Jembatan Cisokan lama tempat pertempuran antara pejuang Indonesia dengan militer Inggris. (Hendi Jo/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
DIKAWAL sederet tebing tinggi, sebuah tugu berdiri tegak di tepi Sungai Cisokan yang berada di wilayah kecamatan Ciranjang, Cianjur. Ia begitu kusam. Sampah plastik dan dedaunan berserakan di sekitarnya. Sebaris tulisan yang mulai melamur tertera di badan tugu: “Peristiwa Pertempuran, Pasukan Banteng-Hisbulloh/Sabilillah-Rakyat lawan Tentara Inggris.”
Menurut H. Nasilan Asmin (91), tokoh masyarakat Ciranjang yang pernah menjabat komandan rayon militer (danramil) Ciranjang pada 1950-an, tugu peringatan itu diresmikan tahun 1974. Yang menginisiasi pembuatannya adalah Kapten Mukri, danramil saat itu. “Dia berpikir peristiwa pertempuran di Cisokan pada 1946 sangat penting dan harus diabadikan,” ujar Nasilan kepada Historia.
DIKAWAL sederet tebing tinggi, sebuah tugu berdiri tegak di tepi Sungai Cisokan yang berada di wilayah kecamatan Ciranjang, Cianjur. Ia begitu kusam. Sampah plastik dan dedaunan berserakan di sekitarnya. Sebaris tulisan yang mulai melamur tertera di badan tugu: “Peristiwa Pertempuran, Pasukan Banteng-Hisbulloh/Sabilillah-Rakyat lawan Tentara Inggris.”
Menurut H. Nasilan Asmin (91), tokoh masyarakat Ciranjang yang pernah menjabat komandan rayon militer (danramil) Ciranjang pada 1950-an, tugu peringatan itu diresmikan tahun 1974. Yang menginisiasi pembuatannya adalah Kapten Mukri, danramil saat itu. “Dia berpikir peristiwa pertempuran di Cisokan pada 1946 sangat penting dan harus diabadikan,” ujar Nasilan kepada Historia.
Pertempuran Cisokan pada akhir Maret 1946 memang penting bukan saja bagi pihak Indonesia tapi juga Inggris. Begitu pentingnya, Red Flash, jurnal yang dikeluarkan Asosiasi Resimen Gurkha Riffles ke-8, mengulasnya secara khusus dengan judul “The Battle of Tjirandjang Gorge” (Pertempuran di Tebing Ciranjang).
Pertempuran itu berlangsung selama dua hari dua malam. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan berbagai kekuatan bersenjata yang digalang rakyat setempat bertempur hebat melawan pasukan Inggris.
Ciranjang Membara
Desember 1945, pasukan Inggris datang dan menduduki Ciranjang. Kota kecil ini terbelah menjadi dua: wilayah kota diduduki tentara Inggris dan wilayah pinggiran dikuasai kelompok-kelompok bersenjata pro-Republik. Ciranjang bak api membara. Nyaris setiap hari, terjadi pertempuran.
Pasukan Inggris dibikin kewalahan. Konvoi yang mengangkut kebutuhan logistik beserta amunisi dari Jakarta-Bandung atau sebaliknya kerap dicegat. “Di jalur itu, pasukan kami praktis tak memiliki banyak kesempatan untuk beristirahat,” tulis Letnan Kolonel A.J.F. Doulton dalam The Fighting Cock: Being the Story of the 23rd Indian Division, 1942-1947.
Pada 1 Januari 1946, telik sandi TKR mendapat informasi bahwa hari itu dari arah Bandung akan lewat konvoi tentara Inggris yang diperkuat prajurit Gurkha. “Diperkirakan mereka akan sampai wilayah Pongpoklandak menjelang tengah malam,” ujar Nasilan dalam sebuah dokumen berjudul Sekilas Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Ciranjang 1942-1949.
Berdasarkan informasi tersebut, pada malam harinya, bergeraklah kurang lebih dua kompi (300 orang) pasukan gabungan yang terdiri dari unsur Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), Hizboellah, dan TKR menuju titik-titik pengadangan di wilayah sekitar jembatan Citarum (Pongpoklandak, Cipetir, dan Sipon). Stelling (posisi penyergapan) sudah disiapkan sejak pukul 19.00. Namun yang ditunggu belum datang jua.
Baru setelah tiga jam berlalu, gemuruh bunyi truk dan tank memecah kesunyian. Begitu tank baja pertama lewat di depan persembunyian para pengadang, komandan R.S. Rustamaji dari BBRI langsung menarik picu pistol sebagai tanda mulai penyerangan. Pertempuran pun tak terelakkan.
Tak hanya baku tembak, terjadi pula pertarungan satu lawan satu. Anggota BBRI bernama M. Soediro nekat memburu seorang serdadu Gurkha yang sedang maju ke arah para pengadang. Keduanya beradu bayonet yang berakhir dengan tewasnya serdadu Gurkha.
“Musuh dapat kembali dipukul mundur menuju arah Bandung,” tulis R. Dawan, eks pejabat Kawedanan Ciranjang, dalam dokumen berjudul Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur yang ditulis tahun 1979.
Dari pertempuran yang berlangsung hampir dua jam itu, pasukan gabungan membinasakan sejumlah serdadu musuh dan merampas senjata. Namun, mereka harus kehilangan dua pejuang yang gugur: R. Nata Atmadja (BBRI) dan Letnan Dua Imun Soelaiman dari TKR.
Inggris tak terima atas kekalahan itu. Beberapa hari kemudian Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF) mengirimkan sebuah Mustang ke wilayah Ciranjang. Setelah berputar-putar di atas kota, pesawat itu menukik sambil menghamburkan peluru dari senjata otomatis. Salah satu tembakan diarahkan ke sebuah sedan hitam milik Natamihardja, kepala Polisi Istimewa di Ciranjang, namun luput. Untung tak dapat diraih malang tak bisa ditolak, dalam suatu gerakan manuver, salah satu bagian sayap pesawat itu membentur batang pohon kelapa sehingga meledak dan terbakar lalu jatuh di sekitar kebun kelapa di wilayah Curug.
Puputan di Cisokan
Kendati kerap diadang, pada hari-hari di bulan Maret 1945, hilir-mudik konvoi Inggris di Ciranjang bukan berkurang, malah semakin meningkat. Para Republiken bertambah berang. Terlebih bertiup isu konvoi-konvoi Inggris membawa para serdadu Belanda yang baru saja mendarat di Pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta.
Atas prakarsa beberapa pemimpin laskar, disusunlah rencana pengadangan besar-besaran dari arah Cianjur hingga perbatasan Ciranjang-Bandung. Waktunya: 20 Maret 1945. Semua kekuatan BBRI, Hizboellah, Sabilillah, dan satu seksi pasukan TKR pimpinan Letnan Sukarna dilibatkan.
“Kami sepakat mengangkat Pak Karna untuk menjadi komandan pengadangan tersebut,” ujar Raden Ma’mur, anggota BRI, kepada Historia.
Persiapan pengadangan dijalankan sehari menjelang hari-H. Untuk menahan laju konvoi-konvoi Inggris dari arah barat dan timur, bom-bom batok (ranjau darat buatan dalam negeri) ditanam di beberapa ruas jalan antara Cikijing dan Tungturunan. Fasilitas penunjang seperti dapur umum juga disiapkan di beberapa tempat.
Dua hari berlalu, konvoi-konvoi Inggris tak jua lewat. Setelah diselisik, rencana pengadangan ternyata bocor ke telinga orang-orang Inggris. Maka disusunlah rencana kedua sekaligus pergantian pemimpin pengadangan dari Letnan Sukarna ke Utom Bustomi, komandan Batalion II Hizboellah. Enggan mengorbankan rakyat banyak, diputuskan mengosongkan kampung-kampung mulai dari Pasir Nangka sampai Tungturunan. Sebagai gantinya, para pejuang BBRI dan Hizboellah mengisi rumah-rumah itu dalam posisi stelling.
“Dalam pengadangan itu, ikut pula satu kompi Hizboellah Gunung Halu pimpinan Yotham Markaschan yang sebagian besar beragama Kristen,” ujar Ma’mur.
Pada 29 Maret 1945, sekitar pukul 16.00, sebuah Spitfire melayang-layang di atas wilayah sekitar Sungai Cisokan. Satu jam berputar pesawat itu pergi dan baru kembali keesokan pagi dengan diiringi satu pesawat Mustang dan dua pesawat bomber B.25. Dengan gencar, keempat pesawat itu menyerang posisi para pejuang Republik.
“Kapal-kapal udara itu tak hentinya menembakan peluru boroneng (maksudnya browning, sejenis senjata otomatis) ke arah kami,” kenang Ma’mur.
Pasukan Republik panik. Puluhan pejuang bergelimpangan di tengah sawah, belukar, dan tepi sungai akibat terjangan peluru lawan. “Di satu petak sawah, saya menemukan seorang prajurit Hizboellah dengan seluruh tubuh penuh lumpur dan darah tengah sekarat,” ujar Ma’mur.
Setelah mengobrak-abrik, keempat pesawat itu menghilang lalu disusul kedatangan iring-iringan konvoi tentara Inggris dari arah barat. Sambil bergerak ke arah Ciranjang, tentara Inggris menembaki daerah sekitar dengan senapan otomatis, mortir, dan kanon secara membabi buta.
“Di ruas jalan antara Cikijing dan Tungturunan, sebuah tank Sherman menginjak bom batok sehingga rantainya lepas,” kisah Yotham dalam dokumen yang ditulis R. Dawan.
Tak lama kemudian datang juga konvoi dari arah timur. Maka terjadilah pertempuran hebat antara prajurit-prajurit laskar yang bertahan di atas tebing dan hutan jati di pinggir Sungai Cisokan melawan pasukan Inggris di area sebelum jembatan.
Akibat kalah persenjataan dan amunisi, laskar terus terdesak. Mereka mundur untuk menyelamatkan diri. Tapi, alih-alih lolos, puluhan dari mereka justru terperosok ke jurang-jurang yang dalam dan berbatu lantas hanyut dibawa arus besar Sungai Cisokan yang sedang banjir.
Seolah tak puas, serdadu-serdadu Inggris memburu para anggota laskar hingga ke dalam hutan jati. Dalam situasi seperti itu, muncullah dua Spitfire dan kembali menghujani kawasan itu dengan peluru. Maka terjadilah insiden friendly fire (tembakan mengenai kawan sendiri) yang mengakibatkan banyak tentara Inggris tewas di bawah tebing dan hutan jati di pinggir Sungai Cisokan.
Pertempuran brutal berlangsung sehari-semalam. Hari kedua, pasukan Inggris melakukan pembersihan di ruas jalur antara jembatan Cisokan hingga Cikijing sambil membakar rumah-rumah penduduk dan menembaki siapapun yang mereka temui.
Dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid 5, Jenderal TNI A.H. Nasution mengulas puputan (perang habis-habisan) di Cisokan ini dalam kalimat: “Musuh membakari kampung-kampung sepanjang jalan. Rakyat mengungsi dan meninggalkan sawah-sawahnya yang dekat ke jalan raya, sejak itu pula jalur kereta api Padalarang-Cianjur putus sama sekali, karena vak ini dianggap tidak aman lagi. Musuh praktis telah menduduki kembali Ciranjang.”
Pertempuran Cisokan seolah membuktikan kata-kata Letnan Kolonel A.J.F. Doulton bahwa sejatinya pengiriman pasukan Inggris ke Pulau Jawa adalah untuk memasuki “suatu gudang peluru (arsenal) yang tengah meledak”.*