Partai Murba dibentuk untuk merealisasikan gagasan dan pemikiran Tan Malaka. Berbanding terbalik dengan nama besarnya. Partai ini tak pernah jadi besar.
DALAM pengap penjara Magelang, pada 31 Juli 1948, Tan Malaka menulis surat buat kawan-kawannya mengenai pandangan dan langkah Partai Rakyat. Dia menyebut menulis surat itu dengan “tergopoh-gopoh. Kalau-kalau merpati hinggap!” Tapi sejatinya surat itu ditulis beserta “kata sambutan” untuk memenuhi permintaan dari pengurus Partai Rakyat yang akan menggelar kongres pertama.
Tan menulis, kendati berdiri di atas lapangan (basis sosial) yang lebih luas ketimbang Partai Buruh Merdeka (PBM) dan Angkatan Communis Muda (Acoma), Partai Rakyat haruslah memakai pedoman yang jauh dan jelas. Tan mengusulkan kerjasama erat di antara partai-partai itu yang menentukan dan membatasi daerah kerja. Bahkan, dia mengusulkan kemungkinan fusi di antara semua partai murba umum seperti Partai Rakyat, Partai Rakyat Djelata, dan Partai Wanita Rakyat.
“Tetapi menjelang waktu berfusi itu haruslah diadakan koordinasi yang efektif pula di antara semua partai murba yang revolusioner (GRR),” tulis Tan. GRR adalah singkatan dari Gerakan Revolusi Rakyat, gabungan dari 41 organisasi dan tokoh politik yang pro-Tan Malaka.
DALAM pengap penjara Magelang, pada 31 Juli 1948, Tan Malaka menulis surat buat kawan-kawannya mengenai pandangan dan langkah Partai Rakyat. Dia menyebut menulis surat itu dengan “tergopoh-gopoh. Kalau-kalau merpati hinggap!” Tapi sejatinya surat itu ditulis beserta “kata sambutan” untuk memenuhi permintaan dari pengurus Partai Rakyat yang akan menggelar kongres pertama.
Tan menulis, kendati berdiri di atas lapangan (basis sosial) yang lebih luas ketimbang Partai Buruh Merdeka (PBM) dan Angkatan Communis Muda (Acoma), Partai Rakyat haruslah memakai pedoman yang jauh dan jelas. Tan mengusulkan kerjasama erat di antara partai-partai itu yang menentukan dan membatasi daerah kerja. Bahkan, dia mengusulkan kemungkinan fusi di antara semua partai murba umum seperti Partai Rakyat, Partai Rakyat Djelata, dan Partai Wanita Rakyat.
“Tetapi menjelang waktu berfusi itu haruslah diadakan koordinasi yang efektif pula di antara semua partai murba yang revolusioner (GRR),” tulis Tan. GRR adalah singkatan dari Gerakan Revolusi Rakyat, gabungan dari 41 organisasi dan tokoh politik yang pro-Tan Malaka.
Sekira setengah bulan selepas dibebaskan dari penjara, pada 3 Oktober 1948 Tan mengumpulkan para pengikutnya di rumah Sukarni di Jalan Merapi 12 Yogyakarta. Pertemuan ini dihadiri pemimpin partai-partai yang tergabung dalam GRR. Rapat dipimpin Sjamsu Harja Udaja, pendiri PBM.
Setelah mengkritik cara kerja dan hasil dari GRR, Tan mengusulkan fusi untuk membentuk satu partai yang mewakili aliran sosialis. Dia mengusulkan nama: Partai Murba. Terjadi debat sengit antara Tan Malaka dan Soedijono Djojoprajitno, pendiri PBM.
Soedijono, yang seia sekata dengan Ibnu Parna, pemimpin Acoma, bertanya kepada Tan Malaka: mengapa tak mengambil nama Partai Komunis Indonesia (PKI) atau Partai Marxis-Leninis, melainkan Partai Murba? Tan menjawab, Komunis Internasional (Komintern), organisasi tertinggi bagi partai komunis di berbagai negara, sudah tidak ada lagi. PKI pada 1926 dan 1948 berada di bawah pimpinan yang tak bertanggungjawab dan tak realistis dalam memperhitungkan keadaan objektif dan subjektif, dan menempuh jalan dogmatisme dan avonturisme, yang menyebabkan kekalahan dan jatuh banyak korban dan nama komunisme menjadi tercemar.
“Tan Malaka berhasil meyakinkan semua yang bimbang,” tulis sejarawan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4.
Setelah melalui diskusi yang bersemangat, diputuskan secara aklamasi untuk membentuk Partai Murba atas dasar “antifasis, antiimperialis, dan antikapitalis.”
Partai Murba merupakan fusi dari PBM, Partai Rakyat, dan Partai Rakyat Djelata. Partai dan badan perjuangan lain seperti Acoma, Partai Wanita Rakyat, Persatuan Rakyat Marhean Indonesia (Permai), dan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) Soetomo tak bergabung, tetapi membolehkan anggota mereka menjadi anggota Partai Murba. GRR tetap ada sebagai organ kerjasama federatif dan terbuka bagi semua organisasi nasionalis dan agama yang mempunyai tujuan sama.
Kongres Fusi
Setelah terbentuk, pengurus partai mempersiapkan diri untuk menggelar kongres fusi. Kongres itu dihelat di Yogyakarta pada 4-7 November 1948 –tanggal 7 November kemudian ditetapkan sebagai kelahiran Partai Murba karena bertepatan dengan peringatan Revolusi Bolshevik atau dikenal juga dengan Revolusi Oktober di Rusia.
Kongres dihadiri 400-500 peserta dari berbagai partai, organisasi, dan pemerintah. Sukarno dan Mohammad Hatta mengirim surat ucapan selamat berkongres. Sedangkan Panglima Besar Jenderal Soedirman mengirim wakil dan karangan bunga. Sukarni memimpin dan membuka kongres, disusul sambutan dari selusin undangan sebagai wakil organisasi dan pemerintah.
Dalam kongres, Tan Malaka menyarankan agar Sukarni menjadi ketua umum. Tak semua setuju. Gondowardojo dari Malang menganggap Sukarni, yang masih berusia 32 tahun, terlalu muda dan mengusulkan Tan Malaka sebagai ketua umum. Tan membela Sukarni yang dinilai telah banyak belajar selagi di penjara.
“Sukarni terpilih sebagai ketua umum karena track record-nya dalam berorganisasi. Dia berpengalaman dalam memimpin organisasi seperti Indonesia Muda,” kata Emalia Iragilati Sukarni, anak Sukarni, kepada Historia. Sukarni menjadi ketua Pengurus Besar Indonesia Muda pada 1934 dalam usia 19 tahun.
Tan Malaka tetap masuk dalam kepengurusan partai sebagai penasihat bersama Roestam Effendi. Tiga pimpinan partai yang berfusi menduduki posisi pengurus partai: Maroeto Nitimihardjo (Partai Rakyat) jadi wakil ketua I, St. Dawanis (Partai Rakyat Djelata) wakil ketua II, dan Sjamsu Harja Udaja (PBM) sekretaris umum. Pengurus harian terdiri dari sembilan orang, dan dewan partai sebanyak 25 orang.
“Jumlah anggota partai baru ini dinyatakan sebanyak 80.000 orang. Bertahun-tahun kemudian, ketua partai (Wasid Soewarto) mengumumkan di depan kongres (kelima tahun 1960), bahwa dalam tahun 1948 Partai Murba menghimpun sekitar 20.000 anggota,” tulis Poeze.
“Anggota partai terdiri dari anggota tetap dan anggota tersiar. Anggota tetap memiliki kartu keanggotaan sedangkan anggota tersiar tidak memilikinya,” kata Hadidjojo Nitimihardjo, anak Maroeto Nitimihardjo, kepada Historia.
Kongres juga menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) serta tujuh butir program perjuangan yang diilhami program minimum dan program maksimum Persatuan Perjuangan, terutama merdeka 100%, yang diprakarsai Tan Malaka.
Pada penutupan kongres, Tan Malaka menyampaikan pidato, yang kemudian diterbitkan dengan judul Uraian Mendadak, berisi uraian mengenai situasi internasional, nasional, dan soal partai. Kader partai, kata Tan, harus terjun ke bawah dan berada di tengah-tengah Murba. Bikinlah komite-komite kecil di suatu desa atau kampung. Datangi rumah-rumah dan tanyakan keperluan penduduk, diskusikan dan putuskan dalam komite, lalu sampaikan usulan-usulan kepada mereka.
“Usaha kita di hari depan ini ialah mengadakan satu partai dalam arti, partai massa, di mana yang bekerja di antara massa tadi itulah yang dinamakan kader, yang memakai disiplin dan bersikap konsekuen dalam segala-galanya, yang memegang teguh tujuan dan anggaran dasar, serta semua keputusan yang diambil bersama,” kata Tan.
Maka, setelah kongres usai, dimulai kiprah partai yang diharapkan bisa menerapkan pemikiran-pemikiran dan ajaran Tan Malaka.
Pada 7 Desember 1948, Partai Murba membuka kantor baru di Jalan Purwodiningratan 195 Yogyakarta. “Tentang kegiatan-kegiatannya, di luar hubungan dengan partai dan organisasi lain, hampir tidak ada yang terdengar,” tulis Poeze. Jumlah anggota, lanjut Poeze, jumlah cabang, bahkan nama-nama pimpinannya tak diketahui atau jika diperoleh data hanya berasal dari tangan kedua.
Menentang Perundingan
Partai Murba mendapat kesempatan bersuara dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) melalui Maroeto Nitimihardjo. Dia menggantikan Adam Malik, yang sebelumnya mewakili Partai Rakyat. Namun, menurut Poeze, “Maroeto tidak termasuk sebagai anggota terkemuka dalam BP-KNIP dan tidak mencolok juga karena pendiriannya yang lain dari yang lain.”
Kosongnya kursi-kursi wakil dari FDR akibat Peristiwa Madiun juga memberi berkah. Di Yogyakarta, Dewan Perwakilan Rakyat mengocok ulang susunan anggotanya. Dari 50 kursi, Murba mendapatkan lima kursi karena diakui sebagai partai besar keempat. Menurut Poeze, di tempat lain tak diketahui apakah terjadi pembagian ulang semacam ini.
Seperti halnya Persatuan Perjuangan, Murba menentang perundingan dengan Belanda. Sebagai kegiatan pertama setelah berdiri, Murba mencanangkan tanggal 17 November sebagai “hari penghinaan”. Tanggal 17 November 1946 adalah hari ketika Kabinet Sjahrir-Amir Sjarifuddin menandatangani Persetujuan Linggajati. Semua cabang partai menerima instruksi untuk mengadakan rapat umum. Apabila tak mungkin dilakukan, adakanlah rapat tertutup untuk anggota dan undangan. Namun, Gubernur Militer Gatot Subroto tak mengizinkan rapat umum di wilayah Solo, Madiun, Semarang, dan Pati. Bahkan, rapat tertutup di Solo pada saat-saat terakhir dilarang. Rapat umum di alun-alun Yogyakarta bisa berlangsung, tetapi digerakkan Kongres Nasional Indonesia Muda (KNI Muda) di bawah Acoma.
Partai Murba, bersama berbagai partai, organisasi, dan badan perjuangan, juga coba unjuk kekuatan melalui penyelenggaraan Kongres Rakyat, yang diharapkan jadi parlemen alternatif, pada Desember 1948. Tan Malaka akan memberikan pidato dengan judul “Proklamasi 17 Agustus, isi dan pelaksanaannya”. Namun, kongres tak terlaksana karena Belanda melancarkan agresi militer kedua –upaya serupa kembali dilakukan pada November 1949, tetapi gagal dan baru terealisasi pada 1955.
Agresi militer Belanda bukan hanya menggagalkan Kongres Rakyat tapi juga menghambat pembangunan partai. Belanda menangkap sejumlah pemimpin Murba seperti Maroeto Nitimihardjo dan Adam Malik –mereka baru diserahkan kepada pihak Republik Indonesia pada Juli 1950 dan dibebaskan. Sebagian lainnya, termasuk Sukarni, Pangulu Lubis, dan Bambang Singgih, berhasil melarikan diri ke Imogiri. Setelah Belanda menyerang Imogiri, mereka bergerak ke daerah di dekat Gunung Kidul. Mereka bertahan selama dua atau tiga bulan kemudian pindah ke lereng Merapi.
Mengikuti anjuran Sukarni, Bambang Singgih bergabung dengan Batalyon Slamet Rijadi yang menguasai daerah Solo. Bambang diangkat menjadi letnan dua dan memimpin kompi kecil di wilayah Klaten. Sementara Sukarni, Pandu Kartawiguna, Soemantoro, dan lain-lain berada dalam perlindungan Gustaf Kamagi, yang basisnya di lereng selatan Merapi, 15 kilometer di utara Klaten. Kesatuan Kamagi bagian dari Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) yang pernah disegani dan diperbantukan pada Brigade 5 di bawah Slamet Rijadi.
Menurut Poeze, Soemantoro ditunjuk untuk menyebarluaskan ide-ide Partai Murba. Bersama saudaranya, Soegiono dan Moeljono, dia menerbitkan suratkabar Siaran Gerilja Rakjat. Semula berisi berita-berita dari pemerintah, lambat-laun berkembang menjadi organ Murba. Suratkabar ini tersebar di desa-desa di pegunungan daerah Klaten dan Sleman. Selain itu, Sukarni menyebarkan pamflet berjudul “Suara tentara dan rakjat” dan di bawahnya tertulis “Gunung Tidar, 1 Mei 1949”.
Setelah agresi militer Belanda, yang berujung pada perundingan Roem-Roijen, pimpinan Murba mengeluarkan pernyataan berjudul “Sikap Partai Murba” pada 8 Juni 1949. Pernyataan itu disusun setelah sidang Dewan Partai dan ditandatangani Sukarni. Dengan perundingan itu, isi pernyataan Murba, “Indonesia telah menjadi sapi perahan melayani kapitalis-imperialis Belanda.”
Pernyataan itu segera sampai ke Yogyakarta. “Agaknya Soekarni telah mengirim seorang kurir dengan membawa resolusi itu ke Yogya,” tulis Poeze.
Pada akhirnya, pimpinan partai menyimpulkan Partai Murba terlalu lemah untuk meneruskan gerilya. Organisasi di dalam partai juga lemah. Pada Oktober 1949 terdapat sekira 13 cabang yang giat dan dengan jumlah sekitar 800 orang. Maka, para pemimpin Murba pun memutuskan kembali ke Yogyakarta.
Pada 28 Agustus 1949, untuk kali pertama Dewan Partai mengadakan sidang lagi di Yogyakarta. Masalah utama yang dibahas adalah Konferensi Meja Bundar (KMB), yang tengah berlangsung. Tak diketahui apa hasil sidang tersebut. Partai Murba memilih bersikap pasif untuk memberi kesempatan kepada pemerintah “memperoleh kemerdekaan 100% di meja perundingan.”
Namun, begitu tahu hasil KMB, Partai Murba kecewa. Sukarni menegaskan bahwa “konferensi itu sebagai titik kulminasi dari tindakan Belanda untuk meniadakan Proklamasi. Hasil perundingan sama sekali tidak bisa disebut serah terima kemerdekaan penuh.”
Suara menentang pengesahan KMB pun disuarakan 12 wakil Murba di KNIP. Menurut mereka, tulis Poeze, “dengan menolak KMB akan membuka kemungkinan untuk menentukan nasib sendiri dengan Proklamasi dan UUD 1945 sebagai titik tolak.”
Dalam pemungutan suara pada 14 Desember 1949, perjanjian KMB diterima dengan 226 suara lawan 62 suara dan 31 abstain. Apa boleh buat. Partai Murba pun melanjutkan perjuangan menentang KMB di parlemen –tapi baru berhasil pada 1956.
Kehilangan Tan Malaka
Lima hari setelah kongres fusi Partai Murba, Tan Malaka pamit ke Kediri. Dia dikawal pasukan Mayor Sabarudin, komandan Batalyon 38 Divisi I, 20 orang dari Lasjkar Rakjat Djawa Barat, dan 15 orang dari Barisan Banteng. Di sana, Tan menginap di rumah kawannya, Taskandar. Taskandar pernah diasingkan ke Digul, Papua, karena kegiatannya dalam Partai Republik Indonesia (Pari) yang didirikan Tan Malaka. Di Kediri, Taskandar mendirikan cabang Partai Rakyat dengan 50 anggota yang kemudian pindah ke Partai Murba.
Di Kediri, Tan mengadakan pertemuan dengan militer. Abidin Effendi, kakak Roestam Effendi, tokoh terkemuka Partai Murba di Kediri, menjembatani Tan Malaka dengan Divisi I yang dipimpin Mayjen Soengkono. Tan berusaha menanamkan ide-idenya di kalangan laskar dan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) yang menjadi bagian dari Divisi Soengkono.
Menurut Poeze, dalam pertemuan pada 14 Desember 1948, Tan berhasil membentuk Gabungan Pembela Proklamasi (GPP) yang terdiri dari 17 atau 19 batalyon. Brigade 16 yang dipimpin Kolonel J.F. Warouw kemungkinan besar masuk dalam GPP karena salah satu komandan batalyonnya, Hasjim Darif, adalah anggota Murba. Ketua GPP dipegang Abidin Effendi dan Sekretaris Jenderal Gondowardojo; keduanya anggota terkemuka Murba. GPP mengangkat komisaris-komisaris politik di daerah dan untuk Kediri dijabat Wasid Soewarto –kelak menjadi ketua umum Partai Murba.
“GPP merupakan sukses besar bagi Partai Murba. Pengaruhnya meluas sampai beberapa kali lipat dari pengikutnya sendiri. Kira-kira separuh dari batalyon-batalyon di daerah ini (Jawa Timur) menggabungkan diri dalam GPP,” tulis Poeze.
Letkol Surachmad, komandan Brigade 2 Divisi I yang bermusuhan dengan Sabarudin, menganggap gerakan Tan berbahaya bagi perjuangan militer maupun politik. Dia memerintahkan pasukannya untuk menangkap Tan dan melucuti kekuatan bersenjata di belakangnya.
Sembilan hari setelah surat perintah penangkapan keluar, pada 21 Februari 1949, Tan dieksekusi Suradi Takebek atas perintah atasannya, Letnan II Sukotjo, perwira staf Batalyon Sabirin (kelak Batalyon Sikatan). Komandan Batalyon Letnan I Soekadji Hendrotomo melaporkannya kepada Surachmad bahwa “setelah proses singkat pengadilan perang di lapangan, Tan Malaka sudah ditembak mati dan sudah ditanam.”
Di kalangan pengikutnya, Tan disalahkan karena pergi gerilya ke Jawa Timur yang menjadi basis kekuatan Pesindo yang berafiliasi dengan PKI, bukan ke Jawa Barat di mana Lasjkar Rakjat Djawa Barat cukup kuat. Anggota-anggota Pesindo yang tidak ikut Peristiwa Madiun melebur dengan TNI. “Menurut Maroeto pasukan-pasukan sempalan Pesindo inilah yang diperkirakan membunuh Tan Malaka,” tulis Hadidjojo dalam Ayahku Maroeto Nitimihardjo.
Kendati Tan Malaka telah wafat, GPP tetap bertahan bahkan membesar setelah ditandatanganinya Pakta Kawi pada 22 Juni 1949 yang mengubah namanya jadi Gerilya Pembela Proklamasi. Anggota GPP meningkat menjadi 47 kesatuan tentara dan badan perjuangan. Dalam Central Commando GPP dipilih Abidin Effendi, Warrouw, Sabarudin, Sjamsu Harja Udaja dan Gondowardojo; dua orang militer dan tiga politisi Murba.
Namun, Warouw kemudian meninggalkan GPP dan mengikuti pimpinannya, Soengkono, yang menerima gencatan senjata. Begitu pula dengan TRIP di bawah Mayor Isman. Kekuatan militer GPP berakhir setelah Sabarudin ditangkap atas instruksi Soengkono dan dieksekusi mati pada 24 November 1949. GPP pun sirna.
Kematian Tan Malaka jelas kehilangan besar bagi Partai Murba. Selama bertahun-tahun, Partai Murba meminta pemerintah untuk menyelidiki kematian Tan Malaka dan membawa pelaku-pelaku yang bersalah ke pengadilan. Perayaan mengenang Tan rutin digelar. Karya-karya dan pemikiran Tan dicetak dan disebarluaskan.
Kehilangan Tan Malaka juga berdampak pada perjalanan Partai Murba. Cita-cita Tan Malaka untuk menjadikan Murba sebagai partai massa tak pernah terwujud. Murba tetap menjadi partai kecil dengan pengaruh kecil pula.*