Pejuang Penghibur

Dua kali masuk penjara tak membuat Bing Slamet kapok. Ia turut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Bukan dengan menenteng senapan, melainkan dengan suara baritonnya.

OLEH:
Hendaru Tri Hanggoro
.
Pejuang PenghiburPejuang Penghibur
cover caption
Bing Slamet bersama Edy Sud semasa aktif di grup lawak Kwartet Jaya. (Repro Flambojan, 11 Januari 1975/Koleksi Perpusnas RI).

USAI bertemu Sam Saimun, Bing Slamet dan kelompok Pantjawarna ke Semarang. Berkasad tampil menghibur publik, mereka justru mengalami peristiwa menyeramkan. Bing tak ingat pasti hari dan tanggalnya. Yang jelas, tentara Jepang tiba-tiba menangkap mereka di sebuah hotel terkenal Du Pavilion pada 1944. Alasan penangkapannya tak jelas.

Tentara Jepang lekas membawa mereka ke penjara di bawah todongan bayonet. Bing ingat lantai penjara itu dingin. Satu per satu diinterogasi. Suasananya mencekam. Sudah beredar kabar bahwa sesiapa yang masuk penjara Jepang hanya akan tinggal nama. Ketakutan, bulu roma para anggota sandiwara itu berdiri.

Di kampungnya, ibunda Bing cemas. Ditinggal bertahun-tahun, dia sudah lama tak bertemu Bing. Apalagi Bing tak pernah memberi kabar. “Hubungan dengan anak tercinta, sementara terputus,” tulis Kartini, No. 17, April 1974. Maka perempuan itu memenuhi hari-harinya dengan doa. “Memohon kepada Tuhan agar anak sulungnya selamat.”

USAI bertemu Sam Saimun, Bing Slamet dan kelompok Pantjawarna ke Semarang. Berkasad tampil menghibur publik, mereka justru mengalami peristiwa menyeramkan. Bing tak ingat pasti hari dan tanggalnya. Yang jelas, tentara Jepang tiba-tiba menangkap mereka di sebuah hotel terkenal Du Pavilion pada 1944. Alasan penangkapannya tak jelas.

Tentara Jepang lekas membawa mereka ke penjara di bawah todongan bayonet. Bing ingat lantai penjara itu dingin. Satu per satu diinterogasi. Suasananya mencekam. Sudah beredar kabar bahwa sesiapa yang masuk penjara Jepang hanya akan tinggal nama. Ketakutan, bulu roma para anggota sandiwara itu berdiri.

Di kampungnya, ibunda Bing cemas. Ditinggal bertahun-tahun, dia sudah lama tak bertemu Bing. Apalagi Bing tak pernah memberi kabar. “Hubungan dengan anak tercinta, sementara terputus,” tulis Kartini, No. 17, April 1974. Maka perempuan itu memenuhi hari-harinya dengan doa. “Memohon kepada Tuhan agar anak sulungnya selamat.”

Di dalam penjara, meski diliputi kecemasan, Bing juga berdoa, “Semoga Tuhan melindungi kami semua.” Seorang pimpinan tentara Jepang tiba-tiba menghampiri Bing. “Ha, saudara rombongan sandiwara, ha?” tanya si Jepang, seperti dikutip Des Alwi dalam “Bing Slamet Dalam Dunia Lawak Indonesia”, termuat di Prisma, No. 6 tahun 1988.

Bing heran. Entah dari mana tentara itu tahu latar belakangnya. Tapi bagi Bing itu tak penting. Toh latar belakang itu tak bakal membantunya keluar dari penjara.

Setelah tertegun sejenak, Bing menjawab, “Ya!” Latar belakang Bing itu justru membantu. Menyadari salah tangkap, tentara Jepang melepaskan Bing dan teman-temannya. Kecemasan Bing sirna. Bersama teman-temannya, Bing melanjutkan perjalanan keliling.

Hotel Du Pavilion di Semarang, tempat Bing Slamet dan teman-temannya ditangkap oleh Jepang pada 1944. (KITLV).

Menghibur Tentara

Selang setahun dari kejadian itu, Bing meninggalkan panggung sandiwara. Bing menghadapi kenyataan bahwa revolusi pecah: Indonesia merdeka. Rakyat menyambutnya dengan suka cita. Tak terkecuali Bing dan teman-temannya di Pantjawarna. Semangat nasionalisme Bing berkobar. Tapi Bing tak terlatih memegang senjata.

Saat berada di Mojoagung, Jawa Timur, Bing memutuskan masuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) Divisi VI Brawidjaja. Alasan Bing sederhana: membantu kemerdekaan Republik. Bukan dengan senjata, melainkan dengan suaranya. Bing masuk bagian hiburan.

Meski tak menenteng senapan, tugas Bing sangat penting. Bing menghibur tentara dengan suara bariton nan merdunya. Di barak atau tempat peristirahatan, Bing menyanyikan lagu-lagu yang menggugah semangat juang, membesarkan hati mereka agar tak lantas menyerah, membakar semangat mereka agar terus menyala. Bahkan Bing menyertai mereka hingga ke palagan.

“Sejak pecah revolusi di tahun 1945, Bing Slamet tidak pernah absen pula menghibur para prajurit,” tulis Kompas, 18 Desember 1974.

Dari Mojoagung, Bing hijrah ke Malang pada 1947. Di sana Bing berkhidmat untuk Radio Republik Indonesia. Suaranya mengudara kembali lewat radio. Bing melakoni peran sebagai penyiar sekaligus penyanyi.

Sebagai penyiar, Bing mengabarkan berita yang terjadi di garda depan. Pernah Bing menyampaikan pesan seorang pemuda untuk ibunya agar tetap mendoakannya dan tak gelisah. “Halo, Bu, Halo, di sini suara garis terdepan,” begitu Bing membuka siarannya.

Sebagai penyanyi, Bing menghibur mereka yang bertugas di garda terdepan kala Surabaya jatuh ke tangan Belanda. Saat itu, korban jiwa tak terhitung lagi. Laskar, tentara, dan rakyat terpaksa bergerak mundur ke pedalaman. “Di saat-saat seperti itulah, suara Bing Slamet mengalun merdu. Tak sekadar memberikan hiburan bagi mereka yang bertugas di front terdepan, tetapi juga mengobarkan semangat perjuangan mereka,” tulis Sinar Harapan, 18 Desember 1974.

Selain siaran, Bing menggalang fonds (dana) perjuangan untuk Central Comitte Perjuangan Jawa Madura yang diketuai Mr. Kusuma Atmaja. Bentuknya pertunjukan amal. Bersama Basuki Djaelani, rekannya, Bing menemui kelompok penghibur Hardy’s Boys di Kediri untuk bekerjasama. Bing juga meminta Sam Saimun turut ambil bagian. Mereka bersepakat.

Jika ketahuan Belanda, rombongan kami bilang hanya rombongan seniman. Dan Bing Slamet cukup jadi jaminan untuk alasan semacam itu.

Pertunjukan pertama berlangsung di Sriwedari, Sala, pada April 1947. “Hardy’s Boys dan Bing Slamet mengalami sukses luar biasa. Pertunjukan kali ini disponsori oleh Junus Mustafa dari BPRI (Badan Pemberontakan Rakyat Indonesia),” tulis Flamboyan, 25 Januari 1975. Pertunjukan itu kemudian digelar pula di Kediri pada November 1947.

Bing terus melakoni laku pejuang penghibur. Pada 1948, Bing pindah ke Yogyakarta untuk bekerja di RRI. Di sini Bing mengisi acara Lepas Senja dan berkenalan dengan Njoto, kelak menjadi salah satu petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI). Belum lama tiba, Bing menyaksikan tentara Belanda melancarkan agresi. Mereka merebut kota Yogyakarta dan menahan banyak pembela Republik. Bing salah satunya.

Peristiwa di Semarang pun terulang. Bersama Mathovani, kawannya pencipta lagu “Angin Berbisik”, Bing dijebloskan ke penjara di Ngupasan. Bing diinterogasi, tapi dinyatakan tak bersalah. Belanda membebaskan Bing karena dianggap hanya tergabung dalam barisan penghibur. Belanda luput mengawasi peran penting barisan ini mengobarkan semangat para pejuang.

Masuk penjara dua kali tak membuat Bing kapok. Tak lama setelah dibebaskan, Bing pergi ke Bandung. Bing bekerja pada RRI Jawa Barat dengan tugas yang sama. Nama Bing kemudian justru menjadi jaminan.

Karena atribut senimannya kadung lekat, teman-teman Bing di palagan suatu kali pernah menggunakan nama Bing untuk lolos dari penangkapan tentara Belanda. “Jika ketahuan Belanda, rombongan kami bilang hanya rombongan seniman. Dan Bing Slamet cukup jadi jaminan untuk alasan semacam itu,” tutur seorang kawan seperjuangan Bing, dikutip Flambojan, Januari 1975. Kala itu nama “Bing” belum dipakai. Orang-orang memanggilnya Raden Slamet atau Slamet saja.

Lakon Bing sebagai pejuang penghibur selesai pada 1949. Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dan Bing sendiri mesti pergi ke Singapura untuk rekaman piringan hitam pertamanya. Bing baru kembali ke Jakarta pada 1952. Di sini Bing meninggalkan semua aktivitas perjuangan politiknya dan fokus melakoni karier sebagai penyanyi meski tetap berdinas di militer.

Bing Slamet dalam film Pilihlah Aku (1956).

Dekat Tokoh Politik

Memasuki 1960-an, pemerintah melarang musik-musik Barat, terutama yang berirama rock n roll, cha cha cha, dan mambo. Ini diawali melalui pidato Sukarno, “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada 17 Agustus 1959: “Dan engkau, hei pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi; engkau yang tentunya anti-imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik; kenapa di kalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock n roll, dansi-dansian ala cha cha cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain-lain sebagainya lagi.”

Sebagai gantinya, Sukarno mendorong musik nasional agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Salah satunya irama lenso yang berasal dari Maluku dan Sulawesi. “Lenso itu beat-nya dari Maluku. Bung Karno suka sekali gaya lenso. Makanya saya, Mas Bing (Bing Slamet), Jack Lesmana, dan Buby Chen –semuanya musisi– diajak keliling Eropa pada 1964 sampai 1965 buat mempopulerkan lenso; melawan beat Barat,” kenang Idris Sardi, sahabat Bing.

Menurut Idris, pandangan Bing terhadap musik sangat luwes. “Mas Bing tak mengotak-kotakkan musik. Ini makanya saya cocok sama dia.” Bing tak pernah keberatan diminta memainkan musik lenso. Lagi pula Bing mahir dalam banyak aliran musik.

Keluwesan ini terbawa dalam pergaulan. Bing berkawan dengan siapapun, beraliran kiri maupun kanan. Bahkan, salah satu karibnya berasal dari PKI, Njoto. Saat diundang ke Istana Negara, mereka tak segan menari lenso bersama di depan Sukarno. Di luar istana, Bing ikut membantu Njoto memopulerkan lagu “Genjer-Genjer” yang kala itu diusung simpatisan PKI.

Tapi tak ada yang bisa memaksa Bing masuk kelompok politik tertentu. “Bung Karno saja tak pernah bicara politik sama Mas Bing. Dia tahu posisi Mas Bing dan saya sebagai seniman. Makanya Bung Karno tak pernah membawa kami ke arah politik,” kata Idris.

Pada masa Orde Baru lain cerita. Bersama Eddy Sud dan sejumlah artis, Bing bergabung ke Organisasi Artis Safari. Lahir menjelang Pemilu 1971, organisasi ini berfungsi sebagai peraup suara massa untuk Golongan Karya (Golkar).

Golkar tak peduli Bing pernah menyanyikan “Genjer-Genjer” atau dekat dengan tokoh PKI. Yang dilihat Golkar, Bing punya banyak penggemar. Dan strategi ini berhasil: Golkar keluar sebagai pemenang Pemilu 1971.

Tapi bagi Bing, tujuan utama bergabung ke Artis Safari bukan pemenangan Golkar. Sanip, sahabat Bing, dikutip Mimbar, 15 November 1971, bilang: “Kalau Bing pernah memimpin tim Safari bukanlah untuk kepentingan politik Golkar saja, melainkan demi kesejahteraan artis.”

Bing bukan politisi, apalagi sampai tunduk pada mereka. Bing tetap seorang seniman, penghibur yang merdeka lagi cerdik.*

Majalah Historia No. 11 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6576dd494add663b5a29e242