Presiden John F. Kennedy menugaskan adiknya, Jaksa Agung Robert F. Kennedy berkunjung ke Indonesia. Hidupnya berakhir tragis seperti kakaknya: mati dibunuh.
Robert F. Kennedy dan istrinya, Ethel Skakel, saat berkunjung ke Indonesia. (ANRI).
Aa
Aa
Aa
Aa
LANGIT Malibu, California, Amerika Serikat mendung di pagi 4 Juni 1968. Meski tak biasa, Senator Robert Kennedy, istrinya Ethel Skakel, dan keenam anaknya tak hirau. Mereka bersantai di kolam renang di rumah sutradara sekaligus produser film John Frankenheimer, menikmati hangatnya udara Samudera Pasifik. Bobby, panggilan akrab Robert Kennedy, butuh melepas penat.
Sejak Maret 1968, Bobby keliling berbagai tempat untuk kampanye pemilu pendahuluan untuk meraih nominasi calon presiden dari Partai Demokrat. Hanya 14 negara bagian yang menghelat pemilu pendahuluan pada 1968. Ia sedang berjuang untuk menduduki kursi di Gedung Putih. Beberapa pihak tak suka dan risau oleh pencalonannya tetapi Bobby terus maju. Pendukungnya di mana-mana.
LANGIT Malibu, California, Amerika Serikat mendung di pagi 4 Juni 1968. Meski tak biasa, Senator Robert Kennedy, istrinya Ethel Skakel, dan keenam anaknya tak hirau. Mereka bersantai di kolam renang di rumah sutradara sekaligus produser film John Frankenheimer, menikmati hangatnya udara Samudera Pasifik. Bobby, panggilan akrab Robert Kennedy, butuh melepas penat.
Sejak Maret 1968, Bobby keliling berbagai tempat untuk kampanye pemilu pendahuluan untuk meraih nominasi calon presiden dari Partai Demokrat. Hanya 14 negara bagian yang menghelat pemilu pendahuluan pada 1968. Ia sedang berjuang untuk menduduki kursi di Gedung Putih. Beberapa pihak tak suka dan risau oleh pencalonannya tetapi Bobby terus maju. Pendukungnya di mana-mana.
Bobby ingin membawa perubahan bagi AS, yang menurutnya dalam bahaya. Platformnya antara lain keadilan ekonomi dan rasial, kebijakan luar negeri nonagresi, desentralisasi kekuasaan, dan perbaikan kehidupan sosial. Dialah yang meredakan kemarahan massa kulit hitam pascapembunuhan Martin Luther King Jr. Dalam pidatonya di Indianapolis pada 4 April 1968, ia berkata: “Apa yang kita butuhkan di AS bukanlah perpecahan, pun bukan kebencian, bukan pula kekerasan ataupun pelanggaran hukum. Tapi cinta dan kearifan, mengasihi satu sama lain, dan keadilan bagi mereka yang masih menderita di negeri ini, tak peduli mereka putih atau hitam.”
Hasil pemilu pendahuluan menggembirakan; Bobby menang di Indiana, Nebraska, dan Oregon. Jalan makin lebar. Ia hanya perlu mendapat kunci kemenangan di California untuk mengalahkan rivalnya, Senator Eugene McCarthy. Dalam pekan terakhir menjelang batas waktu, Bobby makin giat berkeliling. Ia dan timnya bahkan melakukan perjalanan sejauh 1200 mil pada 2–3 Juni 1968. Akibatnya Bobby kelelahan.
“Wajahnya berkerut seperti orang yang dua kali lebih tua dari usianya,” tulis Juliet Ching dalam The Assassination of Robert F. Kennedy.
Meski lelah, Bobby akhirnya menang di California. Ia pun berpidato di depan para pendukungnya yang memadati ballroom Ambassador Hotel, Los Angeles, sesaat setelah tengah malam pada 5 Juni 1968. Ia kemudian menyusuri lorong pantry hotel, mengambil jalan pintas menuju press room. Beberapa mata mengawasinya.
Jaksa Agung Terbaik
Robert Francis Kennedy, anak ketujuh dari pasangan Joseph Patrick Kennedy dan Rose Fitzgerald, lahir di Brookline, Massachusetts, pada 20 November 1925. Sejak kecil ia pekerja keras, seolah ingin membuktikan bahwa ia bisa berbuat sebaik kedua kakaknya, Joseph Jr. dan John Fitzgerald Kennedy yang kelak jadi presiden AS.
Sempat bertugas dalam Angkatan Laut AS, Bobby masuk Harvard. Tak lama setelah lulus, ia berlayar keliling Eropa dan Timur Tengah bersama teman-temannya. Bobby menggunakan waktunya sebagai koresponden Boston Post. Ia mengirim beberapa tulisan. Salah satunya berisi pandangannya tentang ketegangan di Palestina menjelang berakhirnya mandat Inggris. Prediksinya akan terjadi perang antara Arab dan Israel kemudian terbukti pada 1948.
Setelah lulus dari University of Virginia School of Law dan menikah pada 17 Juni 1950, Bobby pindah ke Georgetown, Washington DC. Ia memulai karier sebagai pengacara di Seksi Keamanan Dalam Negeri, Divisi Kriminal Departemen Kehakiman. Ia berhasil menangani kasus penipuan beberapa bulan kemudian ketika dipindahtugaskan ke Brooklyn, New York. Ia juga membongkar korupsi Ketua Serikat Buruh Teamsters Jimmy Hoffa ketika menjadi kepala penasihat Senate Labor Rackets Committee. Bobby membukukan kasus itu dalam The Enemy Within.
“Pekerjaan saya selama tiga tahun terakhir selalu berurusan dengan tirani, korupsi, dan ketidakjujuran di beberapa serikat buruh dan manajemen perburuhan. Ini merupakan wilayah yang saya pernah pelajari dan saya ketahui pasti dan terutama dalam persoalan tersebut, ditambah operasi-operasi internal komite investigasi Kongres, di mana menjadi perhatian utama buku ini,” tulisnya dalam kata pengantar.
Sepanjang kepemimpinannya, penegakan hukum meningkat pesat. Bukan hanya gangster, para penyuap dan anggota sindikat yang melanggar hukum ketar-ketir.
Setelah itu, Bobby memutuskan keluar untuk membantu kampanye pencalonan kakaknya, John F. Kennedy dalam pemilihan presiden. Ketika Kennedy menjadi presiden, Bobby diangkat sebagai jaksa agung. Banyak pihak mengkritik pengangkatan itu lantaran Bobby tak punya pengalaman di pengadilan negara bagian ataupun federal. Tapi Bobby menepis keraguan itu. Sepanjang kepemimpinannya, penegakan hukum meningkat pesat. Perang terhadap kriminalitas begitu kuat. Bukan hanya gangster, para penyuap dan anggota sindikat yang melanggar hukum ketar-ketir.
Bobby juga menjadi salah satu penasihat terpenting presiden, dan ia tahu bagaimana memisahkan tugasnya sebagai jaksa agung dan penasihat presiden. “Robert Kennedy tetap ogah mengizinkan kantornya digunakan untuk tujuan politik,” tulis James Hilty dalam Robert Kennedy: Brother Protector.
Sebagai penasihat, Bobby berperan penting dalam penyelesaian Krisis Teluk Babi, Kuba, maupun potensi konflik lainnya dengan Uni Soviet. Bobby pula yang memberi masukan berharga mengenai sengketa Indonesia-Belanda dalam masalah Irian Barat.
Diplomasi Indonesia
Pada Februari 1962, Robert Kennedy mendarat di Kemayoran, Jakarta. Ia diutus presiden untuk membebaskan Allen Lawrence Pope, tentara bayaran CIA, yang ditangkap Indonesia. Penangkapan Pope, setelah pesawatnya ditembak jatuh pada 1958 ketika membantu pemberontakan PRRI/Permesta, memojokkan AS. Bobby datang bersama istrinya yang cantik.
Sekira setahun sebelumnya, di Washington, Sukarno menawarkan pembebasan Pope kepada Presiden John F. Kennedy dengan harapan memperoleh dukungan AS dalam soal Irian Barat. Namun Kennedy belum menentukan sikap. Sesampai di Jakarta, Bobby menemui Sukarno untuk sekali lagi membebaskan Pope, namun Sukarno masih tetap pada pendiriannya. Bobby sempat keluar ruangan karena emosi. Setelah Bobby minta maaf, Sukarno akhirnya menjamin akan menangani dengan caranya sendiri. “Mereka pun keluar bareng di mana para awak pers menunggu,” tulis Arthur Meier Schlesinger dalam Robert Kennedy and His Times.
Di kemudian hari, Sukarno diam-diam membebaskan Allen Pope karena istri, ibu, dan saudara perempuan Pope menemui Sukarno dan menangis memohon pembebasan Pope.
Selama di Indonesia, Bobby memanfaatkan waktu untuk beragam aktivitas. Ia sempat memberi ceramah di Universitas Indonesia. Dalam sesi tanya jawab, seorang mahasiswa bertanya kenapa AS tak mendukung Indonesia dalam kasus Irian Barat. Bobby menjelaskan pendirian negerinya.
“Kami punya sekutu di seantero dunia, dan kami tak mungkin bisa menyetujui tiap yang mereka perbuat, dan mereka pun tak mungkin menyetujui segala yang kami lakukan. Kita sama-sama negara demokrasi. Kita harus mempunyai fondasi hubungan yang berdasarkan persahabatan,” kata Bobby sebagaimana dikutip Schlesinger.
Bobby menemui Sukarno untuk sekali lagi membebaskan Pope, namun Sukarno masih tetap pada pendiriannya. Bobby sempat keluar ruangan karena emosi.
Bobby juga mengunjungi Bandung selama tiga hari. Priyatna Abdurrasyid menemaninya. “Ia minta tolong supaya kalau ia di Indonesia saya selalu mendampinginya,” ujar Priyatna. Priyatna mengenal Bobby ketika studi di Washington DC. Salah seorang teman mengenalkannya pada Bobby. Banyak kesamaan pandangan di antara keduanya, yang membuat mereka kian akrab. “Ngomongnya ceplas-ceplos,” kenang Priyatna.
Selain jalan-jalan, Bobby ngobrol dan mewawancarai banyak orang dari berbagai kalangan tentang sikap mereka mengenai Irian Barat. Kepada Priyatna, Bobby tanya banyak hal, termasuk kehidupan beragama dan situasi keamanan. “Kita ngobrollah. Jadi saya coba menarik simpatinya,” ujar Priyatna.
Masalah Irian Barat sudah menjadi perdebatan hangat dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Belanda mengecualikan Irian Barat sebagai wilayah Indonesia, delegasi Indonesia sebaliknya. Karena nyaris deadlock, maka diputuskan masalah ini akan diselesaikan dalam satu tahun. Karena pemerintah Belanda tak merealisasikan kesepakatan KMB dan jalur diplomasi buntu, pemerintah Indonesia membatalkan hubungan diplomatik dengan Belanda secara sepihak dengan undang-undang pembatalan KMB pada 1956. Sejak itu, Sukarno giat kampanye merebut Irian Barat, termasuk dengan tekanan militer. Sukarno juga mencoba mendapat dukungan AS.
Dari safarinya ke Indonesia, Bobby memberi masukan bagi pemerintah Kennedy bahwa Indonesia pantas menerima Irian Barat. AS lalu mendesak Belanda. Pada 1 Oktober 1962, melalui New York Agreement, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengambil alih Irian Barat selama tujuh bulan untuk kemudian menyerahkannya kepada Indonesia pada 1 Mei 1963. “Kita boleh berterima kasih kepada Bobby,” ujar Priyatna.
Tragedi Bobby
Pada 22 November 1963, saat melakukan kunjungan ke Dallas, Texas, John F. Kennedy roboh oleh terjangan peluru saat mobil terbuka yang membawanya melintas di kerumunan orang. Bobby terpukul. Banyak yang mengatakan ia berubah. Sembilan bulan kemudian, Bobby keluar dari kabinet dan menjadi senator mewakili New York. Ia mulai terlibat dalam bidang kemanusiaan dengan fokus pada kebijakan luar negeri, antara lain menyerukan penghentian Perang Vietnam.
Bobby menaruh perhatian terhadap masalah rasisme, pendudukan sebuah bangsa, kemiskinan, kelaparan, korupsi, hingga konspirasi. Ia membuat Civil Rights Act pada 1964, yang mengakhiri penerapan Jim Crow Law, undang-undang rasis yang diberlakukan kali pertama pada 1876. Ia juga memperjuangkan penghapusan hukuman mati.
Pada akhirnya, meski sempat tak berniat jadi presiden, Bobby mengambil langkah agar bisa mencalonkan diri dalam pemilihan presiden tahun 1968. Ia menang dalam pemilihan pendahuluan dan jalannya sebagai calon presiden dari Partai Demokrat terbuka lebar.
Namun, setelah berpidato di depan pendukungnya di Ambassador Hotel pada 5 Juni 1968, merayakan kemenangannya, Bobby roboh bersimbah darah ketika menyusuri lorong pantry. Para pengawal dan orang-orang lalu mengerubuti Sirhan Sirhan, imigran asal Palestina berusia 24 tahun, yang masih menembak membabi buta. Bobby langsung dilarikan ke rumah sakit dan meninggal dunia esoknya.
Seperti kematian kakaknya, beragam rumor muncul di seputar kematiannya. Sirhan, yang balas dendam akibat dukungan AS kepada Israel dalam Perang Arab-Israel tahun 1967, bukan pelaku tunggal. Kesaksian Nina Rhodes-Hughes, yang waktu itu berada di tempat kejadian, baru-baru ini di CNN mengindikasikannya. “Apa yang harus dikemukakan adalah, ada penembak lain di kananku,” ujarnya. Revolver Sirhan juga hanya berisi delapan peluru, sementara tembakan yang terdengar lebih dari itu. Belum lagi kesaksian dan temuan lain, seperti adanya gadis bergaun polkadot saat kejadian.
Banyak pihak yang menginginkannya gagal menduduki kursi di Gedung Putih. “Kepresidenan Robert F. Kennedy akan mengancam semua individu maupun kelompok itu,” tulis John H. Davis dalam pengantar buku Philip H. Melanson The Robert F. Kennedy Assassination: New Revelations On The Conspiracy And Cover Up.
Siapa pelaku pembunuh Bobby? Mungkin orang-orang yang pernah dijerat Bobby selama jadi jaksa agung: gangster, mafia, CIA, kekuatan asing, atau pelaku sebenarnya dari pembunuh kakaknya, John F. Kennedy. Membongkar pelaku pembunuhan kakaknya menjadi agendanya jika kelak jadi presiden. Namun, kematian Bobby masih penuh misteri.*