Pernah menjadi wartawan perang dan penerjemah dalam momen-momen penting sejarah dunia, Sosrokartono yang menguasai banyak bahasa menutup hidup dengan ilmu kebatinan.
KOMPLEKS Departemen Luar Negeri di wilayah Cidodol, Kebayoran Lama, lengang. Hanya beberapa satpam berkeliling. Di ujung sebuah gang, sebuah rumah tampak asri. Pagarnya bercat hijau. Halamannya semarak dengan anggrek dan kuping gajah. Pemiliknya, Sukadiah Pringgohardjoso, mengenakan baju tenun dengan motif Dayak berwarna coklat muda. Rambutnya disanggul rapi. Terkesan anggun.
Sukadiah pernah menjadi duta besar Indonesia untuk Denmark; duta besar perempuan pertama di masa pemerintahan Soeharto. “Kabarnya dulu Pak Joop Ave yang mengusulkan perlunya mengangkat seorang duta besar wanita. Obrolan informal konon terjadi di Tapos, Bogor,” ujarnya.
KOMPLEKS Departemen Luar Negeri di wilayah Cidodol, Kebayoran Lama, lengang. Hanya beberapa satpam berkeliling. Di ujung sebuah gang, sebuah rumah tampak asri. Pagarnya bercat hijau. Halamannya semarak dengan anggrek dan kuping gajah. Pemiliknya, Sukadiah Pringgohardjoso, mengenakan baju tenun dengan motif Dayak berwarna coklat muda. Rambutnya disanggul rapi. Terkesan anggun.
Sukadiah pernah menjadi duta besar Indonesia untuk Denmark; duta besar perempuan pertama di masa pemerintahan Soeharto. “Kabarnya dulu Pak Joop Ave yang mengusulkan perlunya mengangkat seorang duta besar wanita. Obrolan informal konon terjadi di Tapos, Bogor,” ujarnya.
Di hari tuanya, Sukadiah menjadi pembina Yayasan Sosial Budaya Sosrokartono. Pandangan dan pendengarannya mulai menurun di usianya ke-86. Dia didampingi asistennya, Supamiyoto. “Di luar sana banyak perkumpulan dan paguyuban mengatasnamakan Sosrokartono, namun kami mengikuti aturan pemerintah mengenai organisasi kemasyarakatan,” ujarnya.
Yayasan ini awalnya bernama Yayasan Pembina Anak Sehat Sosrokartono, didirikan R. Ng. Soearto Sosrohadikusumo, keponakan Sasrokartono, pada 1983. “Awalnya untuk meneruskan cita-cita Sosrokartono memajukan pendidikan.” Sejak dibangun hingga sekarang, yayasan ini beralamat di Jalan Cendrawasih VI, Cengkareng.
Setelah Sosrohadikusumo meninggal dunia tahun 1994, pengelolaan yayasan beralih ke tangan istrinya, kemudian putrinya, hingga Sukadiah. “Saya bukan keturunan langsung dari keluarga Sosrokartono. Entah kenapa tanggung jawab itu dititipkan kepada saya.”
Mahasiswa Cerdas
Raden Mas Panji Sosrokartono adalah anak keempat dari pasangan Raden Mas Ario Samingun Sosroningrat, bupati Jepara, dengan istri keduanya (garwa ampil), Ngasirah. Ngasirah adalah putri Kyai Modirono, seorang guru agama di Teluk Awur, Jepara. Pasangan ini memiliki delapan anak. Kartono, begitu panggilannya, lahir di Pelemkerep, Mayong, pada 10 April 1877, dua tahun lebih tua dari R.A. Kartini. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebut abangnya sebagai satu-satunya orang yang menaruh simpati terhadap gagasan-gagasannya.
Sebagai anak priayi, Kartono mengenyam pendidikan yang memadai: mulai dari Europeesche Lagere School di Jepara, Hogere Burger School di Semarang, hingga melanjutkan ke Sekolah Teknik Tinggi di Delft, Belanda. Merasa tak cocok, Kartono pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden.
“Sosrokartono adalah generasi pertama orang Indonesia yang bersekolah di negeri Belanda,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah.
Kartono mendapat bimbingan dari guru besar J.H.C. Kern. Atas undangan Kern pula Kartono menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 di Gent, Belgia, pada Agustus 1899. Di kongres dia berpidato dengan judul Het Nederlandsch in Indie (Bahasa Belanda di Indonesia). Dengan nada santun, Kartono mengkritik pemerintah Belanda. Tapi dia juga menunjukkan diri sebagai kawula setia, yang meyakini keberadaan Belanda menguntungkan masyarakat dan penduduk Jawa. Sorak-sorai pun membahana setelah Kartono menutup pidatonya. Menurut Poeze, pidato itu sebagai “penampilan terbuka pertama orang Indonesia di Eropa.”
Karena kemampuannya dalam bahasa Jawa, Kartono membantu G.P. Rouffaer dan H.H. Juynboll menyusun buku De batik-kunst in Nederlandsch- Indie en haar geschiedenis (Seni Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya) tahun 1899 namun baru terbit 1914. Selain Jawa, bahasa ibunya, Kartono juga seorang poliglot. Selama di Leiden, dia belajar banyak bahasa. Dalam Leiden Oriental Connection 1850–1940, W. Otterspeer menyebut setidaknya Kartono menguasai 9 bahasa Timur dan 17 bahasa Barat.
“Sosrokartono tidak hanya menguasai beberapa bahasa tanah air kita, bahasa modern serta Grik (Yunani) dan Latin, dia juga pandai berbahasa Basken, suatu suku bangsa Spanyol. Pernah dia menjadi juru bahasa dalam bahasa itu,” kata Mohammad Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku.
Namun, pendidikan Sosrokartono di Leiden tak berjalan mulus. Pada Maret 1908, dia memperoleh gelar sarjananya. Dia berencana menulis tesis De Middel Javaansche Taal (bahasa Jawa tengahan sebagai bahasa peralihan antara bahasa Jawa kuno dan bahasa Jawa baru). Namun Snouck Hurgronje, yang diangkat sebagai profesor pada 1907, tak menyukainya dan berkata, “Selama di sini saya masih berkuasa, Sosrokartono tak akan dapat menjadi doktor,” ujar Hurgronje.
Tesisnya pun tak rampung. Banyak pihak, terutama sumber dari Indonesia, menuding pandangan Hurgronje yang konservatif sebagai penyebabnya. Sebaliknya, sumber Belanda menyebut ketidakmampuannya melawan godaan kehidupan Barat. Pangeran Jawa ini dikenal suka pesta, bergaul dengan lingkungan bangsawan, pejabat, dan diplomat. Sampai-sampai dia punya utang cukup besar.
Masalah utang ini sempat mengkhawatirkan empat tokoh politik etis Belanda: J.H. Abendanon, C.T. van Deventer, Hazeu, dan Snouck Hurgronje sendiri. Suatu waktu pada 1906, mereka mengundang Kartono makan bersama dengan maksud mengulurkan bantuan, asalkan Kartono mau menyelesaikan tesisnya.
Namun, Kartono menjawab, sebagaimana dikutip Hatta, “Maaf Tuan-tuan yang terhormat, utang itu ialah satu-satunya harta saya. Harta saya yang satu-satunya itu akan Tuan-tuan ambil lagi dari saya.” Watak keras kepalanya mungkin mempengaruhi sikap Hurgronje.
Gagal bikin tesis, Kartono terlibat dalam pembentukan Indische Vereeniging pada 1908. Organisasi ini lebih bersifat sosial, mengurus kepentingan orang-orang Indonesia di Belanda –kelak, menjadi lebih radikal ketika berubah menjadi Perhimpunan Indonesia. Kartono tak begitu aktif dalam organisasi. Dia lebih memilih mencari penghidupan dan memulai pengembaraannya di Eropa.
Wartawan Perang dan Poliglot
Tahun 1917, kala Eropa diguncang Perang Dunia I, koran Amerika The New York Herald Tribune (sekarang menjadi N.Y. Herald Tribunne) di kota Wina, Austria, membuka lowongan kerja untuk posisi wartawan perang. Kartono melamar dan lolos ujian saringan memadatkan berita dalam bahasa Prancis sepanjang satu kolom menjadi 30 kata dalam empat bahasa: Inggris, Spanyol, Rusia, dan Prancis sendiri.
“Agar pekerjaannya lancar dia juga diberi pangkat mayor oleh Panglima Perang Amerika Serikat,” tulis Solichin Salam dalam R.M.P Sosrokartono: Sebuah Biografi.
Dari surat kabar ini, Sosrokartono mendapat gaji sekitar 1.250 dolar. “Dengan gaji sebanyak itu, ia dapat hidup sebagai seorang miliuner di Wina,” tulis Hatta.
Salah satu liputan perang terbaiknya adalah perundingan gencatan senjata antara Sekutu dan Jerman. Perundingan ini menandakan kemenangan Sekutu dan mengakhiri Perang Dunia I –kemudian dikukuhkan melalui Perjanjian Versailles tahun 1919. Perundingan dilakukan di dalam kereta api pada 11 November 1918. Kereta api ini kemudian berhenti di sebuah hutan di daerah Compiegne, Prancis Selatan. Karena bersifat rahasia, lokasi perundingan dijaga hingga radius 1 kilometer. Namun The New York Herald Tribune dapat menurunkan peristiwa bersejarah ini. Pengirimnya memakai kode pengenal “bintang tiga”. Sayangnya, hingga kini liputan Kartono itu sulit ditemukan.
Setelah itu, Kartono punya pekerjaan lain yang mentereng: penerjemah Liga Bangsa-Bangsa, pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dia mengemban jabatan ini selama 1919-1921.
“Pada bulan November 1918, kala PD I berakhir, Sosrokartono dipilih oleh Blok Sekutu sebagai juru bahasa tunggal karena dia satu-satunya pelamar yang memenuhi syarat: ahli bahasa, menguasai bahasa-bahasa di Eropa dan bukan bangsa Eropa,” tulis Solichin. Pada 1919 pula Kartono menjadi atase kebudayaan di Kedutaan Prancis di Den Haag.
Geram arah politik Liga Bangsa-Bangsa yang tak netral, Kartono memutuskan pulang ke tanah air.
Mandor Klungsu Pulang Kampung
Dalam perjalanan, di atas kapal Grotius, Kartono mengirim surat tertanggal 14 Juli 1925 kepada keluarga Abendanon:
“Karena saya tahu tidak akan mendapat pekerjaan dari pemerintah Hindia Belanda maupun pihak pribumi, saya telah menerima tawaran beberapa surat kabar besar di Eropa untuk menulis tentang Jawa dan tidak menulis mengenai politik. Kemudian saya akan menerbitkan harian yang memberi informasi kepada bangsa saya sendiri mengenai situasi di Eropa dan dikerjakan dengan objektif. Lalu saya juga akan mendirikan perpustakaan yang saya beri nama Panti Sastra yang diperuntukkan bagi sesama bangsa saya.”
Di tanah Jawa, satu per satu rencana itu kandas. Beberapa waktu lamanya, dia tak punya pekerjaan. Tawaran menjadi bupati dan direktur museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen ditolaknya. Alasannya, ”Saya mau beristirahat dulu.”
Kartono kemudian menemui Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa. Ki Hajar mengizinkannya membangun perpustakaan di gedung Taman Siswa Bandung dengan nama Darussalam, yang berarti Rumah Kedamaian. Atas prakarsa R.M. Suryodiputro, adik Ki Hajar, dia diangkat menjadi kepala Nationale Middelbare School (Sekolah Menengah Nasional). Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia juga memberi kursus bahasa kepada orang-orang asing. Gerak-geriknya diawasi PID, polisi rahasia Belanda. Pada 1927, dia keluar dari Taman Siswa.
Selang tiga tahun, Kartono mendirikan rumah penyembuhan dengan nama Dar-Oes-Salam, yang berarti Tempat yang Damai, di rumahnya di Jalan Pungkur No. 7 Bandung –sebelum pindah ke Jalan Pungkur No. 19. Kartono menyebut diri Mandor Klungsu –klungsu artinya biji asam. Namun dia punya beberapa nama panggilan: wonderdokter, juragan dokter cai pengeran, dokter alif, Oom Sos, Eyang Sosro, dan Ndoro Sosro.
Arah hidupnya tak berubah tiba-tiba. Sejak usia tiga tahun, Kartono sudah memiliki bakat supranatural. Saat tinggal di Jenewa pada 1920, dia juga berhasil menyembuhkan anak seorang kenalan hanya dengan menempelkan tangan di dahi pasien. Hingga akhir hidupnya, dia dikenal sebagai ahli kebatinan yang sangat dihormati di Bandung. Rumahnya tak pernah sepi pasien. Yang datang termasuk tokoh-tokoh pergerakan seperti Sukarno.
Di masa awal pendudukan Jepang, kesehatan Sosrokartono mengalami kemunduran. Separuh badannya lumpuh. Sosrokartono mangkat pada 8 Februari 1952, tanpa meninggalkan istri dan anak. Dia dimakamkan di Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah. Di nisannya tertulis: “sugih tanpa bandha/ digdaya tanpa aji/ nglurug tanpa bala/ menang tan ngasorake (kaya tanpa harta, sakti tanpa jimat, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan yang dikalahkan). Nama Sastrokartono tak bisa lepas dari ajaran dan falsafah Jawa yang masih dipakai banyak orang.
“Yayasan Sosial Budaya Sosrokartono merupakan implementasi dari kawruh kasunyatan yang dahulu diajarkan Sosrokartono,” ujar Sukadiah merujuk pengertian kebenaran sejati. “Jadi yang terpenting tindakan atau aksi, bukan hanya bicara dan merapal ayat atau mantra.”*