Sebagian makam korban pembantaian Tambun Angke 1947 di Taman Makam Pahlawan Patriot Bekasi. (Hendi Jo/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
PEREMPUAN sepuh itu bertutur dalam nada duka. Sambil bersuara lirih dan gemetar, dia mengisahkan sebuah pembantaian yang pernah terjadi di kampungnya: Tambun Sungai Angke. Ya, sekitar 70 tahun lalu, di kawasan yang sekarang terkenal sebagai desa Pahlawan Setia (masuk dalam wilayah Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi), sang maut merengut nyawa puluhan warganya. “Termasuk Kopang, mamang (paman) saya yang merupakan tokoh masyarakat di sini,” ujar Gerot (93).
Cerita pembantaian kaum gerilyawan dan warga sipil dalam suatu operasi pembersihan militer Belanda di wilayah ommelanden (pinggiran Batavia) seperti Bekasi memang bukan isapan jempol semata. Menurut Robert Briston Cribb, selama Desember 1947, aksi pembersihan di kawasan Karawang dan Bekasi berlangsung dalam intensitas tinggi hingga jatuh banyak korban.
“Tapi taktik ini cukup efektif karena berhasil menghancurkan keseimbangan perlawanan kaum nasionalis hingga pemerintah sipil Belanda dapat mulai didirikan di wilayah pedalaman,” tulis Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945–1949.
PEREMPUAN sepuh itu bertutur dalam nada duka. Sambil bersuara lirih dan gemetar, dia mengisahkan sebuah pembantaian yang pernah terjadi di kampungnya: Tambun Sungai Angke. Ya, sekitar 70 tahun lalu, di kawasan yang sekarang terkenal sebagai desa Pahlawan Setia (masuk dalam wilayah Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi), sang maut merengut nyawa puluhan warganya. “Termasuk Kopang, mamang (paman) saya yang merupakan tokoh masyarakat di sini,” ujar Gerot (93).
Cerita pembantaian kaum gerilyawan dan warga sipil dalam suatu operasi pembersihan militer Belanda di wilayah ommelanden (pinggiran Batavia) seperti Bekasi memang bukan isapan jempol semata. Menurut Robert Briston Cribb, selama Desember 1947, aksi pembersihan di kawasan Karawang dan Bekasi berlangsung dalam intensitas tinggi hingga jatuh banyak korban.
“Tapi taktik ini cukup efektif karena berhasil menghancurkan keseimbangan perlawanan kaum nasionalis hingga pemerintah sipil Belanda dapat mulai didirikan di wilayah pedalaman,” tulis Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945–1949.
Tambun Sungai Angke, yang merupakan bagian dari wilayah Bekasi, tidak lepas dari situasi tersebut. Menurut Gerot, sebelum menyerbu ke kampungnya, pihak Belanda terlebih dahulu mengancam agar orang-orang Tambun Angke secepatnya memiliki lurah Recomba (Regerings Commissaris Bestuurs Aangelegenheden). Itu istilah Belanda untuk pemerintahan darurat versi Belanda yang diinisiasi H.J. van Mook sebagai prakondisi terbentuknya suatu pemerintahan federal di Indonesia. Tentunya, untuk mengamankan putaran roda pemerintahan itu, mereka disokong Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dan Tentara Kerajaan (KL) Belanda.
“Dengan mata kepala saya sendiri, saya melihat tentara-tentara Belanda itu menghabisi para lelaki dewasa di kampung saya,” ujar mantan dukun beranak di Tambun Angke itu.
Awal Pergolakan
Berbeda dari desa-desa lainnya di Bekasi, hingga akhir 1947 Tambun Sungai Angke belum memiliki seorang lurah Recomba. Menurut Abdul Karim alias Karung (96), situasi tersebut membuat orang-orang Belanda tidak senang. Terlebih setelah mereka tahu, secara administrasi orang-orang Tambun Sungai Angke menginduk ke desa Pamahan yang dipimpin seorang lurah pro-Republik. “Namanya Lurah Bajing, kita kalau ada apa-apa pasti sama dia aja,” ujar lelaki sepuh tersebut
Kecurigaan Belanda terhadap orang-orang Tambun Sungai Angke semakin besar saat muncul isu kampung tersebut menjadi basis gerilyawan Republik. Namun, benarkah dugaan itu? Gerot menampik. Menurutnya, orang-orang Tambun Sungai Angke tak ada urusan dengan perang. Kerjaan mereka sehari-hari hanyalah bertani. Kalaupun dikaitkan dengan laskar, Gerot mengatakan bahwa kampungnya hanya dua kali disambangi rombongan kecil “laskar berbaju hitam-hitam”. “Itu pun mereka hanya ikut makan dan minum saja di warung saya,” ujar perempuan sepuh yang ingatannya masih kuat itu.
Benny Rusmawan (45), pemerhati sejarah di Bekasi, “mencurigai” unit-unit kecil pasukan yang pernah menyambangi warung Gerot adalah Lasykar Hizbullah pimpinan KH Noer Ali, tokoh gerilyawan Bekasi. “Sebab sepengetahun saya, salah satu ciri Lasykar Hizbullah ya seragam hitam-hitam itu,” ujarnya.
Berbeda dari Gerot, Ibrohim (94) justru membenarkan bahwa di kampungnya memang ada beberapa pemuda yang diam-diam bergabung dengan kekuatan gerilyawan seperti Lasykar Hizbullah, Lasykar Rakyat Bekasi, dan Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). “Saya sendiri termasuk anggota Hizbullah pimpinan KH Noer Ali dan pernah ikut pertempuran besar di Pamahan,” ujarnya dengan nada bangga.
Seolah menguatkan keterangan Ibrohim, Rojak (79) masih ingat, orang-orang laskar dan Tentara Republik Indonesia (TRI) seperti Panji, Arbi, Asmat, dan Letnan Mali –dua nama pertama disebut Cribb dalam bukunya sebagai dedengkot laskar Bekasi– diam-diam kerap datang ke rumah bapak angkatnya, Kopang, salah seorang tokoh masyarakat Tambun Angke. Saat itu Rojak masih berusia 10 tahun. Menurut Rojak, kendati tak paham apa yang mereka perbincangkan, dia yakin Kopang memiliki “hubungan khusus” dengan kaum gerilyawan.
“Bapak angkat saya itu katanya tukang ngurus-ngurusin laskar dan tentara di sini,” ujarnya.
Singkat cerita, Belanda memberi ultimatum kepada warga Tambun Sungai Angke agar secepatnya mengangkat seorang lurah. Bahkan tersebar isu bahwa Belanda sudah mengantongi satu nama, yakni Jiran, tokoh masyarakat yang tak lain adik kandung Kopang. “Tapi Pak Jiran tidak mau, dan malah lari ke Cireundeu di Jakarta sana,” kata Rojak.
Di Tengah Gerimis
Matahari mulai naik di Tambun Sungai Angke kala seorang lelaki bernama Kojin berkeliling kampung. Dia menyampaikan undangan pemilihan lurah Recomba dari rumah ke rumah. Diikuti sedikit ancaman, Kojin menyatakan kehadiran warga Tambun Angke dalam kegiatan itu wajib hukumnya. “Saya masih ingat, dia bilang ke bapak angkat saya, Kopang: ‘Kalau tidak hadir pada acara besok hari itu maka urusannya bisa gawat’,” kenang Rojak.
Kendati diancam, tak satu pun warga Tambun Sungai Angke datang ke pemilihan lurah keesokan harinya. Maka menjelang senja, dalam rapatnya gerimis, dari arah timur dan utara kampung bermunculan serdadu-serdadu KNIL berseragam hijau lengkap dengan senjata di tangan. “Sambil masuk kampung mereka menghabisi setiap laki-laki yang mereka temui di jalan, lalu maranin (mendatangi) tiap rumah dan menyuruh keluar tiap laki-laki untuk kemudian didrel (ditembak),” kenang Ibrohim.
Korban pertama adalah lelaki bernama Tolang. Begitu serdadu KNIL melihatnya, dia dipanggil dan ditembak langsung di bagian kepalanya hingga hancur. Korban selanjutnya adalah Bihan, yang tewas di rumahnya akibat peluru sten gun tembus dari mulut ke tengkuknya. Lalu Garno, seorang perempuan muda, tewas tertembak peluru nyasar. Begitu seterusnya hingga jalanan kampung dipenuhi mayat dan darah yang berceceran.
Sementara itu, di dekat langgar (sekarang menjadi Masjid Attaqwa), unit KNIL yang datang dari arah timur langsung melancarkan aksinya. Usai menghabisi nyawa seorang lelaki bernama Kodir di depan rumahnya, mereka lantas mengumpulkan belasan laki-laki di depan langgar. Kopang dan Solih termasuk yang terjaring dalam operasi tersebut. Melihat paman dan abangnya digiring secara kasar oleh para serdadu KNIL, Gerot menjadi histeris.
“Tuan! Tuan! Jangan matiinmamang saya, Tuaaannn!” jerit Gerot sambil berusaha mendekati sang paman. Seorang KNIL dengan kasar mendorong tubuh Gerot hingga terjerembab ke tanah.
Habis Gerot, giliran Solih coba memeluk Kopang. “Bagenmamang! Bagenmamang! (Biarkan paman! Biarkan paman!), kita mati bareng saja,” teriaknya. Bukannya terenyuh, seorang KNIL malah menyabetkan klewangnya ke lambung Solih. Usus memburai dibarengi darah segar keluar dari perutnya seketika.
Gerimis masih membasahi tanah di senja itu. Diiringi jerit tangis kaum perempuan dan anak-anak, suara tembakan brengun menghabisi kaum laki-laki yang berbaris di depan masjid. Mayat bergelimpangan. Bau anyir darah bersanding dengan bau mesiu yang masih mengepul. Genangan air hujan memerah di Tambun Angke.
Mereka yang Terbantai
Suatu hari di tahun 1984. Peristiwa tak biasa yang terjadi di Tambun Angke itu terekam jelas dalam benak Syaifulloh H.R. Bapak-bapak pejabat dan rombongan aparat dari Kabupaten Bekasi mendatangi kampungnya yang terpencil. Beberapa truk milik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan kendaraan dinas berderet di depan rumahnya.
“Dengan khidmat, mereka mengikuti upacara pemindahan kerangka korban pembantaian 1947, dari Tambun Angke ke Taman Makam Pahlawan Bekasi di Bulak Kapal,” ujar lelaki berkulit putih itu.
Berapa sebenarnya jumlah korban yang jatuh dalam peristiwa Pembantaian Tambun Angke 1947 itu? Secara resmi, kerangka korban pembantaian yang digali kembali dan dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan berjumlah 17 orang. Menurut Kintang (79), sisa-sisa jasad para korban tersebut diambil dari berbagai “kuburan darurat” yang tersebar di seantero Tambun Angke. “Kedalamannya sangat dangkal, paling dalam sekitar 100 cm. Ya, maklum saja yang menguburkan jasad-jasad itu hanya para wadon (perempuan) dan bocah seperti saya saat itu,” ujar Kintang.
Menurut Abdul Karim alias Karung, tidak seluruh kerangka korban Pembantaian Tambun Angke dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Bekasi. Selain adanya penolakan dari keluarga korban, tidak semua kerangka bisa ditemukan. “Contohnya jenazah Tolang yang ditembak kepalanya dan masuk kobak (empang) kagak ada yang ngurusin, tau dah mayatnya dikemanain,” ujar Karung.
Selain Tolang, kata Karung, banyak jenazah yang dulu tak terurus. Kalaupun dikuburkan, lokasinya sembarang saja: bisa di depan atau belakang rumah, di halaman masjid, atau bahkan saking takutnya, ada yang menguburkan mayat-mayat tersebut di dekat kakus. Sebagai contoh, Sinun, kakek Syaifulloh, dimakamkan di belakang rumahnya. “Terakhir tahun 2005, kami pindahkan kerangka beliau ke makam keluarga di dekat Masjid Attaqwa,” ujar Syaifulloh.
Berdasarkan keterangan lima saksi sejarah yang masih hidup, selain 17 jasad yang sudah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bekasi, masih ada beberapa orang yang menjadi korban Pembantaian Tambun Angke 1947.
Jadi, total jumlah korban yang tewas dalam Pembantaian Tambun Angke 1947 adalah 32 orang, termasuk beberapa “tamu” yang saat kejadian nahas itu tengah berada di Tambun Angke. Misalnya, Solichin yang datang dari Legoa (sekitar 10 km dari Tambun Angke) atau seorang lelaki luar kampung yang hingga kini tak dikenal orang-orang kampung Tambun Angke.
“Saya kira jumlahnya bisa mencapai 50-an,” ujar Gerot. Keterangan Gerot dibenarkan Faisyah (76), perempuan kelahiran Tambun Angke. Saat dalam perjalanan mengungsi ke luar Tambun Angke bersama ibunya pas sore jahanam itu, di satu sudut kampung dia menyaksikan puluhan mayat bergelimpangan. “Mereka yang dibantai itu semuanya laki-laki,” ujarnya.*