Pemakamam Raymond Kennedy dan Robert “Bob” Doyle di TPU Pandu, Bandung, April 1950.
Aa
Aa
Aa
Aa
BANDUNG, 27 April 1950. Di kesejukan pagi, sebuah jip terbuka meluncur cepat meninggalkan Hotel Savoy Homan ke arah timur. Dari warna kulit dan perawakannya, sekilas saja orang tahu jika kedua penumpangnya orang bule.
Memang betul, yang duduk di belakang kemudi adalah Raymond Kennedy (43 tahun), profesor antropologi Yale University, sedangkan di sebelahnya Robert “Bob” Doyle (31), kontributor majalah Time-Life.
Hari itu, Raymond dan Bob berencana pergi ke Cirebon lalu menuju Yogyakarta. Mereka memiliki tujuan yang sama: melakukan penelitian dan investigasi. Raymond yang sudah hampir setahun berada di Indonesia berniat menulis tentang pengaruh peradaban Barat terhadap masyarakat Indonesia, sedangkan Bob menghimpun informasi soal tanggapan petani sepanjang Bandung-Yogyakarta mengenai kondisi Indonesia pascaperang.
Lepas dari Bandung, mereka tak menemui rintangan apa-apa. Baru saat memasuki Sumedang, sebuah sedan biru membuntuti mereka. Saat mendekati wilayah antara Cimalaka dan Tomo menjelang siang, mereka dicegat orang-orang bersenjata yang muncul dari balik perbukitan di sisi kiri dan kanan jalan. Kemudian orang-orang bersenjata itu menggiring mereka menuju hutan di sisi jalan dan menembak mereka.
BANDUNG, 27 April 1950. Di kesejukan pagi, sebuah jip terbuka meluncur cepat meninggalkan Hotel Savoy Homan ke arah timur. Dari warna kulit dan perawakannya, sekilas saja orang tahu jika kedua penumpangnya orang bule.
Memang betul, yang duduk di belakang kemudi adalah Raymond Kennedy (43 tahun), profesor antropologi Yale University, sedangkan di sebelahnya Robert “Bob” Doyle (31), kontributor majalah Time-Life.
Hari itu, Raymond dan Bob berencana pergi ke Cirebon lalu menuju Yogyakarta. Mereka memiliki tujuan yang sama: melakukan penelitian dan investigasi. Raymond yang sudah hampir setahun berada di Indonesia berniat menulis tentang pengaruh peradaban Barat terhadap masyarakat Indonesia, sedangkan Bob menghimpun informasi soal tanggapan petani sepanjang Bandung-Yogyakarta mengenai kondisi Indonesia pascaperang.
Lepas dari Bandung, mereka tak menemui rintangan apa-apa. Baru saat memasuki Sumedang, sebuah sedan biru membuntuti mereka. Saat mendekati wilayah antara Cimalaka dan Tomo menjelang siang, mereka dicegat orang-orang bersenjata yang muncul dari balik perbukitan di sisi kiri dan kanan jalan. Kemudian orang-orang bersenjata itu menggiring mereka menuju hutan di sisi jalan dan menembak mereka.
Aksi sadis itu dilakukan di hadapan sejumlah penduduk. Namun, mereka tak bisa berbuat banyak. Bahkan, di bawah ancaman moncong senjata, mereka disuruh menguburkan jasad Raymond dan Bob.
Usai penguburan, orang-orang bersenjata tersebut langsung kabur ke arah Cirebon. Sebelum melarikan diri, mereka mengancam penduduk setempat untuk tidak melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib, jika kampung mereka tak ingin dibakar.
Namun, para penduduk kampung tak menghiraukan ancaman tersebut. Sehari kemudian, mereka melaporkan kejadian itu ke pos tentara terdekat. Atas dasar laporan itu, pada 29 April 1950, sekelompok tentara bergerak ke bekas tempat kejadian perkara dan dibantu penduduk menggali kembali kuburan kedua bule malang tersebut.
Mulanya kedua jasad sulit diidentifikasi. Kondisinya mengenaskan, seperti terlihat pada dua lembar foto usang. Jasad mereka terbujur kaku dan teronggok di atas brankar beralaskan tikar. Jasad mereka dipenuhi tanah, darah kering, serta luka mengangga di bagian kepala dan dada. Jasad Bob yang lebih dulu dikenali, baru kemudian Kennedy.
Seorang perwira penghubung Angkatan Darat Indonesia membawa kedua jasad itu ke Bandung dan membuat laporan kepada Letkol F. Day, seorang peninjau militer Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) asal Inggris yang tengah bertugas di Bandung. Lewat F. Day inilah berita kematian Raymond dan Bob diterima Letkol Karl Hisgen, peninjau PBB asal AS, di Jakarta. Hisgen meneruskan berita duka itu ke Kedutaan Besar AS di Jakarta.
Siapa Pelakunya?
Di dalam buku catatan Bob yang ditemukan dari saku bajunya, terdapat tulisan yang memuat beberapa pertanyaan sensitif. Di antaranya serangkaian pertanyaan wawancara yang berkait dengan “Westerling” dan “APRA”, tulis Alexander Marschack, jurnalis AS, dalam sebuah tulisan berjudul “Unreported War in Indonesia”, dimuat majalah The American Mercury, Februari 1952.
Kapten R.P.P. Westerling adalah nama seorang perwira Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dari kesatuan Korps Speciale Troepen (KST), sebuah kesatuan komando khusus yang sebagian besar anggotanya terlibat dalam Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Itu adalah sebuah gerakan makar yang dipimpin Si Turki (julukan terhadap Westerling) terhadap pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada Januari 1950 di Bandung.
Dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa karya Sejarah Militer Kodam VI Siliwangi, disebutkan, usai pemberontakan APRA digagalkan oleh pasukan Siliwangi, satuan-satuan KST melakukan gerakan mundur ke luar kota Bandung. Sebagian kemudian mendirikan pos-pos kecil sepanjang Sumedang-Cimalaka-Tomo.
Hal itu dibenarkan Kasim (82), salah satu sesepuh di Tomo. “Saat itu, di jalur Cimalaka-Tomo berdiri banyak pos pasukan Belanda berbaret hijau,” ujarnya kepada Historia.
Raymond dan Bob bisa jadi kurang paham situasi jalur yang akan mereka lewati. Terlebih pihak Kedutaan Besar AS di Jakarta tak memberi “peringatan” saat mereka bergerak meninggalkan Jakarta.
Menurut Marschack, yang mencegat mereka adalah enam orang Maluku berseragam KNIL, berbaret hijau (KST), lengkap dengan senjata di tangan. “Kennedy dan Doyle langsung ditembak mati dengan sten-gun,” tulis Marschack.
Hal yang sama diutarakan Sudiyono Joyoprayitno, anggota parlemen Indonesia dari Partai Murba. Menurutnya, dikutip Memenuhi Panggilan Tugas Jilid III karya A.H. Nasution, pembunuhan tersebut merupakan ulah para prajurit Belanda (KST) yang memiliki pos di kawasan tersebut.
“Profesor itu dibunuh karena memiliki catatan-catatan mengenai hubungan tentara Belanda dengan para pengacau, terutama dengan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo,” ujar Sudiyono, merujuk pada Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.
Namun, Stef Scagliola, sejarawan militer dari Erasmus University Rotterdam, Belanda, meragukan jika pelakunya unsur-unsur dari pihak Belanda. Kendati tak menyebut siapa pelaku sesungguhnya, Stef menyebut suatu ”kebodohan” jika benar-benar KST pelakunya. “Apakah mungkin saat melakukan misi yang seharusnya serba tertutup itu mereka memakai seragam lengkap dengan baret hijaunya?” ujar Stef kepada Historia.
Tak Jelas
Jenazah Kennedy dan Doyle dimakamkan di di Pemakaman Pandu (saat ini terletak di sisi jalan tol Pasteur-Pasopati Bandung), pada Minggu, 30 April 1950.
“Upacara pemakaman sederhana,” tulis The Day, 1 Mei 1950. “Beberapa ratus orang Amerika, termasuk para staf Kedubes AS di Indonesia, serta perwakilan dari Indonesia dan PBB menghadiri upacara pemakaman itu di pemakaman Eropa yang menghadap kota.”
Sebuah foto lawas berbicara banyak. Dalam suasana yang tampaknya hening, seorang pendeta tengah memimpin sebuah upacara pemakaman yang dihadiri beberapa warga lokal dan asing. Sementara itu di tengah kumpulan tersebut, dua peti mati berselubung The Stars and the Stripes (bendera kebangsaan AS) terbujur kaku, menyiratkan rasa duka dan kehilangan. Itulah dokumentasi gambar (mungkin) satu-satunya dari suasana upacara pemakaman Kennedy dan Doyle.
Kematian Kennedy dan Doyle membuat geger dan marah para pejabat Indonesia. Secara resmi, pemerintah RIS mengecam pembunuhan tersebut. Kepada Rubby Jo Kennedy, janda dari Raymond Kennedy, Duta Besar RIS untuk AS Ali Sastroamidjojo menyatakan rasa berduka dan berjanji “akan mengupayakan segala cara agar masalah tersebut terselesaikan secara adil.”
Lewat Menteri Penerangan Arnold Manonutu, Perdana Menteri Mohammad Hatta juga menjanjikan akan mengintruksikan aparat keamanan Indonesia untuk menangani kasus itu secara tuntas. “[Kami berjanji] tidak akan menelantarkan, sampai kejadian misterius dan menyedihkan ini terungkap dan para pelakunya dibawa ke pengadilan,” kata Manonutu dalam The Day, 29 April 1950.
Polisi bergerak cepat dan menangkap empat tersangka, tapi dilepaskan karena dianggap kurang bukti. Dalam tulisan berjudul “Combating a ‘Half-of-the-World state of mind’: Indonesia Expert Raymond Kennedy Embraces World History, 1942-1950”, dimuat jurnal World History Connected Vol. 13. No.1, Februari 2016, Robert Shaffer, sejarawan dari Shippensburg University, menulis pemerintah Indonesia awalnya berusaha menyalahkan “elemen-elemen yang memusuhi kemerdekaan Indonesia” dengan “tujuan menciptakan sebuah insiden internasional untuk mendiskreditkan Indonesia”, tetapi kemudian dengan mudah menyalahkan “bandit”.
Sumber pemerintah AS pada akhir 1950 meyakini keterlibatan unsur-unsur Angkatan Darat. Duta Besar AS untuk Indonesia yang pertama H. Merle Cochran sudah menerima bukti lebih lanjut mengenai keterlibatan perwira TNI dalam kasus pembunuhan Kennedy dan Doyle. Tapi pemerintah Indonesia dengan tegas membantah.
Cochran berkali-kali meminta laporan perkembangan kasus pembunuhan itu kepada pemerintah Indonesia. Dalam telegram kepada menteri luar negeri AS tertanggal 26 Oktober 1950, Cochran menjelaskan isi pembicaraan dalam pertemuannya dengan Presiden Sukarno, termasuk mengenai penuntutan atas pelaku pembunuhan warga AS. Ketika Sukarno menerangkan agresifnya komunis Tiongkok dan lemahnya intelijen Indonesia, Cochran mengiyakan sembari menyebut “perlunya perbaikan dan menunjuk pelaku pembunuhan terhadap warga AS yang tidak dihukum.”
Cochran kembali menyinggung kasus itu dalam pertemuan lainnya dengan Sukarno, seperti dilaporkan dalam telegram kepada menteri luar negeri AS tertanggal 14 Maret 1951. Cochran menyebut, pemerintahnya tak senang atas kegagalan pemerintah Indonesia menangkap dan menghukum pelaku pembunuhan Kennedy dan Doyle.
Menurut Shaffer, pengusutan atas kasus itu dilakukan selama beberapa tahun, “Namun tak ada kejelasan dari kasus itu.”
Hingga kini janji Hatta menuntaskan kasus pembunuhan dua warga AS itu tak terpenuhi. Alih-alih terjawab siapa pelaku dan apa motif pembunuhan itu, kasus tersebut malah menambah barisan kisah misterius dalam sejarah kita.*