Poster Bolshevik karya Boris Michailowitsch Kustodijew. (Russian Avantgarde Gallery).
Aa
Aa
Aa
Aa
SETELAH dipenjara dan dibuang ke Siberia pada 1897 hingga 1900, Vladimir Ilych Lenin jadi pelarian politik dan mengelola surat kabar bawah tanah Iskra (Pijar), organ Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia (RSDLP). Dia berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Terakhir, dia tinggal di Jerman dan memperdalam marxisme. Selama masa ini, dia menjadi pemimpin faksi Bolshevik dari RSDLP. Sekembalinya ke Rusia pada 16 April 1917, Lenin disambut hangat para pendukungnya.
Kala itu, Rusia baru saja diguncang prahara. Pada Maret 1917, sekelompok perempuan di Petrograd berunjuk rasa akibat kekurangan bahan makanan, menuntut pembagian roti yang diikuti penjarahan pabrik-pabrik roti. Duma (parlemen) segera bertindak cepat dengan menyatakan dibentuknya Pemerintahan Sementara tanggal 12 Maret 1917.
SETELAH dipenjara dan dibuang ke Siberia pada 1897 hingga 1900, Vladimir Ilych Lenin jadi pelarian politik dan mengelola surat kabar bawah tanah Iskra (Pijar), organ Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia (RSDLP). Dia berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Terakhir, dia tinggal di Jerman dan memperdalam marxisme. Selama masa ini, dia menjadi pemimpin faksi Bolshevik dari RSDLP. Sekembalinya ke Rusia pada 16 April 1917, Lenin disambut hangat para pendukungnya.
Kala itu, Rusia baru saja diguncang prahara. Pada Maret 1917, sekelompok perempuan di Petrograd berunjuk rasa akibat kekurangan bahan makanan, menuntut pembagian roti yang diikuti penjarahan pabrik-pabrik roti. Duma (parlemen) segera bertindak cepat dengan menyatakan dibentuknya Pemerintahan Sementara tanggal 12 Maret 1917.
Tsar Nicolas II pun turun takhta. Dia beserta keluarganya dibuang ke kota kecil Ekaterinburg, Siberia yang amat terpencil, sebelum akhirnya dieksekusi mati pada Juli 1918. Dinasti Tsar, yang berdiri pada 1613, pun runtuh.
Namun, Pemerintahan Sementara, koalisi dari kelompok-kelompok politik yang menggulingkan rezim Tsar, tak mampu menuntaskan beberapa persoalan seperti reformasi tanah serta membangun republik demokratis.
Pada September tahun yang sama, Lenin berpidato menyerang Pemerintahan Sementara. Baginya, waktu enam bulan sia-sia dengan membiarkan sistem kekuasaan terkatung-katung. Lenin percaya, Revolusi Maret hanyalah tahap pertama yang harus disusul dengan revolusi kedua. Dalam revolusi kedua, kekuasaan akan berpindah ke tangan kelas pekerja (proletar), bukan kaum borjuis (kelas menengah) yang hanya menghendaki perubahan setengah-setengah. Namun Lenin menekankan pengalihan kekuasaan itu kepada soviet (dewan) secara damai.
Lenin dan kaum Bolshevik kemudian terus-menerus mengajukan tuntutan fundamental yang dikenal dengan slogan: “All power to the soviets!” Seluruh kekuasaan untuk soviet-soviet!
Gelombang Pasang
Beberapa peristiwa menggarami semangat kaum proletar di bawah Bolshevik untuk mengambil alih kekuasaan. Setelah interaksi dengan Eropa Barat pada awal abad ke-19, Rusia bertransformasi menjadi kekuatan industri. Kelas menengah meraih keuntungan dari perubahan itu, sementara buruh –yang umumnya bekas petani– tetap menjadi kelas terpinggirkan. “Tak seperti warga kota tradisional, para buruh tak punya tempat di struktur kelas sosial Rusia,” tulis Joseph R. O’Neill dalam The Bolshevik Revolution.
Bagi para intelektual yang mendukung perubahan, kondisi buruk buruh itu dianggap sebagai bentuk eksploitasi manusia. Mereka menunjuk kediktatoran Tsar sebagai muaranya. Sekelompok perwira, yang kemudian dikenal sebagai kaum “Desembrist”, mengadakan pemberontakan terhadap Tsar Nicholas I pada 14 Desember 1825. Mereka gagal. “Kegagalan mereka memastikan munculnya 90 tahun ketiranian yang baru,” tulis O’Neill.
Semangat perubahan masih tetap bertahan meski kediktatoran masih berjalan. Intensitasnya kian meningkat menyusul pergantian abad. RSDLP yang berhaluan sosialis-marxis, tempat bernaung tokoh-tokoh seperti Lenin dan Trostky, mengorganisasi serikat-serikat buruh perkotaan untuk melakukan pemogokan-pemogokan. Di antara yang terpenting, demonstrasi menuntut perbaikan kondisi buruh dan politik dalam negeri pada Minggu 22 Januari 1905 –dikenal dengan “Bloody Sunday”– yang ditanggapi pemerintah dengan kekerasan. Puluhan demonstran tewas dan puluhan lainnya luka-luka. Dukungan terhadap negara pun melorot dan berdampak serius bagi rezim Tsar.
Kaum Bolshevik muncul menyusul perpecahan di tubuh RSDLP dalam kongres kedua yang dihelat di Brussels dan London pada 1903. Lenin hadir. Silang pendapat mengenai aturan keanggotaan memecah partai itu dalam dua faksi: Lenin dan Julius Martov. Lewat pemungutan suara, faksi Lenin menang. Kubu Lenin lalu disebut Bolshevik (berarti mayoritas), lawannya disebut Menshevik (minoritas). Namun, selepas Revolusi 1905, kaum Bolshevik menjadi minoritas. Tsar tak memberi ampun bagi para anggota dan simpatisannya. Banyak pemimpin Bolshevik dipenjarakan. Lenin sendiri melarikan diri ke luar negeri. Kaum Bolshevik harus bergerak secara klandestin.
Perubahan yang dilakukan Tsar dengan pembentukan Duma (parlemen) dan penerapan sistem multipartai, tak memberi perbaikan politik secara signifikan. Kebebasan yang dijanjikan hanyalah “manisan”. Perwakilan-perwakilan yang duduk dalam Duma hanyalah boneka. “Ya pilihan dari Tsar,” ujar Jeffry Alkatiri, dosen Program Studi Rusia di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Lemahnya posisi buruh dan petani bertemu dengan ide-ide baru kelas menengah perkotaan yang menginginkan perubahan.
Sementara itu, keterlibatan dalam Perang Dunia I membawa Rusia memasuki masa-masa sulit. Inflasi melambung tinggi. Harga-harga naik berkali lipat. Pada musim gugur 1917, sekitar separuh pabrik bangkrut sehingga pengangguran membengkak. Para petani, mayoritas dari penduduk Rusia kala itu, dan buruh perkotaan langsung terkena imbasnya.
Lemahnya posisi buruh dan petani bertemu dengan ide-ide baru kelas menengah perkotaan yang menginginkan perubahan. Bermunculanlah protes buruh, yang sebagian berakhir rusuh. Jerman, musuh Rusia, ikut mendanai protes-protes itu. Jerman intensif menjalin kontak dengan golongan kiri di Rusia, terutama yang radikal seperti Lenin, yang kemudian kembali ke Rusia. Gerakan massa proletar akhirnya berhasil menggulingkan kediktatoran Tsar di Petrograd (St. Petersburg) pada 27 Februari 1917 (atau 12 Maret menurut sistem penanggalan Gregorian).
Namun perjuangan kelompok proletar masih belum usai. Tujuan mereka mewujudkan diktator proletariat belum tercapai. Pemerintahan Sementara, yang dipimpin Pangeran Georgy Lvov lalu digantikan Alexander Kerensky, jadi batu sandungan.
Menggulingkan Kekuasaan
Kaum Bolshevik bukan hanya tak mengakui Pemerintahan Sementara namun juga berjuang merebut kekuasaan untuk mewujudkan diktator proletariat. Mereka mengorganisasi berbagai protes.
Pada Juli 1917, tentara pembangkang dan pekerja industri melakukan demonstrasi spontan dan damai menentang Pemerintahan Sementara, yang dikenal dengan istilah July Days. Kaum Bolshevik mencoba memberikan kepemimpinan pada demonstrasi itu. Militer menggasak para demonstran dan mengambil tindakan terhadap kaum Bolshevik.
Pemerintahan Sementara menyalahkan Lenin dan kaum Bolshevik. Pemerintah menahan Leon Trostky, Anatoly Lunacharsky, dan pemimpin Bolshevik lainnya. Lenin berhasil melarikan diri ke Finlandia. Pemerintah juga melarang partai mereka. Kegagalan demonstrasi itu menurunkan pamor kaum Bolshevik.
Para pemimpin Bolshevik yang dipenjara akhirnya dibebaskan oleh Pemerintahan Sementara untuk merespons kudeta yang dilakukan Jenderal Lavr Kornilov, panglima Angkatan Darat Rusia. Pamor Partai Bolshevik meningkat setelah pasukan mereka membantu pertempuran melawan Kornilov. Mereka juga berhasil mengorganisasi buruh kereta api dan telegraf untuk menahan pergerakan pasukan Kornilov. “Kesempatan itu diambil oleh Lenin,” ujar Alkatiri.
Setelah mendapat angin, kaum Bolshevik kembali mengonsolidasi massa proletar. Mereka mengatur pemogokan yang kian sering terjadi dan melibatkan massa yang jumlahnya terus meningkat. Serangan terhadap Pemerintahan Sementara makin gencar.
Pada Oktober 1917, sekembalinya Lenin dari pelarian, Komite Sentral Bolshevik menyusun resolusi pembubaran Pemerintahan Sementara guna mendukung Petrograd Soviet, yang diketuai Trotsky. Mereka memperoleh suara mutlak: 10-2. Revolusi Oktober segera dimulai.
PKI dapat menarik pelajaran dari pengalaman-pengalaman yang didapat di sana dalam mempersiapkan dan mengorganisasi revolusi.
Pada 25 Oktober 1917 (setara dengan 7 November 1917 dalam sistem penanggalan Gregorian), para pekerja bersenjata yang dikenal sebagai Tentara Merah (Red Guards) dan kelompok revolusioner lainnya bergerak. Mereka menyita kantor pos dan telegraf, pembangkit listrik, stasiun kereta api, dan bank-bank milik pemerintah. Setelah tembakan terdengar dari Aurora Battleship, ribuan orang di Tentara Merah menyerbu Istana Musim Dingin. Pemerintahan Sementara jatuh ke tangan Bolshevik. Kerensky melarikan diri.
Lenin lalu mengumumkan pembangunan tatanan sosialis di Rusia. Sejak itu, Lenin terus menggelorakan semangat kediktatoran proletariat. Dia menerabas pagar-pagar pelindung feodalisme; Lenin tak ingin kekuatan feodal kembali berkuasa dan tak rela bila kaum proletar tak berhasil menggenggam kekuasaan.
Gaung Revolusi Bolshevik atau dikenal juga dengan Revolusi Oktober bergema di mana-mana. “Di setiap desa, kota, kabupaten dan provinsi ada Dewan Pekerja, Tentara, dan Perwakilan Petani, yang siap untuk memikul tugas pemerintah lokal,” tulis John Reed dalam Ten Days That Shook The World.
Revolusi Bolshevik juga meraup simpati di luar Rusia. Terutama dari penduduk negeri terjajah. Nama Lenin didengung-dengungkan sebagai pembebas orang tertindas.
Seorang Vietnam yang tinggal di Prancis, Nguyen Ai Quoc alias Ho Chi Minh, terpukau dengan perjuangan kaum Bolshevik. Terlebih lagi mereka juga menyatakan simpati pada perjuangan orang-orang Vietnam melawan Prancis. Ho lalu mempelajari gagasan Lenin. Dia berpendapat bahwa hanya komunisme yang akan membebaskan bangsa tertindas di seantero dunia.
Keadaan serupa terjadi di Hindia Belanda. Partai Komunis Indonesia (PKI), yang berdiri pada 23 Mei 1920, menyiarkan perkembangan terkini dari Rusia melalui surat kabarnya di beberapa daerah seperti Proletar (Jawa Timur), Mowo (Jawa Tengah) dan Surapati (Jawa Barat). “Surat kabar partai ini menyiarkan setiap berita yang sekecil-kecilnya dari negeri Soviet,” tulis Njoto, tokoh PKI, dalam “Revolusi Oktober Rusia dan Revolusi Agustus Indonesia” di majalah Bintang Merah tahun 1957.
Menurut Njoto, kala itu pemerintah kolonial khawatir akan dampak Revolusi Oktober. Kekhawatiran itu tak lain karena adanya kesamaan ideologi yang diusung PKI: komunisme. “PKI dapat menarik pelajaran dari pengalaman-pengalaman yang didapat di sana dalam mempersiapkan dan mengorganisasi revolusi,” lanjut Njoto.
Akhir Sebuah Revolusi
Sementara di dalam negeri, Lenin terus mendapat rongrongan. Lawan-lawannya, termasuk dari faksi-faksi dalam tubuh Bolshevik, menganggap Lenin melakukan kudeta. Dalam bayangan mereka, Rusia belum seharusnya dipimpin kaum proletar karena perlu melalui tahapan-tahapan untuk menuju ke sana. Perang saudara pun pecah. “Bukan antara tentara Rusia dengan tentara asing, tapi sesama masyarakat. Makanya disebut civil war,” ujar Alkatiri.
Muncul sejumlah pemberontakan, seperti Pemberontakan Tambov (1919–1921) dan Pemberontakan Kronstadt (Maret 1921), yang menghendaki Revolusi Rusia III. Namun, pemberontakan-pemberontakan itu tak terkoordinasi dengan baik sehingga mudah dipadamkan Tentara Merah.
Selepas berhasil meredam rongrongan Menshevik, langkah revolusioner lain ditempuh kaum Bolshevik. Mereka menghimpun negara-negara tetangga Rusia menjadi satu uni. Tujuannya meneruskan cita-cita diktator proletariat. Pada Desember 1922 berdirilah Uni Soviet, gabungan Ukraina, Belarusia, Georgia, Armenia, dan Azerbaijan. Kepemimpinan dipegang masing-masing Partai Bolshevik setempat. Kini kuasa kaum Bolshevik kian kuat. Tak ada lagi perlawanan secara terbuka. Rakyat seolah menerima pembentukan Uni Soviet, yang kemudian bertahan lama dan runtuh pada 1990.
Leon Trotsky, kawan sekaligus lawan Lenin menulis, sebagaimana disitir Dmitri Volkogonov dalam Lenin: A New Biography, “Bahaya yang sebenarnya dimulai ketika birokrasi (yang baru) menjadikan Lenin dan ajarannya sebagai pokok penghormatan.” Namun, dia juga tetap menghormati jasa besar Lenin. “Kita memiliki sosok yang memang diciptakan untuk epos kita yang penuh darah dan kekerasan. Sosok ini adalah Lenin, orang terbesar dalam epos revolusi kita.”
Lenin sendiri, pemimpin Bolshevik, berkali-kali lolos dari upaya pembunuhan. Namun dia akhirnya meninggal dunia pada 21 Januari 1924 karena serangan stroke.
Revolusionis Victor Serge menulis dalam Memoirs of a Revolutionary, revolusi Rusia ibarat Hari Penciptaan pertama nan agung. “Ini akan menjadi permulaan bagi segalanya. Akhir dari kebuntuan!”*