Penyergapan di Bogor Selatan

Tiga perwira Australia dibunuh di perbatasan Bogor-Sukabumi. Pelakunya, dua tentara Jepang buronan utama Sekutu, bunuh diri di penjara.

OLEH:
Hendi Jo
.
Penyergapan di Bogor SelatanPenyergapan di Bogor Selatan
cover caption
Stasiun Maseng, tempat eksekusi Frederick George Birchall oleh kompi Bustomi. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

SEUSAI kekalahan Jepang, situasi Jakarta dan sekitarnya kacau. Sebagai petugas Australian War Crimes Detachment yang menyelidiki kejahatan perang Jepang, Frederick George Birchall yang berpangkat squadron leader (sepadan dengan mayor) tahu bahaya bisa datang kapan saja. Dia sudah mempersiapkan diri.  

Dalam sepucuk surat kepada sepupunya, Tom Francis di Melbourne, Australia pada Maret 1946, Birchall menulis: “Karena itu, aku berusaha belajar mengucapkan (dalam bahasa Indonesia) ‘Hidup Indonesia’ dan beberapa patah kata lain yang senada. Aku juga akan menggambar bendera Australia dengan ukuran besar di kendaraanku… Aku tidak mau mengambil risiko…” Surat Birchall itu kini tersimpan di Australian War Memorial, Canberra.

Namun, manusia hanya bisa berencana. Sebulan kemudian, Birchall yang masih mengenakan seragam Angkatan Udara Australia (RAAF) ditemukan dalam kondisi membusuk di sebuah bukit kecil di dekat Stasiun Maseng, selatan Bogor. Di sekujur tubuhnya terdapat beberapa luka tembak.  

“Dari luka-luka itu, saya perkirakan dia ditembak dari jarak yang sangat dekat,” ujar Priyatna Abdurrasyid, kala itu seorang letnan dari Polisi Tentara (PT) yang ditugaskan Markas Besar Tentara Republik Indonesia (TRI) untuk menemukan Birchall.

SEUSAI kekalahan Jepang, situasi Jakarta dan sekitarnya kacau. Sebagai petugas Australian War Crimes Detachment yang menyelidiki kejahatan perang Jepang, Frederick George Birchall yang berpangkat squadron leader (sepadan dengan mayor) tahu bahaya bisa datang kapan saja. Dia sudah mempersiapkan diri.  

Dalam sepucuk surat kepada sepupunya, Tom Francis di Melbourne, Australia pada Maret 1946, Birchall menulis: “Karena itu, aku berusaha belajar mengucapkan (dalam bahasa Indonesia) ‘Hidup Indonesia’ dan beberapa patah kata lain yang senada. Aku juga akan menggambar bendera Australia dengan ukuran besar di kendaraanku… Aku tidak mau mengambil risiko…” Surat Birchall itu kini tersimpan di Australian War Memorial, Canberra.

Namun, manusia hanya bisa berencana. Sebulan kemudian, Birchall yang masih mengenakan seragam Angkatan Udara Australia (RAAF) ditemukan dalam kondisi membusuk di sebuah bukit kecil di dekat Stasiun Maseng, selatan Bogor. Di sekujur tubuhnya terdapat beberapa luka tembak.  

“Dari luka-luka itu, saya perkirakan dia ditembak dari jarak yang sangat dekat,” ujar Priyatna Abdurrasyid, kala itu seorang letnan dari Polisi Tentara (PT) yang ditugaskan Markas Besar Tentara Republik Indonesia (TRI) untuk menemukan Birchall.

Frederick George Birchall (duduk) di Sandakan menginterogasi serdadu Jepang yang didakwa sebagai penjahat perang. (F.A.C. Burke/Australian War Memorial).

Disergap Pasukan Kawilarang

Perbatasan Bogor-Sukabumi, 17 April 1946. Senja baru saja tiba saat warga di sekitar Caringin dikejutkan suara rentetan senjata yang datang dari arah jalan. Menurut Odah (81), kejadian itu hanya berlangsung singkat dan tidak menimbulkan pertempuran besar yang mengharuskan warga kampung mengungsi. “Saya dengar dari orang-orang dewasa saat itu, katanya ada dua mobil berisi tentara Belanda diserang tentara kita,” ujar Odah, yang kala itu berusia sebelas tahun.  

Dua mobil jip yang disebut milik tentara Belanda itu ternyata berisi rombongan penyelidik Sekutu untuk kejahatan perang Jepang. Mereka terdiri dari empat warga Australia: Squadron Leader F.G. Birchall, Kapten Aliestar McKanzie, Letnan Penerbang Hector Murdoch McDonald, seorang sipil bernama Hanson, serta dua anggota militer Inggris Kapten Collins dan Sersan Bill Williams.  

“Mereka baru saja kembali dari kunjungan ramah tamah dengan penduduk setempat,” ujar Letnan Kolonel R.C. Smith, atasan ketiga perwira Australia itu, dalam sebuah surat belasungkawa kepada ibunda Birchall. Kini surat tersebut menjadi koleksi Nick West, salah satu keponakan Birchall.  

Belakangan diketahui rombongan Sekutu itu disergap kompi Letnan Bustomi Burhanuddin, bagian dari Yon II Resimen TRI Bogor pimpinan Mayor A.E. Kawilarang. Mereka menyangka orang-orang kulit putih tersebut sebagai tentara Belanda yang tengah memata-matai gerak pasukan Kawilarang, seperti dilaporkan beberapa warga setempat.

“Saya sendiri yakin, Bustomi dan pasukannya tidak tahu bahwa yang menjadi korban penyergapan mereka adalah orang-orang Australia,” ujar Kawilarang dalam biografinya Untuk Sang Merah Putih yang ditulis Ramadhan KH.  

Namun, menurut kesaksian para korban penyergapan yang berhasil lolos, Birchall sempat memberitahukan kepada para penyergap bahwa mereka bukan anggota militer Belanda. “Dia sempat berdiri di atas jip dan berteriak (dalam bahasa Inggris): ‘Kami orang Australia!’,” demikian dikutip suratkabar The Canberra Times, 20 April 1946.  

Akibat penyergapan itu, Kapten Aliestar McKanzie dan Letnan Penerbang Hector Murdoch McDonald tewas di tempat. Hanson dan Sersan Bill Williams melarikan diri dengan salah satu mobil dalam kondisi terluka. Kapten Collins berhasil menuju pos tentara Sekutu terdekat setelah sempat dirawat warga setempat. Sementara Birchall diculik kompi Bustomi dan setelah itu nasibnya tak jelas –dia dinyatakan hilang.

Frederick George Birchall (kedua dari kanan) di Pulau Berhala, Kalimantan Utara, 1945. (F.A.C. Burke/Australian War Memorial).

Pencarian Birchall

Militer Indonesia tak tinggal diam. Kapten Musa Harjadiparta, perwira penghubung Republik Indonesia (RI) dengan Inggris dan Belanda, menugaskan Letnan Muda Priyatna Abdurrasyid, anggota Polisi Tentara (PT) Cicurug, untuk melacak keberadaan Birchall. “Komandan Komandemen Mayor Jenderal Didi Kartasasmita menginginkan perwira itu dibawa, dalam kondisi hidup atau mati, terserah…,” ujar Musa.

Menurut Kapten Musa, operasi itu akan menentukan pertaruhan nama Indonesia secara politis di mata internasional, mengingat insiden maut tersebut tengah “dimainkan” Belanda untuk menyerang posisi Indonesia sebagai pemerintah yang didukung para ekstremis. Dengan isu itu pula Belanda coba “mengganggu” hubungan baik Indonesia dengan Australia yang saat itu dikuasai Partai Buruh.

Militer Belanda (dan Inggris) pun bergerak cepat. Mereka mengerahkan pasukan dan telik sandi untuk menemukan Birchall. Priyatna bersaksi, setelah kejadian penyergapan tersebut, hampir tiap hari puluhan tank dan ratusan tentara berseliweran di antara Caringin dan Stasiun Maseng. “Seolah ada perlombaan saling cepat untuk menemukan Birchall antara kami (TRI) serta pihak militer Inggris dan Belanda,” ujar tentara yang kemudian banting setir ke dunia akademis itu.  

Untuk menemukan Birchall, Priyatna menyisiri jalur sekitar Cicurug, Cigombong, Caringin, dan Maseng. Upaya itu tak sia-sia. Dalam penyisiran dia menemukan dua warga Maseng yang menyaksikan kompi Bustomi mengeksekusi mati Birchall. “Kata mereka, pelakunya adalah dua orang Jepang dan tiga orang Indonesia,” ujar Priyatna.  

Rupanya setelah melakukan penyergapan dan menawan Birchall, kompi Bustomi sempat menginterogasi. Mengetahui Birchall adalah perwira Sekutu yang ditugaskan mencari para penjahat perang, dua orang mantan tentara Jepang yang membelot dan bergabung dengan kompi Bustomi meradang. Dibantu tiga orang Indonesia, keduanya kemudian mengeksekusi Birchall dan merampas dokumen-dokumen yang ada padanya.  

“Dokumen-dokumen tersebut diberikan kepada saya oleh Bustomi dan saya sempat membacanya. Sejak itu saya tahu kalau orang yang ditembak mati tersebut adalah Squadron Leader Birchall,” ujar Kawilarang.  

Usai dieksekusi, mayat Birchall lantas ditanam di sebuah bukit kecil yang bersebelahan dengan Stasiun Maseng. Menurut warga Maseng, bukit kecil itu merupakan hutan-kebun yang ditumbuhi berbagai macam buah-buahan. “Yang punya namanya Haji Miin, tuan tanah di sini,” ujar Haji Yani, salah seorang sesepuh Kampung Maseng.

Suatu siang, 21 April 1946, ditemani dua warga Maseng yang diperintahkan Letnan Bustomi untuk mengubur jasad Birchall, Priyatna bergegas ke tempat itu. Namun, masalah muncul: Stasiun Maseng dan sekitarnya diawasi militer Inggris dan Belanda. Dari informasi mata-mata mereka, militer Inggris dan Belanda sudah mencium keberadaan kuburan Birchall di sekitar Stasiun Maseng. “Itu dibuktikan dengan pengerahan tank, panser, serta ratusan tentara yang berjaga di sekitar stasiun,” ujar Priyatna.  

Priyatna baru bisa mendekat ke lokasi menjelang magrib, setelah pasukan Inggris-Belanda yang berjaga di sekitar Stasiun Maseng pergi. Secara diam-diam, mereka bertiga menggali kuburan. Jasad Birchall yang masih mengenakan seragam tentara Australia, sudah membengkak dan berbau busuk. “Setelah dibungkus dengan tikar dan daun pisang, kami membawa jasad Birchall ke Stasiun Maseng dan dengan kereta api barang langsung menuju Bogor,” kenang Priyatna.

Beberapa kilometer menjelang Bogor, kereta api yang mengangkut jasad Birchall dihentikan. Di sana telah menunggu para petugas Palang Merah Indonesia (PMI). Selanjutnya, jasad Birchall diserahkan secara resmi oleh wakil Pemerintah Republik Indonesia kepada pihak perwakilan Australia di Jakarta.  

“Pada 22 April 1946, dilakukan upacara penguburan Birchall di Pemakaman Petamburan, Jakarta, di mana hadir Menteri [Penerangan Mohammad] Natsir sebagai perwakilan dari pihak Republik…,” demikian disebutkan A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia (Jilid2): Diplomasi atau Bertempur.

Priyatna Abdurrasyid. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Motif Pembunuhan

Tak pernah ada kejelasan apa sebenarnya motif di balik penyergapan dan pembunuhan tersebut. Secara resmi, pemerintah Indonesia mengecam insiden itu dan menolak keterlibatan TRI di dalamnya. “Saya menganggap itu sebagai suatu pembunuhan keji dan tidak ada sama sekali kehadiran tentara Indonesia di area terjadinya insiden tersebut,” ujar Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin dikutip The Sydney Morning Herald, 22 April 1946.

Namun, sebagai wujud niat baik Indonesia, Perdana Menteri Sutan Sjahrir memerintahkan pembentukan tim khusus untuk menyelidiki kasus tersebut. Setelah sepuluh hari bekerja, pada 3 Mei 1946 tim penyelidik mengumumkan bahwa pelaku utama penyergapan dan pembunuhan itu adalah dua orang Jepang (Nishida dan Karta) dibantu tiga orang Indonesia.  

“Pembunuhan yang mereka lakukan bertujuan untuk mendapatkan daftar-daftar dan gambar-gambar penjahat perang yang ada pada ketiga opsir Australia itu,” tulis A.H. Nasution.  

Penjelasan Nasution itu berkelindan dengan pendapat sejarawan Des Alwi yang pernah disampaikan kepada Priyatna pada suatu hari. Menurut Des, sesungguhnya kedua orang Jepang itu merupakan buronan utama Sekutu sejak mereka melarikan diri dari Ambon. “Kata Des, di Ambon, dua orang Jepang itu terlibat dalam pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap warga Australia, Inggris, dan Amerika,” ujar Priyatna.  

Kendati menghargai “kejujuran dan niat baik” Indonesia, diam-diam pemerintah Australia menyangsikan tidak adanya keterlibatan unsur-unsur tentara Indonesia dalam insiden itu. Dalam telegram rahasianya kepada Departemen Luar Negeri Australia, perwakilan Australia A.D. Brookes menyebut klarifikasi pemerintah Indonesia itu omong kosong. “Dalam serangan terhadap konvoi itu, sebuah unit TRI ikut serta di dalamnya,” tulis Brookes seperti tercantum dalam Historical Documents, Department of External Affairs, 1946, January-June, Vo. 9, No. 204.

Kecurigaan pemerintah Australia sebetulnya tak bertepuk sebelah tangan. Terlebih jika mengacu pernyatan Kawilarang dalam biografinya. Kendati meyakini kasus itu semata-mata “kecelakaan perang” dan tak ada faktor kesengajaan dari kompi Bustomi, Kawilarang mengakui keterlibatan TRI. Namun, sebagai bawahan, Kawilarang tentu tak bisa berbuat apa-apa. Alih-alih melawan kebijakan pusat, dia dengan “terpaksa” menyerahkan lima anak buahnya yang terlibat –termasuk dua mantan prajurit Jepang– kepada pemerintah untuk diadili.  

Kelima tentara itu dijebloskan ke penjara. Namun, belum juga dihadapkan ke pengadilan, dua orang Jepang (yang dituduh sebagai pelaku utama) tewas di dalam penjara militer Purwakarta. Penyebabnya, ledakan granat yang konon mereka lemparkan sendiri ke dinding sel tahanan.  

“Bisa jadi ada orang yang sengaja memberikan granat sehingga dua orang Jepang tersebut bisa bunuh diri,” ujar Priyatna, yang memimpin pemindahan dua orang Jepang itu dari Sukabumi ke Purwakarta.  

Lantas, bagaimana nasib tiga tentara Indonesia? Belum ada sumber maupun dokumen yang menyebutkan nasib mereka. Maka, hingga kini, kasus ini diselimuti kabut misteri.*

Majalah Historia No. 28 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
661a7bcdc913ee9f0b076450