Perwira Jepang Sonei Kenitji diadili di pengadilan militer Belanda di Batavia.
Aa
Aa
Aa
Aa
SETELAH kekalahan Jepang, pada awal Januari 1946, Letjen Sir Philip Christison, panglima Sekutu, memutuskan untuk menggelar pengadilan militer terhadap penjahat perang Jepang. “Pengadilan militer yang akan dibentuk itu ialah pengadilan Belanda, karena Belandalah yang menjadi negara yang berdaulat di Indonesia. Oleh karena itu tidaklah sah didirikan pengadilan militer Inggris,” tulis Soeloeh Merdeka, 4 Januari 1946.
Untuk konkretnya, dalam pertemuan di Singapura, Belanda dan Inggris membuat kesepakatan. Isi kesepakatan, perkara-perkara mahapenting akan diperiksa pengadilan Inggris. Selebihnya, tergantung perkaranya; jika mengenai kepentingan Inggris, pengadilan Inggris akan memeriksanya, dan kalau mengenai kepentingan Belanda, pengadilan Belanda yang akan memeriksanya.
SETELAH kekalahan Jepang, pada awal Januari 1946, Letjen Sir Philip Christison, panglima Sekutu, memutuskan untuk menggelar pengadilan militer terhadap penjahat perang Jepang. “Pengadilan militer yang akan dibentuk itu ialah pengadilan Belanda, karena Belandalah yang menjadi negara yang berdaulat di Indonesia. Oleh karena itu tidaklah sah didirikan pengadilan militer Inggris,” tulis Soeloeh Merdeka, 4 Januari 1946.
Untuk konkretnya, dalam pertemuan di Singapura, Belanda dan Inggris membuat kesepakatan. Isi kesepakatan, perkara-perkara mahapenting akan diperiksa pengadilan Inggris. Selebihnya, tergantung perkaranya; jika mengenai kepentingan Inggris, pengadilan Inggris akan memeriksanya, dan kalau mengenai kepentingan Belanda, pengadilan Belanda yang akan memeriksanya.
“Jika pengadilan Inggris akan memeriksa suatu perkara yang mengenai kepentingan kedua pihak, yaitu Inggris-Belanda, maka dua utusan Belanda akan didudukkan di majelis pengadilan Inggris dan sebaliknya,” tulis Penjoeloeh, 10 Januari 1946.
Karena tak dimintai pertimbangan, pemerintah Republik Indonesia, “sebagai negara berdaulat” mengajukan protes keras. Dalam keterangannya, kutip Soeara Merdeka, 10 Januari 1946, Serikat (maksudnya Sekutu) menyimpang dari kebiasaannya dalam mengurus dan menyelenggarakan hal-hal mengenai kepentingan Republik. “Pihak Serikat tidak lagi bersifat netral dalam soal politik antara Indonesia dan Belanda, padahal tanggal 27 Desember 1945, Panglima Tertinggi Serikat dengan resmi telah mengumumkan bahwa Inggris hanya akan melucuti dan mengembalikan Jepang dan mengurus tawanan, baik militer maupun preman.” Kata “preman” merujuk pada “sipil”.
Keberatan Indonesia diabaikan. Bahkan, Belanda merealisasikannya dengan mendirikan pengadilan militer di Jakarta, Makassar, Ambon, Semarang, Surabaya, Bandung, dan lain-lain. Dasar hukumnya Staatsblad Nomor 46 dan 47 tahun 1946, masing-masing tentang kekuasaan mengadili kejahatan perang dan pelaksanaan hukum kejahatan perang.
Namun, satu-satunya pengadilan kejahatan perang atas apa yang dalam istilah pemerintah Belanda disebut “prostitusi paksa” adalah Pengadilan Militer Sementara –lebih dikenal sebagai Pengadilan Militer Batavia atau Batavia Trial– pada 1948. Bahkan, ini merupakan satu-satunya pengadilan militer untuk kasus ianfu dari sekira 50 pengadilan militer yang digelar Sekutu di berbagai tempat di Asia antara 1945 dan 1951.
Insiden Semarang
Mulanya, instruktur Sekolah Taruna Angkatan Darat di Semarang, Kolonel Okubo Torno dan Kolonel Ikeda Shozo, menyelidiki cara mengatasi penyakit kelamin yang menimpa banyak taruna di sekolah itu. Diputuskanlah penggunaan perempuan penghibur yang diambil dari perempuan Eropa di kamp interniran terdekat.
Letjen Nozaki Seiji, kepala sekolah itu, menyetujui usulan tersebut sepanjang mendapat izin dari Markas Besar Angkatan Darat Ke-16 di Jakarta dan pemerintah militer. Pada awal Februari 1944, Nozaki mengunjungi Markas Besar untuk mendiskusikan masalah ini. Hasilnya, izin akan diberikan jika ada permintaan resmi dan perempuan Belanda melakukannya dengan sukarela untuk menghindari masalah hukum.
Dari situlah Okubo memerintahkan bawahannya, Mayor Okada Kenji, untuk mengajukan permintaan resmi ke Markas Besar. Okada juga mengunjungi Bandung untuk mempelajari rumah hiburan di sana yang menggunakan perempuan Belanda. Beberapa hari kemudian, izin dari Markas Besar keluar.
Ada empat rumah bordil di Semarang yang ditujukan untuk taruna dan perwira, yakni Hinomaru, Seiunso (atau Futabaso), Semarang Club, dan Shoko Club. Rinciannya diserahkan kepada Kapten Ishida yang bertanggung jawab atas “rekrutmen” dari kamp interniran di sekitar Semarang, dan sekelompok individu terpilih di bawahnya yang akan bekerja sebagai manajer di rumah hiburan.
Pada 23 Februari 1944, dua personel militer Jepang dan enam warga sipil turun ke Ambarawa dan mengambil daftar seluruh perempuan berusia 17 hingga 28. Tiga hari kemudian, sembilan perempuan dipindahkan ke Semarang dan, bersama perempuan lain dari kamp terdekat, dipaksa menandatangani “pernyataan kesediaan”. Para perempuan dipaksa melayani sejak 1 Maret 1944.
Pada April 1944, dalam perjalanan inspeksi ke Jawa, perwira staf di Departemen Perang di Tokyo, Kolonel Odajima Tadashi, yang bertanggung jawab atas pengawasan, baik sipil maupun tawanan perang di kamp, bertemu salah satu kepala kamp interniran Ambarawa 9, yang putrinya telah diambil paksa. Odajima segera memberitahu Jakarta, Singapura, dan Tokyo serta merekomendasikan penutupan rumah-rumah bordil di Semarang. Mendengarnya, Kepala Staf Angkatan Darat Ke-16 Letjen Moichiro Yamamoto memerintahkan penutupan. Para perempuan Belanda dikembalikan ke kamp interniran.
“Di antara faktor lain, respons cepat itu mengindikasikan bahwa otoritas Jepang sadar bahwa merekrut paksa perempuan untuk tujuan prostitusi adalah pelanggaran hukum internasional. Faktanya, pemerintah Jepang telah menandatangani perjanjian internasional yang melarang perdagangan perempuan dan gadis-gadis pada 1923; namun ketentuan dalam perjanjian internasional itu mengizinkan para penandatangan untuk tak menerapkan hukum itu di koloni mereka,” tulis Chunghee Sarah Soh, profesor antropologi di San Francisco State University, dalam The Comfort Women: Sexual Violence and Postcolonial Memory in Korea and Japan.
“Itulah kenapa insiden di Semarang tak mempengaruhi operasi rumah bordil lain di Indonesia yang menggunakan perempuan dari Korea dan Taiwan, juga perempuan lokal.”
Tiga tahun setelah Jepang kalah dalam Perang Pasifik, militer Belanda menyelidiki dan mengadili kasus perekrutan paksa perempuan-perempuan Belanda di Semarang.
Pengadilan yang Diskriminatif
Pada Februari 1948, Batavia Trial digelar. Pengadilan mendakwa beberapa perwira Jepang dan operator “rumah hiburan” melakukan kejahatan perang terhadap 35 perempuan Belanda yang tinggal di Indonesia dan dipaksa masuk kamp interniran pada 1944 untuk menjadi budak seks Jepang.
Ada sekira 20 orang Jepang yang diadili. Kolonel Okubo bunuh diri pada 1947 sebelum pengadilan itu digelar. Okada Kenji dinyatakan bersalah karena dia seharusnya tahu, bukan hanya sedikit tapi banyak, perempuan tak mau jadi pelacur sehingga perintahnya untuk perekrutan setara dengan penculikan. Dia dijatuhi hukuman mati. “Pada hari Sabtu pagi menjalankan hukumannya di Glodok,” tulis Pelita Rakjat, 29 November 1948.
Kolonel Ikeda Shozo juga dijatuhi hukuman mati namun selama persidangan dia pura-pura gila, sehingga sidang ditunda. Akhirnya, dia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Menurut Pelita Rakjat, 14 September 1948, dia adalah “orang Jepang terakhir yang tersangkut dalam perkara pelacuran paksa di Semarang yang kini telah dihukum pula.”
Perwira lainnya menerima hukuman sepuluh tahun penjara. Dua perwira medis masing-masing dihukum 15 dan 7 tahun penjara. Kapten Ishida dihukum dua tahun penjara. Empat manajer “rumah bordil” dihukum antara 5 dan 20 tahun penjara. Seorang bintara Jepang dan satu perwira sipil dari pemerintah militer dianggap tak bersalah.
Untuk beberapa alasan yang tak diketahui, pengadilan atas Letjen Nozaki Seiji, yang bertanggung jawab atas kasus ini, dilakukan terpisah pada Februari 1949, setahun setelah pengadilan atas junior-juniornya. Jaksa penuntut mengajukan hukuman mati tapi hakim akhirnya memvonis 20 tahun penjara.
Batavia Trial menjadi sebuah preseden yang membantu bentuk hukum internasional di kemudian hari mengenai perkosaan dan kehamilan paksa. Sayangnya, pengadilan ini diskriminatif, bahkan rasis, karena mengabaikan ianfu dari Indonesia, juga negara-negara Asia lainnya, yang mengalami penderitaan sama dengan jumlah yang jauh lebih besar.
“Jelas, ini adalah tindakan dari negara-bangsa pemenang perang untuk melindungi hak asasi manusia dan keamanan pribadi warga negaranya dalam lingkungan kolonial sebagai masalah kepentingan nasional. Ia menggarisbawahi hilangnya hak asasi manusia dari penduduk di bawah kekuasaan kolonial,” tulis Chunghee Sarah Soh, “Japan’s Responsibility Toward Comfort Women Survivors”, dalam JPRI Working Paper No. 77, Mei 2011, dimuat dalam jpri.org.
Nasib ianfu Indonesia, dan negara-negara Asia lainnya, baru diangkat pada 1990-an.*