Palu Arit dan Bulan Sabit Pada Suatu Masa

Orientasi politik Sarekat Islam di bawah HOS Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim menimbulkan banyak ketidakpuasan. Pandangan eklektik dan sinkretik dari para tokoh SI berperan besar dalam penerimaan mereka pada marxisme.

OLEH:
Bonnie Triyana
.
Palu Arit dan Bulan Sabit Pada Suatu MasaPalu Arit dan Bulan Sabit Pada Suatu Masa
cover caption
Beberapa anggota departemen pengawasan Partai Komunis Indonesia di Batavia. (dbnl.org).

AYU Muyasarah, 87 tahun, masih ingat sebuah kisah yang dituturkan ayahnya, Entol Endjun Djuhrani, tentang sekelompok pria yang ditangkap Belanda di Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten usai pemberontakan PKI 1926. “Caca,” demikian Muyasarah memanggil ayahnya, “terus menunduk waktu pemimpin pemberontakan dipaksa polisi Belanda menunjuk siapa saja yang ikut berontak,” ujarnya.

Menurut Muyasarah, ayahnya bukan seorang ateis. “Dia rajin salat. Taat sama agama.” Djuhrani luput dari hukuman mati dan pembuangan ke Boven Digul, Papua. Dia hanya dihukum kerja paksa sesaat. Setelah bebas, dia meninggalkan Menes, kampung halamannya dan pindah ke Batavia di mana dia bekerja sebagai pegawai perusahaan kayu jati di Tanah Sereal. Muyasarah menuturkan, “Setelah lama di Batavia, Caca pulang lagi ke Banten, terus jadi mandor perkebunan dan mantri pasar. Waktu kemerdekaan, Bung Karno kasih penghargaan perintis kemerdekaan.”

Melalui keputusan UU No. 5 Prps Tahun 1964 tentang Pemberian Penghargaan/Tunjangan kepada Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan, Djuhrani dan seluruh aktivis politik yang terlibat Peristiwa 1926 berhak menerima tunjangan dari negara. Jasa mereka diakui sebagai perintis gerakan kemerdekaan Indonesia.

AYU Muyasarah, 87 tahun, masih ingat sebuah kisah yang dituturkan ayahnya, Entol Endjun Djuhrani, tentang sekelompok pria yang ditangkap Belanda di Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten usai pemberontakan PKI 1926. “Caca,” demikian Muyasarah memanggil ayahnya, “terus menunduk waktu pemimpin pemberontakan dipaksa polisi Belanda menunjuk siapa saja yang ikut berontak,” ujarnya.

Menurut Muyasarah, ayahnya bukan seorang ateis. “Dia rajin salat. Taat sama agama.” Djuhrani luput dari hukuman mati dan pembuangan ke Boven Digul, Papua. Dia hanya dihukum kerja paksa sesaat. Setelah bebas, dia meninggalkan Menes, kampung halamannya dan pindah ke Batavia di mana dia bekerja sebagai pegawai perusahaan kayu jati di Tanah Sereal. Muyasarah menuturkan, “Setelah lama di Batavia, Caca pulang lagi ke Banten, terus jadi mandor perkebunan dan mantri pasar. Waktu kemerdekaan, Bung Karno kasih penghargaan perintis kemerdekaan.”

Melalui keputusan UU No. 5 Prps Tahun 1964 tentang Pemberian Penghargaan/Tunjangan kepada Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan, Djuhrani dan seluruh aktivis politik yang terlibat Peristiwa 1926 berhak menerima tunjangan dari negara. Jasa mereka diakui sebagai perintis gerakan kemerdekaan Indonesia.  

Pertanyaan yang sering mengemuka dalam menelaah kaitan Islam dan komunisme di Indonesia sering kali berada di seputar: kenapa di daerah Banten dan Silungkang, Sumatra Barat, dua daerah yang mayoritas penduduknya muslim fanatik, bisa sekaligus menerima kehadiran PKI? Bahkan menjadi bagian dari partai komunis tersebut? Pertanyaan berikutnya apakah benar Sarekat Islam dipecah belah oleh komunisme sehingga kehilangan marwahnya ketika menghadapi kolonialisme? Situasi dan kondisi seperti apakah yang melahirkan gerakan revolusioner itu?

Rapat anggota Sarekat Islam di Kaliwungu, Jawa Tengah, 25 September 1921. (Tropenmuseum).

Hindia Belanda dalam Masa Peralihan

Semenjak berakhirnya Perang Jawa 1830, pemerintah Belanda mengalami krisis. Kas negara nyaris kosong akibat membiayai berbagai perangnya di Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Van Den Bosch kemudian memperkenalkan sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang mewajibkan penduduk Jawa menyisihkan 20 persen atau seperlima luas tanahnya untuk ditanami tanaman yang menjadi komoditas pasaran dunia. Dengan cara itu, pemerintah kolonial Belanda berhasil menyelamatkan diri dari kebangkrutannya.  

Pada 1860, di bawah nama samaran Multatuli, Eduard Douwes Dekker menulis sebuah roman berjudul Max Havelaar. Roman itu mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang memperlakukan penduduk Jawa sebagai budak demi keuntungan sepihak pemerintah. Muncul pula gerakan dari kaum liberal dan kalangan usahawan Belanda agar pemerintah menghapuskan sistem Tanam Paksa dan memberlakukan peraturan baru. Pada 1870 pemerintah kolonial memberlakukan Agrarische Wet, Undang-Undang Agraria yang mengatur kepemilikan dan penyewaan atas lahan/tanah.

Undang-undang tersebut di satu sisi ingin melindungi petani, tetapi di sisi lain membuka peluang investasi besar-besaran di sektor perkebunan. Periode ini sering kali disebut sebagai Periode Liberal. Sebuah masa yang mengintegrasikan ekonomi Hindia Belanda dengan ekonomi dunia. Pada periode inilah tanaman tebu, kopi, kina, dan teh dikembangkan di Jawa, dan tembakau di Deli, Sumatra Utara. Perusahaan-perusahaan swasta dapat menyewa sawah-sawah yang beririgasi dari pemilik bangsa Indonesia untuk penanaman tebu secara bergantian dengan padi oleh penduduk pribumi. Proses ini menurut sosiolog W.F. Wertheim dalam bukunya Masyarakat Indonesia Dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial membuat semakin melemahnya pemilikan tanah penduduk pribumi.  

Pada periode tersebut ditandai pula dengan maraknya pabrik-pabrik dan infrastruktur pendukung industri perkebunan. Mulai pabrik gula sampai berfungsinya rel dan kereta api demi kepentingan usaha perkebunan. Pesatnya industri perkebunan ternyata tak berbanding sejajar dengan kualitas hidup rakyat jajahan. Pada saat yang bersamaan mulai muncul suara-suara protes dari kalangan etis, antara lain Theodore van Deventer, agar pemerintah Belanda membayar utang budi (Een Eereschuld) kepada rakyat jajahan.

Tahun 1901 pemerintah Belanda merealisasikan gagasan politik etis dalam tiga bidang: irigasi, edukasi, dan emigrasi. Kebijakan ini sering kali disebut-sebut sebagai titik tolak kelahiran generasi baru di Hindia Belanda yang kelak membawa perubahan besar pada negara jajahan Belanda ini. Selain itu, pertumbuhan industri di kota-kota besar di Jawa pun mendorong lahirnya kelas buruh terdidik yang kelak menjadi tulang punggung gerakan komunisme di Hindia Belanda. Proses pemiskinan petani di pedesaan karena beban pajak dan minimnya lahan pertanian, juga jadi faktor kenapa Sarekat Islam, kemudian PKI, menjadi tumpuan harapan kaum wong cilik untuk mewujudkan perubahan nasib mereka.

Kediaman HOS Tjokroaminoto di Gang Peneleh, Surabaya. (Priawan Tyasajie/Historia.ID).

Pada Mulanya Sarekat Islam

Dalam sejarah Indonesia, Sarekat Islam (SI) dikenal sebagai organisasi muslim dengan jumlah anggota terbesar. Bahkan, untuk ukuran zaman itu, ia adalah organisasi muslim terbesar di Asia. Didirikan pertama kali di Surakarta pada 1905 oleh Haji Samanhudi dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI), sebagai reaksi terhadap dominasi pedagang kain Tionghoa yang tergabung dalam Kongkoan.  

Pada 1911, Samanhudi menemui HOS Tjokroaminoto untuk bertukar gagasan tentang organisasi. Dalam pertemuan itu, Tjokro mengusulkan agar nama SDI diubah menjadi SI. Alasannya karena SDI membatasi keanggotaannya pada pedagang, sedangkan SI membuka peluang seluas-luasnya buat setiap muslim untuk bergabung. Pada 10 September 1912, setelah melalui penyusunan ulang anggaran dasarnya atas bantuan R.M. Tirto Adhisoerjo, berita berdirinya SI disampaikan kepada notaris dan kemudian didaftarkan kepada pemerintah kolonial.  

Di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto, SI tumbuh menjadi organisasi massa yang disegani. Sosok Tjokro begitu melekat dengan SI. Dia seorang orator ulung. Dipuja rakyat Jawa bak dewa. Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat dalam memoarnya mengenang Tjokroaminoto sebagai “een indrukwekkende persoonlijkheid, een geboren leider volksvergaderingen” atau “seorang pribadi yang mengesankan, pemimpin rapat-rapat umum yang berbakat”.

Tjokro berhasil membangun SI jadi organisasi yang bersifat nasional dengan membentuk cabang-cabang SI di beberapa daerah di Hindia Belanda. Sejak 1916, atas inisiatifnya, kongres SI disebut “kongres nasional”, menunjukkan mulai tersemainya gagasan nasionalisme di kalangan anggota SI. Selain itu, ini bukti kemajuan pesat yang terjadi pada SI dalam satu dekade pertama semenjak SDI didirikan di Surakarta.  

Faktor eksternal turut mendongkrak perkembangan SI. Boedi Oetomo, yang berdiri sejak 1908 dan direken sebagai pelopor kebangkitan nasionalisme Hindia, perlahan tetapi pasti mengalami kemunduran seiring berkuasanya priayi Jawa di dalam organisasi. Harapan yang digantungkan semakin tinggi terhadap SI dan figur Tjokro sering kali dipersonifikasikan sebagai juru selamat rakyat Jawa atau ratu adil.  

Membesarnya keanggotaan SI menimbulkan kecemasan di kalangan masyarakat kulit putih yang semenjak abad ke-19 jumlahnya semakin meningkat. Sementara kesadaran nasionalisme belum berjangkit luas, fenomena Pan Islamisme yang saat itu marak di Asia membangkitkan sentimen persatuan di kalangan kaum muslim di Hindia Belanda.  

Berbeda dengan pandangan umum warga Belanda atau Eropa di Hindia umumnya yang memandang perkembangan SI dengan rasa ngeri, pemerintah kolonial menunjukan sikap yang bersahabat. Gubernur Jenderal Idenburg, yang dipengaruhi pemikiran etis, bersikap ramah terhadap SI walaupun sebagian besar golongan konservatif menghendaki dia melarang SI sebagaimana dilakukannya terhadap Indische Partij pada 1912.  

Kekhawatiran itu memang tak berdasar. Pada tahun-tahun awal di bawah kepemimpinan Tjokro, SI tak ubahnya organisasi sosial keagamanaan yang mencurahkan perhatiannya pada peningkatan taraf hidup pribumi dan memajukan kebutuhan spiritual serta material umat muslim. “Pertemuan pertama SI diselenggarakan pada 26 Januari 1913 di Surabaya, dihadiri sepuluh ribu orang dan dipimpin oleh Tjokroaminoto,” tulis sejarawan Dewi Yuliati dalam Semaoen: Pers Bumiputera dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang. Setelah itu, dapat dipastikan ribuan orang selalu menghadiri vergadering (pertemuan) SI di mana mereka terpukau pada pidato Tjokroaminoto. Pusat kegiatan SI pun pindah dari Surakarta ke Surabaya.  

Namun demikian SI masih jauh dari sebuah organisasi yang memosisikan dirinya frontal berhadapan dengan penguasa kolonial. Meskipun diselubungi kekhawatiran kalau-kalau SI bakal jadi gerakan radikal yang memimpin jalannya pemberontakan. Pemerintah kolonial punya catatan tersendiri terhadap gerakan agama yang menggerakkan pemberontakan. Di Banten, misalnya, paling tidak ada dua kali pemberontakan besar yang terjadi pada abad 19. Pemberontakan Haji Wakhia 1854 dan Pemberontakan Petani Banten 1888.  

Di bawah Tjokro, SI jadi organisasi yang bersifat nasional dengan membentuk cabang-cabang SI di beberapa daerah di Hindia Belanda, termasuk SI cabang Semarang yang kelak memainkan peran penting di dalam kombinasi Islam dan komunisme. Pada kongres kedua 1917 di Batavia, SI mulai menunjukkan keinginannya untuk menyelenggarakan sebuah pemerintahan sendiri, kendati belum terang-terangan menyatakan kemerdekaan.  

SI di bawah Tjokroaminoto tampak terombang ambing antara berperan sebagai organisasi radikal atau moderat dengan tetap mempertahankan hubungan baiknya dengan pemerintah kolonial. Sikap demikian ternyata menimbulkan ketidakpuasan sekelompok kecil anggotanya. Konflik internal mulai terjadi di dalam kepengurusan SI. Pembentukan cabang-cabang SI yang otonom ternyata memperuncing konflik internal.

Sembilan orang pemberontak yang ditangkap pemerintah kolonial pada kerusuhan di Weltevreden, Batavia. (Bintang Hindia, 27 November 1926).

Henk Sneevliet Sang Pengabar

Pada saat yang bersamaan, ide-ide sosialisme mulai berkembang di dalam tubuh SI. Paham itu dibawa oleh Henk Sneevliet, seorang sosialis Belanda yang datang pertama kali ke Hindia Belanda pada Februari 1913. Henk dipecat dari partainya, SDAP (Partai Buruh Sosial Demokrat), karena bergabung dengan SDP (Partai Sosial Demokrat) yang kelak jadi Partai Komunis Belanda (CPN). Henk kecewa karena SDAP tak mendukung pemogokan buruh pelabuhan Amsterdam, 14 Juli 1911.  

Henk sempat bekerja sebagai wartawan di koran Soerabajaasch Handelsblad, Surabaya. Setelah empat bulan bekerja di Surabaya, D.M.G. Koch, seorang sosialis rekan Henk, menawarkan posisi sekretaris Kamar Dagang Semarang (Semarang Handelvereniging) yang ditinggalkannya. Henk menerima. Juli 1913, dia pindah ke Semarang dan mulai bekerja di sana.  

Di Semarang, Henk menemukan VSTP, organisasi buruh kereta api yang sudah berdiri sejak 1908. Dia menemukan kemiripan organisasi di mana dia pernah mengetuainya sebelum tiba di Hindia Belanda: NVSTV, Sarekat Buruh Kereta Api Belanda. Henk pun turut mengelola penerbitan VSTP, De Volharding. Pada 1914, bersama 60 orang Belanda lainnya, Henk mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), perkumpulan Sosial Demokrat Hindia yang diakui sebagai partai Marxis pertama di Asia.  

Pada 18 Maret 1917, tersiar kabar revolusi dari Rusia. Henk langsung menanggapi kemenangan revolusi itu dengan menulis sebuah artikel berjudul “Zegepraal” atau “Kemenangan”. Artikel tersebut dimuat pada 19 Maret 1917 di harian De Indiers milik Insulinde. Isinya mengajak rakyat Jawa meniru apa yang dilakukan oleh rakyat Rusia. Sejak kemenangan itu, meyakinkan Henk untuk menempuh jalan revolusioner dan membentuk sebuah partai vanguard untuk memimpin jalannya revolusi proletar di Indonesia.  

Henk adalah aktor intelektual yang berada di balik radikalisme SI Semarang di bawah Semaoen. Dia juga memelopori pembentukan Garda Merah, yang terdiri dari kelasi-kelasi Angkatan Laut di Surabaya sebagai sokoguru revolusi yang sedang dirintisnya. Karena aktivitas politiknya itulah dia diseret ke pengadilan tinggi di Semarang. Didakwa dengan pasal-pasal penghasutan untuk melawan pemerintah kolonial. Persidangan Henk Sneevliet adalah persidangan kali pertama terhadap seorang kulit putih untuk perkara politik yang dilakoninya.  

Persidangannya itu menimbulkan reaksi besar di kalangan aktivis SI Semarang. Beberapa di antaranya bahkan merasa simpati pada Henk yang mengorbankan dirinya sendiri demi bangsa yang justru dijajah bangsanya. “Berapa orang bangsa kita yang berani membela kepada bangsa kita seperti Sneevliet yang dibuang lantaran membela kita orang ini? Apakah pemimpin pergerakan kita juga berani dibuang?” tulis Mas Marco Kartodikromo di Sinar Hindia, 10 Desember 1918.  

Henk divonis bersalah dan diusir dari Hindia Belanda. Persidangannya itu pun menimbulkan kesan mendalam pada Darsono yang kelak memainkan peran penting di dalam gerakan Islam-komunisme yang berujung kepada pembentukan Partai Komunis Indonesia. Henk kemudian keluar dari Hindia Belanda pada pengujung tahun 1918. Dia kembali ke negerinya tetapi kembali mengambil peran penting dalam gerakan pembebasan Hindia Belanda di tingkat internasional.

Patroli militer kolonial setelah terjadinya kerusuhan di Batavia. (Bintang Hindia, 27 November 1926).

Persentuhan Awal Islam dan Komunisme

Henk Sneevliet berkenalan dengan Semaoen, seorang pemuda berusia 16 tahun yang bekerja sebagai juru tulis di stasiun Surabaya. Atas peran Henk, Semaoen masuk ke dalam VSTP dan ISDV. Henk tertarik pada Semaoen yang cerdas dan berbakat. Karier organisasinya melesat cepat. Sehingga pada Juli 1916, Semaoen diangkat menjadi propagandis VSTP di Semarang.  

Pada masa itu lumrah seseorang membagi kesetiaannya kepada beberapa organisasi. Semaoen adalah kader aktif SI sekaligus pengurus VSTP dan anggota ISDV. Desentralisasi SI yang ditetapkan sejak kongres kedua SI di Bandung 1916, membuat Semaoen terpilih menjadi ketua SI Semarang. Kemahiran Semaoen melakukan propaganda dan agitasi mendatangkan hasil gemilang. Dalam waktu setahun, Semaoen berhasil meningkatkan jumlah keanggotaan SI Semarang menjadi 20 ribu orang pada 1917.  

Menurut Dov Bing dalam makalahnya, Lenin and Sneevliet: The Origins of the Theory of Colonial Revolution in the Dutch East Indies, Henk Sneevliet berusaha memperkenalkan ide-ide sosialisme revolusioner di dalam kalangan SI dan membangkitkan semangat antikolonialisme. Henk mengklaim dirinya dipengaruhi oleh pemikiran Karl Kautsky dalam kongres Internasionale kedua di Stuttgart, Jerman, 1907. Kautsky seorang sosialis antikolonialisme yang memiliki pandangan berbeda dengan kaum sosialis lainnya yang terkesan oportunistik di dalam menyikapi kolonialisme.  

Pertemuannya dengan Semaoen adalah langkah awal penetrasi ke dalam tubuh SI. Henk melihat SI sebagai organisasi muslim yang terdiri dari kaum borjuasi dan intelektual yang potensial dijadikan sebagai basis gerakan revolusioner. Menurut Ruth McVey, penerapan strategi itu disebut “block within” atau membentuk blok di dalam SI untuk memilah unsur-unsur radikal.  

Gagasan Henk bak gayung bersambut karena pada waktu yang bersamaan SI malah menunjukkan sikap moderatnya. Tjokroaminoto seorang muslim yang eklektik. Dia lebih terlihat sebagai seorang sinkretis yang mendambakan persatuan di kalangan anggota SI. Islam bagi Tjokroaminoto adalah instrumen pemersatu. Dia sendiri mengecam praktik alienasi pemerintah Belanda terhadap aktivitas politik warga pribumi Hindia Belanda.  

Sejak 1916, muncul ide pembentukan Dewan Rakyat Hindia (Volksraad). Baru pada 1918, pemerintah kolonial di bawah Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum menyetujui pembentukan Volksraad. Tjokroaminoto memandang ini sebagai kesempatan untuk merintis jalannya pemerintahan sendiri (self government) melalui jalan parlementer. Cita-cita menjalankan pemerintahan sendiri ini sudah mencuat sejak kongres SI pertama di Bandung, 1916.  

Selain soal Volksraad, pemerintah kolonial berencana membentuk barisan pertahanan milisi sipil warga Hindia Belanda (Indie Werbaar). Ide ini dilatarbelakangi ketakutan merambatnya Perang Dunia I ke Hindia Belanda. Belanda tak punya Angkatan Darat yang kuat sehingga pertahanan Hindia Belanda diserahkan kepada warga Hindia Belanda. SI Semarang memandang Indie Werbaar sebagai taktik Belanda menumbalkan pribumi demi mengamankan kepentingan kapitalistik mereka.  

Henk Sneevliet pun menentang keras Indie Werbaar. Dalam terbitan ISDV, Het Vrije Woord, terbit sebuah tulisan berjudul Als de Buitenlandsche Vijand komt (Bila musuh dari luar datang):

Buitenlandsche vijand

Musuh dari luar

Nu ben ik hier de Baas

Sekarang saya jadi penguasa di sini Werbaar Comite: (Komite Pertahanan):

“Kom, kromo sta hem teweer”

Ayo kromo lawanlah dia

Java: (orang Jawa): “Dank je wel! Ik Vecht niet mee”

Terima kasih! Saya tidak mau ikut bertempur

Dank je dat ik mijn bloed wil vergieten terberscherming van jouw goederen en rjkdommen?

Apakah kamu berpikir bahwa saya mau mengeluarkan darah untuk melindungi harta benda dan kekayaanmu?

“Kromo werpt zijn kris weg en loopt heen. Het kan hem niet schelen wie hem regeert”

Kromo kemudian membuang kerisnya dan meninggalkan tempat itu. Dia tidak peduli siapa yang memerintah.

Tulisan yang dikutip dari buku karya sejarawan Dewi Yuliati itu bermakna ajakan kepada rakyat pribumi untuk tidak mengikuti rencana pemerintah mendirikan Indie Werbaar. Soal komite pertahanan dan dewan rakyat Hindia ini menjadi satu paket isu yang memicu protes keras kaum radikal. Menurut Semaoen, Volksraad tak lebih dari “pertunjukan kosong, suatu akal dari kaum kapitalis mengelabui mata rakyat jelata untuk memperoleh untung lebih banyak”. Henk dan Semaoen tak sepakat dengan jalan evolusioner yang dipilih oleh CSI (Central Sarekat Islam) melalui parlementer.

Konflik antara CSI dengan SI Semarang semakin kentara sebagai sebuah perseteruan yang nyata antara dua kubu. SI Semarang semakin condong ke kiri radikal, sementara CSI di bawah Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis lebih condong menjadi moderat.

Selain itu, kritik dari SI Semarang terhadap kepemimpinan Tjokroaminoto pun semakin masif. Darsono, salah satu pemipin SI Semarang menuduh Tjokroaminoto korupsi dana organisasi. Hal tersebut diungkapkannya pada kongres kedua SI di Batavia. Terang saja Tjokroaminoto menampik tuduhan tersebut. Darsono pun semakin deras melancarkan kritiknya, walaupun berkali-kali pula Tjokroaminoto membantahnya.  

Diadopsinya gagasan sosialisme Henk Sneevliet tak lepas dari situasi politik dan sikap CSI Tjokroaminoto dalam menghadapi pemerintah kolonial. Semaoen dan kawan-kawannya di SI Semarang mengambil jalan revolusioner menghadapi pemerintah kolonial yang mereka anggap representasi kapitalisme/imperialisme. Lagi pula pemerintah kolonial memiliki kepentingan untuk melindungi bisnisnya dan tetap mengalirkan laba ke negeri induk.  

Perpecahan di tubuh SI semakin memuncak ketika terjadi insiden Afdeling B pada 1919. Peristiwa perlawanan Haji Hasan di Leles, Garut yang menentang pembayaran pajak padi dan berujung pada kerusuhan berdarah membuka kotak pandora keterlibatan sel-sel komunis di dalam SI. Haji Hasan adalah pemuka agama di Leles dan anggota SI. Dia melakukan perlawanan hingga menewaskan dirinya dan anggota keluarganya.  

Peristiwa itu merambat ke mana-mana. Berakibat pada penangkapan para pemimpin SI termasuk Tjokroaminoto. Pada saat berada di dalam penjara, kepemimpinan SI diambil alih oleh Haji Agus Salim, di mana dia melakukan apa yang tak pernah bisa dilakukan oleh Tjokroaminoto: pembersihan SI dari unsur-unsur komunis. Tjokroaminoto memang tak menghendaki itu. Baginya, SI harus menjadi wadah bagi seluruh umat Islam tiada peduli apa alirannya.

Tjokroaminoto selalu meyakinkan bahwa ide-ide sosialisme pun ada dalam ajaran Islam. Bahkan, kata dia, apa yang diajarkan oleh Karl Marx sebagai teori nilai lebih (meerwarde) itu adalah riba di dalam pengertian Islam. Islam pun berpihak kepada orang-orang tertindas dan kelas buruh. Apabila kaum komunis menolak kapitalisme, maka Islam juga menolak kepemilikan yang berlebihan-lebihan. Semua itu dia tulis di dalam buku Islam dan Sosialisme, upaya terakhir darinya untuk menyatukan berbagai golongan di dalam SI sekaligus menarik mereka yang terlanjur terseret ke dalam gerakan komunisme.

Militer kolonial berangkat ke Tangerang untuk mengamankan kerusuhan. (Bintang Hindia, 27 November 1926).

Kenapa Islam dan Komunisme Bisa Berpadu?

Pada 1914, ketika ISDV kali pertama berdiri dan Henk mulai memperkenalkan gagasan sosialisme revolusionernya, dunia sedang dilanda perang. Krisis ekonomi terjadi di mana-mana, tak terkecuali di Hindia Belanda. Kehidupan warga pribumi di Hindia Belanda mengalami penurunan drastis. Arus kapitalisme yang mengalir deras dalam satu abad terakhir masa itu, berwujud ke dalam industri perkebunan menciptakan kesenjangan sosial yang nyata.  

Kelahiran SI yang diharapkan dapat memberikan jawaban atas semua persoalan itu alih-alih berada di garda terdepan melawan kolonialisme, justru terbawa arus pemerintah dengan menerima jalan parlementer. Ideologi Islam yang semestinya mencakup konsep aqidah-aqliyah, yang meliputi soal keimanan dan solusi atas persoalan-persoalan kemanusiaan, tak sepenuhnya memenuhi harapan orang banyak.  

Islam sebagai ideologi di bawah Tjokroaminoto bukanlah bentuk yang ideal. Terlebih ketika SI yang dipimpinnya termoderasi menjadi organisasi moderat dan bahkan semakin lama semakin mencari aman dengan hanya memfokuskan kegiatannya dalam soal-soal keagamaan sebagai praktik ritual. SI di bawah Tjokroaminoto terjebak ke dalam pragmatisme yang memang bersandar kepada skenario pemerintah kolonial. Tjokroaminoto menempuh jalan evolusioner dengan berharap pada penyelenggaraan pemerintahan yang otonom (self government).

Di lain pihak, ideologi marxisme menjadi senjata ampuh yang membangkitan kesadaran kelas pada bangsa terjajah. Situasi Hindia Belanda yang berubah cepat: aliran modal, pertumbuhan industri, peningkatan jumlah kaum buruh, menurunnya kualitas kehidupan masyarakat bawah dan semakin hegemoniknya pemerintah kolonial membutuhkan respons yang cepat (revolusioner) yang bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat. Ini yang tidak disediakan oleh Islam sebagai ideologi di bawah SI-nya Tjokroaminoto.  

Tak mengherankan apabila tokoh agama seperti Haji Misbach, yang dikenal taat beribadah, menerima komunisme sebagai ideologi pembebasan tanpa harus khawatir kehilangan akidahnya. Haji Misbach mahir mengutip ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis Rasulullah dan memasukannya ke dalam artikel-artikelnya yang bernas nan kritis. Pandangan kemasyarakatan Haji Misbach bersandar pada nilai-nilai ajaran Islam yang berpihak kepada kaum tertindas. Inilah titik temunya dengan marxisme yang diperkenalkan pertama kali oleh Henk Sneevliet.  

Tujuh orang pemberontak yang tertangkap di Tangerang. (Bintang Hindia, 27 November 1926).

Orientasi politik SI di bawah Tjokroaminoto dan Agus Salim yang menimbulkan banyak ketidakpuasan dan pandangan eklektik dan sinkretik dari para tokoh SI berperan besar di dalam penerimaan mereka pada marxisme. Sekilas memang menunjukkan paradoksalnya sendiri. Bagaimana sebuah agama yang sangat resisten terhadap hal-hal yang dianggap menodai sistem kepercayaan mereka terhadap Tuhan, bisa menerima komunisme sebagai jalan mencapai keadilan.  

Di Banten, komunisme diterima di kalangan ulama pertama-tama karena mereka kecewa terhadap kepemimpinan CSI Tjokroaminoto. Apalagi SI Banten dipimpin oleh Hasan Djajadiningrat, yang dikenal sebagai tokoh SI moderat dan sekuler. Hasan adalah gambaran nyata pemimpin SI lokal yang tidak frontal menghadapi pemerintah kolonial.  

Masuknya komunisme ke Banten memang terbilang lambat. Banten bisa dijadikan contoh bagaimana daerah pinggiran, yang sebagian besar penduduknya pemeluk Islam fanatik, justru menerima komunisme. Sejak abad 19, pemerintah kolonial menganeksasi daerah pedesaan Jawa ke dalam kekuasaannya. Menurut Michael C. Williams, ketidakmampuan pemerintah Hindia Belanda mengontrol atau mengintegrasikan daerah-daerah periperal memunculkan ruang kosong yang acapkali digunakan oleh kelas menengah untuk mengeksploitasi pemerintah kolonial dengan mengambil posisinya di hadapan petani.  

Masyarakat pinggiran di Banten, meminjam teorinya Robert Redfield, sebagai basisnya “tradisi kecil” yang pada akhirnya kalah di hadapan “tradisi besar” (negara Hindia Belanda). Proses mobilisasi politis dianggap sebagai perlambang mobilisasi para pemimpin lokal oleh para elite nasional dan institusi-institusi negara. Jadi, masuknya PKI ke Banten, dipahami oleh masyarakat sebagai kesempatan memosisikan paralel dengan otoritas negara kolonial yang dianggap mencampuri urusan mereka terlalu jauh dan sering kali membawa ketidakadilan.  

Tokoh SI yang memainkan peranan penting di dalam perkembangan komunis di Banten adalah Kiai Haji Achmad Chatib. Dia menantu Kiai Haji Asnawi Caringin yang terkemuka dan disegani. Seperti Haji Misbach, Chatib taat beribadah dan menerima ide-ide komunisme. Tokoh penting lain di Banten adalah Ahmad Basaif, orang Banten keturunan Arab yang pandai berbahasa Arab dan khusyuk beribadah. Dia bersama Puradisastra dan Tubagus Alipan adalah pionir dalam gerakan yang mengombinasikan Islam dan komunisme di Banten.

Seperti halnya Tan Malaka yang membentuk sekolah gratis buat anak-anak buruh SI di Semarang, gerakan Islam-komunisme di Banten pun dengan cepat meraih simpati penduduk karena aksi-aksi populis mereka. Banten dikenal sebagai basis jawara, elemen masyarakat yang kerap kali diasosiasikan dengan perilaku kriminal. Tokoh-tokoh SI di bawah Chatib, seperti Tje Mamat, selalu memberikan bantuan pembelaan hukum gratis buat para jawara. Bahkan pada awal masuknya paham kiri ke Banten, Puradisastra dan Tb. Alipan mengadvokasi agar keluarga Kesultanan Banten yang telah dibubarkan sejak abad 19 bisa menerima tunjangan pensiun dari pemerintah kolonial. Hanya dalam waktu kurang dari lima tahun sejak 1920, SI kiri berhasil tumbuh pesat di Banten. Dan kelak, tokoh ulama dan jawara di daerah ini memainkan peran penting dalam pemberontakan PKI di Banten, 1926.  

Tak jauh berbeda dengan di Banten, para pemberontak komunis di Silungkang, Sumatra Barat pada awal tahun 1927 pun berlatar belakang saudagar dan guru agama. Seperti halnya di Banten yang menjadikan pamong praja dan polisi sebagai simbol kolonial, para pemberontak Silungkang yang dipimpin oleh Sulaiman Labay pun menyerang polisi dan semua simbol-simbol pemerintah kolonial di Silungkang.

Interniran Digul sedang mengolah lahan, Zuid Nieuw Guinea atau Papua, 1937. (KITLV).

Pada Akhirnya...

Benih komunisme yang pada mulanya diterima kalangan sebagai senjata perjuangan kelas semakin lama terus mengkristal. Ia terus berproses, melembaga dan setelah melalui beberapa tahapan berakhir pada pembentukan Partai Komunis Indonesia, 23 Mei 1920. Partai ini menjadi generator bagi jalannya revolusi di Hindia Belanda. Setelah pembuangan beruntun terhadap tokohnya: Henk Sneevliet, Tan Malaka, Semaoen, dan Darsono, sekelompok komunis muda merencanakan gerakan pemberontakan melawan otoritas kolonial. Keputusan melawan itu dikenal sebagai Keputusan Prambanan, November 1925.

Setahun kemudian meletus pemberontakan. Dua daerah yang eskalasi peristiwanya cukup besar adalah Banten dan Silungkang. Dan kedua daerah itu dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat. Semenjak 1926 ribuan kaum kiri dibuang ke Boven Digul, sebuah penjara yang sengaja dibangun oleh pemerintah kolonial untuk menahan para komunis yang terlibat peristiwa 1926. Semenjak itu, komunisme tiarap, sampai kemudian Indonesia merdeka 1945, di mana tokoh-tokoh komunis kembali berperan di panggung politik nasional yang sama sekali baru dan berbeda dari apa yang mereka hadapi pada masa kolonial Belanda.  

Pada masa Demokrasi Liberal (1950–1959), PKI menjadi partai resmi dan menempati urutan keempat dalam Pemilu 1955. Dalam konstelasi politik di tahun 1950-an, PKI berhadap-hadapan frontal dengan Masyumi. Mereka berdebat sengit dalam perumusan dasar negara seperti apa yang bakal dijadikan landasan di Republik ini. Persaingan mereka terjadi di Parlemen dan di Konstituante. Namun, Masyumi harus turun panggung karena beberapa pemimpin mereka terlibat PRRI dan pada 1965 giliran PKI ditumpas, hilang tak hanya dari panggung politik tetapi juga dari pelajaran sejarah.  

Dikotomi “merah” versus “putih” dalam sejarah SI akan sangat berbahaya jika terlepas dari konteks sejarah yang meliputinya. Apalagi bila penilaian terhadap peristiwa sejarah yang terjadi di awal abad 20 itu menggunakan cara pandang yang dipengaruhi oleh pengajaran sejarah Orde Baru.*

Majalah Historia No. 17 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65f96532778c7d6c4c7d840b