Pangeran yang Bahagia

Hidup berkecukupan di lingkungan istana justru membuatnya gelisah. Memilih tinggal di desa sebagai petani dan melahirkan falsafah hidup bahagia.

OLEH:
Andri Setiawan
.
Pangeran yang BahagiaPangeran yang Bahagia
cover caption
Ilustrasi: M. Awaludin Yusuf

Dusun Kroyo lengang. Sepeda motor sesekali melintas di jalanan aspal. Diapit perkebunan karet dan sepetak dua petak kebun jagung, dusun di Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang Jawa Tengah ini sesungguhnya tak terlalu pelosok. Jaraknya sekira 10 kilometer dari Kota Salatiga. 

Dusun Kroyo punya satu hal spesial. Di sisi timur laut dusun, terdapat lembah dengan sungai kecil yang begitu bersejarah. Di sana berdiri sebuah pondok kecil tanpa dinding dan beratap seng dengan sumur dangkal yang tak pernah kering meski kemarau. Orang-orang kerap menganggap tempat itu wingit, angker

Cerita-cerita mistik berkembang. Air dari sumur yang berada di tepi sungai dianggap memiliki khasiat ajaib. Di antara pohon beringin dan randu-randu gigantik, ada yang melihat kuda berwarna kuning, ada yang bersaksi melihat ayam hutan bercahaya.

Jika pemiliknya masih hidup, barangkali ia akan menentang tindakan dan cerita-cerita yang lebih mirip dongeng itu. Ia adalah Ki Ageng Suryomentaram, seorang pangeran dari Yogya yang memilih jadi petani tapi dikenal sebagai filsuf Jawa rasional. 

Pada 1920-an, Suryomentaram keluar dari istana dan menjadi rakyat jelata. Ia memilih dusun Kroyo, Bringin, sebagai tempatnya menyepi. Ia membeli tanah di sebuah lembah di pinggir dusun yang dialiri sebuah sungai kecil.

Dusun Kroyo lengang. Sepeda motor sesekali melintas di jalanan aspal. Diapit perkebunan karet dan sepetak dua petak kebun jagung, dusun di Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang Jawa Tengah ini sesungguhnya tak terlalu pelosok. Jaraknya sekira 10 kilometer dari Kota Salatiga. 

Dusun Kroyo punya satu hal spesial. Di sisi timur laut dusun, terdapat lembah dengan sungai kecil yang begitu bersejarah. Di sana berdiri sebuah pondok kecil tanpa dinding dan beratap seng dengan sumur dangkal yang tak pernah kering meski kemarau. Orang-orang kerap menganggap tempat itu wingit, angker

Cerita-cerita mistik berkembang. Air dari sumur yang berada di tepi sungai dianggap memiliki khasiat ajaib. Di antara pohon beringin dan randu-randu gigantik, ada yang melihat kuda berwarna kuning, ada yang bersaksi melihat ayam hutan bercahaya.

Jika pemiliknya masih hidup, barangkali ia akan menentang tindakan dan cerita-cerita yang lebih mirip dongeng itu. Ia adalah Ki Ageng Suryomentaram, seorang pangeran dari Yogya yang memilih jadi petani tapi dikenal sebagai filsuf Jawa rasional. 

Pada 1920-an, Suryomentaram keluar dari istana dan menjadi rakyat jelata. Ia memilih dusun Kroyo, Bringin, sebagai tempatnya menyepi. Ia membeli tanah di sebuah lembah di pinggir dusun yang dialiri sebuah sungai kecil.

Kala itu lembah Kroyo masih berupa hutan. Warga Kroyo tinggal di bagian dusun yang lebih datar. Suryomentaram, yang kemudian dijuluki Ki Gedhe Bringin, adalah satu-satunya orang yang tinggal di lembah itu. 

Pada awal kedatangannya, Suryomentaram mengajari kesenian ketoprak kepada warga Kroyo. Dengan tetabuhan dari bambu, orang-orang pun mulai datang dan berkumpul di rumahnya.

“Orang banyak datang ke situ. Dari awalnya tidak ada ketoprak di sini jadi ada ketoprak karena Ki Ageng Suryomentaram dari Yogya itu,” kata Sutomo, warga Kroyo berusia 87 tahun, yang mendapatkan cerita itu dari ayahnya.

Sutomo mengingat penampilan Suryomentaram begitu sederhana. Celana kolor hitam, kaos putih, dan kain parang rusak barong yang dikalungkan di leher. “Untuk merokok, dia membawa slepen (wadah tembakau). Diselipkan di sini,” terang Sutomo, menunjuk ikat pinggang.

Djajoes, seorang pensiunan guru berusia 92 tahun, masih ingat betul masa kecilnya di Nalirejo, dusun tetangga Kroyo. Katanya, setiap hari ia melihat Suryomentaram berjalan kaki melewati rumahnya untuk menuju sawah di daerah Tuntang.

“Dia petani. Biasanya tidak memakai baju atasan, ngligo. Tapi memakai kain jarik (dikalungkan di leher). Setiap pagi berjalan kaki dari Padas (dusun sebelah Kroyo) menuju sawah. Sawahnya melewati rumah saya. Jauh, lima kilometer,” kenang Djajoes.

<div class="strect-width-img width70"><figure><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62ac2de1917738f3feec9af8_FOTO-1_1.jpg" alt="img"></div><figcaption>Djajoes (92) kerap datang ke rumah Suryomentaram untuk mendengarkan wejangan-wejangan (Kiri). Jalan masuk menuju desa Kroyo (Kanan). (Andri Setiawan/Historia.ID).</figcaption></figure></div>

Pagar Keraton

Kisah hidup Ki Ageng Suryomentaram dilingkupi mitos dan cenderung legendaris. Catatan-catatan mengenai kehidupannya baru muncul setelah ia wafat. Pasalnya, ketika masih hidup, ia tak ingin dibuatkan biografi karena khawatir sosoknya akan dikultuskan oleh para pengikutnya.

Suyomentaram lahir di Yogyakarta pada 20 Mei 1892 dengan nama Bendoro Raden Mas Kudiarmaji. Ia anak dari Sultan Hamengkubuwono VII dengan garwa ampeyan atau selir bernama B.R.A. Retnomandoyo. 

Sebagai anggota keluarga keraton, Kudiarmaji hidup berkecukupan bahkan penuh keistimewaan. Ia menyenyam pendidikan Sekolah Srimanganti di lingkungan keraton, mengikuti Klein Ambtenaar Cursus (Kursus Pegawai Rendah), serta mempelajari bahasa asing seperti Belanda, Inggris dan Arab.

“B.R.M. Kudiarmaji sangat gemar membaca segala macam buku-buku, antara lain tentang filsafat, tentang sejarah dunia, tentang ilmu jiwa, dan tentang agama. Belajar mengaji agama Islam pada K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah,” tulis Grangsang Suryomentaram, anak ketiga sang filsuf yang belakangan menyusun kisah hidup ayahnya yang termuat dalam buku Falsafah Hidup Bahagia

Kudiarmaji sempat bekerja di Gubernuran selama dua tahun lebih. Kala berusia 18 tahun, ia diangkat sebagai pangeran. Namanya berubah menjadi Bendara Pangeran Harya Suryomentaram.

Suryomentaram adalah salah satu anak kesayangan Sultan dan juga kakeknya dari ibu, Patih Danurejo VI. Namun kehidupan keraton justru membuat Suryomentara tak bahagia.

Ki Ageng Suryomentaram (kiri) saat masih anak-anak berpose bersama adiknya. (Repro buku Falsafah Hidup Bahagia)

Serangkaian kejadian menambah kekecewaannya. Patih Danurejo VI meninggal dunia dan tak bisa dimakamkan di makam keluarga raja di Imogiri karena dianggap “berdarah kecil”. Ibunya diceraikan Sultan dan dikeluarkan dari keraton. Kemudian, dan yang paling mendalam, istrinya meninggal dunia setelah melahirkan putra mereka.

Kehidupan rakyat kecil di luar keraton juga menyadarkan dirinya. Ia melihat betapa para petani bekerja begitu keras untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Sementara ia dan para bangsawan hidup dengan mudah dan mewah di balik pagar istana.

“Tetapi, seperti yang dikatakan teman terdekatnya, Prawirowiworo, apakah para petani itu lebih tidak bahagia daripada Pangeran sendiri, yang bisa merasa lebih kasihan pada dirinya sendiri daripada pada mereka, karena setidaknya mereka puas dengan nasib mereka?” tulis Marcel Bonneff dalam “Ki Ageng Suryomentaraman,Javanese Prince and Philosopher (1892-1962)” yang termuat dalam jurnal Indonesia, Vol 57, April 1994.

Dengan Prawirowiworo, Suryomentaram berbagi pengalaman terkait pergulatan pemikirannya tentang manusia. Ia juga memulai pengembaraannya untuk memenuhi hasratnya bertemu “orang”.

Sri Wintala Achmad dalam Ilmu Bahagia Ki Ageng Suryomentaram menyebut Suryomentaram pernah memohon izin kepada Sultan untuk memandikannya (membaptisnya). Permohonan itu ditolak karena belum ada seorang kerabat keraton yang memeluk agama Katolik. Bila dikabulkan bisa menimbulkan gejolak di lingkungan keraton. Pada kesempatan lain, Suryomentaram ingin memeluk agama lain. 

Sri Wintala Achmad menyebut kala itu Suryomentaram bergulat dalam proses pencarian kebenaran tentang agama dan keyakinannya. Agama bukan sekadar dipahami sebagai ageman lair (pakaian lahir) tapi sebagai ageman ati (pakaian hati) manusia.

Karena khawatir jadi murtad, oleh para kiai, termasuk Achmad Dahlan, Suryomentaram dianjurkan mengajukan permohonan untuk naik haji ke Mekkah. Permintaan ini ditolak oleh ayahnya. Makin tak puas, ia meminta agar diberhentikan sebagai pangeran tapi ditolak lagi. 

Suatu hari, Suryomentram benar-benar nekat kabur dari istana. Ia pergi ke Cilacap dan menjadi pedagang kain batik dan stagen. Ia juga mengubah namanya menjadi Notodongso. Sultan kemudian mengutus orang untuk mencarinya. Suryomentaram ditemukan tengah mengerjakan pembuatan sumur di Kroya, Banyumas. Ia pun dibawa pulang ke keraton.

Ki Ageng Suryomentaram (dua dari kanan) ketika masih menjabat sebagai pangeran. (Repro buku Falsafah Hidup Bahagia)

Keluar dan Menepi

Pada 30 Januari 1921, Sultan Hamengkubuwono VII turun takhta. Ia digantikan oleh putra mahkota Gusti Raden Mas Sujadi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono VIII. Di masa pemerintahan kakaknya ini, Suryomentaram kembali mengajukan permohonan untuk menanggalkan gelar pangerannya. Permohonannya ternyata dikabulkan.

Suryomentaram keluar dari keraton. Ia menolak uang pensiun dari Gubermen sebesar f 333,50 per bulan. Ia hanya mau menerima f 75 per bulan dari Hamengkubuwono VIII sebagai tanda bahwa ia masih anggota keluarga keraton. Suryomentaram memilih Dusun Kroyo, Bringin, sebagai tempatnya menyepi. 

Meski telah keluar dari keraton, Suryomentaram sering ulang alik Bringin-Yogyakarta dengan kereta api. Ia masih memiliki rumah pribadi pangeran (Dalem Pangeran) yang berada di jeron beteng atau lingkungan benteng. Suryomentaram menikah lagi pada 1925 di Yogyakarta. Ia kemudian memboyong istri dan anak-anaknya ke Bringin.

Ki Ageng Suryomentaram berpose bersama keluarganya di Dukuh Kroya. (Repro buku Falsafah Hidup Bahagia)

Nama anak-anak Suryomentaram terbilang tak lazim: Jegot, Grangsang, Japrut, Dlureg, Gresah, dan Semplah. Nama-nama tersebut dipakai mengikuti perilaku istrinya ketika tengah hamil masing-masing anak. Nama Jegot misalnya, dipakai karena ketika tengah hamil, istrinya sering njegot atau ngambek. Grangsang karena istrinya banyak keinginan ketika hamil. Sementara Japrut artinya murung.

Djajoes pernah satu kelas dengan anak kedua Suryomentaram, Grangsang. Ia ingat anak-anak Suryomentaram berjalan kaki untuk bersekolah di Bringin. Katanya, anak-anak Suryomentaram adalah tipikal anak-anak yang tidak pernah mengeluh dan tidak menganggap dirinya memiliki derajat lebih tinggi dari anak dusun lainnya.

Berbeda dari Djajoes, Sutomo menganggap Suryomentaram adalah bangsawan keraton, bukan orang biasa. Ia mengatakan bahwa Suryomentaram memiliki pekerja untuk menggarap sawahnya. Ia juga memanggil anak-anak Suryomentaram dengan imbuhan ‘Ndoro’.

“Ki Ageng Suryomentaram itu berdarah ratu,” katanya, menegaskan bahwa tidak mungkin Suryomentaram bertani. 

Bila pergi ke Yogya, Suryomentaram tetap berpenampilan sederhana. Ketika menghadiri pemakaman ayahnya di Imogiri tahun 1931, Suryomentaram yang berpakaian lusuh turut memanggul jenazah ayahnya. Ia tak mau mengenakan pakaian kebesaran pangeran. Ia pun dijauhi anggota keluarga keraton dan teman-temannya yang malu melihat caranya berpakaian dan bertingkah laku. Bahkan ia dianggap gila.

<div class="strect-width-img width70"><figure><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62ac2dcb9a43d9d33bdf6edc_FOTO-1.jpg" alt="img"></div><figcaption>Sutomo (Kiri) warga dusun Kroyo yang pernah bertemu Suryomentaram. Sumur (Kanan) yang menjadi salah satu peninggalan Suryomentaram di dusun Kroyo. (Andri Setiawan/Historia.ID).</figcaption></figure></div>

Tembang Bahagia

Suatu hari Suryomentaram hendak pergi ke Parangtritis di pantai selatan Yogyakarta. Sesampainya di Kali Opak, perjalanannya terhalang banjir besar. Para tukang perahu memperingatkannya agar tak menyeberang. Tapi ia malah nekat menceburkan diri ke sungai dan terbawa arus. Ia megap-megap tapi tak merasakan ketakutan pada kematian. Ia justru melihat dirinya sendiri yang megap-megap hampir tenggelam. 

Suryomentaram kemudian ditolong oleh para tukang perahu. Dari kejadian itu ia menemukan apa yang dicarinya selama ini. 

Pada suatu malam tahun 1927, di lembah Kroyo yang sunyi, Suryomentaram membangunkan istrinya yang sedang tidur nyenyak. Katanya kepada sang istri, “Bu, sudah kutemukan apa yang kucari. Aku tidak bisa mati. Ternyata yang belum pernah ketemu orang adalah orang yang berwujud Suryomentaram.”

Ia melanjutkan, “Diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, diminta berkah kecewa, dianggap dukun kecewa, dianggap sakit ingatan kecewa, menjabat pangeran kecewa, menjadi pedagang kecewa, menjadi petani kecewa, itulah orang yang bernama Suryomentaram. Tukang kecewa, tukang tidak puas, tukang tidak krasan, tukang bingung. Aku sudah bertemu orang, sekarang tinggal diawasi dan dijajagi”.

Sejak itu Suryomentaram bepergian untuk menjajagi rasanya sendiri. Setiap kali “bertemu orang” (diri sendiri) timbul rasa senang. Rasa senang itu dinamakan “rasa bahagia”. 

Ilmu Bahagia (Kawruh Beja) atau ada yang menyebutnya Ngelmu Beja pun lahir. Darmanto Jatman dalam Psikologi Jawa menyebut bahwa kala itu Suryomentaram berada dalam puncak kegelisahan. Suryomentaram kemudian menemukan bahwa karep punika tiyang, manusia adalah hasrat.

“Keinginan akan naik pangkat, kekayaan, serta kekuasaan (drajat, semat, kramat) adalah sumber rasa gelisah. Sejak itulah Ki Ageng mulai mejang apa yang disebut sebagai ‘Kawruh Begja’, bahwa kebahagiaan sesungguhnya hanyalah akibat belaka, seperti juga kesusahan. Karenanya usaha untuk menemukan sebab justru lebih penting,” tulis Jatman.

Ki Ageng Suryomentaram berpose bersama keluarganya. Duduk, dari kiri ke kanan: Ki Ageng Suryomentaram, Nyi Ageng Suryomentaram, Nyi Sesmintaningsih (Ibunda dari Nyi Ageng Suryomentaram). Berdiri dari kiri ke kanan: Ni Gresah, Ni Semplah, Ki Grangsang, Ni Dlureg, Ni Japrut. (Repro buku Falsafah Hidup Bahagia)

Menurut Marcel Bonneff, sejak itu Suryomentaram menemukan sumber masalahnya, yakni kebingungan antara diri aktif dan diri pasif. Diri pasif harus dipelajari dengan segala cara untuk mengenali dan mengembangkan diri untuk menghadapi cobaan kehidupan sehari-hari serta mencapai “kebahagiaan abadi”. Yang selama ini dicari Suryomentaram dan gagal ditemukannya adalah konsep manusia yang hanya ada dalam imajinasinya.

Pada 2 Oktober 1928, Suryomentaram menuliskan hasil pengenalan rasa dalam dirinya dalam bentuk tembang Jawa dengan judul Uran-uran Beja yang artinya tembang bahagia. Kawruh Begja yang dalam perkembangannya berubah menjadi Kawruh Jiwa pun terus tumbuh.

Kawruh Jiwa adalah ilmu pengetahuan, alih-alih kepercayaan apalagi doktrin agama. Ia jauh dari ritual-ritual maupun pemujaan. 

Djajoes tak ingat semua ajaran Suryomentaram. Secara sederhana, baginya sosok Suryomentaram adalah wong pinter. Setiap sore, bersama anak-anak dusun lainnya, ia datang ke rumah Suryomentaram untuk mendengar piwulang-piwulang atau pelajaran-pelajaran kehidupan dari sang filsuf. 

“Kalau siang bertani, pulang sore, mengadakan kumpul-kumpul sesorah. Sesorah itu mengajari. Ajarannya urip sing beja, bahagia,” kata Djajoes.

Salah satu ajaran Suryomentaram yang diingat Djajoes adalah nemsa. Nemsa adalah singkatan dari enem sa atau enam sa yang meliputi sakepenake (senyamannya), sabutuhe (sebutuhnya), saperlune (seperlunya), sacukupe (secukupnya), samesthine (semestinya), dan sabenere (sebenarnya). Nemsa memberi petunjuk mengenai bagaimana manusia seyogyanya hidup biasa-biasa saja atau sewajarnya.

“Kalau orang bisa melakukan itu ya merasa tentram,” terang Djajoes.

Kawruh Jiwa perlahan menjadi sebuah gerakan kultural. Orang-orang datang ke Bringin untuk mendengarkan wejangannya. Suryomentaram pun kerap berkeliling daerah untuk bicara mengenai Kawruh Jiwa. 

Batu yang letaknya di atas bukit dusun Kroyo, tempat Suryomentaram biasa merenung. (Andri Setiawan/Historia.ID).

Para Pelajar

Wagiman Danususanto baru berusia lima tahun ketika sang ibu menggendongnya untuk mengikuti junggringan (pertemuan) Suryomentaram di desanya, Segiri, Kabupaten Semarang. Kala itu tahun 1960. Tahun-tahun terakhir Suryomentaram melakukan ceramah keliling dan rambutnya telah memutih.

Ayah dan ibu Wagiman dan banyak penduduk Segiri adalah pelajar Kawruh Jiwa. Meski belum pernah bertemu Suryomentaram ketika ia telah bisa mengingat, ia banyak belajar dari buku-buku yang disimpan ayahnya.

“Yang jadi pegangan awal, saya mengenal catatan atau buku Kawruh Bab Beja Sawetah dan Kawruh Bab Pangupo Jiwo serta Pamomong dan Laki-Rabi. Jadi ada punya ayah saya, saya baca,” kenang Wagiman.

Wagiman akrab disapa Ki Wagiman. Sebutan Ki, seperti yang disematkan pada Ki Ageng Suryomentaram, menurutnya adalah panggilan egaliter bagi semua laki-laki dewasa. Bisa dibilang, ia adalah salah satu tokoh pelajar Kawruh Jiwa yang sering dimintai tuntunan ketika belajar Kawruh Jiwa. Di rumahnya, junggringan rutin digelar pada minggu ketiga setiap bulan.

Meski demikian, Wagiman menjelaskan bahwa dalam mempelajari Kawruh Jiwa, tak ada guru maupun murid. Tak ada aturan maupun larangan dalam junggringan. Konsepnya hanya menyampaikan dan bertanya, kondho-takon.

“Jadi tidak ada perintah harus begini-begini, tidak ada larangan begini-begini, karena Kawruh Jiwa hanya butuh dimengerti, dipelajari,” terang Wagiman.

Wagiman menjelaskan, secara sederhana belajar Kawruh Jiwa adalah belajar ngudari reribet atau mengurai hal-hal rumit. Alatnya adalah wejangan-wejangan Ki Ageng Suryomentaram. Namun, tegasnya, para pelajar Kawruh Jiwa tidak bisa hanya terpaku pada buku. Mereka harus mengetahui sendiri, merasakan sendiri, membuktikan sendiri apa yang dikatakan oleh Suryomentaram.

“Setelah merasa sendiri, mengerti sendiri, mengetahui sendiri, maka timbulah itu ilmu bahagia bersama. Belajar Kawruh Jiwa adalah mencapai kebahagiaan,” kata Wagiman.

Bahagia yang dimaksud dalam Kawruh Jiwa berbeda dari senang atau gembira. Bahagia adalah kesadaran bahwa bungah (senang) dan susah akan terus silih berganti.

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62b95c6e4eb62fa73ee39bce_Intersection_9_1.jpg" alt="img"></div><figcaption>Suryomentaram disebut sebagai Gandhi-nya Jawa oleh Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 10-09-1934.</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62b5d79f0764fa5b17988fbf_Intersection%2010.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/pangeran-yang-bahagia/Podcast-WAGIMAN-DANUSUSANTO.mp4" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Wagiman Danususanto.</b><br>Pengikut Suryomentaram sejak muda. (Andri Setiawan/Historia.ID)</span></div></div></div>

Para pelajar Kawruh Jiwa tidak memiliki organisasi. Mereka mengadakan perkumpulan secara organik. Mereka hanya membentuk panitia Junggring Saloka Agung jika hendak mengadakan junggringan tingkat nasional. Junggring Salaka Agung yang pertama digelar di Salatiga pada 1932.

Pegangan utama Kawruh Jiwa adalah buku Kawruh Beja Sawetah, yang ditulis Suryomentaram pada 1931. Isinya mengenai pengetahuan kejiwaan berdasar hukum alam, yang memungkinan manusia hidup bahagia. Katanya, “Di atas bumi dan di kolong langit ini tidak ada sesuatu yang pantas dicari, dihindari, atau ditolak secara mati-matian.”

Hingga 1937, setidaknya telah ditulis beberapa buku sebagai rangkaian dari Kawruh Jiwa. Para pelajar Kawruh Jiwa secara berurutan mempelajari Kawruh Beja Sawetah (Wejangan Pokok Ilmu Bahagia), Kawruh Bab Kawruh (Seri Dua), Kawruh Bab Ungkul (Rasa Unggul), Kawruh Laki-Rabi (Ilmu Perkawinan), Kawruh Pamomong (Ilmu Pendidikan), dan Kawruh Pangupajiwa (Ilmu Mencari Nafkah). Beberapa terbitan berkala pernah menjadi acuan para pelajar Kawruh Jiwa.

Ajaran Suryomentaram kian menarik perhatian orang. Pada 1934, Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië menerbitkan artikel berjudul “De Javaansche Ghandi” yang menyebut Suryomentaram sebagai Mahatma Gandhi-nya Jawa. Redaksi melaporkan bahwa gerakan Ki Ageng Suryomentaram telah mengakar di Semarang dan menyebar ke kabupaten-kabupaten.

“Gerakan ini sudah memiliki cabang di Jawa Timur, di mana Malang adalah pusatnya,” tulis Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 10 September 1934.

Pengikut Suryomentaram disebut bergerak di bidang sosial dan keagamaan. Di Bringin, pengikut Suryomentaram membentuk gerakan koperasi untuk menyediakan barang-barang kepada para pembangkang. Beberapa koperasi didirikan di Semarang. Anggotanya membayar iuran beberapa sen saja.

“Pemimpin utama gerakan akhir-akhir ini sering bepergian karena di semua seksi baru dia diminta untuk menjelaskan ide-idenya. Ia kemudian tampil bertelanjang dada dan hanya mengenakan kain kawung kerajaan,” tulis Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië.

Harry A. Poeze dalam Politiek-politioneele overzichten van Nederlandsch-Indië: 1931-1934 menyebut Suryomentaram menerapkan ajaran “ilmu bedjo”, bahwa semua orang harus hidup dalam harmoni dan berbagi kemakmuran dan kesulitan, dalam perkumpulan koperasi. Ia menyusun peraturan windoe kentjono. Berdasarkan peraturan ini, koperasi di Jawa Tengah (Salatiga, Yogya, dan Surakarta) tidak menggunakan keuntungan mereka untuk dibagikan di antara anggotanya tapi untuk tujuan sosial dan filantropi (bantuan pernikahan dan khitanan, pajak, dan lain-lain).

Meresahkan Belanda

Setiap Selasa Kliwon, Suryomentaram berada di Yogyakarta untuk bertemu dan berdiskusi dengan teman-temannya. Sejak 1921, ia mendirikan dan memimpin Pagoejoeban Selasa Kliwon. Paguyuban ini merupakan perkumpulan sembilan tokoh: Ki Ageng Suryomentaram, Ki Hajar Dewantara, Ki Sutopo Wonoboyo, Ki Pronowidigdo, Ki Prawirowiworo, B.R.M. Subono, Ki Suryodirjo, Ki Sutatmo, dan Ki Suryoputro. Beberapa tokoh merupakan aktvis Budi Utomo.

H. Karkono Kamajaya Pk dari Lembaga Javanologi Yayasan Panunggalan Yogyakarta dalam “Mamahayu Hayuning Bawana (Sasanti Saki yang Berkesinambungan dan Berkembang”, termuat pada Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa, menyebut tujuan paguyuban ini tersimpul dalam semboyannya: mamayu hayuning sarira, mamayu hayuning bangsa, mamayu hayuning bawana. Artinya, memelihara atau melindungi keselamatan diri, bangsa, dan dunia. 

Menurut Ki Sutopo Wonoboyo dan Ki Pronowidigdo, yang diwawancarai Kamajaya, dalam semboyan mamayu hayuning bawana terkandung cita-cita mulia, yakni kemerdekaan bangsa Indonesia.

“Cita-cita dan rumusan seperti tersebut tidak diumumkan, tidak pula dipropagandakan, tetapi senantiasa diolah, dibahas, didiskusikan, dimusyawarahkan setiap mereka berkumpul pada malam Selasa Kliwon.” 

Dalam sarasehan Selasa Kliwon inilah sebutan Ki Gede Suryomentaram diubah oleh Ki Hajar Dewantara menjadi Ki Ageng Suryomentaram.

Pada suatu pertemuan, mereka mengambil kesimpulan bahwa jalan untuk meraih kemerdekaan adalah melalui pendidikan. Pendidikan anak-anak dipercayakan kepada Ki Hajar Dewantara, Ki Sutatmo Suryokusumo, dan Ki Pronowidigdo. Sedangkan pendidikan untuk orang tua atau dewasa diserahkan kepada Ki Ageng Suryomataram, yang sudah melahirkan gerakan Ngelmu Begja.

Suryomentaram muda dikhawatirkan oleh Belanda bisa menjadi pemberontak seperti Pangeran Diponegoro. (Repro buku Falsafah Hidup Bahagia).

Pada hari Selasa Kliwon, 3 Juli 1922, saresehan ini menelurkan ide berdirinya Taman Siswa yang dipimpin Ki Hajar Dewantara. Setelah Taman Siswa sudah berjalan dengan baik, Pagoejoeban Selasa Kliwon dibubarkan.

Suryomentaram kerap mengisi acara Taman Siswa. Madikin Wonohito, wartawan yang dikenal dengan nama pena Tjiptoning, pernah melihat Suryomentaram berbicara di kongres Taman Siswa pada 1932. Suryomentaram duduk bersila membawa slepen berisi tembakau dan daun jagung kering. Katanya, Suryomentaram juga membawa rokok merek Westminster.

“Sang guru mewejangkan pendapatnya mengenai ‘ilmu pamong,’ pengetahuan didik. Sambil bicara sang guru tiada putus-putusnya mengisap rokok yang telah tersedia itu. Tiada hentinya, laksana corong lokomotif,” tulisnya dalam “Ki Ageng Surjomataram, Dasar Adjarannja Tjinta-Kasih, Selandjutnja: Anti-Pendjadjahan” yang dimuat Minggu Pagi, 11 Februari 1951.

Rumah Suryomentaram di Yogyakarta dipakai untuk asrama dan sekolah Taman Siswa. Sarino Mangunpranoto, yang pernah menjabat menteri pendidikan dan kebudayaan, dalam “Antara Hidup Jasmani dan Rohani Mencari Keseimbangan” pada buku Takhta Untuk Rakyat, pernah tinggal di asrama “Surya Mataraman” sebagai siswa Mulo Kweekschool atau Taman Guru Taman Siswa. 

“Beliau menyerahkan Dalem Pangeran (rumah pribadi pangeran) jeron beteng (dalam lingkungan benteng) kepada Taman Siswa dengan hak pakai untuk digunakan sebagai asrama pelajar Taman Siswa.

Setiap kali pulang, Suryomentaram tinggal beberapa hari di “Langgar Kepangeranan” sebelah kanan pendopo di halaman Surya Mataraman. Beberapa siswa yang tertarik pada pelajarannya, termasuk Sarino Mangunpranoto, sering mendengarkan wejangannya. 

“Bapak Asrama waktu itu adalah Ki Pronowidagdo, seorang propagandis Budi Utomo pada zamannya, yang kemudian menjadi pendakwah Ilmu Bedjo. Beliau adalah pamong Taman Siswa,” kisahnya.

Bila rumah Suryomentaram digunakan untuk pengajaran, halaman rumahnya kerap dipakai aktivitas politik pergerakan.  Pada akhir 1925, koran De Nieuwe Vorstenlanden menerbitkan artikel berjudul “Kraton-Communisme”. Artikel ini menyoroti perihal rumah Suryomentaram di Yogyakarta yang dipakai oleh Sismadi, seorang komunis dari organ komunis Penggoegah. Halaman rumah Suryomentaram juga disebut dipakai untuk olahraga anggota Sarekat Rakjat.

“Di halaman pangeran itu, pemerintah dan polisi hampir tidak bisa berbuat apa-apa, terutama karena dalam kasus ini Sismadi menjawab pertanyaan yang relevan dari pihak kepolisian bahwa pemiliknya telah memberikan izinnya,” tulis De Nieuwe Vorstenlanden, 3 November 1925.

<div class="video-content"><video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/pangeran-yang-bahagia/Suryomentaram.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/pangeran-yang-bahagia/Suryomentaram.mp4"></video></div>

Suryomentaram disebut telah diminta kembali ke Yogyakarta karena pemerintah kolonial keberatan rumahnya dipakai untuk kegiatan orang-orang komunis. Namun tak ada kelanjutan yang jelas dari kasus ini.

Menurut Grangsang, ketika pemberontakan komunis meletus pada 1926, Suryomentaram ditangkap di Desa Gondangwinangun. Tak diketahui apa alasan penangkapannya. Kala itu, ia dalam perjalanan dari Bringin menuju Yogyakarta. Suryomentaram kemudian ditahan di Yogyakarta. Setelah ditanggung Hamengkubuwono VIII, ia dibebaskan.

Suryomentaram kembali beraktivitas seperti biasanya. Pada 1930, ia ikut mendirikan Pakempalan Kawula Ngajogjakarto yang dipimpin Pangeran Suryodiningrat. Perkumpulan ini bertujuan meningkatkan standar hidup petani yang bekerja untuk kesultanan. Dalam perkembangannya perkumpulan ini ikut melawan perdagangan perempuan dan anak serta memprotes kebijakan Ordonansi Sekolah Liar.

Dua tahun kemudian ia mendirikan perkumpulan ketoprak Krido Raharjo di Yogyakarta. Nama Krido Raharjo dimaksudkan agar perkumpulan dapat selamat sentausa. “Perkumpulan ini diasuh oleh seorang kerabat keraton yang berkedudukan di Salatiga bernama Ki Ageng Bringin atau Ki Ageng Suryomataram. Beliau adalah pendekar silat sekaligus sebagai ahli kebatinan,” tulis Soeyanto dalam Cokroijo: Hasil Karya dan Pengabdiannya.

Ajaran Suryomentaram juga menarik minat generasi muda di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Salah satunya adalah R.M. Joesoepadi Danoehadiningrat, keponakan Suryomentaram. Menurut Darmansyah dan Misman dalam Aktivis Persatuan Pemuda RM Joesoepadi Danoehadiningrat, Joesoepadi beserta kerabat dan teman-temanya di lingkungan keraton berinisiatif membentuk organisasi ”Budi Seneng” yang mempelajari dan mengamalkan ajaran Suryomentaram. 

Menurut Grangsang, setelah melepaskan gelar pangeran, Suryomentaram terus diawasi pemerintah kolonial. Gubermen Hindia Belanda khawatir jika Suryomentaram mendapat perhatian dari rakyat atas tindakan-tindakannya.

“Gubermen membuat propaganda bahwa Ki Gede adalah seorang anarchis yang tidak mau tunduk pada Gubermen dan ingin merdeka dari penjajahan,” terang Grangsang.

<div class="quotes-center font-g">Rasa berani mati dan berani hidup dalam masa perang dapat berakibat menangnya perang. Sedangkan pada masa damai rasa itu dapat melaksanakan kebudayaan yang luhur.<br>~ Suryomentaram</div>

Jimat Perang

Sutomo mulanya tinggal di bagian Dusun Kroyo yang lebih datar. Pada 1950-an, ketika terjadi tanah longsor dekat permukiman warga, keluarganya pindah ke dekat lembah, yang sebelumnya hanya terdapat rumah Suryomentaram. 

Ingatan terjauh Sutomo terkait Suryomentaram adalah ketika Indonesia diduduki Jepang. Saat itu ia masih berusia sekira delapan tahun dan menjadi penggembala kerbau. Setiap pagi ia dan warga desa mengikuti taiso (senam) yang diajarkan Suryomentaram di sebuah tanah lapang di bukit.

Menjelang pecah Perang Pasifik, Suryomentaram merupakan salah satu anggota Manggala 13. Anggota lainnya antara lain Ki Hajar Dewantara, Ki Pronowidigdo, Ki Sutopo Wonoboyo, Suryodiningrat, dan Radjiman Wediyodiningrat. Menurut Bonneff, Manggala 13 berencana bergerak jika terjadi pertempuran antara Belanda dan “pembebasan Asia” Jepang. Tapi ternyata Jepang menaklukan Jawa tanpa perlawanan berarti. 

Kegiatan Suryomentaram menarik perhatian pasukan pendudukan. Ia ditemui anggota Dinas Rahasia (Asano) Jepang. Menurut Bonneef, Suryomentaram menyampaikan ucapan terima kasih karena Jepang membebaskan rakyat Indonesia. Ia mengusulkan agar dirinya dan teman-temannya diberi pelatihan militer sebagai bekal berperang bersama Jepang. Suryomentaram juga merumuskan prinsip-prinsip ilmu perang yang kemudian disebutnya sebagai “Jimat Perang”. Setelah itu Suryomentaram diundang ke Jakarta untuk berbicara di radio dan diizinkan mengadakan pertemuan untuk menyebarkan gagasannya. 

Namun, pihak Jepang belum yakin terhadap ide pembentukan milisi. Asano menyarankan agar Suryomentaram dan kawan-kawan membuat permohonan kepada kaisar Jepang. 

Ki Ageng Suryomentaram menyerukan agar semua pemuda bergabung dengan PETA. (Openbeelden.nl).

Suryomentaram pun mengajak delapan sahabatnya untuk membuat petisi yang ditandatangani dengan darah. Mereka dikenal dengan sebutan Manggala Sembilan; beranggotakan Ki Suwarjono, Ki Sakirdanali, Ki Amosutijo, Ki Pranowidigdo, Ki Prawirowiworo, Ki Darmosugito, Ki Asrar, Ki Atmokusumo, dan Ki Ageng Suryomentaram sendiri. Koran Soeara Asia 13 September 1943 menerbitkan foto petisi yang ditulis oleh Ki Ageng Suryomentaram dan ditandatangani oleh sepuluh orang dengan darah. 

Di luar dugaan, Tokyo memberikan persetujuannya. Tapi, belum juga Suryomentaram mulai merekrut sukarelawan, pemerintah militer mengambil alih perekrutan dan pelatihan tentara sukarela yang dikenal sebagai Pembela Tanah Air (PETA). 

Pembentukan PETA memang masih diperdebatkan mengingat ada versi lain yang mengaitkannya dengan gagasan Gatot Mangkupraja. Menariknya, Gatot mengklaim telah diminta untuk membubuhkan tanda tangan darah.

PETA didirikan pada 3 Oktober 1943. Seminggu kemudian Suryomentaram berpidato melalui radio Yogyakarta. Ia juga giat berkeliling Jawa untuk menggerakan pemuda agar bergabung dengan PETA. Pada 14 Desember 1943, di gedung bioskop Cilacap, ia memberikan wejangan tentang perlunya mengobarkan perlawanan terhadap Sekutu sebagai balas budi kepada Jepang dan demi mewujudkan kemakmuran Asia Timur Raya.

Selang dua hari, ia berpidato di hadapan ribuan orang di gedung Asia Bersatu, Purwokerto, dan menjelaskan tentang Jimat Perang. “Rasa berani mati dan berani hidup dalam masa perang dapat berakibat menangnya perang. Sedangkan pada masa damai rasa itu dapat melaksanakan kebudayaan yang luhur,” ujarnya, dikutip koran Tjahaja, 18 Desember 1943.

“Perang dalam pelajaran Jawa bukan suatu keburukan, bahkan barang siapa mati dalam peperangan dialah mati mulia.”

Ki Hadjar Dewantara salah satu kerabat dekat yang juga berjuang bersama Ki Ageng Suryomentaram. (Repro buku perintis perjuangan kemerdekaan Indonesia)

Kembali ke Yogya

Pendudukan Jepang hanya “seumur jagung”. Belanda datang kembali. Pada masa Revolusi Fisik ini, Suryomentaram memimpin gerilya Pasukan Jelata yang bergerak di Wonosegoro, Kabupaten Boyolali. 

Ketika Belanda melancarkan agresi militer II, Suryomentaram dan keluarganya mengungsi ke Gunung Kidul. Meski demikian, ia masih memimpin Pasukan Jelata yang bermarkas di Wonosegoro. Setiap malam Jumat, ia pergi ke Bangsal Suwargan di Pemakaman Imogiri untuk memberi ceramah mengenai perjuangan kemerdekaan. Pasca Peristiwa Madiun 1948, Suryomentaram menyerukan persatuan kepada para pengikutnya melalui majalah Djawah Kawruh (Hujan Pengetahuan). 

Pada tahun yang sama, Suryomentaram menjadi salah satu pemrasaran dalam Kongres Kebudayaan, yang dipimpin oleh Wongsonegoro dan digelar di pendopo Kabupaten Magelang pada 20-24 Agustus 1948. Bersama dr. Radjiman Wedjodiningrat dan Ki Mangoensoedarso, ia mendapat jatah tema “Kebatinan sebagai Alat dalam Pembangunan Negara.” 

Suryomentaram berceramah tentang seni suara dan untuk kali pertama membawakannya dalam bahasa Indonesia yang belum cukup sempurna. Dikutip Kronik Revolusi Indonesia: 1948 suntingan Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer dan Ediati Kamil, Suryomentaram tidak berbaju dan tidak bersepatu dan hanya memakai kain celana hitam. Ia menguraikan bahwa lagu mempunyai pengaruh mendidik orang. Karena itu kita harus menciptakan lagu-lagu yang luhur dan memberantas lagu-lagu yang menimbulkan perasaan rendah. 

Sejak 1950-an Suryomentaram menghidupkan kembali perkumpulan-perkumpulan di daerah yang sempat terhenti karena pendudukan Jepang. Pada 1953, berdiri yayasan penerbitan Windu Kentjana di Surakarta yang menerbitkan ulang ceramah-ceramah Suryomentaram. Terbit pula majalah berbahasa Jawa Dudu Kowe (Bukan Kamu). Redaksinya dijalankan oleh Ki Ageng Suryomentaram, Ki Prawirowiworo, Ki Pronowidigdo, dan Ki Kartosumanto.

Suryomentaram kembali berkeliling untuk menghidupkan junggringan. Sementara Jungring Saloka Agung baru diadakan pada 1953 di Magelang yang menelurkan buku Ukuran Kaping Sekawan (Ukuran Keempat).

Ki Ageng Suryomentaram saat bertemu dengan Bung Karno di Istana Negara tahun 1957. (Repro buku Falsafah Hidup Bahagia)

“Suryomentaram mengadakan pertemuan Junggring Saloka Agung ke-11, yang terakhir, di Purwokerto tahun 1959,” jelas Wagiman.

Suryomentaram juga memberikan ceramah di berbagai tempat, termasuk Yayasan Hidup Bahagia yang diketuai Wongsonegoro.

Wongsonegoro dikenal sebagai penerus ajaran Kawruh Jiwa. Ia adalah ketua Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR) dan Badan Kongres Kebatinan Indonesia. Tak jelas bagaimana prosesnya, Suryomentaram ikut dalam pemilihan umum lewat PIR. 

Pada pemilihan umum 1955, catat Mulyono dalam Gusti Pangeran Puruboyo: Hasil Karya dan Pengabdiannya, Suryomentaram dicalonkan sebagai anggota Parlemen dari PIR untuk daerah pemilihan pemilihan Jawa Tengah/Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia berada di urutan kedua, sedangkan urutan pertama ditempati Wongsonegoro dan urutan ketiga Puruboyo. Hasil perhitungan suara hanya memperoleh satu kursi yang ditempati Wongsonegoro.

Kemudian pada pemilihan umum Konstituante, sebagaimana dicatat Kumpulan Peraturan-peraturan untuk Pemilihan Konstituante 1956, Suryomentaram kembali dicalonkan oleh PIR. Kali ini untuk daerah pemilihan Jawa Timur. Ia berada di urutan kedua, sedangkan urutan pertama ditempati Wongsonegoro. PIR Wongsonegoro hanya memperoleh dua kursi.

Salah satu pengikut sekaligus teman dekat Suryomentaram lainnya adalah pelukis Otto Swastika, yang memiliki nama asli Siauw Tik Kwie. Ia kenal Suryomentaram ketika mendengarkan ceramahnya di Solo pada 1942. Ia kemudian kerap mengundang Suryomentaram berceramah di Jakarta. Ia pula yang jadi pendamping sekaligus penerjemahnya. Belakangan ia mengumpulkan dan mengalihbahasakan ceramah-ceramah Suryomentaram yang notabene berbahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Versi terjemahan ini diterbitkan oleh Yayasan Idayu.

Siauw Tik Kwie menyebut Suryomentaram berpakaian sama yakni celana kolor dengan ikat pinggang yang lebar, kaos, dan kain parang rusak barong. Baik bertemu pejabat maupun ceramah di hadapan orang banyak. Pada 1957, ketika diundang Presiden Sukarno ke istana, Suryomentaram berpenampilan sama seperti ia sehari-hari. Siauw Tik Kwie, yang mendampingi, mengabadikan potret dua tokoh ini ketika bertemu.

Siauw Tik Kwie hafal betul kalau Suryomentaram gemar mengisap rokok kretek cap Pompa. “Selain di waktu makan, mandi dan tidur, rokok ini seolah-olah belum pernah berpisah dari jarinya yang kekuningan,” tulis Siauw Tik Kwie dalam obituari mengenang Suryomentaram yang dimuat Varia, 28 Maret 1962.

Suryomentaram lebih suka duduk di atas tikar ketimbang kursi. Ketika naik kereta, ia memilih gerbong “kelas kambing” bersama rakyat jelata. Dengan duduk bersama rakyat, terang Siauw, Suryomentaram merasa dapat menyelami hati rakyat.

Monumen Jonggring Salaka yang dibuat untuk menandai letak rumah Suryomentaram di dusun Kroyo. (Andri Setiawan/Historia.ID).

Persona Sederhana

Suatu hari, ketika mengadakan ceramah di Desa Sajen, Salatiga, Suryomentaram jatuh sakit. Ia kelelahan dan usai kehujanan. Ia sempat di rawat di Sajen. Karena semakin parah, ia dibawa ke Yogyakarta.

Perjalanan ke Yogyakarta begitu dramatis. Dari Sajen hingga desa Macanan, Suryomentaram duduk di sebuah kursi yang dipikul orang-orang. Dari Macanan, Suryomentaram diantar menuju Bringin naik bus. Sampai di Bringin, Suryomentaram dibawa ke Yogyakarta dengan kereta api.

“Dari Tugu sampai Mangunnegaran naik becak,” tulis Grangsang.

Potret Ki Ageng Suryomentaram di masa tuanya. (Repro buku Falsafah Hidup Bahagia)

Suryomentaram dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Namun, kesehatannya memburuk. Pada 18 Maret 1962, sang filsuf meninggal dunia di Yogyakarta. Ia dimakamkan di samping makam ibunya di pemakaman Trah Nitinegaran di Desa Kanggotan, sekitar 7 km selatan Yogyakarta. 

Upacara pemakamannya mendapatkan penghormatan yang luar biasa. Orang-orang berkerumun, termasuk para pelajar Kawruh Jiwa yang terhimpun dalam Paguyuban Pelajar Kawruh Jiwa. Presiden Sukarno mengirim telegram berduka cita atas nama pribadi dan seluruh rakyat Indonesia: “suatu ucapan tulus bagi pejuang kemerdekaan yang sangat peduli dengan kebahagiaan sesama manusia.”

Lembah Kroyo kini dipenuhi kebun jagung, singkong dan beberapa bagian ditumbuhi semak belukar. Dulu Suryomentaram membangun rumah tiga bagian berbentuk huruf U. Di lokasi ini, warga membangun pondok tanpa dinding untuk menandai bekas rumah Suryomentaram dengan papan bertuliskan “Junggring Saloka Agung”. 

Di selatan lembah, terdapat bukit yang merupakan tempat tertinggi di Kroyo. Terdapat dua batu yang biasa dipakai untuk duduk-duduk melihat pemandangan. Setelah Suryomentaram wafat, salah seorang guru sekolah Grangsang menanam dua pohon beringin di sini.

Sebagian warga masih menganggap petilasan Suyomentam diselimuti hal-hal mistis. Orang-orang, yang notabene justru bukan pelajar Kawruh Jiwa, mensakralkan petilasan dengan membakar kemenyan atau hio. Sementara para pelajar Kawruh Jiwa biasanya hanya mengadakan kunjungan pada Minggu pertama bulan Oktober untuk memperingati kelahiran Uran-uran Beja.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
62a9c51aca51cf7de501304f