Harry Truman Simanjuntak dalam konferensi pers simposium internasional “Diaspora Austronesia” di Nusa Dua, Bali, 18-23 Juli 2016. (Risa Herdahita Putri/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
SEKIRA 7.000-6.000 tahun lalu, sekelompok kecil manusia bergerak dari Cina Selatan menuju Taiwan. Kebutuhan akan lahan membuat mereka bermigrasi. Di Taiwan, mereka tumbuh menjadi populasi yang besar. Di tempat itulah mereka mengembangkan bahasa yang dikenal dengan Austronesia. Mereka pun kemudian disebut sebagai penutur Austronesia.
Mereka kemudian menyebar ke selatan dan sampai di Filipina pada 5000 tahun lalu. Dari sana, di antara mereka ada yang bergerak ke timur sampai ke Polinesia dan Melanesia. Ada juga sebagian yang berlayar ke Kalimantan dan sebagian lainnya meneruskan perjalanan ke Sulawesi sekira 4.000 tahun lalu.
Hingga kini sebaran penutur Austronesia mencapai separuh bola dunia. Terhitung rumpun bahasa ini mencakup 1.200 bahasa. Penuturnya meliputi Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan Paskah di ujung timur Pasifik, dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga Selandia Baru di batas selatan.
SEKIRA 7.000-6.000 tahun lalu, sekelompok kecil manusia bergerak dari Cina Selatan menuju Taiwan. Kebutuhan akan lahan membuat mereka bermigrasi. Di Taiwan, mereka tumbuh menjadi populasi yang besar. Di tempat itulah mereka mengembangkan bahasa yang dikenal dengan Austronesia. Mereka pun kemudian disebut sebagai penutur Austronesia.
Mereka kemudian menyebar ke selatan dan sampai di Filipina pada 5000 tahun lalu. Dari sana, di antara mereka ada yang bergerak ke timur sampai ke Polinesia dan Melanesia. Ada juga sebagian yang berlayar ke Kalimantan dan sebagian lainnya meneruskan perjalanan ke Sulawesi sekira 4.000 tahun lalu.
Hingga kini sebaran penutur Austronesia mencapai separuh bola dunia. Terhitung rumpun bahasa ini mencakup 1.200 bahasa. Penuturnya meliputi Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan Paskah di ujung timur Pasifik, dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga Selandia Baru di batas selatan.
Diperkirakan masyarakat yang kini menuturkan rumpun bahasa Austronesia mencapai 380 juta jiwa. Ini membuat mereka menjadi rumpun bahasa terbesar kedua di dunia setelah rumpun bahasa Niger-Kongo, dengan tingkat sebaran terluas.
Keberhasilan para penutur Austronesia menemukan kepulauan Nusantara membuat mereka menjadi salah satu leluhur yang membangun peradaban negeri ini.
“Tanpa diaspora mungkin kita tidak di sini. Kita belum jadi manusia,” ujar Harry Truman Simanjuntak, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), kala ditemui di kantornya di Jakarta.
Truman pun sepakat menyebut leluhur bangsa Indonesia adalah pelaut andal. “Bayangkan, harus menyeberangi laut dan selat. Ini sebuah fenomena besar dalam evolusi kemanusiaan dan peradaban.”
Sembari berdiaspora, para penutur Austronesia tak hanya menyebarkan bahasa tapi juga membawa budaya khas neolitik yang bercirikan hidup menetap, bercocok tanam, serta beternak.
“Kita manusia unggul yang dihasilkan para leluhur kita,” ujar Truman.
Fragmen gerabah berhias cord mark (tatap tali) dari situs lemo-lemo di Lembah Sungai Karama, Mamuju, Sulawesi Barat. (Dok. Ayu Dipta Kirana).
Seperti Migrasi Burung
Apa yang mendorong mereka bermigrasi? Benarkah hanya demi mencari sumber daya lain atau lahan baru untuk pertanian? “Tentu alasannya bukan hanya itu,” kata Peter Bellwood, arkeolog Australian National University yang tak bisa hadir di Seminar Internasional Diaspora Austronesia di Nusa Dua, Bali, Juli 2016, dalam makalahnya “Austronesia Studies in 2016: Where Are We Now?”
Menurut Bellwood, mencari sumber daya baru kurang menjelaskan alasan bermigrasi karena betapa luas dan banyak pulau di Asia Tenggara. Bahkan hingga kini beberapa pulau terpencil masih sepi penduduk. Dia juga menyangsikan teori lain yang mengaitkannya dengan siklus el nino. Teori itu mengatakan, frekuensi angin barat yang meningkat secara berkala akibat el nino mendorong penutur Austronesia berlayar ke timur. Kata dia, angin barat saja tak mungkin bisa mendorong suatu migrasi yang begitu besar.
Bellwood beranggapan, pastinya ada alasan terkait budaya. Bisa karena kemajuan navigasi atau teknologi pembuatan perahu. Kebiasaan burung bermigrasi bisa jadi mengilhami seseorang untuk mencari tempat tinggal baru. Mungkin juga, sebelum migrasi besar itu terjadi, sudah ada yang lebih dulu mencapai tempat lain, kemudian pulang kembali.
“Mungkin dengan berlayar keluar mengikuti arah angin dan kembali dengan arah sebaliknya. Ini bisa membuka kesempatan bagi banyak lainnya untuk mencoba bermigrasi,” lanjut dia.
Kenaikan status sosial juga bisa dicapai jika menemukan lahan hunian baru. Dalam struktur organisasi suku masyarakat agraris, kepemilikan lahan dan hak atas tanah ditentukan oleh keturunan, jenis kelamin, dan urutan kelahiran. Maka, selalu ada situasi anak yang lebih muda dan hanya menjadi junior di rumahnya berusaha membangun status senioritas. Salah satunya dengan mengkolonisasi wilayah baru. Pada masa itu, keberhasilan semacam ini lazim dikenang dalam sebuah epos maupun mitologi.
“Mungkin seperti anak muda di masa kini. Pemuda di masa lalu butuh menyalurkan energinya. Unjuk gigi, mencari kesuksesan dan mendapat pengakuan dari orang lain,” ujar Bellwood. Hal semacam itu bisa ditemui di Maori, Selandia Baru. Mereka menamai banyak suku mereka dengan nama tokoh pendirinya.
Alasan lain dikemukakan dari sudut pandang geologi dan geofisika. Menurut Wahyoe S. Hantoro, peneliti dari Pusat Penelitian Geo-Tek LIPI, Bandung, suatu populasi meninggalkan habitatnya ketika mereka harus menghindari ancaman bencana alam.
“Sumber makanan yang bagus dan cukup, juga tempat tinggal yang baik, adalah alasan dasar ketika penutur Austronesia mencari tempat bermukim. Namun, menghindari ancaman dari alam maupun makhluk hidup lainnya adalah alasan lain mengapa mereka mencari lahan okupasi baru,” kata dia.
Kita Semua Pendatang
Austronesia adalah nenek moyang penduduk Indonesia. Namun, meski diperkirakan 60 persen penutur Austronesia berdiam di Indonesia, mereka bukanlah satu-satunya pendatang di Nusantara pada setidaknya sebelum kedatangan bangsa Arab, India, maupun Eropa.
Menurut Harry Truman Simanjuntak, ada tiga kelompok yang melakukan migrasi besar ke Nusantara. Mereka adalah Australomelanesid, penutur Austro-asiatik, dan penutur Austronesia.
Penutur Austro-asiatik yang datang sekira 4.300 tahun lalu. Selanjutnya adalah penutur Austronesia yang datang pada 4.000 tahun lalu. Sebelum keduanya tiba, di Indonesia sudah tinggal kelompok lainnya, Australomelanesid. Mereka menghuni kira-kira 13.000-5.000 tahun lalu dan hingga kini hidup di wilayah Indonesia timur, termasuk Papua.
“Jadi Austronesia hanyalah salah satu leluhur bangsa kita. Tapi kini semua bertutur Austronesia. Nah, sejauh mana pengaruh Austro-asiatik belum tahu. Kita berharap (kajian) ahli bahasa, genetika,” ujar Truman.
Yang jelas, tak mungkin melabeli kelompok tertentu sebagai manusia asli Indonesia. Dalam Simposium Internasional Diaspora Austronesia, Herawati Sudoyo, peneliti biologi molekuler dari Eijkman Intitute, memaparkan sudut pandang genetik. Rupanya, hampir semua etnis di Indonesia memiliki gen yang saling bercampur. Di antaranya Alatic, Sino-tibetan, Austroasiatik, Austronesia, Papua, Dravida, Indo-Eropa, dan Niger-Kongo.
“Nenek moyang penutur Austro-asiatik di Asia Tenggara yang terungkap dari data genomik menunjukkan adanya migrasi Austronesia ke jalur barat yang bercampur dengan penutur Austro-asiatik dan kemudian menetap di Indonesia barat,” ujarnya.
Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa gen Austro-asiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatra, yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo.
Sementara penduduk asli Pulau Alor, misalnya, membawa genetika Papua. Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur, membawa genetika Papua dengan persentase paling tinggi dan sedikit genetika bangsa penutur Austronesia.
“Sejarah permukiman manusia di Asia Tenggara sangat kompleks dan melibatkan beberapa penyebaran yang berbeda,” ujarnya.
Lalu bagaimana mereka bisa bertemu dan saling bercampur? Ini bisa dijawab jika pola sebaran para pendatang di Indonesia bisa ditelusuri. Namun, soal ini masih menjadi bahan diskusi yang belum senyap.
Fragmen gerabah berhias cord mark (tatap tali) dari situs lemo-lemo di Lembah Sungai Karama, Mamuju, Sulawesi Barat. (Dok. Nugrahadi Mahanani).
Austronesia Lebih Ekspansif
Harry Truman Simanjuntak meyakini adanya dua rute migrasi besar menuju kepulauan Nusantara. Selain jalur timur yang mengarah dari Taiwan menuju Filipina kemudian ke Indonesia, juga terdapat jalur barat melewati Vietnam hingga Semenanjung Malaysia, sebelum tiba di Indonesia.
Jika dikelompokkan berdasarkan rumpun bahasa, rute barat merupakan jalur migrasi yang dilalui kelompok penutur Austroasiatik. Sementara jalur timur dipilih para penutur Austronesia. Pada awalnya kedua rumpun bahasa itu berasal dari satu rumpun bahasa yang sama. Bahasa inilah yang digunakan masyarakat di Yunnan, daratan Cina selatan, sebelum akhirnya pecah menjadi dua. Austroasiatik kemudian dipakai masyarakat di Asia Tenggara daratan, sedangkan Austronesia digunakan penghuni Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, sampai Kepulauan Paskah.
Truman menambahkan, mereka yang berasal dari Taiwan dan melewati rute timur lebih ekspansif. Sebabnya adalah keahlian pelayaran yang mereka miliki. Mereka bahkan akhirnya menempati wilayah yang tadinya sudah didatangi pendatang dari Asia Tenggara daratan.
“Seperti kita lihat sekarang, semua penduduk yang menghuni Jawa, Sumatra, Kalimantan, bertutur Austronesia. Jadi kultur Austroasiatiknya pelan-pelan ditinggalkan,” ujarnya.
Menurutnya, dua rute migrasi itu dapat ditandai dengan adanya dua karakteristik temuan motif hias gerabah. Di barat, temuan tembikar memiliki motif hias slip merah dan tatap tali (cord-mark). Di timur, gerabah yang ditemukan lebih sering berhias slip merah.
Di rute barat, bukti arkeologis berupa gerabah berhias tatap tali ditemukan di wilayah Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Motif tatap tali pada gerabah itu sama dengan yang pernah ditemukan di wilayah Cina selatan daratan.
Adapun garabah berslip merah yang ditemukan di Indonesia timur, juga ditemukan di kawasan Taiwan, Filipina, dan Kepulauan Pasifik. Motif ini bisa dikatakan lebih muda dibanding gerabah bermotif tatap tali. Diperkirakan pendatang dari jalur barat lebih dulu datang daripada mereka yang bermigrasi lewat jalur timur.
“Kemungkinan jalur barat sedikit lebih awal dari migrasi dari timur. Mungkin sekitar 4.300 tahun lalu,” ujarnya.
Hipotesis sebaran migrasi dari arah Asia Tenggara ke Nusantara sudah ada lebih dari satu abad lalu. Ada beragam teori. Namun yang dianggap paling kuat dua di antaranya.
Berdasarkan kajiannya atas perbandingan bahasa, H. Kern, seorang ahli linguistik Belanda, pada 1889 menyatakan bahwa tanah asal orang Austronesia adalah daratan Asia Tenggara dan Cina selatan (Yunnan). Teorinya mendapat sokongan dari W. Schmidt (antropolog) serta P.V. van Stein Callenfels, Robert von Heine Geldern, H.O. Beyer, dan R. Duff (arkeolog).
Lalu muncul teori “Out of Taiwan” yang menyatakan tempat asal orang-orang Austronesia adalah Taiwan. Pendapat ini dikemukakan Robert Blust, ahli linguistik dari Amerika, pada 1970-an berdasarkan kajian terhadap bahasa-bahasa dalam rumpun Austronesia. Dia juga mengadakan kajian mengenai bahasa proto-Austronesia yang berkaitan dengan flora, fauna, dan gejala alam lainnya. Pendapatnya mendapat dukungan dari penelitian arkeologi Peter Bellwood. Dengan munculnya teori ini, yang diterima luas, teori sebelumnya kian tenggelam.
“Sekarang kita coba kumpulkan data baru, ternyata kuat sekali adanya migrasi lain dari Asia Tenggara daratan. Kalau yang tua-tua mungkin masih sempat diajarkan kalau nenek moyang kita dari Yunnan, dan itu benar adanya,” ujarnya. Truman menegaskan, kedua teori itu bukan saling menyalahkan tapi justru saling melengkapi.*