PARTAI Murba memiliki organisasi kebudayaan bernama Organisasi Kebudayaan Rakyat (Okra). Tak ada informasi yang menyebut tentang kelahiran ormas ini, aktivitas, dan tokoh-tokohnya. Sejarawan Harry A. Poeze juga tak mengulasnya.
Dari sedikit informasi yang didapat, Okra disebut-sebut dalam pemberitaan media terkait pengganyangan terhadap Manifest Kebudayaan (Manikebu) dan Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) yang dipelesetkan jadi KK-PSI untuk merujuk keterlibatan orang-orang dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) –itu pun di daerah.
Manifest Kebudayaan (Manikebu) diproklamasikan pada 17 Agustus 1963. Dengan sokongan Angkatan Darat, Manikebu menghelat Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPSI) di Jakarta pada awal Maret 1964.
Reaksi dan kutukan datang dari berbagai organisasi kebudayaan seperti Okra, Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) di bawah Partai Nasional Indonesia, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di bawah Partai Komunis Indonesia, dan Lembaga Sastera Budaya Indonesia (Lesbi) di bawah Partai Indonesia.
Di Medan, Sumatra Utara, pada 30 Januari 1964, Azis S. dari Okra bekerjasama dengan seniman dan pekerja kebudayaan yang tergabung dalam Lekra, LKN, Lesbumi, dan Actor’s Studio Medan menghelat rapat di Balai Wartawan Medan.
Mereka membicarakan soal Manikebu dan ganyang Malaysia. Dilansir Harian Harapan, 3 Februari 1964, sebagaimana dikutip Prahara Budaya karya D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, dalam rapat itu mereka menyatakan sikap tegas untuk mengganyang Manikebu dan Malaysia, karena bukan saja berwatak kontrarevolusi, malah Manikebu berbahaya bagi pertumbuhan kebudayaan revolusioner di tanah air.
Di Surabaya, Jawa Timur, pada Februari 1964 Okra ikut menandatangani pernyataan bersama dengan LKN, Lesbi, Lekra, Lesbumi, dan HSBI Surabaya yang menyebut Manikebu dan KK-PSI memusuhi revolusi dan persatuan bangsa. Keenam organisasi kebudayaan itu, tulis harian Warta Bhakti 20 Februari 1964, tergabung dalam Majelis Musyawarah Kebudayaan Surabaya (MMKS).
Tak melulu soal pengganyangan. Okra juga menjalin kerjasama dalam aktivitas kebudayaan. Seperti disebut Michael Bodden dalam “Modern Drama, Politics, and the Postcolonial Aesthetics of Left-Nationalism in North Sumatra: The Forgotten Theater of Indonesia’s Lekra, 1955-65”, dimuat dalam Cultures at War: The Cold War and Cultural Expression in Southeast Asia suntingan Tony Day dan Maya Hian Ting Liem, anggota Okra bekerjasama dengan beberapa organisasi kebudayaan lainnya seperti Lekra, LKN, Lesbi, dan Lesbumi, menghelat Pekan Drama II di Labuhan Batu, Sumatra Utara, pada Oktober 1964.*
Majalah Historia No. 34 Tahun III 2016