Paspampres Berawal dari Polisi Pengawal Pribadi

ANGGOTA polisi berpakaian preman dan anggota TNI mengerumuni seorang pemuda pengendara motor di pos penyekatan PPKM Darurat di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, pada Rabu, 7 Juli 2021. Terjadi keributan karena pemuda itu mengaku anggota Paspampres (Pasukan Pengawal Presiden). Dalam video yang viral, terdengar suara oknum polisi berkata, “Kalau kamu Paspampres memang kenapa?”

Setelah menunjukkan identitasnya, pemuda itu bernama Praka Izroi benar anggota Paspampres. Dia dipersilakan melanjutkan perjalanan. Teman-temannya kemudian mendatangi Polres Jakarta Barat. Kapolres Jakarta Barat Kombes Ady Wibowo meminta maaf kepada Komandan Paspampres Mayjen TNI Agus Subiyanto. Empat personel polisi termasuk yang berkata “Kalau kamu Paspampres memang kenapa?” telah diperiksa Propam Polda Metro Jaya.

Bila melihat sejarah, polisi merupakan cikal bakal Paspampres. Tanggal peringatan hari jadi Paspampres diambil dari peristiwa sejarah Polisi Pengawal Pribadi mengawal Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946. Anggota polisi ini bekas kesatuan Polisi Istimewa Jepang (Tokomu Kosaku Tai).

“Pada suatu hari, kami mendapat perintah secara tiba-tiba untuk mengawal Bung Karno dan Bung Hatta beserta keluarganya ke Yogyakarta dengan naik kereta api luar biasa (KLB),” kata Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian Tentang Bung Karno 1945–1967.

Anggota Polisi Pengawal Pribadi itu, berturut-turut dari pangkat tertinggi: Soekasah, Winarso, Edy Soepandi, Mangil Martowidjojo, Rasmad, Didi Kardi, R. Ramelan, Soehardjo, Oding Soehendar, Ebat, Soekanda, Soedio, Karnadi, dan Moh. Toha.

Menurut Julius Pour, wartawan senior Kompas dan penulis buku sejarah, selama di Yogyakarta, tiga orang mengundurkan diri. Soekasah pindah ke Departemen Luar Negeri, pernah menjabat duta besar di Arab Saudi. Winarso masuk Akademi Polisi, terakhir mencapai pangkat mayor jenderal, dan menjabat Kapolda Jawa Tengah. Sedangkan Soepandi memilih jadi pengusaha.

Anggota Polisi Pengawal Pribadi pun tinggal sebelas orang. Pangkat Mangil paling tinggi. Jenderal Pol. Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, kemudian menetapkan pembentukan kesatuan khusus bernama PPP (Polisi Pengawal Pribadi) Presiden dan Wakil Presiden. Surat keputusannya ditandatangani oleh Sekretaris Negara Gondo Wardojo. Sejak itu, Mangil ditugaskan sebagai komandan PPP.

“Tugas utama mereka menjaga keselamatan pribadi presiden dan wakil presiden beserta seluruh anggota keluarganya,” tulis Julius Pour dalam Doorstoot naar Djokja. Sementara itu, pengamanan kompleks istana dan kediaman wakil presiden ditangani oleh satu kompi Polisi Militer di bawah Letnan I PM Soesatio.

Menurut Mangil, PPP bertugas di dalam gedung istana presiden dan wakil presiden, sedangkan Polisi Tentara Angkatan Darat yang kini dikenal sebagai Polisi Militer, bertugas di luar istana. 

“Kerja sama antara Polisi Tentara dengan Polisi Pengawal Pribadi Presiden sangat baik, sehingga nantinya merupakan kesatuan pengawal kepala negara dan wakil kepala negara,” kata Mangil.

Dalam perkembangannya, PPP dan Polisi Militer dianggap tidak cukup untuk melindungi presiden dan wakil presiden. Akhirnya, setelah beberapa kali terjadi upaya pembunuhan terhadap Presiden Sukarno, pasukan pengawal presiden ditingkatkan menjadi resimen. 

Bertepatan dengan hari lahirnya, 6 Juni 1962, Sukarno mengeluarkan Surat Keputusan No. 211/Pit/1962 tentang pembentukan resimen khusus yang bertanggung jawab penuh menjaga keselamatan pribadi presiden dan wakil presiden serta keluarganya.

“Karena Bapak Presiden gemar sekali melihat pertunjukan wayang kulit, pasukan pengawal presiden itu diberi nama Tjakrabirawa,” kata Mangil. “Tjakrabirawa adalah senjata pamungkas yang sangat ampuh milik Batara Kresna.”

Karena Bapak Presiden gemar sekali melihat pertunjukan wayang kulit, pasukan pengawal presiden itu diberi nama Tjakrabirawa.

Sukarno meresmikan Resimen Tjakrabirawa pada 6 Juni 1963 di Wina, Austria. Dia menyerahkan tongkat komando dan baret merah tua kepada Komandan Resimen Tjakrabirawa, Brigjen CPM Moh. Sabur. Wakilnya Kolonel CPM Maulwi Saelan.

Resimen Tjakrabirawa berkekuatan 3.000 personel yang berasal dari keempat angkatan bersenjata. Terbagi dalam tiga kesatuan yaitu Batalion Kawal Kehormatan, Detasemen Kawal Chusus, dan Detasemen Kawal Pribadi. 

Batalion Kawal Kehormatan terdiri dari empat batalion: Batalion I dari pasukan Raiders Angkatan Darat, Batalion II dari Korps Komando (kini Marinir) Angkatan Laut, Batalion III dari Pasukan Gerak Tjepat (kini Korps Pasukan Khas) Angkatan Udara, dan Batalion IV dari Brimob Polri.

Detasemen Kawal Chusus dari Corps Polisi Militer Angkatan Darat dipimpin oleh Letnan Kolonel CPM Djokosuyanto. Sedangkan Detasemen Kawal Pribadi dari Polri yang dipimpin oleh Komisaris Besar Polisi Mangil Martowidjojo yang mengawal presiden sejak awal.

Resimen Tjakrabirawa tercoreng oleh keterlibatan Batalion I di bawah Letkol Untung Sjamsuri dalam Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan enam jenderal dan satu letnan TNI AD.

Menurut Maulwi Saelan, keterlibatan Tjakrabirawa dalam Gerakan 30 September 1965, jangankan satu resimen penuh, satu batalion pun tidak sampai. “Bukan satu batalion, tetapi satu peleton, 30 orang,” kata Mangil dalam biografinya, Penjaga Terakhir Soekarno. Peleton itu berada di bawah Lettu Dul Arief. Ke-30 serdadu itu telah ditindak tegas setelah tertangkap di Cirebon.

Namun, pemerintah Orde Baru membubarkan Resimen Tjakrabirawa melalui keputusan Menteri Panglima Angkatan Darat Nomor Sprint/75/III/1966. Anggotanya ditangkap dan dipenjara, termasuk Maulwi yang ditahan selama lima tahun tanpa proses pengadilan.

Selama masa Orde Baru, Resimen Tjakrabirawa dianggap sebagai kesatuan militer cacat dan dihilangkan dari sejarah Paspampres. Upaya mengembalikan sejarah Tjakrabirawa baru terbuka setelah Orde Baru runtuh. 

Presiden Megawati Soekarnoputri memerintahkan Komandan Paspampres Mayjen TNI Nono Sampono menemui Maulwi Saelan untuk mendengarkan sejarah Resimen Tjakrabirawa. Setelah pertemuan itu, Resimen Tjakrabirawa tak lagi menjadi halaman hilang dalam sejarah Paspampres. 

Setiap peringatan hari jadi, Paspampres selalu mengudang Maulwi selaku sesepuh. Bahkan, setiap pergantian komandan Paspampres, komandan yang baru selalu sowan kepada Maulwi. Misalnya, Komandan Paspampres Mayjen TNI Doni Monardo mengunjungi Maulwi pada November 2012. 

“Kami (Tjakrabirawa, red.) diakui oleh Paspampres,” kata Maulwi yang meninggal dunia pada 10 Oktober 2016.*