Pekih Ibrahim dan Sorban Diponegoro

Apa tautan istri Widjojo Nitisastro dengan Pangeran Diponegoro? Mengapa Diponegoro memakai sorban?

OLEH:
Julius Pour
.
Pekih Ibrahim dan Sorban DiponegoroPekih Ibrahim dan Sorban Diponegoro
cover caption
Patung Diponegoro di Monumen Nasional Jakarta. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

PERINTAH tersebut datang dengan mendadak. Soewarno, guru asal Malang, Jawa Timur, harus segera berangkat ke Gianyar, Bali, untuk menggantikan tugas Raden Soekemi, seorang rekannya.

Soekemi terpaksa diganti karena melanggar hukum adat: jatuh cinta dan terpaksa kawin lari dengan seorang gadis Bali dari kasta Brahmana, Ida Ayu Nyoman Rai Soekarmini. Pasangan yang sedang dimabuk cinta ini diusir dari Bali dan selamanya tidak boleh kembali ke sana. Mereka pindah ke Surabaya, kemudian Mojokerto, dan akhirnya menetap di Blitar. Ketika di Surabaya, Soekemi melahirkan anak laki-laki, diberi nama Kusno. Semasa masih bayi, Kusno sering sakit. Sesuai kebiasaan masyarakat Jawa, namanya harus diganti. Raden Soekemi seorang penggemar wayang kulit, khususnya tokoh Adipati Karno, sehingga ia memilih nama baru untuk anak laki-lakinya: Sukarno.

PERINTAH tersebut datang dengan mendadak. Soewarno, guru asal Malang, Jawa Timur, harus segera berangkat ke Gianyar, Bali, untuk menggantikan tugas Raden Soekemi, seorang rekannya.

Soekemi terpaksa diganti karena melanggar hukum adat: jatuh cinta dan terpaksa kawin lari dengan seorang gadis Bali dari kasta Brahmana, Ida Ayu Nyoman Rai Soekarmini. Pasangan yang sedang dimabuk cinta ini diusir dari Bali dan selamanya tidak boleh kembali ke sana. Mereka pindah ke Surabaya, kemudian Mojokerto, dan akhirnya menetap di Blitar. Ketika di Surabaya, Soekemi melahirkan anak laki-laki, diberi nama Kusno. Semasa masih bayi, Kusno sering sakit. Sesuai kebiasaan masyarakat Jawa, namanya harus diganti. Raden Soekemi seorang penggemar wayang kulit, khususnya tokoh Adipati Karno, sehingga ia memilih nama baru untuk anak laki-lakinya: Sukarno.

Sementara itu, Soewarno, sang guru pengganti, menunaikan tugasnya dengan baik. Bahkan ia sempat menulis buku pelajaran untuk masyarakat Bali, bekerja sama dengan raja Gianyar. Untuk prestasinya tersebut, Soewarno menerima tambahan nama Nitisastre. Sesudah penugasannya di Gianyar selesai, ia pulang ke Malang, menikah dengan Ismuningsih, dan melahirkan seorang anak laki-laki. Nama Nitisastre dijadikan nama keluarga, setelah disesuaikan ejaannya dengan bahasa Jawa. Anaknya punya nama lengkap Widjojo Nitisastro.

“Ayah menikah dengan gadis Yogya, Siti Sudarsih. Mereka melahirkan seorang anak perempuan, diberi nama Widjajalaksmi, biasa dipanggil Wida, yaitu diri saya,” kata Widjajalaksmi Kusumaningsih, seorang dokter spesialis rehabilitasi medik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, sambil tergelak, di rumahnya yang asri, kawasan Pondok Indah, Jakarta.

Ayah Wida kemudian dikenal sebagai arsitek ekonomi Orde Baru, yang tutup usia hari Jumat, 9 Maret 2012, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Sedangkan Sukarno, anak pasangan Raden Soekemi dengan Ida Ayu Soekarmini, menjadi presiden pertama Republik Indonesia.

Widjojo Nitisastro (kiri) mengikuti konferensi Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) di Hotel Amstel, Amsterdam, Belanda, 5 April 1977. (Arsip Nasional Belanda).

Melacak Silsilah

“Sejak kecil, meski dilahirkan di Jakarta, ayah selalu memanggil saya wong Yogya. Mengapa? Karena ibu asalnya memang dari Yogya, bahkan konon masih keluarga bangsawan. Tetapi, apakah itu benar?” ujar Wida.

Kebetulan pada awal 1980-an, Wida dan suaminya, Emir Bernas Soendoro, juga seorang dokter, mengikuti seminar kedokteran di Yogyakarta. Ini membangkitkan minat mereka untuk menanyakan silsilah sang ibu. Mereka mengunjungi keraton, meminta informasi kepada Tepas Darah Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pencatat silsilah keluarga seluruh bangsawan Keraton Kasultanan. Setelah nama lengkap ibunya, Siti Sudarsih binti Sayid Hasan Manadi, mereka catatkan, dijanjikan hasil pelacakan akan segera dikirim ke Jakarta.

Seminggu kemudian, Wida menerima kiriman gambar silsilah ibunya sampai empat generasi ke atas, berhenti pada nama Sayid Ibrahim Ba’abud Madiokusumo. Nama Madiokusumo jelas nama Jawa. Tetapi Ibrahim Ba’aud? Dari manakah asal dan latar belakang kakek buyutnya?

Karena masih risau, atas saran seorang teman, Wida berusaha mengetahui lebih banyak mengenai sosok Ibrahim Ba’abud. Ia mencari informasi ke Perkumpulan Ar-Rabitatul Alawiyyin, perkumpulan warga masyarakat keturunan Alwi, kantornya di Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Warga masyarakat keturunan Arab tidak saja memiliki nama keluarga, tetapi setiap perubahan status selalu mereka catat dengan cermat, dengan demikian garis silsilah lebih mudah dirunut. Beda misalnya dengan warga masyarakat Jawa, yang tidak terbiasa mempunyai nama keluarga dan bahkan harus selalu ganti nama setiap kali mendapat promosi jabatan.

Akhirnya, setelah menunggu beberapa waktu, Wida memperoleh konfirmasi. Sayid Ibrahim Ba’abud adalah anak Sayid Alwi Ba’abud, seorang pedagang asal Hadramaut, Yaman Selatan, yang kemudian menetap di Yogyakarta. Anak sulung Ibrahim, Sayid Hasan Al Munadi, menikah dengan BRA (Bandoro Raden Ayu) Samparwadi, salah seorang putri GRM (Gusti Raden Mas) Soendoro. Mereka melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Siti Sundari. Sedangkan GRM Soedoro kelak naik takhta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono II.

Widjajalaksmi melukiskan perasaannya ketika menerima konfirmasi di atas: “Saya merasa sangat kaget, ketika ternyata garis keturunan ibu berasal dari Sultan Hamengku Buwono II. Meski ketika ia dilahirkan, ayah beliau masih belum dinobatkan sebagai sultan. Bagaimanapun sekarang telah menjadi jelas, nenek saya, BRA Samparwadi menikah dengan seorang warga keturunan Arab, Sayid Hasan Al Munadi.”

Pemandangan Keraton Yogyakarta dari alun-alun sebelah utara. Sketsa dibuat tahun 1771 oleh A. de Nelly. (Dok. Peter Carey).

Pendukung Diponegoro

Secara kebetulan, tahun 1990, Siti Hidayati Akmal, sosiolog Universitas Indonesia yang juga alumni program S-2 Universitas Essex, Inggris, berusaha melacak jejak warga masyarakat keturunan Arab yang pernah tinggal di sekitar Yogyakarta. Hasilnya, ia tulis dalam sebuah jurnal ilmiah terbitan Universitas Indonesia. Antara lain menunjukkan, “Ibrahim semasa kecil diasuh eyangnya, Ratu Ageng, permaisuri HB I yang juga ibu kandung HB II. Ratu Ageng sekadar sebutan, nama sesungguhnya GRA Tegalredjo, oleh karena beliau tinggal di Desa Tegalredjo, sebuah dusun di arah Barat Laut Kraton Yogya. Kecuali itu, selain mengasuh Ibrahim, Ratu Ageng secara bersamaan juga mengasuh Mustahar, putra GRM Soerojo (naik takhta sebagai HB III). Setelah dewasa, Mustahar diganti namanya menjadi Ontowirjo dan kelak memperoleh gelar Gusti Pangeran Haryo Diponegoro.”

Kedua cucu Sultan Sepuh tersebut diasuh oleh neneknya di luar tembok keraton, agar bisa menghayati secara lebih baik mengenai budaya, adat istiadat, serta ajaran Islam. Semasa tinggal di Tegalrejo, Mustahar dan Ibrahim selalu bermasyarakat dengan rakyat serta berguru pada para kiai dan guru agama Islam terkemuka. Ketika Peter Carey meluncurkan edisi bahasa Indonesia untuk karyanya The Power of Prophecy dengan judul Kuasa Ramalan, dengan sengaja ia memilih Pendopo Tegalrejo Yogya, bekas rumah kediaman Pangeran Diponegoro.

Dalam buku tersebut, Carey melukiskan: “Ketika perang meletus, Ibrahim mendukung perjuangan Diponegoro dan secara bersama-sama mereka berjuang melawan Belanda. Selama perang, ia dikenal dalam sebutan Pekih (Penghulu Kiai Haji) Ibrahim, memimpin pasukan Brajumungah sekaligus memegang posisi selaku Penghulu Kepala dalam pasukan Diponegoro...”

Meski ayahnya warga keturunan Arab, sejak kecil Ibrahim Ba’abud sudah menetap di Tegalrejo. Ia menyatu dan malahan jadi bagian dari masyarakat Jawa yang masa itu sedang ditindas sistem kolonial. Maka secara otomatis Ibrahim berpihak kepada perjuangan Pangeran Diponegoro, saudaranya satu kakek. Kebencian Belanda kepada Pekih Ibrahim sangat jelas. Setelah bisa diringkus, ia langsung diasingkan ke Penang (Malaysia), kemudian dipindahkan ke Ambon, sampai tutup usia tidak boleh kembali ke Jawa.

Sentot Ali Basah Abdul Mustopo Prawirodirdjo, panglima perang termuda Diponegoro. (Repro Sentot alias Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo).

Pengaruh Turki

Menarik untuk dicatat, demikian Siti Hidayati Akmal mengungkapkan, “Kedua cucu Sultan Sepuh tersebut selama perang saling bertukar pakaian. Meski ia bukan keturunan Arab, Pangeran Diponegoro sengaja menanggalkan pakaian Jawa-nya dan memakai sorban, jubah, serta keris yang disisipkan di bagian depan. Sebaliknya, Ibrahim selalu memakai pakaian Jawa, surjan dan blangkon...”

Dari sisi lain, Peter Carey menunjukkan, pada masa itu banyak orang Jawa mengagumi Kemaharajaan Turki Utsmani. Bahkan mereka pandang sebagai benteng kekuasaan Islam di Timur Tengah sekaligus pelindung terhadap ancaman meluasnya kekuatan Kristen dari daratan Eropa.

Dengan alasan di atas, Diponegoro kemudian dengan sengaja menyalin sejumlah pangkat dan nama pasukan militer Turki Utsmani ketika ia akan menyusun pasukannya. Pasukan kawal elitenya memakai sorban aneka warna, sementara anak buahnya memakai istilah Bulkio, dari istilah Boluki (bolik, satu regu). Lantas nama Turkio (Oturaki) serta Arkio (Janissar Ardia, Resimen Kawal Pribadi Sultan Turki). Bahkan panglima perangnya, seorang pemuda asal Madiun yang baru berusia 17 tahun, oleh Diponegoro diberi nama baru, Ali Basah Abdul Mustopo Prawirodirdjo. Ali Basah diiambil dari istilah Turki, Ali Pasha (al-Basha al-Ali, Pasha yang Mulia).

Di sisi lain, ketika Pangeran Diponegoro memimpin pertempuran, dengan sengaja dia memakai sorban, berdasarkan sebuah perhitungan strategis. Khususnya, setelah ia menobatkan diri menjadi sultan dengan gelar Sultan Ngabdulkamid Herucokro Kabirul Mukminin Sayidina Panotogomo.

Secara simbolis, sorban tersebut bakal mengokohkan citra dirinya sebagai seorang pemimpin spiritual keagamaan sekaligus sebagai upaya menyatukan gerakan umat Islam di seluruh Pulau Jawa dalam perang melawan Belanda.

Sketsa Diponegoro karya Adrianus Johannes Bik tahun 1830. (Wikimedia Commons).

Potret Diri Diponegoro

Masyarakat Indonesia masa kini beruntung karena bisa menyaksikan potret diri Pangeran Diponegoro. Berbeda misalnya dengan sosok sejarah yang sezaman. Wajah Sisingamangaraja hanya dihasilkan lewat bayangan dalam mimpi. Sedangkan wajah Pangeran Samber Nyowo Mangkunegoro, hanya ada gambarnya semasa masih remaja, ketika dilukis oleh seorang perwira Inggris, sebelum perang suksesi Jawa meletus.

Potret diri Pangeran Diponegoro tidak bisa lepas dari jasa Adrianus Johannes Bik, pengawas Diponegoro semasa Pahlawan Nasional kita dalam status sebagai tahanan politik, ditahan sementara di Stadhuis (Balai Kota) Batavia, 8 April sampai 3 Mei 1830. Ketika itu Diponegoro menunggu kedatangan kapal yang akan mengangkutnya ke tempat pengasingan pertama di Manado, Sulawesi Utara.

Menurut Peter Carey, “...dalam sketsa karya A.J. Bik, Diponegoro memakai pakaian Arab, seperti yang selalu ia pakai ketika sedang memimpin Perang Jawa. Busana tersebut terdiri dari sorban, baju koko (katun) tanpa kerah dan jubah. Sedangkan sehelai selempang dia sampirkan ke bahu kanan, berikut sebuah keris pusaka, Kanjeng Kiai Ageng Bondoyudho, terselip pada sebuah ikat pinggang yang terbuat dari kain sutera...”

Lukisan potret diri tersebut sampai sekarang masih tersimpan di Museum Fatahilah Jakarta. Ia tampil sebagai satu-satunya bahan acuan untuk melukiskan wajah Pangeran Diponegoro secara akurat. Potret diri tersebut nantinya ditiru oleh semua orang. Pelukis terkenal Raden Saleh sampai Basoeki Abdullah menirunya. Begitu juga anak-anak sekolah. Bahkan, wajah dan busana serupa juga ditampilkan pada patung Pangeran Diponegoro di Lapangan Monumen Nasional Jakarta serta dihadirkan dalam mata uang rupiah, logam maupun uang kertas.*

Penulis adalah wartawan senior Kompas dan penulis buku-buku sejarah. Tingal di Jakarta-Singapura.

Majalah Historia No. 4 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6451eecd474dcd367ac2f02c
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID