Pentas Penghabisan

Bing Slamet sempat terjatuh saat pentas. Perjalanan hidupnya berakhir karena penyakit lever. Kali ini dia menggantikan tawa dengan air mata.

OLEH:
Budi Setiyono
.
Pentas PenghabisanPentas Penghabisan
cover caption
Massa mengusung peti jenazah Bing Slamet. (Perpusnas RI).

JUNI 1974, kabar duka berembus: Bing Slamet meninggal dunia. Sontak kabar itu menyebar. Beberapa teman dan kerabat Bing berdatangan ke rumah. Tapi rumah Bing sepi. Anak Bing berdiri di depan pintu dengan pandangan mata tak sedap.

Kabar ini juga sampai ke sebuah koran berbahasa Inggris. Mereka segera menghubungi Safari Sinar Sakti Film, perusahaan film yang dibikin Bing. Para pegawai Safari ikut kebingungan.

Kabar tak lucu ini membuat Ratna Kumala Furi, istri Bing, menangis. Ucapan dukacita tak henti mengalir. Sutradara Wim Umboh hampir saja kirim bunga; dia dan istrinya datang menjenguk. Direktorat Film Departemen Penerangan terlanjur mengirim bunga. Begitu sampai, karangan bunga dikembalikan dengan kartu dukacita berubah bunyi jadi: “Bing Slamet segar bugar.”

JUNI 1974, kabar duka berembus: Bing Slamet meninggal dunia. Sontak kabar itu menyebar. Beberapa teman dan kerabat Bing berdatangan ke rumah. Tapi rumah Bing sepi. Anak Bing berdiri di depan pintu dengan pandangan mata tak sedap.

Kabar ini juga sampai ke sebuah koran berbahasa Inggris. Mereka segera menghubungi Safari Sinar Sakti Film, perusahaan film yang dibikin Bing. Para pegawai Safari ikut kebingungan.

Kabar tak lucu ini membuat Ratna Kumala Furi, istri Bing, menangis. Ucapan dukacita tak henti mengalir. Sutradara Wim Umboh hampir saja kirim bunga; dia dan istrinya datang menjenguk. Direktorat Film Departemen Penerangan terlanjur mengirim bunga. Begitu sampai, karangan bunga dikembalikan dengan kartu dukacita berubah bunyi jadi: “Bing Slamet segar bugar.”

Bukan sekali ini gosip semacam itu berembus. Sebelumnya Bing dikabarkan meninggal karena kecelakaan lalu lintas, padahal itu “bulan-bulanan April mop,” tulis Flambojan, 11 Januari 1975.

Bing masih segar bugar kendati sakitnya belum sembuh benar. Dia bahkan baru merilis film Bing Slamet Koboi Cengeng bersama Kwartet Jaya. Namun, toh kabar mengenai kesehatannya bukanlah isapan jempo. Beberapa kalangan tahu kondisi kesehatannya. Bahkan ketika mengisi acara di Tegal, Jawa Tengah, dia jatuh pingsan.

Iring-iringan massa mengantar jenazah Bing Slamet ke pemakaman. (Perpusnas RI).

Terjatuh

Kecemasan menyelimuti personel Kwartet Jaya yang akan menggelar pertunjukan di Tegal pada April 1974. Bing sakit perut dan dia masih merasakannya sampai di Tegal. Edy Sud mengusulkan pertunjukan dibatalkan. Bing menolak, tak mau mengecewakan panitia dan penonton. Kwartet Jaya pun naik pentas.

Di tengah acara, Bing roboh. Sejumlah penonton tertawa –mengira Bing lagi ngebanyol. Kwartet Jaya bergegas menutup acara dan mengirim Bing ke rumah sakit. Dirawat tiga hari, Bing minta pulang ke Jakarta.

Di Jakarta, Bing segera mendapat perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Dr. Robert T.L. Pang, ahli hepatologi Fakultas Kedokteran UI/RSCM, menanganinya. Ulu hati Bing membengkak. Dia bahkan sempat tak sadarkan diri selama beberapa hari. Di bawah pengawasan dr. Pang, kesehatannya berangsur membaik sehingga bisa meninggalkan rumah sakit. Namun, Bing harus menjalani istirahat total. Dia diungsikan ke rumah adiknya di Jl. Dempo. Sesekali dia mengunjungi dr. Pang, yang buka praktik di rumahnya di Jalan Tanah Abang IV/6.

Menurut dr. Pang, tahun 1971 Bing sudah pernah memeriksakan penyakitnya di tempat lain. Hasilnya dia menderita penyakit jantung. Namun, menurut pemeriksaan dr. Pang, Bing mengidap penyakit liver atau hati. “Dia menderita penyakit cirrhosis yang sudah lanjut,” ujarnya, dikutip Tempo, 4 Januari 1975.

Pada bulan September, dr. Pang harus pergi ke luar negeri, menghadiri konferensi kesehatan selama dua bulan. Sebelum berangkat dia berpesan agar Bing menjaga makanan dan kesehatan. Dia juga tak boleh menerima tamu. Namun, keasyikan menikmati lebaran, setelahnya penyakit Bing kambuh lagi. Alih-alih masuk rumah sakit, atas desakan sanak famili, Bing tinggal berpindah-pindah untuk menghindari tamu.

Pada akhirnya dia dibawa ke rumah Edy Sud di Jalan Slamet Riyadi II/1 Jakarta. “Maksudnya agar dia dapat dengan mudah berhubungan dengan kawan-kawannya serta menghindari gangguan para tamu. Tempat ini dirahasiakan sampai akhirnya dia meninggal,” tulis Kompas, 18 Desember 1974.

Kwartet Jaya tak lagi mengajaknya untuk film berikutnya. Bing terkulai lemah di ranjang.

Benyamin Sueb dan Ateng di pemakaman Bing Slamet. (Perpusnas RI).

Lagu Perpisahan

Pada November 1974, TVRI menyajikan acara bertajuk “Lagu dan Pencipta”. Tak seperti biasanya, acara kali ini tak menghadirkan pencipta lagunya ke studio. Di layar hanya tampak profil Bing pada kanvas besar, melatarbelakangi kanvas para penyanyi yang membawakan lagu-lagu ciptaannya.

Di pengujung acara, Bing tampil. Presenter Anita Rahman mewawancarainya di sebuah rumah. Suara Bing pelan, gemetar meski nadanya masih utuh. Wajahnya pucat dan kuyu. Badannya kurus, meski tampak cakap dan bersih. Dalam kondisi semacam ini Bing masih sempat melontarkan banyolannya. “Kepenginnya sih jadi leveransir. Tapi eeeh dapatnya cuma lever doang.” Penonton acara itu tak bisa menahan tawa. Leveransir adalah orang atau perusahaan sebagai agen, distributor, pemasok atau penyalur.

Kehadiran Bing sedikit mengobati kerinduan penggemarnya, meski kecemasan terkait kesehatannya tak sepenuhnya hilang. Misteri Tuhan akhirnya terjawab sudah. Pada 17 Desember 1974, Bing Slamet mengembuskan napas terakhir, dalam usia 47 tahun.

Edy Sud berada di Perusahaan Film Negara, lokasi syuting Ateng Raja Penyamun, ketika sopirnya menyusul dan memberikan kabar. Dia bergegas pulang, tak hirau cambang palsu dan bedak rias masih melekat di tubuh. Ateng dan Iskak menyusul. Titiek Puspa, yang batal terbang ke Singkep, Sumatra, untuk mengisi acara PT Timah, langsung meluncur ke kediaman Bing –dia kemudian menulis sebuah lagu berjudul “Bing”.

Makam Bing Slamet di TPU Karet Bivak. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Dua kiai tak henti-hentinya berzikir. Ratna Kumala Furi menangis tersedu-sedu, menciumi wajah suaminya. Sejumlah kawan Bing berdatangan. Semua orang berduka.

“Berita duka cita tesebut berulang kali disiarkan dalam bentuk stop press oleh hampir semua radio siaran non-RRI, lalu RRI Pusat, juga TVRI,” tulis Sinar Harapan, 18 Desember 1974.

Jenazah dibawa ke rumah Bing di Jalan Arimbi. Keesokan harinya, setelah disembahyangkan, iring-iringan mobil dan motor mengantarkan jenazah ke Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak. Banyak orang, artis maupun orang biasa, pejabat maupun jenderal, mengantar kepergiannya. “Karena saya penggemar beliau, saya ikut ngantar beliau waktu dimakamkan di Karet. Penuh banget. Saya gak masuk,” kenang Indro Warkop, yang kala itu masih remaja.

Rasa kehilangan bergelayut di hati banyak orang. Bing, seniman serba bisa, kali ini menggantikan tawa dan keceriaan dengan airmata.*

Majalah Historia No. 11 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
657ac46f1a84c154f9d6cd6e