Delegasi Persatuan Serikat Buruh Belanda berkunjung ke Hindia Belanda. Menyaksikan penderitaan para buruh, mengajak serikat buruh bergabung dengan serikat buruh dunia, serta mengunjungi Sukarno di penjara.
Piet Moltmaker, Evert Kupers, dan Peter Danz melambaikan topi ketika meninggalkan Ijmuiden akan berangkat menuju Hindia Belanda. (Indische reisbrieven).
Aa
Aa
Aa
Aa
PADA pagi hari yang cerah dan sejuk di musim semi tanggal 21 April 1931, para pengurus serikat buruh dan politisi Piet Moltmaker, Evert Kupers, dan Peter Danz melambaikan tangan kepada seribuan anggota serikat buruh di Ijmuiden yang mengibarkan bendera dan panji-panji, saat mereka berangkat ke Hindia.
Band buruh Excelsior memainkan lagu “Internationale” sebagai ucapan selamat tinggal dan lagu “Untuk para pejuang kami” juga dinyanyikan bersama oleh ribuan buruh. Tujuan dari kunjungan delegasi ini adalah untuk mempelajari kondisi kerja di pemerintahan, pabrik dan perkebunan, serta mengajak serikat buruh Eropa dan Indonesia untuk bergabung dengan Serikat Buruh Belanda dan Konfederasi Serikat Buruh Internasional.
“Awas, kaum proletar, dan bergabunglah dengan barisan kelas pekerja di seluruh dunia yang beradab dan ikutlah merayakan Hari Buruh, seperti yang biasa kalian lakukan pada tanggal 1 Mei!” tulis Piet Moltmaker dalam sebuah surat yang dikirim ke kampung halamannya dengan penuh semangat, dari kapal saat perjalanan.
PADA pagi hari yang cerah dan sejuk di musim semi tanggal 21 April 1931, para pengurus serikat buruh dan politisi Piet Moltmaker, Evert Kupers, dan Peter Danz melambaikan tangan kepada seribuan anggota serikat buruh di Ijmuiden yang mengibarkan bendera dan panji-panji, saat mereka berangkat ke Hindia.
Band buruh Excelsior memainkan lagu “Internationale” sebagai ucapan selamat tinggal dan lagu “Untuk para pejuang kami” juga dinyanyikan bersama oleh ribuan buruh. Tujuan dari kunjungan delegasi ini adalah untuk mempelajari kondisi kerja di pemerintahan, pabrik dan perkebunan, serta mengajak serikat buruh Eropa dan Indonesia untuk bergabung dengan Serikat Buruh Belanda dan Konfederasi Serikat Buruh Internasional.
“Awas, kaum proletar, dan bergabunglah dengan barisan kelas pekerja di seluruh dunia yang beradab dan ikutlah merayakan Hari Buruh, seperti yang biasa kalian lakukan pada tanggal 1 Mei!” tulis Piet Moltmaker dalam sebuah surat yang dikirim ke kampung halamannya dengan penuh semangat, dari kapal saat perjalanan.
Keberangkatan di Ijmuiden, Belanda. (Indische reisbrieven).
Piet Moltmaker
Indische reisbrieven, sebuah buku kecil yang menarik diterbitkan pada 1932 berisi kompilasi surat-surat yang ditulis oleh Piet Moltmaker selama kunjungannya ke Hindia Belanda dari tanggal 22 Mei hingga 5 September 1931 sebagai anggota delegasi NVV (Persatuan Serikat Buruh Belanda). Buku kecil catatan perjalanan Moltmaker ini diterbitkan oleh Nederlandsche Vereeniging van Spoor- en Tramwegpersoneel. Serikat pekerja yang Moltmaker menjadi ketua kedua di bawah ketua Henk Sneevliet pada 1911, tetapi dia keluar dari serikat pekerja tersebut beberapa waktu kemudian setelah berselisih dengan Sneevliet.
Moltmaker lahir di Arnhem tahun 1882. Selepas sekolah dasar, ia bekerja sebentar sebagai tukang kayu sebelum menjadi juru tulis untuk perusahaan Kereta Api Negara. Pada 1903, ia menjadi anggota serikat pekerja dan bergabung dengan SDAP (Partai Pekerja Sosial Demokrat). Tahun itu adalah tahun yang penuh gejolak, yang ditandai dengan beberapa pemogokan umum memperjuangkan hak-hak pekerja untuk berorganisasi dalam serikat pekerja, menegosiasikan upah dan kondisi kerja, serta hak pemogokan. Pemogokan pada Januari sukses besar. DPR Belanda kemudian mengesahkan beberapa undang-undang yang represif.
Piet Moltmaker. (Indische reisbrieven).
Di antaranya pemogokan oleh pekerja kereta api menjadi ilegal dan dapat dihukum, dan brigade kereta api dibentuk untuk menjaga ketertiban di rel kereta api. Pemogokan umum yang terjadi kemudian ditumpas dengan kejam oleh tentara di rel kereta api. Sekitar 3.000 pekerja (sekitar 10%) dipecat. Sebagai hasil dari pemogokan yang mengecewakan tersebut, berbagai serikat pekerja menyimpulkan bahwa kepemimpinan pusat diperlukan untuk meningkatkan pengaruh mereka. Tiga tahun kemudian, payung Nederlands Verbond van Vakverenigingen (NVV) dibentuk.
Moltmaker kemudian memasuki dunia politik. Pada 1912, ia menjadi anggota dewan kota di Utrecht untuk partai buruh SDAP, dan pada 1918 menjadi anggota DPRD di Provinsi Utrecht. Akhirnya, pada 1923 ia menjadi anggota Majelis Tinggi Negara. Sebagai anggota Majelis Tinggi Negara, anggota Majelis Tinggi Buruh, dan anggota dewan NVV, ia berangkat ke tanah jajahan dengan tugas mempelajari kondisi dan hubungan perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya, dan jika memungkinkan, mencari kontak dengan serikat buruh Eropa dan Indonesia. Pada saat penindasan terhadap gerakan nasionalis sangat besar, dengan tegas dinyatakan bahwa tujuan delegasi tidak ada hubungannya dengan politik. Pada saat itu ribuan tahanan politik ditahan di Boven Digoel di Papua, dan setahun sebelum kunjungan mereka, Sukarno dijatuhi hukuman empat tahun penjara di Bandung karena aktivitasnya di PNI, yang menurut pihak berwenang, mengupayakan penghentian “bentuk negara yang sah dari Hindia Belanda”.
Saat tiba di Tanjung Priok, mereka disambut oleh Asih Nategawa (kiri) yang bersalaman dengan Evert Kupers dan Agus Salim yang bersalaman dengan Peter Danz (kanan). Moltmaker dengan kacamata berdiri di belakang mereka. (Sumatra Post, 6 Juli 1931).
Kedatangan dan Penerimaan
Setelah tiba di Batavia, di mana Moltmaker diterima oleh Agus Salim, ia terkejut oleh ekonomi dunia kapitalis yang memastikan bahwa Shell mengenakan biaya tiga kali lipat lebih mahal untuk satu liter bensin yang sangat dekat dengan sumbernya dibandingkan di Belanda, tetapi perjalanan dengan mobil jauh lebih murah di Hindia Belanda.
Lebih lanjut Moltmaker mengecam pers: “Delegasi kami di sini dinilai dengan cara yang berbeda. Pers Eropa (...) mengadu domba para pembacanya dengan kami. Apa yang berani mereka lakukan sungguh mencengangkan. Kami diperebutkan dalam editorial dan puisi. Dan bagaimana caranya! Pers komunis dan fasis masih bisa disebut layak.”
Mungkin ini sebagian berkaitan dengan fakta bahwa tidak lama sebelumnya di Konferensi Buruh Internasional di Jenewa, Evert Kupers telah berbicara dengan keras menentang poenale sanctie, bagian dari koellieordonatie tahun 1880. Hal ini mendapat sambutan yang luar biasa di Amerika, tetapi ia tidak mendapat sambutan dari para pekebun. Poenale sanctie membuat hukuman cambuk menjadi sangat umum di perkebunan-perkebunan di Hindia Belanda. Para pengawas berpendapat bahwa tanpa hukuman cambuk, para kuli yang “bodoh dan malas” tidak akan mau bekerja. Sanksi-sanksi hukuman ini dihapuskan pada 1931, mungkin berkat pengaruh delegasi tersebut.
Delegasi tersebut diterima oleh Gubernur Jenderal De Graeff di istana. Untuk menghormati kedatangan mereka, sebuah resepsi diadakan di Hotel des Indes, di mana pihak Indonesia berbicara termasuk Djadjadiningrat, anggota Volksraad, Prawiradinata dari PGHB (Persatuan Guru Hindia Belanda), dan Mohammad Husni Thamrin atas nama PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia).
Petani Sunda di zaman penjajahan. (KITLV).
Menuju ke Wilayah Kerajaan
Beberapa hari kemudian, delegasi berangkat ke Jawa Tengah. Soerabaijasch Handelsblad, 26 Mei 1931, melaporkan secara ekstensif tentang partisipasi delegasi dalam kongres Inlandsche Pandhuis Bond. Haji Agus Salim mendampingi delegasi dan bertindak sebagai penerjemah. NVV telah mengatur agar Agus Salim hadir dalam kongres internasional di Jenewa di mana Moltmaker dan Salim bertemu untuk pertama kalinya. Tjokroaminoto membuka kongres tersebut dan menekankan pentingnya kunjungan delegasi tersebut karena mereka mewakili sebagian besar serikat pekerja di dunia. Dia menyimpulkan dengan mengatakan “Kami merasa bahwa Anda adalah kawan-kawan untuk pembebasan kaum proletar yang tertindas.”
Moltmaker membutuhkan waktu untuk membiasakan diri berbicara di hadapan lebih dari 1.000 orang “inlander”. Dia menyerukan afiliasi internasional. “Federasi internasional pekerja transportasi dengan lebih dari 2½ juta anggota memiliki banyak orang, yang merupakan bagian dari ras Anda. Mengapa afiliasi semacam itu dapat terjadi di India Britania, Palestina, Kuba, dan berbagai negara Amerika Selatan, dan mengapa Engkau tidak? (...) Semua negara bergabung kecuali Rusia, yang tidak diperbolehkan. Kami adalah perwakilan dari kelas pekerja, meskipun kami terlihat seperti Tuan Besar, tetapi sama seperti Engkau yang berasal dari kampung-kampung, kami berasal dari lingkungan kelas pekerja.” Pada kongres tersebut, serikat pekerja memutuskan untuk bergabung dengan Pegawai Negeri Sipil Internasional.
Selama tinggal di kota, Moltmaker terus melihat kelompok-kelompok besar orang Jawa. Mereka ternyata adalah bagian dari puluhan ribu petani yang datang ke Yogyakarta selama berjam-jam atau bahkan dua hari berjalan kaki tanpa alas kaki untuk menghadiri Kongres Petani selama 10 hari. Dipimpin oleh saudara-saudara sultan, keanggotaannya bertambah menjadi lebih dari 110.000 orang dalam waktu kurang dari satu tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 20.000 orang datang ke kongres.
“Para petani, yang hampir semuanya buta huruf, kemudian mendengarkan pidato saudara-saudara sultan, yang kata-katanya hampir mereka serap dan merupakan hukum bagi mereka,” tulis Moltmaker dalam salah satu suratnya. Ia melanjutkan, “Bagi saya, sudah pasti bahwa para petani ini akan memiliki andil dalam sejarah masyarakat Hindia. Organisasi baru ini telah menguasai para petani, yang hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan yang lebih buruk daripada seorang tidak mandiri atau kaum proletar. Massa jutaan orang ini bergerak dan mengorbankan segalanya untuk memastikan bahwa mereka juga mendapatkan tempat di bawah matahari.”
Kemudian dalam sebuah pertemuan di Solo dengan para pemimpin federasi serikat buruh pribumi, delegasi tersebut setuju dengan mereka bahwa federasi tersebut akan bergabung dengan IVV (Konfederasi Serikat Buruh Internasional), demikian dilaporkan harian Lokomotif, 2 Juni 1931.
Sukarno berpidato di Kongres Indonesia Raya di Surabaya, Januari 1932. Penampilan perdana Sukarno di muka publik setelah bebas dari penjara Sukamiskin, Bandung. (Repro Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat).
Mengunjungi Sukarno di Penjara
Kunjungan ke perkebunan teh di Preanger atau Priangan mengungkap banyak pelanggaran. Para wanita hanya dibayar 12 hingga 18 sen sehari, sedangkan pria 25 sen. Hari kerja adalah 12 jam dan tidak ada hari libur. Anak-anak di bawah 12 tahun juga dipekerjakan. Moltmaker mencatat, “Kerja rodi telah dihapuskan di Jawa, katanya, tetapi para pria harus melakukan satu hari kerja rodi dalam setiap periode 10 hari, yang sama saja dengan bekerja tanpa bayaran.”
Di Bandung, mereka mengunjungi Sukarno dua kali di penjara Sukamiskin pada 9 dan 19 Juni. Dan setelah itu istri Sukarno, Inggit Garnasih. “Sungguh memilukan! Pemerintah memenjarakan Sukarno dan menelantarkan keluarga. Sukarno, insinyur sipil, ada di papan nama, tetapi bisnis dihentikan dan kelaparan telah memasuki rumah.” Kepada delegasi tersebut, Sukarno kembali menyatakan tidak bersalah. “Saya selalu menentang kekerasan atau pemberontakan,” katanya, kutip Moltmaker dalam wawancara Sukarno dengan Algemeen Indisch Dagblad the Preanger Bode pada awal Agustus. Dan lanjut Sukarno, “Saya tidak pernah membelanya atau berbicara dan sekarang saya duduk di sini. Mengerikan sekali penderitaan yang saya alami! Diperlakukan sebagai tahanan biasa, di antara yang lain (penjahat), tidak diperbolehkan menerima buku sendiri dan tidak ada makanan tambahan sebagai yang ‘tidak bersalah’. Anda harus tahu, apa artinya ini.”
Moltmaker melanjutkan dengan mengatakan bahwa ia yakin “Sukarno akan dibebaskan seandainya perkara ini di Belanda. (...) Tentu saja Belanda juga memiliki masa-masa heroik pembebasannya dari dominasi asing dan para pahlawan di masa itu masih dihormati sampai sekarang! Mengapa pemerintah Hindia Belanda sekarang membuat pahlawan-pahlawan sendiri, yang tidak ingin mereka lihat? Bagi saya, sebuah kebijakan yang tidak bisa dimengerti. (...) Tahukah Anda bahwa kami telah mengunjungi ratusan desa dan rumah-rumah dan bahkan di daerah kumuh yang paling kecil, di rumah yang paling miskin sekalipun, gambar Sukarno tergantung?”
Komentar-komentar di koran-koran Hindia lainnya mengecam keras Sukarno karena seorang jahat dan Moltmaker, yang membelanya. Menurutnya kebencian “inlander” terhadap Eropa akan melemah jika Sukarno dibebaskan.
Piet Moltmaker tamasya singkat di Bali. (Indische reisbrieven).
Program Penuh Tapi Sesekali Tamasya
Dalam tiga bulan, banyak sekali perjalanan naik turun dengan kereta api dan mobil di antara kota-kota utama di Jawa: Batavia, Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Solo, Malang, dan Surabaya. Dari pertemuan ke kongres, dari rapat ke diskusi, dari pabrik ke perkebunan. Ada rapat umum karyawan kereta api di Bandung, hingga kunjungan ke pabrik rokok British American Tabacco di Cirebon, di mana 14 juta batang rokok per hari diproduksi oleh 1.400 anak perempuan dan laki-laki yang dieksploitasi.
Ada kunjugan ke perkebunan gula di mana segala sesuatunya berjalan buruk selama tahun-tahun krisis ini di mana kita harus “menghakimi para ‘putri raja gula’ dan ‘baron gula’, yang di Belanda memanjakan diri mereka sendiri dengan kemewahan di ‘istana gula’ mereka yang terbuat dari keringat dan darah orang Jawa yang malas dan karyawan Eropa yang kehilangan haknya,” tulis Moltmaker. “Ribuan orang Eropa berjalan menganggur dan bergantung pada dukungan komite swasta. Tunjangan dari negara atau kota tidak ada, apalagi melalui serikat pekerja. Maka untuk mengetahui bahwa itu adalah kesalahan sendiri. Orang-orang pada masa-masa sebelumnya tidak menganggap serikat buruh sebagai senjata yang penting atau tidak berani membentuk serikat buruh karena takut kepada manajemen.”
Di Batavia, delegasi menghadiri pembukaan dan rapat Volksraad serta rapat protes oleh Perhimpunan Pegawai Negeri (VVL) yang menentang pemotongan upah. Untungnya, di sela-sela kesibukan itu, masih ada waktu untuk bersantai dan bertamasya. Moltmaker mengunjungi gunung api Tangkuban Parahu di Bandung, candi Borobudur, dan Prambanan di Yogyakarta, dan bahkan mengambil cuti beberapa hari untuk mengunjungi Bali.
Di Bali, Moltmaker menyaksikan Ngaben, upacara pemakaman ibu raja. Ritual dan upacara resmi orang Indonesia ini dijalani dengan penuh ketakjuban dan beberapa keluhan. “Pada pukul 6, saat hari mulai gelap, kami kembali dan berpikir bahwa itu sudah cukup, karena apa yang penduduk asli ‘lakukan’, mereka ‘lakukan’, tetapi mereka ‘memakan waktu’ terlalu lama bagi saya. Pasti sudah larut malam lagi sebelum ‘pesta’ selesai. Untuk saat ini, kami juga tidak perlu memikirkan serikat pekerja di Bali, karena orang-orang di sana masih hidup di era feodal.”
Perkebunan tembakau di Sumatra. (KITLV).
Penderitaan Perkebunan di Sumatra dan Perpisahan
Perjalanan diakhiri dengan kunjungan singkat di Sumatra Utara di mana Moltmaker mengunjungi Perusahaan Daerah, Perusahaan Kereta Api Deli, perkebunan tembakau, karet dan kelapa sawit, sekolah perkebunan, dan tempat peristirahatan di Berastagi. Pada malam harinya, diadakan diskusi penting dengan serikat pekerja. Delegasi “menyadari betapa buruknya organisasi kuli pribumi, kaum proletar yang sesungguhnya di sini. Upah yang sangat rendah, dengan perbedaan besar antara upah kuli, pekerja dan tukang. Semua pengaturannya kurang baik untuk orang-orang itu, namun standar hidup mereka harus meningkat.”
Selama berada di Hindia Timur, program ini juga mencakup kunjungan ke kampung-kampung, yang tidak dapat dikunjungi secara resmi, tetapi dapat dikunjungi dengan bantuan orang dalam. Sumatra Post, 8 Agustus, merangkum kunjungan delegasi tersebut sebagai berikut: “sisi propagandis telah menjadi kelemahan besar dari perjalanan ini (...) Telah terjadi penyimpangan serius dari niat awal untuk tidak terlibat dalam politik, dan meskipun hal ini sudah diperkirakan akan terjadi karena para politisi tidak dapat diharapkan untuk tiba-tiba mulai melihat situasi dari sudut pandang yang sepenuhnya objektif.”
Delegasi tersebut berbicara tentang perjalanan yang sukses di mana tujuan yang telah mereka tetapkan lebih dari sekadar tercapai. Begitulah Moltmaker sendiri meringkasnya dalam kata-kata penutup bukunya, Indische reisbrieven:
Delegasi berhasil mendapatkan afiliasi Serikat Pegadaian Pemerintah dengan Civil Service International.
Hal yang sama juga terjadi pada Serikat Kereta Api Pribumi, yang bergabung dengan ITF pada Juli 1931.
Delegasi berhasil membuat serikat pekerja pemerintah pribumi berafiliasi dengan IVV.
Hal yang sama terjadi pada Konfederasi Buruh Swasta yang berpusat di Surabaya.
Hubungan baik telah terjalin antara Konfederasi Pegawai Negeri (VVL) dengan NVV. Mereka telah memutuskan untuk mendorong afiliasi internasional dalam kongres yang akan datang.
Dengan komite eksekutif Persatuan Guru Eropa (NIOG), kami sepakat, setelah melalui kontak dan diskusi yang panjang, bahwa serikat ini akan bergabung dengan Persatuan Guru Internasional. Kami juga berhasil mempromosikan pembentukan kembali kontak dengan Departemen Pendidikan di Belanda untuk serikat ini, yang telah diputuskan begitu saja oleh pemerintah.
Aksi kami untuk pembebasan Sukarno dan kawan-kawannya memberikan kontribusi yang sangat besar sehingga mereka dapat keluar dari penjara lebih cepat dari yang dituntut oleh hukuman Bandung. Di kalangan inlander dan juga di antara banyak orang Eropa, yang terus kami beritahukan tentang tindakan kami mengenai Sukarno, tindakan kami menentang vonis yang memalukan itu memberi kesan yang baik.
Oleh karena itu, kami dapat dengan aman menyimpulkan bahwa sejak kedatangan kami di Hindia Belanda, kepercayaan penuh diberikan kepada delegasi kami dan bahwa kepercayaan ini meningkat selama kami berada di sana. Banyak persahabatan pribadi telah terjalin dengan para pemimpin dari berbagai asosiasi dan kami berharap ini akan berlanjut di masa depan.
Dengan kunjungan delegasi NVV ke Hindia Belanda, tahun 1931 menjadi tahun di mana serikat buruh Indonesia untuk pertama kali bergabung dengan gerakan serikat buruh global.*