Sungai Indragiri saksi bisu pembantaian di Rengat, 5 Januari 1949. (KITLV).
Aa
Aa
Aa
Aa
FAJAR menyingsing di Kota Rengat, ibu kota Kabupaten Indragiri, Riau. Pagi hari sekira pukul 06.00, Letnan Muda Wasmad Rads, prajurit TNI dari Batalyon III Resimen IV Divisi IX Banteng Sumatra, berjalan-jalan menyusuri kota.
Dari arah tenggara kota, tiba-tiba sepasang pesawat bercocor merah terbang rendah. Pesawat tempur pengebom jenis Mustang P-51 itu berpanji triwarna: Merah Putih Biru. Belanda datang menyerang.
“Mereka menjatuhkan bom di jalan-jalan, alun-alun pasar di mana orang-orang berbelanja, dan rumah penduduk. Mereka bahkan menembaki orang-orang yang berdiri di atas tanah,” kenang Wasmad Rads dalam memoarnya Lagu Sunyi dari Indragiri.
FAJAR menyingsing di Kota Rengat, ibu kota Kabupaten Indragiri, Riau. Pagi hari sekira pukul 06.00, Letnan Muda Wasmad Rads, prajurit TNI dari Batalyon III Resimen IV Divisi IX Banteng Sumatra, berjalan-jalan menyusuri kota.
Dari arah tenggara kota, tiba-tiba sepasang pesawat bercocor merah terbang rendah. Pesawat tempur pengebom jenis Mustang P-51 itu berpanji triwarna: Merah Putih Biru. Belanda datang menyerang.
“Mereka menjatuhkan bom di jalan-jalan, alun-alun pasar di mana orang-orang berbelanja, dan rumah penduduk. Mereka bahkan menembaki orang-orang yang berdiri di atas tanah,” kenang Wasmad Rads dalam memoarnya Lagu Sunyi dari Indragiri.
Berondongan peluru menghujani seisi kota. Markas tentara, pasar, permukiman penduduk, dan basis sipil lainnya diterjang si cocor merah dari atas udara. Hari itu, 5 Januari 1949, tercatat sebagai peristiwa berdarah di Rengat. Hingga kini, setiap tahun masyarakat Rengat memperingatinya sebagai hari berkabung.
Menumpah Darah, Menciduk Minyak
Serangan udara berlangsung hingga menjelang tengah hari. Namun, derita rakyat Rengat belum tamat. Sejurus kemudian, tujuh pesawat pengangkut jenis Dakota membawa 180 pasukan khusus Belanda (Korps Speciale Troepen/KST) yang diterjunkan untuk menduduki Rengat.
Operasi penerjunan dengan sandi Mud Operation (Operasi Lumpur) berlangsung pada pukul 11.00 dengan titik pendaratan di area rawa-rawa sekitar Kampung Sekip. Pemimpin pasukan Baret Hijau itu adalah Letnan Rudy de Mey yang tak lain kompatriot kepercayaan Kapten Raymond Westerling, mantan komandan KST.
Menurut buku Sejarah Daerah Riau yang diterbitkan Depdikbud tahun 1987, ada dua motif di balik aksi ofensif militer Belanda di Rengat. Pertama, menurut perkiraan dinas intelijen Belanda (NEFIS), kekuatan tentara Indonesia di Indragiri yang terkuat di Riau. Selain itu, di daerah Air Molek, sebelah barat Rengat, terdapat pabrik senjata. Sejak masa agresi militer pertama, beberapa kali Belanda menyita kapal motor Indonesia yang memuat pasokan senjata dari kawasan itu. Kedua, adanya kilang minyak di desa Lirik, utara Rengat. Minyak dibutuhkan mesin-mesin perang Belanda untuk meneruskan penetrasinya ke pedalaman Sumatra.
Ketika pasukan para KST mendarat di Rengat, pertahanan tentara Republik tak sekuat dugaan NEFIS. Hal ini berkenaan dengan kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) angkatan perang pada 1948.
Namun, Jaap de Moor dalam Westerlings Oorlog menyebut, De Mey menghadapi perlawanan sengit dari tentara Indonesia yang mencoba melarikan diri dari Rengat. Kontak senjata itu memakan korban, bukan hanya kombatan melainkan juga warga sipil, terutama wanita dan anak-anak.
Kota Rengat waktu itu seperti kota mati. Sungai Indragiri berwarna merah akibat darah tentara dan rakyat.
Sementara itu, tim penyusun pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu mengungkap, tentara Belanda dengan seragam loreng-loreng itu memasuki inti kota dalam waktu singkat. Pusat-pusat pemerintahan dikuasai. Pendudukan Rengat diikuti dengan penangkapan dan pembantaian terhadap penduduk.
“Tentara para menyapu habis segala yang bergerak. Prajurit atau rakyat biasa yang bersembunyi di bawah gorong-gorong atau parit yang digenangi air ditembak habis. Air parit yang berwarna keruh berubah menjadi merah,” tulis tim penyusun dalam Peristiwa 5 Januari 1949 di Kota Rengat Indragiri Riau suntingan Suwardi.
Wasman Rads dalam memoarnya memaparkan, mereka yang tertangkap pasukan Belanda dikumpulkan dan dibariskan di bantaran sungai Indragiri. Kemudian, satu per satu ditembaki dari belakang hingga tercebur ke air. Wasmad sendiri berhasil melarikan diri ke hutan, sebelum akhirnya ditangkap regu tentara KNIL dan dipenjara hingga pengakuan kedaulatan.
Menjelang sore, penduduk yang tersisa dipaksa membuang mayat yang berserakan di jalanan kota ke sungai Indragiri. Pembunuhan sistematis masih berlangsung. Satu orang mengangkat tangan, seorang yang lain mengangkat kaki. Dalam hitungan ketiga, mayat dilempar menyusul kemudian terjangan peluru menyasar kedua orang tersebut dan semuanya masuk ke sungai.
Salah satu tokoh sipil yang menjadi korban adalah Tulus, bupati Indragiri. Tulus, ayah kandung penyair Chairil Anwar, terbunuh saat rumahnya disatroni tentara Belanda. Selain Tulus, Abdul Wahab (wedana), Korengkeng (kepala polisi) dan wakilnya, Kasim turut tewas dalam pembantaian.
Pukul 16.00, Kota Rengat jatuh ke tangan Belanda. Ibu Miri, seorang saksi mata yang kala itu masih bocah menggambarkan petaka di Rengat.
“Kota Rengat waktu itu seperti kota mati. Sungai Indragiri berwarna merah akibat darah tentara dan rakyat. Selama dua bulan penduduk tidak mau makan ikan sungai karena menemukan jemari manusia dalam perut ikan,” ujarnya kepada Marwoto Saiman dalam laporan penelitian, “Semangat Nasionalisme Rakyat Rengat” di Universitas Riau.
Tak Tuntas
Berapa jumlah korban dalam operasi militer Belanda di Rengat saat ini masih dalam perdebatan. Sumber-sumber Indonesia yang berasal dari penuturan lisan dan kesaksian menyebut hampir 2.000 orang meregang nyawa. Sementara dokumentasi Belanda dalam Memorandum Excessennota (Nota Ekses) tahun 1969 meyakini keseluruhan korban berjumlah 80 orang. Angka ini didapat dari hasil penyelidikan pemerintah sipil Belanda melalui Keresidenan Riau.
“Kendati demikian, cerita kekerasan ini tak menemukan tempat dalam memori nasional kedua negara,” kata Anne Lot-Hoek, sejarawan Universitas Amsterdam, dalam korespondensi dengan Historia.
Anne, yang juga jurnalis Nieuwe Rotterdamsche Courant (NRC), secara khusus meneliti Tragedi Rengat. Sebelum berkunjung ke Sumatra meliput peringatan Tragedi Rengat pada Januari 2016, Anne lebih dulu mendatangi Arsip Nasional Belanda di Den Haag. Laporan Excessennota menyatakan bahwa pemerintah Belanda bukan tak menyadari ini sebagai kejahatan kemanusiaan.
Pihak militer Belanda bahkan ikut menginvestigasi. Perintah ini atas instruksi Jenderal Simon Spoor, panglima angkatan perang Belanda di Indonesia. Spoor agaknya terganggu mendengar desas-desus yang santer tentang aksi tak manusiawi anak buahnya di Rengat. Berita acara pemeriksaan memuat 22 pengakuan warga Indonesia asal Kampung Sekip. Fakta-fakta yang dikumpulkan tim polisi militer arahan Jan-Willem Huizinga dan Lambert de Lange pada Juni 1949 mengurai kesadisan.
Dalam mingguan NRC, 13–14 Februari 2016, Anne menyisipkan beberapa kisah. Seorang perempuan berusia 40 tahun bernama Waitem bersaksi, suaminya tewas dalam penyergapan sedangkan putrinya yang berusia 24 tahun diperkosa. Waitem sendiri dimasukkan ke ruangan lain sementara seorang prajurit mulai menanggalkan pakaiannya.
Kesaksian lain mengungkap seorang pria yang bersembunyi di lubang tepi sungai bersama putrinya berusia 16 tahun. Putrinya yang tengah hamil tewas seketika tatkala peluru dari pasukan KST menembus dahinya. Setengah jam kemudian, dia mendapati rumahnya tengah dijarah.
Laporan tersebut juga mengungkap potret pilu di Rengat: perempuan yang terbunuh bersama bayi dalam dekapan lengannya; seorang ayah yang tewas bersama tiga putranya; cerita para warga yang terpaksa membuang mayat ke sungai Indragiri.
“Namun, tak ada tindak lanjut penyelidikan militer ini. Memorandum pada Excessennota bahkan tak menyebutkan laporan saksi mata,” ujar Anne.
Besar kemungkinan pemerintah Belanda mengganggap banjir darah di Rengat sebagai “pembunuhan di antara sesama orang Indonesia”. Hal ini mengacu pada banyaknya tentara beretnis Ambon dalam kesatuan KST yang ikut terjun dalam operasi militer ke Rengat. Selain itu, memasuki paruh kedua 1949, kedudukan Belanda secara diplomatik kian terdesak untuk segera melepaskan Indonesia. Sehingga urusan kejahatan perang dibiarkan mengambang atau disembunyikan.
Sementara itu, tak banyak penduduk Rengat berani bersuara mengingat keganasan dan kekhawatiran pembalasan dari tentara Belanda yang masih berjaga. Dari waktu ke waktu peristiwa 5 Januari 1949 hanya menjadi konsumsi lokal. Namun, memori itu bukan untuk dilupakan. Setelah Republik berdaulat, masyarakat setempat mengganti nama Kampung Sekip menjadi Sekip Sipayung. Ini mengacu pada kata payung yang bermakna penerjun payung “berdarah” Belanda tatkala menjejakkan kaki dan menorehkan noda kelam di tanah itu.*