta penangguhan pencabutan tanaman sembari menunggu keputusan pengadilan. Asisten wedana menerima usul itu demi mencegah pertumpahan darah. Massa pun bubar. Pertikaian bisa dihindari.
Namun, sekam sudah siap menyalakan api. Dari Desa Kingkang, konflik pertama terkait land reform atau reforma agraria, pertikaian serupa menyebar ke sejumlah daerah di Indonesia.
Kelompok sayap kanan PNI, terutama cabang-cabang di pedesaan, menentang keras. Sebab, banyak dari mereka merupakan tuan tanah, yang merupakan sasaran land reform.
Buntut Land Reform
Konflik di Desa Kingkang bermula dari pengesahan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) dan UU No. 2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH). UUPA antara lain mengatur pembatasan penguasaan tanah. Sementara UUPBH menekankan pembagian minimum 5:5 dari hasil panen.
PNI, yang menjadi motor kelahiran regulasi itu, mendukung land reform dan penerapannya sesegera mungkin. PNI punya posisi kuat dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan land reform. “Kedudukan Sadjarwo sebagai menteri pertanian dan dominasi PNI dalam pemerintahan daerah di Jawa dan Bali memberi PNI kekuasaan untuk menentukan susunan dan kegiatan panitia land reform setempat,” tulis J. Eliseo Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946–1965.
Namun, suara partai tidaklah tunggal. Kelompok sayap kanan partai, terutama cabang-cabang di pedesaan, menentang keras. Sebab, banyak dari mereka merupakan tuan tanah, yang merupakan sasaran land reform.
“Di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, di mana PNI punya banyak anggota dan pendukung di kalangan kelompok pemilik tanah, Dewan Partai Daerah memanfaatkan pengaruhnya untuk menolong para tuan tanah mengelak dari Undang-Undang tersebut,” tulis Rocamora.
Tentangan makin kuat setelah PKI dan onderbouw-nya, BTI, melancarkan aksi sepihak. Banyak tuan tanah dan pamong praja anggota PNI menjadi korban. Tanpa mengindahkan sikap pimpinan pusat, pimpinan PNI di daerah-daerah bergerak sendiri. Bersama Persatuan Tani Nasional Indonesia (Petani), onderbouw PNI, mereka melawan kaum komunis.
Sikap PNI di daerah itu membuat pimpinan pusat PNI mengatur ulang sikap mereka terhadap land reform dan PKI. PNI mengecam aksi sepihak dengan alasan mengancam Nasakom (persatuan bangsa). Sementara kepada PKI, sikap PNI semakin menunjukkan persaingannya.
Perlunya Pengadilan Land Reform
Dalam kasus Kingkang, BTI cabang Klaten mengeluarkan resolusi yang antara lain memprotes tindakan jaksa, mendesak retooling terhadap jaksa Marah Djohan, serta mendesak kasus tersebut diselesaikan Panitia Landreform Dati II Klaten dan pembebasan Kartonodimedjo.
Pada 18 April 1964, Catur Tunggal (badan koordinasi dari pemerintahan daerah yang berisikan unsur perwira militer dan aparatur sipil) Klaten menjawab resolusi BTI dengan mengeluarkan “Pendjelasan Bersama Tjatur Tunggal Klaten”. PNI mendukung sepenuhnya upaya Catur Tunggal.
Dalam laporannya, Petani Surakarta menilai aksi sepihak dipakai kaum komunis untuk memperkuat massa. Mereka juga mengeluh belum adanya ketentuan spesifik mengenai sewa tanah pertanian menurut UUPA. Karena itu, agar tak digunakan sebagai objek pertarungan politik, mereka mengusulkan dikeluarkannya, “suatu undang-undang ataupun Perpu yang mengatur persewaan tadi.”
Petani Surakarta juga memberikan usulan lebih terperinci. Antara lain sesegera mungkin direalisasikan pengadilan land reform, melibatkan petugas agraria dan organisasi tani yang mewakili Nasakom.
Pengadilan land reform sudah dibentuk melalui undang-undang setelah 1961, tetapi tidak merata dan tak berjalan efektif. Menurut Margo L. Lyon, pengadilan tak berjalan efektif karena organisasinya lemah dan kurangnya tanggungjawab dari orang-orang yang duduk di dalamnya. Banyak kasus ditunda, yang menyebabkan para petani terpaksa melancarkan aksi sepihak. Kurangnya informasi dan tiadanya sertifikat pemilikan tanah mempersulit kerja pengadilan.
Kasus sengketa tanah juga ditangani pengadilan negeri, yang didominasi kalangan priayi dan berorientasi pada PNI. “Pengadilan negeri ini pada akhirnya merupakan arena tambahan walaupun lebih formal, bagi konflik-konflik yang merembes ke seluruh masyarakat desa,” tulis Lyon dalam “Dasar-dasar Konflik di Daerah Pedesaan Jawa”, dimuat di Dua Abad Penguasaan Tanah suntingan S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi.
Bermula dari Klaten, aksi itu menyebar terutama ke daerah-daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Di Jawa Timur, PNI bersekutu dengan Nahdlatul Ulama (NU), yang juga memiliki kepentingan dalam masalah tanah para anggotanya.
Pada Juni 1964, konfrontasi itu menjadi masalah nasional. Menteri Pertanian Sadjarwo bergabung dengan para pemimpin PNI konservatif di Jawa Tengah dan melarang kegiatan kaum tani tersebut. Pejabat presiden J. Leimena mengutuk aksi-aksi petani. PKI menjawab, kaum tani hanya mempertahankan diri terhadap mereka yang mencoba melakukan sabotase terhadap reformasi tanah.
Buruknya pelaksanaan land reform sampai ke telinga Presiden Sukarno. Pada Desember 1964, Sukarno mengundang semua partai politik ke Istana Bogor. Dia memerintahkan agar pertikaian land reform diselesaikan melalui konsensus. Namun, konflik terus berlangsung hingga G30S pecah.*