Pecah Kongsi Koalisi Partai Islam

Organisasi-organisasi Islam pernah berhimpun dalam payung besar Partai Masyumi. Namun, koalisi akhirnya pecah kongsi karena kursi.

OLEH:
Aryono
.
Pecah Kongsi Koalisi Partai IslamPecah Kongsi Koalisi Partai Islam
cover caption
Kampanye Masyumi di Rawa Badak, Tanjung Priok, Jakarta Utara, 27 Maret 1955. (Perpusnas RI).

KOALISI organisasi Islam bukan hal baru dalam sejarah politik di Indonesia. Di tahun 1950-an, Masyumi pernah jadi pionir koalisi. Seluruh organisasi Islam berhimpun di bawah payungnya. Kisah itu bermula dari keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X tahun 1945 yang mendorong rakyat Indonesia membentuk partai-partai politik. Kalangan Islam bergegas meresponsnya, bermufakat untuk berada dalam satu ikatan partai politik yang sama.

Tak lama berselang setelah maklumat terbit, ratusan pemimpin muslim dari Jawa dan Madura berkongres di Yogyakarta, 7–8 Nopember 1945. Mohammad Natsir didaulat sebagai pemimpin kongres. Pembicaraan sempat menghangat ketika menyoal nama partai yang kelak bakal berdiri.

Kongres bersepakat membentuk satu-satunya partai politik yang menyalurkan aspirasi umat Islam. Masyumi namanya. Mayoritas peserta memilih nama Masyumi ketimbang Partai Rakyat Islam. Semua organisasi Islam, baik nasional maupun lokal, bergabung di dalamnya.

KOALISI organisasi Islam bukan hal baru dalam sejarah politik di Indonesia. Di tahun 1950-an, Masyumi pernah jadi pionir koalisi. Seluruh organisasi Islam berhimpun di bawah payungnya. Kisah itu bermula dari keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X tahun 1945 yang mendorong rakyat Indonesia membentuk partai-partai politik. Kalangan Islam bergegas meresponsnya, bermufakat untuk berada dalam satu ikatan partai politik yang sama.

Tak lama berselang setelah maklumat terbit, ratusan pemimpin muslim dari Jawa dan Madura berkongres di Yogyakarta, 7–8 Nopember 1945. Mohammad Natsir didaulat sebagai pemimpin kongres. Pembicaraan sempat menghangat ketika menyoal nama partai yang kelak bakal berdiri.

Kongres bersepakat membentuk satu-satunya partai politik yang menyalurkan aspirasi umat Islam. Masyumi namanya. Mayoritas peserta memilih nama Masyumi ketimbang Partai Rakyat Islam. Semua organisasi Islam, baik nasional maupun lokal, bergabung di dalamnya.  

Gabungan organisasi Islam dalam tubuh Masyumi menjadikannya tambun. Jumlah anggotanya, seperti tercatat dalam Kepartaian di Indonesia, sampai 31 Desember 1950, mencapai sepuluh juta orang yang tersebar dalam 1.080 anak cabang dan 4.982 ranting. Ia terlihat besar dan solid, namun ancaman perpecahan mengintai setiap saat.  

“Semangat golongan menjadi lebih dominan dalam partai ketimbang persatuan. Inilah kelemahan Masyumi,” ujar A.R. Baswedan, tokoh pendiri Partai Arab Indonesia, kepada Ahmad Syafii Maarif dalam Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin 1959–1965.

Namun demikian, di arena politik, Masyumi terlalu besar untuk diabaikan begitu saja. Amir Sjarifuddin sadar soal itu. Kabinet yang dipimpinnya (3 Juli 1947–11 November 1947) tak akan kuat tanpa dukungan kalangan Islam.  

Amir pun mendekati Masyumi, menawarkan beberapa kursi menteri. Masyumi menolak, sebab Amir orang kiri. Amir tak putus asa. Dia cari jalan lain. Amir kembali mendekati unsur pendukung Masyumi lainnya, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), organisasi pewaris Sarekat Islam (SI). Mereka tergoda tawaran Amir untuk ikut berkuasa.  

Menurut Ahmad Syafii Maarif, beberapa pentolan PSII mendapat jatah kursi menteri di kabinet Amir Sjarifuddin, antara lain Menteri Dalam Negeri Wondoamiseno, Menteri Muda Penerangan Sjahbudin Latief, Menteri Muda Pertahanan Arudji Kartawinata, dan Surowiyono yang diberi jatah jadi Menteri Muda Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan.  

Keluarnya PSII tak langsung membuat Masyumi limbung. Untuk sementara masih ada Nahdlatul Ulama (NU) yang jadi pilar utama Masyumi. Namun, NU pun ancang-ancang lompat keluar “koalisi”.  

NU tersadar kalau perannya di Masyumi sudah jauh berkurang. Usulan untuk keluar dari Masyumi pun mulai bergulir.
Tokoh-tokoh NU dalam Muktamar NU 1958. Kiri-kanan: KH Bisri Syansuri, KH Muhammad Dahlan, KH Abdul Wahab Chasbullah, dan KH R. Asnawi. (Wikimedia Commons).

Pada Desember 1949, Masyumi menyelenggarakan muktamar ke-4 di Yogyakarta. Salah satu keputusannya adalah mengubah status majelis syuro menjadi badan penasihat. Dengan perubahan itu, maka dewan penasihat hanya bertugas mengatasi masalah keagamaan semata.  

Kaum nahdliyin beroleh rasa kecewa. Sebab, tulis Chiara Formichi dalam Islam and the Making of the Nation Kartosuwiryo and Political Islam in 20th century Indonesia, hanya di Majelis Syuro NU menaruh beberapa wakilnya. Wakil NU di Majelis Syuro adalah Hasyim Asy’ari sebagai ketua, A. Wahid Hasyim sebagai ketua muda II, dan A. Wahab Chasbullah sebagai anggota.  

Lagi-lagi NU harus menelan kenyataan pahit saat kabinet Wilopo (1952–1953) yang didukung koalisi PNI-PSI-Masyumi tak memberikan jatah Menteri Agama kepada mereka. Padahal, Wahab Chasbullah sudah melobi Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi untuk meminta Wilopo menunjuk Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama di kabinetnya. Menurut Yudi Latif dalam Intelegensia Muslim dan Kuasa Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Chasbullah ingin NU diperlakukan sama dengan organisasi lain di dalam Masyumi.  

Prawoto tak berani menjaminnya. Urusan penetapan menteri adalah hak penuh Wilopo sebagai formatur kabinet. Chasbullah potong kompas, langsung menemui Wilopo. Pengurus partai Masyumi jengah atas manuver politik yang dilakukan Chasbullah itu. Kekisruhan pun dimulai.  

Persoalan Menteri Agama semakin runyam kala Hamka turut berkomentar. Menurutnya, Wahid Hasyim sudah tiga kali duduk di kursi itu, dan dibutuhkan wajah baru untuk mengisinya.  

Masyumi pun menggelar pemungutan suara untuk memilih calon Menteri Agama minus wakil dari NU. Menurut M. Dzulfikriuddin dalam Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia, nama Wahid Hasyim sudah dicoret lebih dulu oleh pengurus partai Masyumi sebab sudah terlalu lama menjabat.  

Nama Faqih Usman dari Muhammadiyah akhirnya muncul sebagai calon Menteri Agama dari Masyumi. Faqih Usman, seperti dikutip dari Satu Abad Muhammadiyah, mengantungi lima suara, mengungguli Usman Raliby yang mendapat empat suara.  

Kekecewaan NU terlanjur merasuk. Belakangan mereka tersadar kalau perannya di Masyumi sudah jauh berkurang. Usulan untuk keluar dari Masyumi pun mulai bergulir. Untuk itu Pengurus Besar NU menggelar rapat pada 5 April 1952 di Surabaya. Suara mereka bulat: keluar dari Masyumi. Keputusan semakin sahih lewat hasil voting nahdliyin dalam muktamar 28 April–1 Mei 1952 di Palembang.  

NU kemudian mengambil peran politiknya sendiri, pecah kongsi dari induk organisasinya. Kelak pada Pemilu 1955 NU bertarung melawan Masyumi. Koalisi organisasi politik berbasis Islam tak semulus yang diharapkan. Lebih sering bertarung rebutan kursi ketimbang bersatu membela kepentingan umat.*

Majalah Historia No. 18 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65f76bc08bd3010b0366de4a
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID