Kisah tragis pernikahan raja Majapahit dengan putri Sunda yang melayang di tanah lapang Bubat. Apakah Perang Bubat peristiwa historis atau legenda belaka?
Peta perjalanan pasukan kerajaan Sunda ke Majapahit dalam Perang Bubat karya Aan Merdeka Permana.
Aa
Aa
Aa
Aa
BHRE Prabu Hayam Wuruk yang menghendaki putri Sunda mengutus Patih Madhu, seorang mantri senior, untuk mengundang pihak Sunda. Tak keberatan jadi besan, datanglah Raja Sunda Prabu Maharaja ke Majapahit. Alih-alih diterima dengan pesta menyambutan, mereka menghadapi sikap keras Mahapatih Gajah Mada yang menghendaki putri Sunda sebagai persembahan. Pihak Sunda tak setuju dan bertekad perang.
Gajah Mada memberi tahu perilaku orang Sunda. Bra Prameswara dari Wengker menyatakan siap bertempur. Maka, pasukan Majapahit mengepung orang-orang Sunda. Tak mau menyerah, orang-orang Sunda memilih mempertaruhkan nyawa. Pertempuran tak terelakkan. Sorak-sorai bergemuruh ditingkahi bunyi reyong. Raja Sunda, Prabu Maharaja, meregang nyawa paling awal.
BHRE Prabu Hayam Wuruk yang menghendaki putri Sunda mengutus Patih Madhu, seorang mantri senior, untuk mengundang pihak Sunda. Tak keberatan jadi besan, datanglah Raja Sunda Prabu Maharaja ke Majapahit. Alih-alih diterima dengan pesta menyambutan, mereka menghadapi sikap keras Mahapatih Gajah Mada yang menghendaki putri Sunda sebagai persembahan. Pihak Sunda tak setuju dan bertekad perang.
Gajah Mada memberi tahu perilaku orang Sunda. Bra Prameswara dari Wengker menyatakan siap bertempur. Maka, pasukan Majapahit mengepung orang-orang Sunda. Tak mau menyerah, orang-orang Sunda memilih mempertaruhkan nyawa. Pertempuran tak terelakkan. Sorak-sorai bergemuruh ditingkahi bunyi reyong. Raja Sunda, Prabu Maharaja, meregang nyawa paling awal.
Bra Prameswara datang ke Bubat, tak tahu masih banyak orang Sunda yang belum gugur. Tak ayal pasukannya mendapat serangan dan porak-poranda. Namun ia segera melakukan serangan balasan.
Karena terdesak, para menak menyerang ke arah selatan. Pasukan Majapahit yang menahan serangan memperoleh kemenangan. Pihak Sunda yang menyerang ke barat daya pun tewas. Seperti lautan darah dan gunung bangkai. Orang Sunda tiada tersisa pada tahun 1297 Saka (1375 M).
Demikian Pasunda-Bubat atau dikenal dengan Perang Bubat yang tersua dalam satu segmen kitab Pararaton. Pararaton, tak diketahui siapa penulisnya, disusun berupa kronik sekitar 1474–1486, sedangkan bagian sastra sejarahnya antara 1500–1613. Naskah ini kali pertama diterbitkan J.L.A. Brandes, filolog asal Belanda, pada 1896 lengkap dengan terjemahan, catatan-catatan, dan komentar.
Akibat Peristiwa Bubat, pernikahan antara Bhre Prabu Hayam Wuruk dan putri Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi, batal. Bahkan sang putri gugur di tanah lapang Bubat. Setelah peristiwa itu, Pararaton menyebut Hayam Wuruk menikah dengan Indudewi (Paduka Sori). Adapun Gajah Mada amukti palapa atau berhenti menjabat sebagai mahapatih.
Menariknya, Nagarakretagama karya Mpu Prapanca, yang dianggap sebagai “buku babon” mengenai sejarah Majapahit, tak mengemukakan peristiwa itu. “Agaknya ini disengaja oleh Prapanca, karena peristiwa tersebut tidak menunjang kepada kebesaran kerajaan Majapahit, dan bahkan dapat dianggap sebagai kegagalan politik Gajah Mada untuk menundukkan Sunda,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II.
Kendati diyakini khalayak, peristiwa Perang Bubat masih terselubung misteri.
Hubungan Majapahit-Sunda
Kerajaan Sunda merupakan wilayah yang unik bagi Majapahit. Ia kerajaan bebas-merdeka namun berada di pulau yang sama, Jawadwipa. Penduduknya tidak terpengaruh berbagai peperangan dan kerusuhan yang terus-menerus terjadi di Jawa Timur sejak zaman Airlangga, Janggala-Panjalu, Kadiri, Singhasari, hingga masa Tribhuwanattunggadewi.
“Hubungan mereka secara politik baik-baik saja. Sunda bukanlah daerah vasal yang harus tunduk kepada Majapahit dan mengakui raja Majapahit sebagai penguasa yang harus dipertuannya,” ujar Agus Aris Munandar, guru besar arkeologi Universitas Indonesia.
Pada abad ke-14, di masa Hayam Wuruk, Majapahit mencapai puncak keemasan. Pengaruhnya begitu luas. Ia juga menjalin hubungan kerja sama menguntungkan dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Sebagai kerajaan agraris, Majapahit berkepentingan memasarkan hasil bumi yang melimpah ke luar wilayahnya dan melindungi daerah-daerah tersebut demi kelangsungan kerja sama regional, khususnya di bidang ekonomi, termasuk dengan kerajaan Sunda.
“Kerajaan Sunda merupakan mitra satata atau berkedudukan sama dengan Majapahit. Kedua kerajaan dipersatukan dalam kerja sama regional dalam bidang ekonomi,” ujar Hassan Djafar, ahli epigrafi.
Hubungan itu akan diperteguh melalui perkawinan Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka. Hal itu murni hubungan kisah cinta di antara keduanya. Namun, rencana itu gagal.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Gajah Mada hanya perpanjangan tangan orang tua Hayam Wuruk yang khawatir kedudukan permaisuri Majapahit jatuh ke tangan Dyah Pitaloka.</div>
Berbeda dari versi umum yang mengaitkannya dengan ambisi Gajah Mada, Agus Aris Munandar membuat penafsiran baru berdasarkan kisah Panji Angreni, yang ditulis pada 1801 atas perintah Pangeran Adimanggala di Palembang. Menurutnya, Gajah Mada semula setuju dengan perkawinan itu, sebuah upaya mempersatukan Majapahit dan Sunda tanpa peperangan.
Namun, ayahanda Hayam Wuruk, Krtawarddhana, suami Tribhuwanattunggadewi, yang disebut sebagai penguasa Kahuripan, keberatan dengan perkawinan itu. Terlebih Hayam Wuruk telah dijodohkan dengan Indudewi, anak Rajadewi Maharajasa, adik Tribuwana, yang berkedudukan di Daha, Kadiri. Maka, Krtawarddhana memerintahkan Gajah Mada untuk membatalkan perkawinan tersebut.
“Gajah Mada hanya perpanjangan tangan orang tua Hayam Wuruk yang khawatir kedudukan permaisuri Majapahit jatuh ke tangan Dyah Pitaloka,” ujar Agus. Maka, meletuslah peristiwa Perang Bubat.
Bubat adalah nama sebuah tempat di Majapahit. Negarakrtagama menyebut Bubat sebagai padang rumput di sebelah utara kediaman kerajaan, yang digunakan untuk acara olahraga tahunan. Sementara Kidung Sunda menyebutnya sebuah pelabuhan-sungai dari ibu kota Majapahit.
Nigel Bullough, seorang naturalis asal Inggris yang berganti nama jadi Hadi Sidomulya, dalam Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca menyebut Bubat berada di sebelah selatan kali Brantas, mungkin desa Tempuran –dahulu 10 km di sebelah utara Majapahit dan sekitar 8 km barat daya pelabuhan di Canggu. Tapi apakah Perang Bubat adalah peristiwa historis, sebagaimana dikisahkan Pararaton, sebagian arkeolog dan ahli sejarah kuno masih meragukannya.
Pararaton sendiri sebagai sumber awal mengenai peristiwa itu diragukan keakuratannya. Dari hasil pembacaan ulang atas teks Pararaton, Agung Kriswantoro, filolog Perpustakaan Nasional RI, dalam Pararaton, Alih Aksara dan Terjemahan menyebut data sejarah di dalam Pararaton sangat mungkin menyimpang dari sumber data primer. Hal ini disebabkan waktu penulisan teks dilakukan jauh setelah peristiwa sebenarnya terjadi.
Menurut Hassan Djafar, sumber sejarah tentang Perang Bubat amat terbatas. Bahkan hingga kini tak ada satu pun dari sekira 50 prasasti yang berasal dari masa kerajaan Majapahit dan sekira 30 prasasti dari masa kerajaan Sunda yang menyebutkan, apalagi menguraikan, peristiwa tersebut. Yang ada hanya sumber-sumber tertulis berupa naskah atau manuskrip.
Edi Sedyawati, guru besar arkeologi Universitas Indonesia, membuat perkiraan lebih jauh. Ia menyebut, “Peristiwa Bubat tidak lebih dari sisipan penyalin Pararaton, atau malahan tambahan orang Belanda pertama yang menelitinya.”
Teks Sunda
Kendati masyarakat Sunda tak bisa menghapus ingatan akan Perang Bubat, tak ada karya sastra Sunda yang merekam peristiwa tragis itu. Baru pada abad ke-16 muncul Carita Parahiyangan, salah satu naskah Sunda kuna yang unicum (satu-satunya). Teks ini pun hanya memberi sepenggal informasi.
“Bisa dipahami kenapa Carita Parahiyangan tidak menyebutkan secara rinci tragedi di Bubat. Bagi masyarakat Sunda kuna, Perang Bubat pastinya merupakan peristiwa yang menyedihkan,” ujar Agus. Dalam teks, putri Sunda disebut sebagai Tohaan atau yang dihormati.
Lalu, pada abad ke-20, C.C. Berg, sejarawan Belanda, menerbitkan teks dan terjemahan Kidung Sunda (1927) yang mengurai Peristiwa Bubat dan versi yang lebih pendek Kidung Sundayana (1928). Dalam Penulisan Sejarah Jawa, Berg menyebut Kidung Sunda mengandung fakta-fakta sejarah karena kejadian itu diperkuat tulisan Sunda kuna, Cerita Parahyangan. Berg pun menyimpulkan, “dalam Kidung Sunda kita harus melihat endapan sastra dari cerita-cerita rakyat yang turun-temurun dan dalam fragmen Pararaton yang bertema sama itu...”
Berbeda dari Pararaton, teks-teks Sunda menyajikan sudut pandang berbeda dan menampilkan deskripsi yang lebih dramatis dan sentimentil mengenai Perang Bubat. Ia menyebut bahwa putri Prabu Maharaja ingin menikah dengan orang penting, bukan orang Sunda. Karenanya, “orang-orang pergi ke Jawa” dan mengakibatkan pertempuran di Majapahit. Ia juga menyalahkan Gajah Mada sebagai biang keladi peristiwa itu dan akibatnya Gajah Mada dibenci keluarga istana Majapahit. Sementara Hayam Wuruk yang digambarkan bersedih hati kehilangan kekasihnya tak lama kemudian menyusul ke alam baka.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Berbeda dari Pararaton, teks-teks Sunda menyajikan sudut pandang berbeda dan menampilkan deskripsi yang lebih dramatis dan sentimentil mengenai Perang Bubat.</div>
Kenapa ada deskripsi berbeda dari sebuah peristiwa sejarah yang sama? Wim van Zanten menyoroti hubungan antara orang Sunda dan Jawa. Menurutnya, kala itu orang Sunda berada dalam posisi minoritas. “Mereka mengagumi budaya Jawa dan mengadopsi beberapa aspek budaya Jawa... Pada saat bersamaan, orang Sunda selalu berusaha, dengan beberapa ukuran keberhasilan, untuk tetap independen dari Jawa,” tulis Wim Van Zanten dalam “The Poetry of Tembang Sunda”, dimuat Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 140, 2de/3de Afl. (1984).
Contoh menarik bisa dilihat pada perjalanan penyair kelana dari Pakwan, Bujangga Manik, ke Jawa, termasuk wilayah Majapahit, sekira akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. “Kisah Bujangga Manik menunjukkan bahwa budaya Jawa dan lembaga Jawa dianggap orang Sunda sebagai sumber utama pendidikan mereka yang lebih tinggi di bidang agama, dan pergi ke timur adalah hal yang wajar untuk dilakukan untuk seorang pemuda Sunda yang ingin memperoleh pengetahuan dan pembelajaran,” tulis J. Noorduyn dalam “Bujangga Manik’s Journeys through Java: Topographical Data from An Old Sundanese Source”, dimuat Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 138, 4de Afl. (1982). “Perjalanan Bujangga Manik mewakili masa pembelajarannya. Ia pulang setelah pembelajarannya selesai.”
Namun, sama seperti Pararaton, sejumlah ahli meragukan teks-teks Sunda tersebut. Aminuddin Kasdi, sejarawan Universitas Negeri Surabaya, dalam “Aspek-Aspek Historis Pa Sunda (Perang Bubat 1357)” menyebut bahwa sebagai sumber sejarah, Kidung Sunda, merupakan sumber sekunder, bahkan tersier. Berbagai fakta sejarah di dalamnya tidak sesuai dengan sumber-sumber lain yang lebih kredibel seperti prasasti. Perlu diperhatikan pula bahwa pada abad ke-19, kurun waktu penulisan Kidung Sunda, merupakan masa munculnya beberapa karya sastra kontroversial.
Edi Sedyawati bahkan menyoroti peran pemerintah kolonial Belanda dalam memperkenalkan Perang Bubat kepada khalayak. “Oleh pemerintah Belanda, Kidung Sunda dijadikan bahan ajar bagi siswa di Algemeene Middelbare School (AMS). Mengapa tidak menggunakan karya sastra yang lebih dikenal seperti Ramayana dan Bharatayudha. Ada kepentingan Belanda di dalamnya,” ujar Edi Sedyawati, mengaitkan terbitnya teks-teks Sunda tersebut yang dekat dengan peristiwa Sumpah Pemuda.
Maka, setelah ibu kota kerajaan Majapahit, Pasunda-Bubat atau Perang Bubat menjadi misteri berikutnya yang butuh dipecahkan. Karena peristiwa itu kadung tertanam dalam ingatan kolektif masyarakat.*
Tulisan ini telah dimuat di majalah Historia No. 21 Tahun II 2015.