Olahraga Pelancar Usaha

Golf lebih dimaklumi sebagai arena sosialita ketimbang olahraga. Bagian dari aktivitas kaum jetset dari masa ke masa. Benarkah demikian?

OLEH:
Martin Sitompul
.
Olahraga Pelancar UsahaOlahraga Pelancar Usaha
cover caption
F. van Mourik (tengah) dan Jan Wijers (duduk) di Batavia Golf Course disertai dua orang caddy pribumi. (KITLV).

PADA penghujung April lalu, golf menjadi sorotan publik ibukota. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melontarkan pernyataan kontroversial. Ahok mengungkap sejumlah pejabat dalam jajaran pemerintahannya tergabung dalam “geng golf ”. Dia menyebut walikota Jakarta Utara yang mengundurkan diri, Rustam Effendy, termasuk salah satu anggotanya.  

“Kalau gak bisa main golf susah naik pangkat di DKI (Jakarta), jadi mesti (ikut) geng golf,” kata Ahok kepada awak media.  

Pernyataan itu bagai membuka kotak pandora. Selain sebagai olahraga, golf memang kerap dikaitkan dengan berbagai transaksi kepentingan. Padahal, golf yang tergolong jenis olahraga santai itu disebut-sebut sebagai gentleman game, karena melatih kesabaran dan penguasaan diri.

PADA penghujung April lalu, golf menjadi sorotan publik ibukota. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melontarkan pernyataan kontroversial. Ahok mengungkap sejumlah pejabat dalam jajaran pemerintahannya tergabung dalam “geng golf ”. Dia menyebut walikota Jakarta Utara yang mengundurkan diri, Rustam Effendy, termasuk salah satu anggotanya.  

“Kalau gak bisa main golf susah naik pangkat di DKI (Jakarta), jadi mesti (ikut) geng golf,” kata Ahok kepada awak media.  

Pernyataan itu bagai membuka kotak pandora. Selain sebagai olahraga, golf memang kerap dikaitkan dengan berbagai transaksi kepentingan. Padahal, golf yang tergolong jenis olahraga santai itu disebut-sebut sebagai gentleman game, karena melatih kesabaran dan penguasaan diri.

Cara bermain golf relatif sederhana. Tujuannya adalah memasukkan bola kecil ke dalam lubang menggunakan stik pemukul dari jarak tertentu. Pemenang ditentukan oleh pemain yang berhasil memasukkan bola ke lubang dengan pukulan paling sedikit.  

Menurut Mohamad Sarengat, mantan atlet lari yang hobi main golf, menilai olahraga golf sesungguhnya terletak pada jalan dan memukulnya. Olahraga jenis ini menyehatkan paru-paru dan jantung. “Jalannya sama dengan jogging. Sedang memukulnya sama seperti aerobik,” ujar Sarengat dikutip Tiara, No. 48, 15-28 Maret 1992.  

Lantas, sejak kapan olahraga golf masuk ke Indonesia, dan mengapa diidentikkan sebagai ajang lobi-lobi?

Koningsplein Batavia, lapangan golf pertama di Hindia Belanda. (KITLV).

Dari Britania ke Hindia Belanda

Menilik asalnya, golf memiliki akar sejarah yang beragam. Beberapa catatan yang dihimpun Bill Mallon dan Randon Jerris dalam Historical Dictionary of Golf menyebut permainan sejenis golf telah dikenal bangsa Romawi Kuno pada 100 SM. Permainan ini disebut Paganica yaitu memukul bola yang diisi wol atau bulu dengan tongkat kayu. Sementara di zaman Dinasti Song (960-1279), masyarakat Tiongkok menamakan Chuiw An sebagai sebutan permainan berburu lubang ini.  

Namun permainan ini berkembang pesat di ranah Britania. Asal kata golf sendiri berasal dari bahasa Skotlandia, gowf, yang berarti memukul. Pada 1457, Raja James II melalui parlemen Skotlandia bahkan harus memaklumatkan larangan bermain golf karena dianggap mengganggu kegiatan panahan yang diperlukan untuk pertahanan kerajaan. Raja James IV mencabut larangan itu tahun 1502 ketika dia sendiri menjadi pemain golf. Di Skotlandia pula turnamen golf tertua Open Championship digelar tahun 1860.  

Kendati sempat dilarang, golf populer di Eropa dan dibawa ke negeri-negeri koloni. Di Hindia Belanda, golf diperkenalkan oleh ekspatriat Inggris, Mr. A. Gray dan Mr. Wilson yang bermukim di Batavia. Beranggotakan 46 orang Inggris, golf dengan 9 hole mulai dimainkan pada 1872 di Koningsplein (alun-alun raja) yang menjadi kawasan Monas sekarang.  

“Bersamaan dengan itu dibentuklah Batavia Golf Club (BGC) yang menjadi perkumpulan pegolf pertama di Hindia Belanda,” ujar Robby S. Robot, pengurus Persatuan Golf Indonesia bidang profesi.

Ketika Batavia semakin berkembang, pembangunan kota bergerak ke arah selatan. Lapangan golf Koningsplein pun dipindahkan ke Manggarai pada 1911. Secara rutin, BGC mengadakan pertandingan golf tiap akhir pekan. Sejak 1912, BGC menggelar kejuaraan tahunan dan mengundang pegolf dari klub-klub di luar Batavia. Tak hanya pria, kejuaraan perempuan turut dipertandingkan. Lambat-laun, golf semakin diminati orang-orang Belanda dan menyebar ke daerah lainnya. Dalam Nusa Jawa: Silang Budaya jilid 1, Dennys Lombard mencatat, klub golf Surabaya dan Semarang adalah perkumpulan golf yang berkembang selain Batavia.  

Di Surabaya, misalnya, salah satu klub olahraga terkemuka adalah Armenian Sports Club (ASC) milik komunitas Armenia. Melalui ASC, orang-orang Armenia berkiprah dalam berbagai cabang olahraga termasuk golf. Bahkan ASC memiliki lapangan golf dengan 9 hole yang dianggap salah satu yang terbaik di Jawa. Lapangan di Karangmenjangan itu dirancang pegolf profesional asal Inggris, James Braid, dan selesai sekira pertengahan 1939.  

“Popularitas klub itu dibuktikan oleh fakta bahwa sebelum Perang Dunia II, klub menikmati langganan tetap dari sekitar 200 anggota non-Armenia, yang terdiri dari Amerika, Belanda, Jerman, India, dan Jepang, sebagian besar dari mereka pegolf,” tulis Artsvi Bakhchinian, “Armenians in Indonesia”, di armenian-history.com.  

Pada 5 September 1932, pengusaha kapal uap asal Inggris, W.R Taylor, mendaftarkan BGC kepada pemerintah Hindia Belanda agar mendapatkan pengakuan secara hukum. Persetujuan pemerintah didapatkan pada 16 September 1932. Keputusan itu dikeluarkan di Bogor dan ditandatangani P.J Gerke mewakili Algemene Secretaris. Berita peresmian BGC beserta AD/ART-nya dicantumkan dalam Extra Bjvoegsel (Tambahan Berita Negara) No. 77, termuat di Javasche Courant, 27 September 1932.  

Menyusul tahun 1937, lapangan golf Manggarai dipindahkan ke Rawamangun yang memiliki arena lebih luas (36 ha). Perpindahan ini telah direncanakan sejak 1934 untuk mendapatkan lapangan dengan 18 hole. Masyarakat Anglo-Batavian masih mendominasi kegiatan golf di sana. Orang-orang bumiputera acapkali menyebut padang golf Rawamangun dengan “lapangan Inggris”.  

Menurut Agung Wibowo dalam skripsi di Universitas Indonesia berjudul “Gaya Hidup Masyarakat Eropa di Batavia pada masa Depresi Ekonomi 1930-1939”, masyarakat Eropa di Batavia menjadikan olahraga dari negeri asalnya sebagai aktivitas di waktu senggang sekaligus penanda status. Golf termasuk salah satunya. Hotel-hotel kategori mewah menyediakan lapangan golf (juga lapangan tenis dan kolam berenang) sebagai fasilitas pelengkap. Selain itu, perkumpulan golf biasanya menjadi momentum untuk membicarakan bisnis dan perdagangan di antara pengusaha dan pejabat Eropa.  

“Ketika Jepang masuk tahun 1942, segala hal berbau Belanda dikonversi menjadi nama Indonesia. Batavia Golf Club pun diubah menjadi Jakarta Golf Club,” kata Robby.

Namun di masa pendudukan Jepang, kegiatan golf di Hindia Belanda menjadi vakum. Tidak ada kompetisi hingga memasuki masa pengakuan kedaulatan Indonesia.

Presiden Soeharto bermain golf di Pondok Indah. (cepamagz.com).

Berkembang di Indonesia

Sejak 1950-an, klub-klub golf peninggalan Belanda dikelola orang Indonesia. Seiring waktu, mulai banyak orang Indonesia bermain golf. Meski demikian, tradisi golf zaman Hindia Belanda tiada berubah. Ia tetap menjadi hobi mahal. Pasalnya, untuk bermain golf harus mengeluarkan ongkos mahal. Mulai dari peralatan, perlengkapan, sewa lapangan, hingga caddy fee harus ditebus dengan biaya yang tidak murah. Segmentasi pegolf terbatas pada orang-orang kaya dan mereka yang berpendidikan tinggi.  

Di masa kepemimpinan Ibnu Sutowo, orang-orang di Jakarta Golf Club mendirikan Persatuan Golf Indonesia (PGI) pada 8 April 1966. PGI dibentuk karena sudah banyak kompetisi golf yang mengundang Indonesia tapi tidak bisa diwakili oleh klub-klub. Salah satunya Putra Cup, turnamen golf amatir beregu putra antarnegara Asia Tenggara yang bergulir sejak 1961.  

“Jadi, PGI dibentuk untuk memenuhi undangan pertandingan-pertandingan keluar (internasional),” tutur Robby. Sejak itu pegolf Indonesia mulai rajin berkiprah di ajang internasional.  

Sejak PGI menjadi induk organisasi golf skala nasional, golf kian menggeliat di dalam negeri. Pada Pekan Olahraga Nasional (PON) VIII 1969 di Surabaya, untuk kali pertama golf disertakan sebagai cabang olahraga yang dipertandingkan.  

Pada 1972 PGI bersama Deli Golf Club menyelenggarakan kejuaraan golf internasional di lapangan Tuntungan, Medan, Sumatra Utara. Sebanyak 110 pegolf profesional dan 7 amatir dari 12 negara didatangkan untuk memperebutkan hadiah sebesar 20.000 dolar AS. Pagelaran itu sukses besar. “Dari Tuntungan, Sejarah Golf Baru,” tulis Kompas, 22 Maret 1974. “Ini adalah turnamen terbesar sepanjang sejarah golf Indonesia.”  

Prestasi Indonesia juga tidak mengecewakan dengan empat kali menjuarai Putra Cup (1977, 1978, 1992, 1994). Sedangkan nama-nama seperti Suparno, A. Sukamdi, Jayadi, Budiono, dan Ben Tumbel merupakan atlet golf andalan yang dimiliki Indonesia. A. Sukamdi bahkan tiga kali mencatatkan namanya sebagai juara Putra Cup untuk nomor individu (1992, 1994, 1995).  

Kesatuan Aksi Anti Pembangunan Lapangan Golf (KAAPLG) melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, tahun 1993. (Repro Jakarta Jakarta).

Mewabah dan Polemik

Golf mencapai puncak popularitasnya pada era Orde Baru. Tak sekadar olahraga, ia menjadi gaya hidup dan tren pergaulan di kalangan pejabat dan pengusaha. Tokoh kenamaan seperti Presiden Soeharto, Jenderal Soemitro, Laksamana Soedomo, pengusaha Bob Hasan, hingga dokter neurologi Priguna Sidharta tercatat sebagai anggota tetap Jakarta Golf Club.  

Sebagai salah satu hobi favorit, Presiden Soeharto saban minggu main golf di lapangan Rawamangun. Dia kerap mengajak tamu negara penting sebagai lawan mainnya. Beberapa di antaranya Presiden Filipina Ferdinand Marcos, Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak, dan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew. Dilansir portal resmi provinsi DKI Jakarta jakarta.go.id, berbagai penawaran politik dan bisnis diprakarsai dan diputuskan di lapangan golf itu. “Sehingga sering dianggap sebagai lapangan golf negara.”  

Meski digandrungi, golf kerap dipandang miring. Mochtar Lubis, pemimpin harian Indonesia Raya, pernah melontarkan kritik pedas terhadap Ibnu Sutowo yang menjabat direktur Pertamina. Desas-desus beredar jika bos Pertamina itu kerap menghadiahkan perangkat bermain golf kepada mitra bisnisnya. Dalam tajuk rencana Indonesia Raya, 26 November 1969, Mochtar Lubis mensinyalir hadiah peralatan golf yang berharga mahal itu bagian dari praktik suap dan mengkorupsi keuangan negara. Saat itu utang Pertamina mencapai 2,3 milyar dolar AS.  

“Golf, lebih dari aktivitas lain, ia adalah pelicin sosial dari bisnis besar. Akibatnya, golf menjadi bagian dari pekerjaan,” tulis Joe Studwell, jurnalis investigasi kawasan Asia, dalam Asian Godfathers: Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa.  

Pengusaha lapangan golf, Oong Wiradinata, mengakui bahwa main golf kerap jadi ajang lobi-lobi. Menurutnya, durasi bermain golf yang lama membuka celah untuk membicarakan bisnis, usaha, negosiasi, ataupun pertemuan informal.  

“Main golf itu kan lama. Untuk 18 hole, bisa empat sampai lima jam. Kalau bisa main dengan pejabat dengan durasi waktu segitu kan lumayan. Sedangkan kalau kita ke kantornya ketemu setengah jam saja sudah untung. Nah, itu yang diasosiasikan, ‘wah ini dipakai buat lobi bisa’,” ujar Oong kepada Historia.  

Sekjen PGI Christine Wiradinata tak menampik tapi juga tak membenarkan sepenuhnya. Pada dasarnya golf bukan diperuntukkan untuk melobi. Alasan mengapa golf kebanyakan dilakoni para pengusaha atau pejabat karena golf cocok untuk segala usia, dari anak-anak hingga lansia, serta tidak menguras energi terlampau besar. Selain itu, golf tak hanya baik buat raga melainkan juga melatih otak dan pengendalian emosi. Warna hijau rerumputan yang mendominasi padang golf baik untuk relaksasi pikiran dan kesehatan mata.  

“Dalam kegiatan apapun, kalau ada kesamaan hobi ya ngobrol. Dan di golf itu memang dikenal istilah golf buddy (rekan tetap bermain golf). Andai kata dipakai (lobi), ya itu oknum. Kalau oknum sih ada di mana-mana. Segala sesuatu kan bisa menjadi baik dan bisa menjadi buruk,” kata perempuan berparas oriental ini kepada Historia.  

Pembangunan lapangan golf pun tak luput dari persoalan. Fungsinya sebagai sarana olahraga makin menyimpang ke arah komersial. Sejak paruh kedua 1980, banyak hotel, country club, dan holiday resort dilengkapi dengan lapangan golf. Meski harus menginvestasikan dana besar, keuntungan jangka panjang dari pengadaan lapangan golf menjanjikan.  

Sebagai perbandingan, mengutip majalah Jakarta Jakarta No. 357, 8-14 Mei, 1993, tahun 1975 seseorang sudah bisa menjadi member dengan 5 juta rupiah. Delapan tahun kemudian, tarifnya meningkat drastis menjadi 75 juta rupiah. Tanpa disadari, memperbanyak lapangan golf menjadi salah satu agenda pembangunan yang turut direstui pemerintah.  

Memasuki 1990-an, pembangunan sejumlah lapangan golf merambah ke pinggiran, terutama kawasan lereng pegunungan. Namun tak semuanya berjalan mulus. Pembebasan lahan menjadi masalah dan sarat sengketa.  

Kompas, 24 Juni 1992 memberitakan beberapa kasus seperti pemaksaan terhadap warga desa Jatikarya, Bekasi, agar menjual tanahnya untuk dijadikan lapangan golf dan perumahan. Sementara di Rancamaya, Bogor, warga yang menolak pembangunan lapangan golf mendapat intimidasi dari oknum aparat keamanan.  

Yang paling mengemuka adalah pengambilalihan lahan tani yang menimpa warga desa Cimacan, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dengan biaya pengganti yang tak sebanding, mereka terpaksa melepaskan lahan kehidupannya digusur untuk dijadikan lapangan golf dan kawasan wisata. Kasus ini menuai kecaman publik setelah media menyiarkan pernyataan Menteri Pemuda dan Olahraga Hayono Isman. Dalam siaran di TVRI, sebagaimana dikutip Jakarta Jakarta, No. 359, 22-28 Mei 1993, Hayono Isman menyatakan, “golf merupakan indikator kemakmuran bangsa sehingga di Singapura sopir taksi pun bergolf.”  

“Bagi pemerintah daerah, lapangan golf diharapkan bisa meningkatkan pendapatan daerah. Sementara bagi pengusaha, keuntungan (profit) besar yang ingin diraih,” tulis Dianto Bachriadi dan Anton Lucas dalam Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan.  

Menurut Oong, pembikinan lapangan golf terkait erat dengan pembangunan real estate. Lapangan golf hanyalah suplemen dari real estate dan bukan sumber keuntungan. Meski dengan adanya lapangan golf berpengaruh terhadap peningkatan harga real estate.  

Pada akhirnya, prestasi pegolf Indonesia memudar –meski peminat golf tetap banyak– bersamaan dengan tumbangnya rezim Orde Baru. Puncaknya terjadi ketika krisis moneter tahun 1998.  

“Pada saat krisis, jumlah pegolf profesional sangat menurun. Karena turnamen gak ada yang sponsori,” kata Christine.  

PGI sendiri, lanjut Christine, mulai mensosialisasikan golf ke tengah publik. Salah satunya dengan melakukan coaching clinic ke sekolah-sekolah. Menurutnya, animo masyarakat makin menguat karena golf akan dipertandingkan lagi dalam Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brasil –setelah terakhir kali dipertandingkan pada Olimpiade 1904 di Amerika Serikat. Hasilnya selama lima tahun terakhir ini, mulai banyak bibit muda pegolf Indonesia yang dipersiapkan menjadi atlet golf profesional.  

Dia juga menekankan, golf jangan lagi dipandang sebagai olahraga mahal. Saat ini, bermain golf tak mesti menjadi member karena ada banyak lapangan golf yang bisa di sewa dengan harga green fee terjangkau.*

Majalah Historia No. 30 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66da77fdf84f7f4579446863