Ode Pejuang yang Kesepian

Mengorganisasi pemogokan dan demonstrasi di New York, mengakhiri hidup di Kalibata.

OLEH:
Andri Setiawan
.
Ode Pejuang yang KesepianOde Pejuang yang Kesepian
cover caption
Betaria Sarulina/Historia.ID

KALIBATA, 23 Agustus 1972. Sekira pukul sembilan malam, terdengar suara ketukan. Muhammad Ali beranjak dan membuka pintu. Di hadapannya berdiri tetangganya. Ia mempersilakan masuk. 

Di ruang tamu, mereka berbincang hangat. Ali dan istrinya lebih banyak mendengar penuturan lelaki itu. “Cerita dagang, cerita dia di Eropa, cerita perjalanan dari Indonesia ke Amerika. Nggak bisa semuanya (saya ingat), nggak saya catat. Saya iya-iya aja,” ujar Ali, berusia 90 tahun, kepada Historia

Malam kian larut. Si tamu mulai menyampaikan maksud kedatangannya. Ia menyodorkan surat kuasa. Ali diminta mengambil tunjangan pemerintah bagi perintis kemerdekaan dan mengelola uang itu untuk istrinya. Ia beralasan hendak pergi tapi tak memberi tahu tujuannya. 

Ali menolak permintaan itu. Akan lebih baik jika istrinya sendiri yang mengurus. Si tamu tak memaksa. Ia lalu pamit.

Sementara itu, tak jauh dari rumah Ali, Siti Aminah gelisah. Sudah lewat tengah malam tapi suaminya belum pulang juga. Ia keluar; barangkali suaminya berada di sekitar rumah. Dalam keremangan ia melihat seseorang berdiri di bawah pohon rambutan di samping rumah. 

KALIBATA, 23 Agustus 1972. Sekira pukul sembilan malam, terdengar suara ketukan. Muhammad Ali beranjak dan membuka pintu. Di hadapannya berdiri tetangganya. Ia mempersilakan masuk. 

Di ruang tamu, mereka berbincang hangat. Ali dan istrinya lebih banyak mendengar penuturan lelaki itu. “Cerita dagang, cerita dia di Eropa, cerita perjalanan dari Indonesia ke Amerika. Nggak bisa semuanya (saya ingat), nggak saya catat. Saya iya-iya aja,” ujar Ali, berusia 90 tahun, kepada Historia

Malam kian larut. Si tamu mulai menyampaikan maksud kedatangannya. Ia menyodorkan surat kuasa. Ali diminta mengambil tunjangan pemerintah bagi perintis kemerdekaan dan mengelola uang itu untuk istrinya. Ia beralasan hendak pergi tapi tak memberi tahu tujuannya. 

Ali menolak permintaan itu. Akan lebih baik jika istrinya sendiri yang mengurus. Si tamu tak memaksa. Ia lalu pamit.

Sementara itu, tak jauh dari rumah Ali, Siti Aminah gelisah. Sudah lewat tengah malam tapi suaminya belum pulang juga. Ia keluar; barangkali suaminya berada di sekitar rumah. Dalam keremangan ia melihat seseorang berdiri di bawah pohon rambutan di samping rumah. 

Aminah mendekat dan langsung terperanjat. Orang itu ternyata suaminya. Tubuhnya sudah dingin. Tali melilit di leher, terikat di cabang pohon rambutan. 

“Malam Jumat, tahun ‘72,” kenang Budimansyah, berusia 58 tahun, anaknya.

Lelaki itu, seorang perintis kemerdekaan, bernama Charles Bidien. Ia wafat di usia 68 tahun. Ia dimakamkan di sebuah pemakaman dalam gang kecil di dekat Warung Jati. Letaknya beberapa meter dari kubangan pembuangan air. Makam Bidien kontras dengan Taman Makam Pahlawan Kalibata yang berjarak sekitar dua kilometer.

Johannes Benedictus van Heutsz (tengah) dengan pasukannya dalam Perang Aceh, 1901. (geheugenvannederland.nl)

Kematian Kawan

Charles Bidien putra Aceh. Ia lahir di Meurendu pada 18 Juli 1904 dengan nama Bidien bin Harun. Tak ada catatan mengenai kehidupan orangtuanya. Ia menjalani masa kecil seperti anak seusianya. Namun, kala berusia enam tahun, sebuah pengalaman kelam mengusik hatinya. 

Suatu hari, Bidien sedang bermain bersama teman-temannya. Rombongan serdadu Belanda berpatroli dan melewati kampung. Amat, temannya, tiba-tiba berlari sambil berteriak: “Kafir! kafir! kafir….!” Sejurus kemudian terdengar suara tembakan. Amat tergeletak tak bernyawa. 

Kematian Amat meyisakan luka mendalam yang mempengaruhi perjalanan hidup Bidien. Ia membenci Belanda. Pada usia 23 tahun ia ikut dalam pemberontakan komunis di Sumatra Barat. 

<div class="quotes-center font-g">Buruh kapal dari Indonesia dipaksa menandatangani kontrak tak adil itu dalam bahasa Belanda yang tak mereka mengerti.</div>

Bidien ditangkap di Pangkalan Brandan dan ditahan selama dua tahun. Boven Digul sudah disiapkan bagi para pembangkang kolonial termasuk Bidien. Namun ia berhasil melarikan diri. Dari Pangkalan Brandan, ia lari ke Belawan dan kemudian mendarat di Singapura. 

Di Singapura, Bidien bekerja di kapal Inggris S.S. City of Rangoon, yang membawanya belayar ke Amerika Serikat (AS). 

Kapal tiba di Boston, Massachusetts, pada 8 Februari 1930. Bidien tetap berada di kapal yang melanjutkan pelayaran menuju Philadelphia, Pennsylvania. Di kota inilah, menurut catatan imigrasi AS yang termuat dalam terbitan Institute of Pacific Relation, Bidien meninggalkan kapal. Kehidupan barunya di negeri Paman Sam pun dimulai. 

Tak banyak catatan mengenai kehidupan pribadinya di AS. Dalam catatannya berjudul Gerakan Angkatan’45 di U.S.A., Bidien juga tak menulis detail bagaimana ia bertahan di “belantara” New York.

Di New York, Bidien menambahkan “Charles” sebagai nama depannya. Ia juga menikah dengan Eleanor Lebsky, yang disebutnya sebagai profesor linguistik Institut Teknologi Massachusetts. Jarak usia mereka yang cukup jauh –Bidien berusia 17 tahun lebih tua– tak menghalangi pernikahan mereka. Pasangan ini dikaruniai seorang putri bernama Elizabeth Bidien. Mereka tinggal di Brooklyn serta memiliki dua restoran dan tiga penginapan.

Kiprah Bidien di AS mulai tercatat pada 1943, setahun setelah Belanda meninggalkan Indonesia karena kalah perang melawan Jepang.

<div class="strect-width-img"><figure><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61cc16809527644cd33e0da9_618a20c5991386cb1761c049_pelabuhan-newyork.jpeg" alt="img"></div><figcaption>Pelabuhan New York pasca perang Dunia II. (gjenvick.com)</figcaption></figure></div>

Protes Buruh Indonesia

Pelabuhan New York tiba-tiba sepi. Pada 1943 itu, 300 buruh Indonesia di kapal-kapal Belanda yang bersandar di sana kabur dan mengungsi ke Seaman House. Aksi ini merupakan bentuk protes atas ketimpangan upah. Mereka bersedia kembali ke kapal jika upah disamakan dengan matros-matros Belanda.

Sejarawan Greg Robinson dalam “The Great Unknown and The Unknown Great: The incarceration of Indonesians in the United States: An Untold Story” menyebut bahwa buruh kapal dari Indonesia dipaksa menandatangani kontrak tak adil itu dalam bahasa Belanda yang tak mereka mengerti.

Di Seaman House, mereka diusir petugas imigrasi untuk kembali ke kapal. Alih-alih patuh, mereka bersembunyi di kolong-kolong bangunan di New York.

Mendengar nasib para buruh kapal Indonesia, Bidien bergerak. Ia mencatat tujuh buruh kapal meninggal di jalanan, tiga orang masuk rumah sakit jiwa, dan beberapa orang ditangkap karena tindak kriminal.

“Malam-malam mereka keluar di jalan-jalan mencari sisa makanan lebih yang dibuang orang dalam tong sampah. Siang hari mereka bersembunyi sebagai tikus di bawah rumah orang. Kebanyakan dari mereka tidak mempunyai pakaian wol untuk melindungi diri dari udara dingin, tidak mempunyai uang dan tidak mempunyai kesanggupan berbicara bahasa Inggris. Maka oleh sebab itu sangat sulit bagi mereka untuk mendapatkan kerja di mana-mana,” catat Bidien dalam Gerakan Angkatan ’45 di U.S.A.

Dengan bantuan Muhamad Sjarif Keling, seorang migran asal Singapura, Bidien bertemu dengan buruh-buruh Indonesia. Di bawah sebuah gedung antara 107 Street dan Lenox Avenue, Harlem, sekira 200 orang berhasil dikumpulkan.

Bidien melihat mereka membungkus kaki dengan koran karena kedinginan. Sebagian besar hanya memakai kemeja tipis dan celana dril compang-camping. Lima di antaranya sakit keras. Bidien menelepon ambulan untuk membawa kelima orang tersebut. Ia juga memberi 250 dolar kepada mereka untuk membeli makanan.

Keesokan harinya Bidien meminta 60 orang yang menginap di penginapannya agar mengemasi barang dalam tempo tiga hari. Kamar-kamar itu dipakai untuk menampung 200 orang Indonesia.

Mereka kemudian membentuk serikat buruh. Namun menolak keharusan bergabung dengan Atlies Seaman Union yang dipimpin orang Belanda. 

Aksi para buruh Indonesia berdampak serius bagi kebutuhan perang. Pengiriman senjata ke Eropa dan Afrika terhambat. Sebagai sekutu Belanda, pemerintah AS pun mengambil tindakan. 

Penginapan Bidien digerebek polisi. Seluruh buruh kapal yang tinggal di sana ditangkap dengan tuduhan pro Jerman dan Jepang. Sekira 100 orang lainnya yang tersebar di New York juga ditangkap. Buruh-buruh ini dipenjara di Pulau Ellis. Greg Robinson menyebut 40 lainnya yang pergi dari kapal di San Francisco dipenjara di kamp penahanan Sharp Park.

Dua bulan kemudian Bidien diminta War Shipping Administration untuk membujuk para buruh agar mau kembali bekerja. Bidien pun datang ke penjara dan mengatakan bahwa mereka bisa mengajukan tuntutan-tuntutan sebagai syarat untuk mau kembali bekerja.

Tuntutan mereka dipenuhi. Oleh para buruh, Bidien disambut bak pahlawan. Namun, di mata Belanda dan AS, Bidien mulai diawasi. 

Charles Bidien bersama kolega-koleganya di Amerika Serikat. (Dok. Keluarga Charles Bidien)


Membentuk Jaringan

Nama Charles Bidien kian diperhitungkan. Bidien makin sibuk. Ia diangkat sebagai ketua United Victory Committee of The Nederland Oversen Territory, organisasi buruh kapal yang meliputi orang Indonesia, Suriname, dan Curacao.

Jaringan politiknya juga cukup luas. Ia bersahabat dengan profesor-profesor yang mendukung kemerdekaan Indonesia seperti Dirk J. Struik, Raymond Kennedy, dan W.E.B. Du Bois. Ia menjalin hubungan dengan para pemimpin serikat buruh di New York dan anggota Dewan Kota New York.

Di New York, orang-orang Indonesia sudah lama bergerak untuk meraih dukungan bagi perjuangan Indonesia. Pada 1930-an berdiri organisasi dengan nama Indonesia Committee for Democracy (Incodam). Organisasi ini kemudian diubah jadi Indonesia Club of America Inc –kemudian diubah lagi menjadi Indonesia League of Amerika Inc. 

Indonesia Club of America Inc dipimpin John R. Andu, salah satu orang Indonesia yang tinggal di Indonesia. Organisasi ini mendapat dukungan dari orang-orang Amerika berpengaruh. Salah satunya Julian Ross, pejabat tinggi dan pakar hubungan luar negeri di Congress of Industrial Organization (CIO), organisasi payung serikat-serikat buruh Amerika.

Frances Gouda dalam Indonesia Merdeka karena Amerika? menyebut peran Ross menunjukkan bahwa CIO, yang mewakili sayap progresif gerakan buruh AS meski secara resmi menolak prinsip-prinsip komunis, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah.

Charles Bidien menjadi anggota Indonesia Club of America Inc. Maret 1945, pada sebuah rapat organisasi, Bidien menyampaikan penolakan atas rencana Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Dalam rapat itu Bidien diangkat sebagai ketua Komite Politik Indonesia di New York dan editor Indonesia Review, majalah organisasi. 

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61cc1680b768d27bc7096533_618a214f756c9c567757e4ec_demo-1.jpeg" alt="img"></div><figcaption>Demonstrasi mendukung kemerdekaan Indonesia di San Francisco dan Los Angeles. (Repro. American Visions of The Netherlands East Indies/Indonesia)</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="muhammad-ali" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61cc1681cd0e3cf610f5f294_618a216c756c9cffc757e4fb_muhammad-ali.jpeg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/podcast-elegi.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Muhammad Ali</b><br>Sahabat Charles Bidien</span></div></div></div>

Kapal-kapal Penuh Senjata

Di Jakarta, kekalahan Jepang atas Sekutu mendorong para pemimpin nasional memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Di pelabuhan New York, 11 kapal Belanda bermuatan senjata siap angkat jangkar menuju Indonesia.

Mengetahui hal itu, Bidien menemui seorang chief di Ally Shipping Pool. Ia mendapat informasi bahwa kapal-kapal itu akan mendapat izin berlayar jika seluruh awak kapal sudah lengkap. Maka, satu-satunya jalan adalah pemogokan. 

Pemogokan sudah terjadi di Australia. Sejak September 1945, kapal-kapal Belanda diboikot di berbagai pelabuhan, seperti Sydney, Melbourne, dan Brisbane. Dalam Spanning a Revolution, Molly Bondan menyebut bahwa dalam satu minggu pemogokan meluas ke Selandia Baru, Singapura, India, Sri Lanka, Timur Tengah, Inggris, dan Amerika Serikat.

Chales Bidien mengangkat isu kemerdekaan Indonesia yang diterbitkan Far Eastern Survey pada 5 Desember, 1945. (jstor.org)

Sementara pemogokan sedang berlangsung di Australia, Bidien dan chief mendatangi kantor Serikat Buruh Pelayaran Amerika Serikat (National Maritime Union of USA). Mereka meminjan ruangan guna rapat umum.

Jumat, 19 Oktober 1945, dipilih sebagai tanggal rapat umum. Pada hari yang sama, 600 serdadu Belanda yang telah berlatih di North Carolina akan dikirim ke Indonesia. 

Rapat umum dibarengi dengan aksi protes. Mereka menyuarakan dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia. Selain 200 buruh kapal Indonesia, hadir pula sekira 3000 orang Indonesia dari seluruh New York. Pertemuan berlangsung hingga pukul sembilan malam. 

Sementara para peserta membubarkan diri, 200 awak kapal tetap berada di ruangan. Mereka kemudian pindah ke ruangan lain. Pintu dikunci. Bidien mulai angkat bicara.

Bidien menjelaskan rencana pemogokan dan meminta kesetiaan para buruh kepada Republik Indonesia. Setelah itu dibentuklah panitia pemogokan yang diketuai Edy Marlan dan Masri.

Pukul sembilan pagi, Bidien melapor ke Ally Shipping Pool bahwa 200 buruh kapal Indonesia melakukan pemogokan. Dengan demikian 11 kapal Belanda yang tambat di pelabuhan New York tak bisa berlayar. 

Pemogokan buruh kapal Indonesia mendapat simpati luas. Di New York, Emergency Committee for Indonesian Seamen yang diketuai oleh Dirk Jan Struik, sejarawan matematika dari Institut Teknologi Massachusetts, menggelar rapat. Struik dengan tegas mengajak orang Amerika untuk mendukung perjuangan Indonesia. 

“Adalah kewajiban semua orang Amerika yang bebas untuk membantu makanan dan pemondokan bagi orang-orang ini,” kata Struik seperti dikutip oleh Muhamad Bondan dalam Genderang Proklamasi di Luar Negeri.

Di San Francisco, gerakan protes dipimpin Larry Bogk. Sementara di Los Angeles, demonstrasi dipimpin oleh Leo Gallagher, sarjana berkebangsaan Irlandia. 

Pemogokan pun bertahan selama beberapa bulan.

Dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Sidik Kertapati, aktivis Menteng 31 yang berperan mendesak Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan, menyebut berkat perjuangan kaum buruh pelayaran Indonesia  dan setia-kawan Serikat Buruh Pelayaran AS, alat-alat perlengkapan perang di kapal-kapal Belanda terpaksa dibongkar.

Bidien mengakui pentingnya dukungan organisasi payung serikat-serikat buruh Amerika dalam aksi pemogokan tersebut. Dikutip Frances Gouda, dalam suratnya kepada Philip Murrat, ketua CIO, Bidien menulis: “Serikat-serikat buruh yang berafiliasi kepada CIO, terutama serikat buruh maritim yang terlibat langsung, menunjukkan dukungan kepada hak bangsa Indonesia mendirikan Republik sendiri dan menolak upaya Belanda mengembalikan kekuasaan kolonial.”


Kampanye Anti-Belanda

Kendati aksi pemogokan itu sukses, Belanda tetap datang ke Indonesia dengan membonceng Sekutu. Artinya, perjuangan Bidien dan kawan-kawannya belum berakhir.

Dirk Jan Struik
Dirk Jan Struik (Wikipedia)

Untuk melanjutkan kampanye anti-Belanda, Emergency Committee for Indonesia Seamen dibubarkan dan dibentuklah American Committee for Indonesia Independence (ACII). Dirk Jan Struik tetap jadi ketuanya. Charles Bidien didapuk menjadi wakil ketua dan istrinya, Eleanor, sebagai sekretaris.

ACII berkedudukan di New York. Organisasi ini kemudian mendirikan cabang, yakni . San Francisco Committee for a Free Indonesia dan American Committee for a Free Indonesia (Los Angeles). ACII mendapat dukungan dari senator Joseph F. Guffey, tiga anggota parlemen Hugh de Lacy, Ellis E. Patterson dan Charles R. Savages, dan sejumlah intelektual dan aktivis serta organisasi-organisasi di sana.

Kampanye juga dilakukan melalui pembentukan opini publik. Melalui artikel berjudul “Independence The Issue”, dimuat jurnal Far Eastern Survey 5 Desember 1945, Bidien menjelaskan posisi Indonesia pascaperang. Ia menyerang upaya Belanda menguasai kembali Indonesia, dan bahkan menjadikannya negara persemakmuran. Dengan kalimat provokatif, ia menyebut pada akhirnya rakyat Indonesia tetap menginginkan kemerdekaan.

Belanda tak tinggal diam. Pada Februari 1946, 14 wartawan dari Belanda dikirim ke AS untuk mengkampanyekan hak-hak Belanda atas Indonesia. Mereka memberikan kuliah di seluruh negeri agar mendapat dukungan publik AS.

ACII bertindak cepat. ACII menghubungi beberapa intelektual seperti Raymond Kennedy, W.E.B. Du Bois, dan Alphus Hunter. Mereka berperan mencegah wartawan Belanda memberikan kuliah di kampus-kampus.

Di Kongres AS, para pendukung Indonesia membahas masalah Indonesia pada April 1946 dan menghasilkan Resolusi H. Res. 603. Resolusi ini meminta Departemen Luar Negeri AS melakukan upaya agar Inggris dan Belanda segera menarik pasukan dari Indonesia serta membawa kasus ini ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Menyusul agresi militer Belanda I pada Juli 1947, ACII menggelar pertemuan di New York. Dewi Dja, penari Indonesia yang terkenal dan tinggal di AS, hadir di tengah-tengah mereka. Ia berkenalan dengan Charles Bidien dan Larry Bokg, yang menurutnya punya nama asli Mansur Bogok.

“Orang ini agak istimewa. Gesit. Ia salah seorang pemimpin ACII. Aku berjabat tangan pula dengan Charles Bidien, orang yang semangatnya meluap-luap juga,” ujar Dewi Dja dalam Gelombang Hidupku yang ditulis Ramadhan KH.

Orang ini agak istimewa. Gesit. Ia salah seorang pemimpin ACII. Aku berjabat tangan pula dengan Charles Bidien, orang yang semangatnya meluap-luap juga.

Dewi Dja juga mengadakan pertunjukan di San Francisco atas undangan Larry Bokg. Pertunjukan ini dipakai sebagai kampanye politik. 

Setelah perencanaan yang matang, aksi protes digelar di San Francisco. Aksi ini diikuti acara kuliah umum “Behind the Scenes of the Dutch Colonial War” oleh Ellis E. Patterson. Dan juga pertunjukan tarian-tarian Indonesia.

“Di sini aku menjadi lebih banyak tahu mengenai pergerakan mereka, seperti halnya di pantai timur, di bawah pimpinan Charles Bidien, yang nama sebenarnya Abidin,” ujar Dewi Dja. Meski perannya kecil, Dewi Dja sempat pula dimintai keterangan oleh petugas Biro Investigasi Federal (FBI).

Aksi serupa terjadi di kota-kota lain. Di Los Angeles, ACII menggalang aksi protes umum lain di depan kediaman Konsul Belanda. Selain demonstrasi di konsulat-konsulat Belanda dan Inggris di AS, ribuan surat dikirim. Bahkan ada aksi menelpon untuk mengatakan “Hands off Indonesia.”

Untuk kampanye publik yang lebih luas, Bidien meluangkan waktu untuk menulis. Tulisannya bertajuk “Indonesia: Asian New Democracy” dimuat Political Affairs, terbitan bulanan Partai Komunis Amerika, pada September 1947. Bidien juga tercatat sebagai konsultan Committee for a Democratic Far Eastern Policy. Dalam terbitan organisasi tersebut, Far East Spotlight terbitan tahun 1948, Bidien menulis artikel bertajuk “U.S. Dollars Aid Dutch in Indonesia”.

<div class="video-content"><video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/ode-pejuang-yang-kesepian/Biiden10.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/ode-pejuang-yang-kesepian/Biiden10.mp4"></video></div>

Gerak-gerik Bidien dan orang-orang Indonesia bikin gerah pemerintah AS. Dengan dalih undang-undang keimigrasian, tindakan mulai diambil. Nasib oran-orang Indonesia ini menjadi perhatian John R. Andu, ketua Indonesia League of Amerika Inc. 

Dalam suratnya kepada Kongres AS pada 29 April 1947, John R. Andu menyebut ada sekitar 300 orang Indonesia di AS. Kebanyakan sudah tinggal lebih dari 10 tahun dan memiliki catatan bagus dengan pekerjaan tetap. Banyak dari mereka menikah dengan istri Amerika dan memiliki banyak anak. 

Menurut John R. Andu, mereka mencintai negara ini dan ingin tinggal selama mungkin. Namun, undang-undang tak memberi mereka hak istimewa kewarganegaraan. Dengan kata lain, mereka akan dideportasi oleh pihak imigrasi. Sudah 300 orang di antaranya dipulangkan ke Jawa dan Singapura. 

“Jika tidak ada yang dilakukan untuk mengubah ketentuan undang-undang, semua orang Indonesia akan segera dipulangkan. Tindakan seperti itu akan menjadi pukulan telak bagi persahabatan Indonesia-Amerika,” tulis John R. Andu.

Ancaman deportasi juga mengarah ke Charles Bidien. Pada saat yang sama, tumbuh sikap antikomunis di AS.


Deportasi

16 September 1948, pukul 11 pagi. Bidien ditangkap dan ditahan. Dalam tahanan, Bidien dibujuk agar mau bekerjasama. Ia bahkan ditawari kontrak kerja dengan gaji 10.000 dolar setahun, rumah senilai 12.000 dolar, sebuah sedan, plus kewarganegaraan AS. Tugasnya adalah mengaku mengenal orang-orang yang akan ditangkap dengan tuduhan subversif.

Jika Bidien menolak tawaran tersebut, ia akan diserahkan kepada pemerintah Belanda dan dikirim ke Suriname untuk dieksekusi. Atau dirantai bersama tahanan-tahanan lainnya (chain gang) dan dipekerjakan sebagai pemecah batu di Georgia selama 15 tahun.

Bidien dengan tegas menjawab bahwa ia memilih hukuman 15 tahun chain gang di Georgia. 

Sehari setelahnya, Eleanor datang bersama advokat Isador Englander dan Abner Green dari America Committee for Protection of Foreign Born. Mereka membawa uang tebusan 35.000 dolar untuk membebaskan Bidien. Bidien bebas bersyarat. Ia tak boleh keluar dari New York.

Dua minggu kemudian, Bidien diadili atas lima tuduhan. Tuduhan pertama, Bidien diduga tergabung sebagai anggota Partai Komunis Amerika (PKA) dan terlibat dalam upaya penggulingan pemerintah AS dengan paksaan dan kekerasan. 

Saksi yang dihadirkan di pengadilan adalah Kasim Ibrahim, orang Indonesia yang mengaku diajak Bidien mengikuti rapat dan pendidikan PKA. Namun, Bidien membantahnya karena bukti tidak kuat dan saksi lain membantah keterangan Kasim.

<div class="infografis-content text-center"><script src="//my.visme.co/visme-embed.js"></script><div class="visme_d" data-url="mxydm18w-5-tuduhan-charles-bidien" data-w="800" data-h="1423" data-domain="my"></div></div>

Tuduhan kedua menyebut Bidien melakukan pelanggaran dengan menjadi wakil ketua ACII yang dianggap ilegal. Ketiga, Bidien diduga terlibat dalam Hunger March di Albany, New York, pada 1934. Hunger March adalah pawai memprotes pemerintah karena tingkat pengangguran tinggi menyusul depresi ekonomi. Keempat, pada 1938 Bidien memalsukan identitas sebagai orang Filipina agar mendapat surat Declaration of Intention untuk menjadi warga negara AS. Karena bukti tak kuat dan lagi-lagi Bidien bisa menangkisnya, tuduhan-tuduhan ini ditarik.

Terakhir, Bidien dituduh menyelundup ke AS pada 1930. Tanpa paspor, tanpa visa. Selama berbulan-bulan menghadapi sidang, hanya tuduhan inilah yang diakui Bidien. 

Atas kesalahannya melanggar undang-undang imigrasi, pada Oktober 1949 Bidien dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun. Namun, pada 21 Desember 1949, terbit surat perintah deportasi. Bidien harus meninggalkan negeri yang telah ia tinggali selama 30 tahun itu.

Pada 20 Januari 1950, dengan menumpang kapal S.S. Batory, Bidien bersama keluarga meninggalkan AS menuju Polandia. Sebelas hari kemudian kapal tiba di Pelabuhan Gdyn. Mereka memutuskan untuk tinggal di Warsawa. Tak ada catatan apa yang mereka kerjakan di sana. Namun, Bidien harus berpisah jalan dari Elanaor.

Terpikat revolusi Tiongkok, Eleanor pergi ke Beijing pada Maret 1951. Sejak itu ia bekerja untuk layanan berbahasa Inggris di kantor berita Tiongkok, Xinhua News Agency, hingga akhir hidupnya. 

“(Eleanor) Bidien, penduduk asli New York, bergabung dengan Partai Komunis Amerika di masa mudanya dan tiba di China melalui Polandia pada tahun 1951,” tulis The New York Times, 18 Agustus 1986, dalam obituari berjudul “Eleanor Bidien, 65, in Peking; Long a Press Agency Worker”.

Eleanor meninggal dunia karena serangan jantung pada 5 Agustus 1986. Ia dimakamkan di Pemakaman Revolusioner Babaoshan. Upacara pemakaman dihadiri sekitar 300 kolega, termasuk Deng Liqun, anggota politbiro dan sekretariat Partai Komunis Tiongkok.

Sementara Bidien tetap tinggal di Polandia. Pada Januari 1957, ia memutuskan kembali ke Indonesia. 

Pada tahun yang sama, namanya disebut Mayor Jenderal Charles A. Willoughby, mantan kepala intelijen staf Jenderal MacArthur selama Perang Dunia II, dalam dengar pendapat dengan House Committee on Un-American Activities, sebuah komite penyelidikan DPR AS, pada 1957. 

Pada 1950-an pemerintah AS tengah gencar melakukan perburuan kaum komunis atau simpatisan komunis. Nama Bidien beberapa kali disebut. Terutama untuk mencari kaitan dengan aktivitas orang-orang AS.

“Bidien adalah seorang agitator Komunis yang terlatih Kremlin; dia akhirnya ditangkap untuk dideportasi (1949),” ujar Willoughby.


Melestarikan Arsip

Setumpuk dokumen pribadi masih terjaga rapi di sebuah rumah di gang sempit di Kalibata, Jakarta Selatan. Dalam dokumen itu terdapat draft buku karya Charles Bidien berjudul Gerakan Angkatan ’45 di U.S.A. Ditulis tangan pada sebuah buku tulis dengan salinannya berupa naskah ketikan. Tulisan ini mengungkap kisah perlawanan Bidien, orang Indonesia maupun luar negeri, di AS dalam mendukung kemerdekaan Indonesia.

Potret Charles Bidien ketika kembali ke Indonesia. (Dok. Keliarga Charles Bidien)

Ada juga sebuah artikel berjudul “Sambutan Kota Djaja Sukarno” yang berisi usulan pengubahan nama Jakarta menjadi Kota Djaja Sukarno. Bidien terinspirasi dari nama ibukota AS, Washington DC.

Masih terkait Sukarno, Bidien menulis dua naskah yang menunjukkan afiliasi politiknya: “Kemenangan Revolusi Sosialis Ala Indonesia” dan “Atjeh Teladan Sosialisme Indonesia.” Naskah pertama adalah satu-satunya tulisan Bidien yang dibubuhi tanggal pembuatan, yakni “Djakarta, 31-12-59.”

Selain itu, ada pula naskah soal sains dan agama. Sayangnya, artikel dengan judul “Bumi Tergantung Tidak Bertali dan Berdiri Tidak Bertiang” dan “Agama Islam” itu tak memiliki penanda siapa penulisnya.

Dokumen-dokumen itu dirawat oleh Junaedi Syeh Abidin (55), anak kedua Charles Bidien dengan istri Indonesianya, Siti Aminah. Junaedi dipercaya kakaknya, Budimansyah (58), dan adiknya, Johansyah (53), untuk menyimpan arsip-arsip tersebut. 

Tanpa arsip tersebut, Junaedi dan saudara-saudaranya barangkali tak mengetahui kisah besar sang ayah. Pasalnya, cerita yang dituturkan ibunya didapat ketika mereka masih kecil.

“Kalau (cerita bapak) secara langsung kita mungkin nggak ingat. Karena masih kecil. Itu kita dapat cerita ibu, Ibu Aminah,” kata Junaedi kepada Historia.

Menurut Budimansyah, setiba di Indonesia, ayahnya pernah tinggal di Ciamis dan menikahi seorang perempuan Indo-Jerman. Namun pasangan ini tak dikarunia anak. Bidien kemudian menikah lagi dengan Siti Aminah dan tinggal di Jakarta. 

Keberadaan Bidien di Jakarta tampaknya mendapat sambutan hangat. Menurut Junaedi, rumahnya sering didatangi tamu, baik orang biasa maupun tokoh politik. Beberapa nama terkenal antara lain Jusuf Muda Dalam, Idham Chalid, dan Teuku Nyak Markam.

“Sebagian ada yang belajar bahasa Inggris. Sebagian belajar politik sama bapak saya,” ujar Junaedi.

Jusuf Muda Dalam dalam surat kepada Hasan Gayo tertanggal 8 Juni 1960 menyebut pentingnya peran Bidien di AS serta perlunya pelestarian arsip dokumen dan foto yang dibawa Bidien ke Indonesia.

“Semua dokumen-dokumen tersebut telah dipersiapkan untuk diadakan penyerahan dengan resmi kepada Presiden Republik Indonesia, maka oleh sebab itu saya rasa ada baiknya jikalau Angkatan ‘45 dapat mengadakan resepsi kepulangan Saudara Bidien dengan resmi dari luar negeri,” tulis Jusuf.

Jusuf Muda Dalam kala itu menjabat presiden direktur Bank Negara Indonesia. Hasan Gayo adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Keduanya sama-sama orang Aceh. Tentu mereka peduli dan bangga dengan perjuangan Bidien.

Dekat dengan tokoh-tokoh penting bukan berarti hidup Bidien sejahtera. Menurut Budimansyah dan Junaedi, sejak kembali ke Indonesia, ayahnya memilih jualan obat tradisional Aceh. Suatu kali, Bidien pernah meminta bantuan pemerintah untuk memulai usaha cuci kapal di Tanjung Priok. Tapi upaya ini tampaknya tak berjalan.

Sebagai orang Aceh, sudah lumrah membantu perantau dari Aceh. Salah satu orang yang pernah dekat dengan Bidien adalah Zakaria. 

Zakaria adalah salah satu informan Iskandar untuk penulisan disertasi dengan judul “Tindakan Kerja Masyarakat Pidie: Antara Agama, Adat Tradisi dan Historisitas Lokal”. Di Jakarta, Zakaria bilang ia diajak Bidien ke manapun berjualan obat. Mereka bahkan berkelana ke beberapa kota di Pulau Jawa. 

“Ia orang Aceh yang hebat,” ujar Zakaria.

Suatu hari, lewatlah Teuku Nyak Markam, pengusaha kaya asal Aceh, yang kaget saat tahu Bidien berjualan obat. Markam tahu betul siapa Bidien. Maka, diajaknya untuk berhenti jualan obat keliling. Markam berjanji akan membuka usaha farmasi untuk dikelola Bidin. 

“Ia menolak. Andai tak ditolak syekh, maka saya sudah menjadi karyawan besar,” Zakaria tertawa. “Bukan menjadi petani.” Zakaria berhenti ikut jualan obat dan kembali ke Meureudu, sebuah kecamatan di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, pada 1970 dan jadi petani.

Bisnis obat Bidien tampaknya kian suram. Tubuhnya pun menua. Ia juga lelah jiwa dan raga.


Hilang dari Ingatan

Medio 1966. Jalan Kramat Raya ramai. Dari pedagang obat hingga pelacur tumpah ruah jadi satu. Martin Aleida, mantan wartawan Harian Rakjat yang pernah bertugas di Istana Negara, menjajakan kaos. Ia harus bertahan hidup sekaligus menghindar dari Operasi Kalong. Maklum, media tempatnya bekerja merupakan organ Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tengah dibasmi habis-habisan.

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61cc168139c94d63bc96be8d_618a2356397f8bc924b8c24b_kramat-jakarta.jpeg" alt="img"></div><figcaption>Kramat, Jakarta 1963. (Pinterest)</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="Junaedi Abidin" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61cc168195276417f93e0daa_618a23872904ba070693df35_junaedi-abidin-podcast.jpeg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/podcast-junaedi.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Junaedi Abidin</b><br>Anak kedua Charles Bidien.<br>(Fernando Randi / Historia.ID)</span></div></div></div>

Suatu waktu Martin berjumpa dengan Bidien. Ia tak menegur karena mata-mata bisa ada di mana saja. Menurut Martin, Bidien berjualan obat sambil memajang kliping-kliping koran berbahasa Inggris yang memberitakan perjuangannya di New York. Karena barangkali orang tak mengerti bahasa Inggris, dagangan Bidien terbilang sepi pembeli.

“Dia berjualan dengan jujur kok, minyak ramuan Aceh dan ada macam-macam. Dia memperkenalkan diri dia dengan jujur. Tapi karena kiri-kanan itu penuh dengan tipu daya, ya orang menganggap dia juga tukang tipu, tukang bohong,” ujar Martin kepada Historia.

Oleh pemerintah, Bidien diakui sebagai perintis kemerdekaan. Surat tunjangan dari pemerintah kepada Bidien sebagai perintis kemerdekaan terbit pada 27 Desember 1970. Surat ini diterbitkan oleh Idham Chalid, menteri negara yang mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan di bidang kesejaheraan rakyat.

Namun, entah apa yang ada di pikiran Bidien. Dalam malam yang sunyi, di bawah pohon rambutan, ia memilih mengakhiri hidupnya pada 24 Agustus 1972.

Budimansyah menduga ayahnya kecewa terhadap Orde Baru. Sebagai perintis kemerdekaan, ia diperlakukan tidak manusiawi. Beberapa kali ia dipanggil ke markas Corps Polisi Militer (CPM) Guntur untuk diinterogasi karena diduga terlibat Peristiwa 1965. Padahal tak pernah ada bukti keterlibatannya dalam peristiwa berdarah itu.

Kabar kematian Bidien sampai ke Kramat Raya, tempat ia biasa berdagang. Berita suratkabar tentang kematian Bidien menjawab pertanyaan Martin Aleida ke mana tetangganya berdagang di trotoar penuh tipu daya itu.

Sejak kematiannya, nama Charles Bidien kian hilang dari ingatan orang-orang. Pun negara. 

Martin Aleida. (Fernando Randi / Historia.ID)

Martin Aleida tak heran jika Bidien jarang disebut dalam narasi sejarah Indonesia, apalagi dalam buku-buku terbitan pemerintah. Namanya sama seperti nama orang-orang kiri yang sejak lama disisihkan dari sejarah bangsa.

“Saya nggak tahu, apakah state of mind, artinya kecenderungan berpikir Charles Bidien kiri habis, komunis, saya nggak tahu. Tetapi banyak orang, seperti perdana menteri, menteri pertahanan, menteri penerangan Amir Sjarifuddin (misalnya), namanya hilang,” kata Martin.

Hilangnya nama Bidien menambah daftar panjang tokoh-tokoh yang disingkirkan dari sejarah. Lelaki dari Tanah Rencong itu mungkin tak memenuhi syarat rezim untuk melengkapi kolase sejarah Indonesia yang harusnya beraneka rupa dan beragam warna.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
61dd04d35b59f099d2f45881