Paman Sam Mencoblos Masyumi

Amerika Serikat mengucurkan dana besar untuk mendukung Masyumi. Tujuannya agar Indonesia tidak dikuasai oleh komunis.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Paman Sam Mencoblos MasyumiPaman Sam Mencoblos Masyumi
cover caption
Kampanye Masyumi di Rawa Badak, Tanjung Priok, Jakarta Utara, 27 Maret 1955. (Perpusnas RI).

MADIUN, 18 September 1948, dianggap sebagai peristiwa kelam bagi Masyumi. Banyak anggota Masyumi, dari guru hingga kiai, menjadi korban. Sehingga, Masyumi mengusulkan 18 September sebagai Hari Berkabung Nasional. Sejak itu, kebencian Masyumi terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) tak tertahankan lagi. 

“Sementara kukuh membenci komunis, Masyumi cenderung pro-Amerika, dan hubungan dekat antara diplomat-diplomat Amerika dengan para pemimpin Masyumi, terutama Sukiman, telah banyak dicatat di media massa,” tulis Ann Swift dalam The Road to Madiun: The Indonesian Communist Uprising of 1948

Seakan membalas perlakuan PKI pada Peristiwa Madiun, ketika menjabat perdana menteri, Sukiman Wirjosandjojo melancarkan “Razia Agustus” dengan menangkap ribuan anggota dan unsur-unsur PKI yang dituduh bertanggung jawab atas penyerangan kantor polisi di Tanjung Priok, Agustus 1951.

MADIUN, 18 September 1948, dianggap sebagai peristiwa kelam bagi Masyumi. Banyak anggota Masyumi, dari guru hingga kiai, menjadi korban. Sehingga, Masyumi mengusulkan 18 September sebagai Hari Berkabung Nasional. Sejak itu, kebencian Masyumi terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) tak tertahankan lagi. 

“Sementara kukuh membenci komunis, Masyumi cenderung pro-Amerika, dan hubungan dekat antara diplomat-diplomat Amerika dengan para pemimpin Masyumi, terutama Sukiman, telah banyak dicatat di media massa,” tulis Ann Swift dalam The Road to Madiun: The Indonesian Communist Uprising of 1948

Seakan membalas perlakuan PKI pada Peristiwa Madiun, ketika menjabat perdana menteri, Sukiman Wirjosandjojo melancarkan “Razia Agustus” dengan menangkap ribuan anggota dan unsur-unsur PKI yang dituduh bertanggung jawab atas penyerangan kantor polisi di Tanjung Priok, Agustus 1951.

Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia menulis bahwa Sukiman seorang antikomunis tak takut preseden seperti ini; dia melihat kesempatan untuk menghadapi komunis. Sukiman juga dekat dengan Merle Cochran, duta besar AS di Indonesia, yang ingin ada kekuatan antikomunis di Indonesia. 

Sukiman menunjukkan kedekatannya dengan AS ketika Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo menandatangani Mutual Security Act pada 5 Januari 1952. Keputusan ini menuai kecaman dari lawan politik dan internal Masyumi, termasuk Mohammad Natsir. 

“Sangat mungkin terkejut mendapat kecaman bertubi-tubi, Sukiman menyatakan tidak tahumenahu mengenai manuver menteri luar negerinya,” tulis Remy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral.

Pada 23 Februari 1952, Sukiman mengembalikan mandatnya kepada Presiden Sukarno.

Sukiman Wirjosandjojo (tengah) dan Prawoto Mangkusasmito, membahas pembentukan kabinet dengan Presiden Sukarno, Jakarta, 23 Maret 1951. (Perpusnas RI).

Sejuta Dolar

Pada Mei 1955, Sukiman, pemimpin Masyumi, memberitahukan kepada Hugh Cumming, duta besar AS untuk Indonesia, bahwa dia berharap partai-partai Islam di Indonesia meraih 60 persen suara dalam pemilihan umum 1955 jika berhasil menegosiasikan “pakta nonagresi pemilu” dengan NU. Dia yakin ini akan berujung pada konsolidasi kekuatan nonkomunis di bawah pemerintahan koalisi di bawah Masyumi. Sukiman mengatakan, koalisi ini mungkin juga melibatkan partai sayap kanan PNI. Pemimpinnya, ujar Sukiman, khawatir kemungkinan perolehan suara komunis di Jawa Tengah.

“Namun Cumming merasa Sukiman terlalu optimis mengenai pemilu,” tulis Current Intelligence Bulletin, yang diterbitkan CIA, 19 Mei 1955. Buletin ini menyebut Sukiman sebagai pemimpin sayap kanan Masyumi dan wakil ketua partai yang menyukai jalinan kerja sama militer dan ekonomi dengan AS ketimbang Natsir, ketua partai. 

Namun, dalam telegram-telegramnya, Departemen Luar Negeri AS justru kecewa dengan proyeksi bahwa Masyumi tak mungkin meraih suara mayoritas. Begitu besarnya dukungan AS terhadap Masyumi mendorong Cumming kembali berkomentar dalam sebuah telegram bahwa Sukarno menyatakan ketidaksenangannya dengan saluran diplomatik AS-Masyumi, tetapi akan mendorong pemulihan hubungan PNI-Masyumi. 

“Tapi Cumming kemudian memperingatkan Departemen Luar Negeri bahwa pemulihan hubungan ini mungkin sebuah langkah tidak tulus Sukarno untuk menjilat AS,” tulis Mark S. Williams, “The Role of Islam in the Construction of the Foreign Economic Relations of the Republic of Indonesia”, disertasi di McMaster University. 

Mantan agen CIA (Dinas Intelijen Pusat AS), Joseph Burkholder Smith dalam Portrait of a Cold Warrior, mengungkapkan, “perhitungan kami atas situasi di Indonesia menjelang pemilihan umum 1955 adalah bahwa Masyumi merupakan kekuatan tanding (counterforce) yang dibutuhkan Indonesia untuk menghentikan kecenderungan Sukarno dan para pendukung politiknya untuk condong ke kiri, menuju suatu pemerintahan otoriter yang didukung PKI.” 

Tuduhan seperti itu biasa. Anwar Harjono, juru bicara terakhir Masyumi, telah membantah ada uang itu. Kalau melalui DPP Masyumi, uang itu tidak ada, clear.

Untuk itulah, Gedung Putih mengirimkan sebuah perintah aksi rahasia kepada CIA bernomor NSC 5518 tanggal 3 Mei 1955 –dinyatakan deklasifikasi tahun 2003. Perintah itu memberikan wewenang kepada CIA untuk menggunakan “semua cara rahasia yang layak” –termasuk suap untuk membeli para pemilih dan politisi Indonesia– untuk menjaga agar Indonesia tidak menoleh ke kiri. 

“CIA memompakan sekitar US$1 juta ke kantong musuh politik paling kuat Sukarno, Partai Masyumi, pada pemilihan umum parlemen nasional tahun 1955, pemilihan pertama yang diadakan di Indonesia setelah penjajahan,” tulis Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA

AS berharap, sebagaimana termaktub dalam NSC 5518, “jika Masyumi mengontrol pemerintah setelah pemilihan parlemen, mungkin akan membatasi aktivitas komunis, mungkin mencari bantuan Barat untuk pembangunan ekonomi, dan menjadi lebih ramah terhadap Barat, tanpa, bagaimanapun, meninggalkan kebijakan Indonesia saat ini dari netralitas dan nasionalisme....” 

Namun, operasi CIA tersebut gagal. PNI menang, Masyumi menduduki tempat kedua, Partai Nahdlatul Ulama ketiga, dan PKI keempat. 

“Kami kehilangan satu juta dolar dalam satu tembakan pada pemilu Indonesia 1955,” kata Smith, yang waktu itu menjabat wakil ketua cabang CIA untuk divisi Asia Timur.

Tanda perpustakaan USIS di Jakarta. (diplomacy.state.gov).

Siapa yang Menerima?

Menurut Smith, Masyumi kalah karena kehilangan suara dari segmen muslim tradisional yang direbut Partai Nahdlatul Ulama. Faktor lain, Masyumi menggunakan sejumlah besar film, pengeras suara, dan alat pemutar untuk mengerahkan massa. Bagi Smith, itu lebih menghibur daripada membujuk pemilih untuk memilih partai pada pemilu. 

Dari mana Masyumi mendapatkan dana untuk semua peralatan itu? Berbagai perlengkapan dan materi kampanye Masyumi dipasok USIS (Badan Informasi AS). USIS –di Amerika disebut USIA– adalah agensi pemerintah yang didirikan pada 1953 dan melalui Dewan Keamanan Nasional (NSC) melapor kepada presiden AS.

Hal ini disebutkan dalam Progress Report NSC 171/1 tanggal 12 Januari 1955: “Ketika Masyumi menjadi lebih aktif dan terbuka dalam gerakan antikomunis, partai menunjukkan peningkatan kesediaan untuk mencari bantuan dari USIS. Pos telah menyediakan film dan pamflet untuk pertemuan-pertemuan Masyumi, memasok publikasi partai dengan bahan-bahan artikel antikomunis, menyediakan informasi latar belakang kepada para pemimpin partai, dan membantu Masyumi dalam penerbitan buku-buku yang sangat antikomunis...” 

“USIS Jakarta telah diarahkan untuk melaporkan rencana dan operasi yang bertujuan positif mempengaruhi pemilihan umum mendatang.” 

Menurut Yosef Djakababa, peneliti Center for Southeast Asian Studies Indonesia, indikasi AS memberikan bantuan sebesar US$1 juta untuk Masyumi masih harus dibuktikan, karena kalau yang dikatakan dalam dokumen CIA (NSC 171/1) dengan jelas tertulis Masyumi meminta kepada USIS, bukan CIA, terlepas mungkin uang USIS berasal dari CIA. Kalau pun terbukti, Masyumi dengan mudah berkilah bahwa mereka tidak tahu dana tersebut dari CIA, karena setahu mereka datangnya dari USIS. “Jadi memang kita harus berhati-hati untuk melihat dan membuat tafsiran persoalan ini,” kata Yosef kepada Historia

Lukman Hakiem, penulis buku biografi tokoh-tokoh Masyumi, menegaskan bahwa bantuan AS itu tidak terbukti. “Tuduhan seperti itu biasa. Anwar Harjono, juru bicara terakhir Masyumi, telah membantah ada uang itu. Kalau melalui DPP Masyumi, uang itu tidak ada, clear,” ujar Lukman kepada Historia. 

“Kalau pun uang kerahiman itu ada, tidak mungkin melalui Natsir,” kata Lukman, terkekeh. Mungkinkah faksi dalam Masyumi yang dekat dengan Barat, seperti Sukiman menerima bantuan AS tanpa sepengetahuan pimpinan yang lain? “Kemungkinan itu ada,” kata Lukman. 

Smith mengatakan bahwa sumbangan uang sebesar itu untuk partai politik merupakan hal yang tak biasa. Karenanya, agar kelak tak ketahuan, CIA menggunakan taktik complete write-off, yakni tiada permintaan pertanggungjawaban atas bagaimana uang itu digunakan. “Saya sama sekali tidak tahu bagaimana dan untuk apa akhirnya uang sejuta dolar itu digunakan oleh Masyumi,” kata Smith.*

Majalah Historia No. 16 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65bdb7e9f23168812e3b64dd