Orang Jawa Mengamuk di Malaka

Memiliki kekayaan berlimpah dan pengaruh yang kuat di Malaka. Punya andil dalam konflik kesultanan dan Portugis.

OLEH:
Petrik Matanasi
.
Orang Jawa Mengamuk di MalakaOrang Jawa Mengamuk di Malaka
cover caption
Ilustrasi pemimpin orang Jawa di Malaka. (Betaria Sarulina/Historia.ID).

AWAL Juli 2024, saya berkesempatan mengunjungi Kampung Jawa di Malaka. Kawasan ini berada di pinggir Sungai Malaka, tak jauh dari Gereja Merah dan Kompleks Perbentengan Eropa. Suasananya tak ubahnya kampung-kampung di Indonesia. Sepi dan lengang.

Namun, tak seperti namanya, agak sulit menemukan orang Jawa di sana. Orang Tionghoa dan India justru lebih mudah ditemukan di kawasan tersebut. Praktis, Kampung Jawa Malaka hanya menyisakan nama dan sejarahnya.  

Sebagaimana Kampung Jawa di berbagai tempat di luar daerah asal orang Jawa, Kampung Jawa yang terletak di tepi Sungai Malaka ini juga ada karena kebijakan rasis Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC). VOC mengkotak-kotakkan permukiman berdasarkan suku setelah merebut Malaka dari Portugis.

AWAL Juli 2024, saya berkesempatan mengunjungi Kampung Jawa di Malaka. Kawasan ini berada di pinggir Sungai Malaka, tak jauh dari Gereja Merah dan Kompleks Perbentengan Eropa. Suasananya tak ubahnya kampung-kampung di Indonesia. Sepi dan lengang.

Namun, tak seperti namanya, agak sulit menemukan orang Jawa di sana. Orang Tionghoa dan India justru lebih mudah ditemukan di kawasan tersebut. Praktis, Kampung Jawa Malaka hanya menyisakan nama dan sejarahnya.  

Sebagaimana Kampung Jawa di berbagai tempat di luar daerah asal orang Jawa, Kampung Jawa yang terletak di tepi Sungai Malaka ini juga ada karena kebijakan rasis Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC). VOC mengkotak-kotakkan permukiman berdasarkan suku setelah merebut Malaka dari Portugis.

Orang Jawa sejatinya tak melulu orang agraris ala Mataram Islam. Orang Jawa pesisir, seperti orang Bugis-Makassar, juga bisa hidup jauh dari kampung halaman dan andal dalam perdagangan, bahkan perdagangan antarnegara. Orang Jawa sudah berdagang di Malaka jauh sebelum Portugis menguasai Malaka, pusat perdagangan yang penting dan ramai saat itu.  

Dari perdagangan itu, banyak orang Jawa rantau yang sukses, menjadi kaya, dan bahkan berpengaruh. Dua di antaranya adalah Tuanku Laskar dan Utimutiraja. “Keduanya mempunyai wewenang atas rakyatnya dan mengurus semua perkara tanpa menyampaikannya kepada pengadilan biasa,” catat Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia.  

Dua Kaki Utimutiraja

Tuanku Laskar, yang disebut Portugis sebagai Tuam Colascar, adalah orang Gresik. Dia diberi kewenangan oleh Sultan Mahmud, penguasa Malaka, atas daerah Ilher (Hilir). Namun, pengaruhnya tidak sekuat Utimutiraja.

Utimutiraja diperkirakan lahir sekitar tahun 1430. Dia berwenang atas daerah Upeh, kota pinggiran yang berpenghuni orang-orang Jawa dan terletak di tepi Sungai Malaka berseberangan dengan kota Malaka. Utimutiraja disebut-sebut sebagai orang paling kaya di seluruh kota.  

“Ia adalah semacam pemimpin dan wakil (consulado da nacao) dari semua orang Jawa asal Tuban, Cunda (Jakarta?) dan Palembang,” catat Denys Lombard.

Utimutiraja punya ribuan pengikut. Lombard mencatat, jika dihitung seluruh budak yang dimilikinya bersama keluarganya, serta awak kapalnya, pengikut Utimutiraja berjumlah lebih dari 10.000 orang. Sumber-sumber Portugis menyebut Utimutiraja adalah orang paling penting di Malaka setelah sultan.

Marie Antoinette Petronella Meilink-Roelofsz dalam Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago Between 1500 and about 1630 menyebut Utimutiraja mengeksploitasi posisinya tanpa malu-malu. Dia memaksa para pedagang yang berutang budi kepadanya untuk menjual barang-barang dagangan kepadanya dengan harga yang ditetapkannya. Dia juga memaksa semua budak yang bisa ia dapatkan untuk mengabdi kepadanya.  

“Karena ia mengendalikan persediaan beras ke Malaka dan persediaan barang-barang ini di kota itu sendiri, maka ia mempunyai senjata yang ampuh untuk melindungi kepentingannya sendiri,” catat Meilink-Roelofsz.

Besarnya pengaruh Utimutiraja ditunjukkan ketika armada Portugis yang dipimpin oleh Diogo Lopes de Sequeira tiba di Malaka pada 11 September 1509. Atas persetujuan sultan, Portugis membuka kantor dagang di Malaka. Para pedagang Jawa dan Gujarati merasa tersaingi. Utimutiraja dan Nahodabequea, syahbandar bagi orang-orang Gujarati, membuat intrik.

Para pedagang Jawa dan Gujarat menghadap sultan dan bendahara. Mereka mengatakan orang-orang Portugis adalah perampok. Dengan dalih berdagang, orang-orang Portugis memata-matai Malaka untuk kemudian merebutnya seperti terjadi di India dan daerah-daerah lain.

Kita boleh berasumsi bahwa orang-orang Jawa ini mempunyai andil besar dalam ekspor rempah-rempah ke Barat.

Menurut Dhannono Hardjowidjono dalam “Kisah Runtuhnya Malaka (1511) menurut Sumber-sumber Portugis” di buletin Humaniora No. I, 1989, pihak yang setuju intrik itu adalah bendahara, paman sultan. Sedangkan yang kontra adalah laksamana dan tumenggung. Namun, keputusannya diambil: membinasakan orang-orang Portugis dengan jalan mengundang jamuan makan.  

Rencana itu bocor sehingga gagal. Tipu daya lain dirancang dengan meminta de Sequeira mengirim semua kapalnya ke darat pada hari yang telah ditentukan untuk menaikkan muatan. Kendati sudah diperingatkan, salah satunya oleh perempuan yang kemudian diyakini tinggal di rumah Utimutiraja, de Sequeira tak menaruh curiga.

Pada saat itulah serangan dilancarkan. Putra Utimutiraja, yang memimpin orang-orang Jawa, nyaris membunuh de Sequeira yang masih di kapal tapi gagal. Tembakan meriam membuat para penyerang memilih terjun ke laut dan kembali ke perahu-perahu mereka. Namun, orang-orang Portugis yang ada di darat dibantai.  

“Hanya sekitar 20 orang saja yang berhasil menyelematkan diri dengan mencari perlindungan di kantor dagang mereka. Di situlah mereka mempertahankan diri,” catat Dhannono.

Diogo Lopes de Sequeira kemudian meninggalkan Malaka. Kejadian yang menimpa orang-orang Portugis sampai ke telinga Afonso de Albuquerque, gubernur jenderal Portugis di India, yang tergerak untuk balas dendam.

Setelah Portugis hengkang, sultan memperbaiki dan memperkuat benteng pertahanan. Sultan juga memberi hadiah kepada orang-orang Jawa, yang merupakan kekuatan utama kesultanan, dengan gaji tiga bulan di muka.

Sementara itu, Utimutiraja justru mengirim hadiah kayu cendana ke Albuquerque. Dia meminta perlindungan. Orang Jawa menginginkan perdamaian dan ingin mengabdi pada Portugis.  

“Dia ndak punya pilihan lain selain berbaik hati kepada Albuquerque, dengan memberikan informasi keadaan di Malaka,” ujar Daya Negri Wijaya, pengajar Universitas Negeri Malang yang mendalami peran Portugis di Malaka pada zaman rempah-rempah, kepada Historia.  

Albuquerque menerima permohonan itu dan berjanji memberikan perlindungan. Kesepakatan mereka juga mencakup bahwa orang Jawa tidak boleh memberikan bantuan apapun kepada kesultanan. Namun, Utimutiraja tetap saja mengirim orang-orangnya untuk membantu sultan yang bersiap mempertahankan diri.

“Utimutiraja tidak punya pilihan lain, dan dia harus membantu sultan jika ingin tinggal di Malaka,” ujar Daya.

Albuquerque berlayar dan tiba di Malaka pada 1 Juli 1511. Setelah negosiasi dengan Sultan Mahmud berlarut-larut, Albuquerque melancarkan perang melawan Malaka.  

Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 15 Agustus 1511. Sultan Mahmud dan pengikutnya melarikan diri ke Johor.  

Sembari mendirikan benteng pertahanan, Sultan Mahmud berkomunikasi secara diam-diam dengan Utimutiraja, yang menginformasikan bahwa pasukan Portugis lemah dan meminta sultan untuk menyerang Malaka. Namun, ketika kekuatan militer dipersiapkan, mereka diserang pasukan Albuquerque.

Kawasan Kampung Jawa berada di pinggir Sungai Malaka. (Petrik Matanasi/Historia.ID).

Hukuman Mati

Portugis menancapkan kekuasaannya di Malaka. Sesuai janjinya, Albuquerque masih mempercayai dan memberikan perlindungan kepada Utimutiraja dan orang-orang Jawa.  

Utimutiraja tetap menjadi sesepuh yang dihormati di antara orang Jawa di awal kekuasaan Portugis di Malaka. Namun, Utimutiraja tak bisa benar-benar dipegang Portugis.  

Menurut Meilink-Roelofsz, Utimutiraja dan pengikutnya tidak tunduk secara sukarela kepada kekuasaan Portugis. “Kita boleh berasumsi bahwa orang-orang Jawa ini mempunyai andil besar dalam ekspor rempah-rempah ke Barat,” catat Meilink-Roelofsz.

Beberapa saudagar asing bahkan dilibatkan dalam administrasi Malaka. Pedagang Keling bernama Nina Chatu ditempatkan sebagai bendahara, yang bertanggungjawab untuk mengelola masyarakat setempat. Sedangkan Utimutiraja diangkat menjadi tumenggung yang berperan menjaga keamanan kota dan pungutan pajak. Mereka membantu perdagangan di masa damai dan membela Malaka di masa perang.  

Namun, kata Daya, “kadang-kadang mereka mengabdi pada Kerajaan Portugis dan pada saat yang lain mereka memblokir kebijakan-kebijakan Kerajaan, bahkan dengan berpura-pura atau dengan mengalihkan cara mereka.”

Albuquerque tahu kelakuan Utimutiraja yang bermuka dua dari laporan orang-orang non-Jawa. “Orang-orang Tionghoa yang tidak suka dengan keberadaan orang-orang macam Utimutiraja, orang-orang Jawa, melaporkan ke Albuquerque,” kata Daya.  

Pedagang besar macam Utimutiraja itu tak disukai pedagang Tionghoa. Dengan melapor ke Portugis, mereka berharap Utimutiraja kehilangan posisinya sebagai saudagar.  

Pada akhirnya Portugis mengambil tindakan. Sebuah rapat yang dihadiri banyak kepala kampung pun dihelat. Dalam rapat tersebut Utimutiraja dituduh melakukan pemerasan, penindasan, dan diam-diam bersekutu dengan musuh Portugis.  

“Setelah itu dia dan keluarganya ditangkap dan dijebloskan dalam penjara,” catat Djoko Marihandono dan Bondan Kanumoyoso dalam Rempah, Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Nusantara.  

Utimutiraja divonis hukuman mati. Jabatan “empuk nan basah” sebagai syahbandar pun hilang dari genggamannya. Posisi syahbandar lalu digantikan Pate Kadir, seorang Jawa yang juga berpengaruh. Tome Pires dalam Suma Oriental, yang ditulis sewaktu berada di Malaka tahun 1512 hingga 1515, menyebutnya Pate Quedir.

Kawasan Kampung Jawa di Malaka. (Petrik Matanasi/Historia.ID).

Dendam Ibu Mertua

Sebelum eksekusi, istri Utimutiraja berjuang agar suaminya terhindar dari kematian. Dia menyiapkan uang sogokan dan memberikannya kepada Albuquerque. Namun, Utimutiraja tetap saja dihukum mati.

Istri Utimutiraja sedih dan marah. Dia mengerahkan apapun yang dimilikinya, bahkan putrinya sendiri. Dia merelakan putrinya untuk dinikahi Pate Kadir dengan syarat Pate Kadir mau melawan Portugis.  

Pate Kadir yang menyukai putri Utimutiraja menerima syarat itu. Rencana pun disusun. Orang-orang Jawa di Malaka dihasut. Beberapa di antaranya membakar Kampung Keling. Kerusuhan di Malaka tak terhindarkan. Namun, aksi gerombolan Pate Kadir yang didukung Hang Nadim, laksamana Sultan Mahmud, dipukul mundur. Pate Kadir dan pasukannya meloloskan diri ke Jepara dan selanjutnya Demak.

Demak, yang tak senang dengan monopoli Portugis, menyiapkan pasukan untuk melancarkan perlawanan. Pasukan Demak, yang didukung Pate Kadir dan pengikutnya, dipimpin oleh putra mahkota, Pati Unus.  

Pate Kadir lebih dulu kembali ke Malaka. Pada 1512, sepuluh hari setelah Albuquerque meninggalkan Malaka, dia memimpin pemberontakan. Namun, lagi-lagi ditumpas oleh Portugis. Dia dan pasukannya melarikan diri ke Cirebon. Menyingkirnya Pate Kadir membuat serangan Demak yang dipimpin oleh Pati Unus atas Malaka juga gagal menandingi kekuatan Portugis.

Di kampung halamannya, Pate Kadir sangat dihormati. Para saudagar terpenting di kota itu memberi penghormatan kepadanya, “seperti yang juga dilakukan oleh penguasa Cirebon,” catat Meilink-Roelofsz.

Sosok Pate Kadir disebut dalam banyak sumber dan catatan sejarah. Tome Pires dalam Suma Oriental menyebut Pate Quedir sebagai seorang saudagar besar yang pemberani dan ksatria, dihormati dan disegani oleh penguasa dan saudagar lain di Cirebon, serta pernah memberontak di Upeh.  

Menariknya, Suwedi Montana dalam “Pate Quedir of Choroboam = Patih (Abdul) Kadir dan dari Cerbon? (Pandangan Lain tentang Sunan Gunung Jati” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII di Cipanas 12–16 Maret 1996, membuat kesimpulan yang mengejutkan. Menurutnya, Pate Quedir sebenarnya adalah Abdul Kadir yang terdapat dalam tradisi lisan Tuban dan nama lain dari Sunan Gunung Jati.

Di Malaka, posisi Portugis semakin kuat. Orang-orang Jawa sadar tak bisa berlama-lama jadi perusuh. Mereka ingin hidup damai. Dengan mudah mereka membaur lalu kawin-mawin dengan suku bangsa lain. Hingga lahir generasi-generasi dengan darah yang bercampur-campur di Malaka dan sekitarnya. Mereka tetap eksis setelah Malaka dikuasai oleh VOC, yang mengalahkan Portugis pada 1641.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
669a18ceaf741475bc7047c4