Pamer Kemewahan dalam Upacara Pemakaman

Warga elite Batavia menjadikan upacara pemakaman sebagai ajang pamer kemewahan. Pemerintah gerah dan memberlakukan sejumlah larangan.

OLEH:
Amanda Rachmadita
.
Pamer Kemewahan dalam Upacara PemakamanPamer Kemewahan dalam Upacara Pemakaman
cover caption
Prosesi pemakaman Gubernur Jenderal Jacob Mossel, 1761. (Rijksmuseum Amsterdam).

KEBIASAAN pamer kemewahan menjadi hal yang umum bagi warga Batavia di zaman kolonial VOC. Tak hanya dilakukan saat pergi ke gereja, di mana kaum elite Batavia akan diiringi oleh sejumlah budak yang membawa payung dan kipas, tetapi juga dalam berbagai acara seperti upacara pernikahan maupun pemakaman.

Arsiparis Belanda, Frederik de Haan dalam Oud Batavia–Volume II mengungkapkan bahwa pemakaman memberikan kesempatan kepada semua orang untuk terlihat menarik dalam segala situasi, dan jika seseorang dikenal sebagai orang yang suka menghamburkan uangnya, maka ia dapat mengandalkan iring-iringan besar pihak-pihak yang berkepentingan, karena prosesi itu diakhiri dengan pesta perkabungan dan karangan bunga duka cita.  

Sementara itu, menurut sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII, upacara pemakaman di Batavia sesungguhnya diselenggarakan secara sederhana di awal abad ke-17, namun hal itu mulai berubah di kurun waktu 1650-an ke atas ketika sejumlah orang kaya dan berpengaruh di kota itu mulai mengutus dua orang pembawa berita duka kepada sanak keluarga dan handai taulan.

KEBIASAAN pamer kemewahan menjadi hal yang umum bagi warga Batavia di zaman kolonial VOC. Tak hanya dilakukan saat pergi ke gereja, di mana kaum elite Batavia akan diiringi oleh sejumlah budak yang membawa payung dan kipas, tetapi juga dalam berbagai acara seperti upacara pernikahan maupun pemakaman.

Arsiparis Belanda, Frederik de Haan dalam Oud Batavia–Volume II mengungkapkan bahwa pemakaman memberikan kesempatan kepada semua orang untuk terlihat menarik dalam segala situasi, dan jika seseorang dikenal sebagai orang yang suka menghamburkan uangnya, maka ia dapat mengandalkan iring-iringan besar pihak-pihak yang berkepentingan, karena prosesi itu diakhiri dengan pesta perkabungan dan karangan bunga duka cita.  

Sementara itu, menurut sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII, upacara pemakaman di Batavia sesungguhnya diselenggarakan secara sederhana di awal abad ke-17, namun hal itu mulai berubah di kurun waktu 1650-an ke atas ketika sejumlah orang kaya dan berpengaruh di kota itu mulai mengutus dua orang pembawa berita duka kepada sanak keluarga dan handai taulan.

“Pemerintah Agung menentukan bahwa biaya menyewa pembawa berita duka paling tinggi dua ringgit kendati dilakukan oleh dua orang atau lebih,” tulis Niemeijer.

Bagi warga Batavia, khususnya kaum elite, mempersiapkan kepergian ke alam baka menjadi hal yang wajib dilakukan. Selain membuat surat wasiat, mereka juga akan menunjuk orang-orang yang akan menguburkannya. Bahkan, mantan Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn (menjabat 1691–1704) dalam wasiat terakhirnya menentukan secara rinci apa yang harus dilakukan selama prosesi pemakamannya.

Persiapan tak sebatas pada proses penguburan, tetapi sejak orang itu dinyatakan meninggal dunia. Setelah jenazah dibersihkan dan dirias, jenazah akan ditempatkan di peti mati terbuka dan diletakkan di ruang depan rumah duka untuk memudahkan kerabat maupun kenalan mengucapkan selamat tinggal. Sejumlah lilin ditempatkan di sekitar peti mati, yang akan menerangi anggota keluarga, kerabat, maupun orang yang disewa untuk menjaga jenazah di malam hari.

Bagi kaum elite Batavia, kain hitam tak hanya menghiasi ruang depan rumah duka, tetapi seluruh bagian depan rumah. Kadang-kadang seluruh rumah, pintu depan, fasad depan, dan perabotan juga turut ditutupi kain hitam. Selain itu, sejumlah barang berharga, mulai dari pakaian, perhiasan, hingga budak juga kerap diletakkan di dekat peti mati bersama dengan lambang keluarga yang digantung di sana.

Berita kematian disebarkan dalam jumlah besar ke seantero kota karena dimaksudkan pula sebagai undangan pemakaman, sedangkan berita kematian yang dicetak berwarna gelap hanya berisi pemberitahuan kematian kepada orang-orang di luar kota. “Tentu saja, dengan kabar kematian ini, kesombongan sekali lagi menemukan tempat yang cocok; semakin besar, semakin mahal, dan semakin mewah,” tulis de Haan. Peraturan tahun 1753 menetapkan bahwa format ini hanya diperbolehkan untuk pangkat tertentu dan keterangan mengenai identitasnya harus sesuai dengan peraturan hukum.

Tentu saja, dengan kabar kematian ini, kesombongan sekali lagi menemukan tempat yang cocok; semakin besar, semakin mahal, dan semakin mewah.

Di sisi lain, masyarakat kelas bawah biasanya menyewa seorang serdadu mardijker sebagai pembawa berita kematian. Namun, sejak tahun 1735, setiap orang diwajibkan menggunakan jasa pembawa berita kematian profesional. Petugas mengumumkan kabar kematian di lingkungan sekitar; lalu membagikan surat-surat kematian, yang membutuhkan pengetahuan yang baik tentang pangkat dan jabatan serta hubungan setiap orang dengan orang yang bersangkutan, apakah mereka diundang “sebagai teman” atau bukan. Petugas kemudian menyusun daftar undangan, sebuah dokumen sangat penting yang harus dicap dan memiliki fungsi untuk menentukan urutan prioritas prosesi dengan gelar yang sesuai untuk setiap orang.

Ketika para tamu telah berkumpul, petugas akan membagikan pakaian dan kain penutup jenazah yang telah disewa. Kerabat terdekat, tetangga dan teman-teman, yang berjalan tepat di belakang peti mati jenazah, mengenakan jubah panjang yang diseret di sepanjang tanah, sementara tamu undangan lainnya mengenakan jubah yang lebih pendek.  

Para tamu undangan juga mengenakan kerudung berkabung yang menggantung di topi. Semakin banyak uang yang dimiliki, maka semakin mahal pula kain yang digunakan untuk prosesi ini. “Dipandang sebagai salah satu bentuk kemewahan, selalu ada kecenderungan untuk melipatgandakan jumlah jubah panjang secara berlebihan,” tulis de Haan.

Kemewahan juga dapat dilihat dari peti mati jenazah yang diukir dan dihiasi lambang perak sehingga terlihat seperti sebuah karya seni yang mahal. Biasanya peti mati akan diusung oleh kerabat dan teman, tetapi sudah menjadi kebiasaan mempekerjakan orang untuk menggotongnya. Sementara para pengiring jenazah berjalan di samping peti mati dan memegang rumbai-rumbai atau secarik kain yang digantungkan di atasnya untuk menyembunyikan para pekerja bayaran yang mengusung peti mati tersebut.

Berita kematian Jan van Cloon, pemilik toko emas dan perak di Batavia, yang dicetak pada 16 Oktober 1734. (Frederik de Haan, Oud Batavia Volume 3).

Menurut de Haan, para pembawa peti mati mulai digantikan dengan kereta jenazah ketika pada 1743 penggunaan kereta jenazah diwajibkan kecuali untuk golongan yang paling miskin, dengan jumlah kuda yang telah ditentukan sesuai dengan pangkat sang mendiang. Iring-iringan pemakaman ini menjadi hiburan yang menyenangkan bagi penduduk Batavia.

Upacara penguburan kemudian ditutup dengan menggelar jamuan makan yang pantas. Menariknya, pada masa itu usia penduduk Batavia, khusus orang-orang Eropa, rata-rata tidak terlalu panjang dan penguburan dilakukan silih-berganti sehingga lama-kelamaan upacara penguburan berubah dari momen berkabung menjadi perhelatan jamuan makan yang riang gembira meski sedang dirundung duka. Kemeriahan terlihat dari jumlah tamu undangan yang datang ke acara jamuan makan. Semakin berpengaruh seseorang, maka semakin banyak pula tamu undangan yang hadir dalam pesta penguburan.

Hidangan yang disajikan beraneka ragam, bahkan dalam jamuan makan yang diselenggarakan oleh kelompok elite Batavia, jumlah makanan yang disajikan jauh lebih berlimpah. Tak hanya daging sapi, domba maupun ayam, mereka juga menyajikan roti dan mentega Belanda. Rokok dan minuman keras juga jadi hal yang wajib ada dalam jamuan makan tersebut.  

“Banyaknya minuman keras yang dikonsumsi selama pesta penguburan menyebabkan pihak berwenang mengeluarkan larangan untuk mengonsumsi minuman keras selama upacara penguburan,” tulis Niemeijer. Selanjutnya juga diputuskan bahwa pesta makan yang biasa dilangsungkan di rumah duka, hanya boleh dihadiri anggota keluarga dan kerabat dekat. Sementara pelayat lain cukup bersalaman dengan keluarga di depan pintu rumah duka dan tidak boleh masuk.

Tak ubahnya pesta pernikahan, prosesi pemakaman penduduk Batavia membutuhkan biaya yang besar dan karenanya menjadi ajang memamerkan kekayaan. Tak heran bila sekelompok orang yang keuangannya terbatas memilih berutang daripada melaksanakan upacara penguburan sederhana.

Lambat laun kebiasaan memamerkan kemewahan dalam upacara penguburan membuat gerah pemerintah, yang kemudian mengeluarkan larangan bagi rakyat biasa menghamburkan uang untuk upacara penguburan. Selain itu, pada awal tahun 1658, pemerintah juga pernah mengeluarkan dekrit yang melarang sikap bermewah-mewahan di pemakaman, terutama pesta makan yang berlebihan serta menyewa sekelompok orang sebagai pengiring jenazah yang berjubah dan berkerudung sutra hitam. Lalu sejak 1682 diberlakukan denda apabila memberangkatkan kereta jenazah dari gereja ke tempat penguburan di malam hari dengan menyalakan lilin serta obor.

“Apabila jenazah tiba di tempat pemakaman setelah jam setengah enam sore, keluarga almarhum haris membayar denda 10 ringgit kepada Dewan Diakoni; apabila jenazah tiba pada pukul enam sore, denda menjadi 20 ringgit dan apabila tiba jam setengah tujuh malam, denda menjadi 40 ringgit. Para penggali liang lahat diwajibkan melaporkan kepada diakoni setiap pelanggaran terkait jam itu dengan ancaman akan dipecat apabila tidak melaporkannya,” tulis Niemeijer.

Meski sejumlah denda diberlakukan, tetapi tak sedikit yang menganggap larangan itu angin lalu karena bagi mereka yang memiliki banyak uang, prosesi pemakaman yang mewah tetap dapat digelar dengan membayar denda yang telah ditentukan. Oleh karena itu, banyak pihak yang menganggap aturan itu sesungguhnya tak menyentuh kaum elite Batavia karena kebiasaan menghamburkan uang dan hidup mewah masih terus dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6672d97a8d96a210261416bd