Kapal-kapal VOC sedang berlabuh di pelabuhan Amsterdam, 1600. (gahetna.nl).
Aa
Aa
Aa
Aa
RAHASIA besar orang Portugis bocor. Jan Huygen van Linschoten, seorang pegawai berkebangsaan Belanda di maskapai dagang Portugis, menyebar informasi tentang rute pelayaran, kekuatan dan arah angin, pelabuhan, dan koloni Portugis. Semua tersua dalam dua buku Jan Huygen: Travel Journal of the Navigation by the Portuguese and Orients terbit pada 1595 dan Itenario terbit pada 1596.
Buku Jan Huygen van Linchosten membuka peluang pedagang Belanda menuju Kepulauan Rempah. Selama bertahun-tahun, pedagang Belanda kalah bersaing dari pedagang Portugis dan Spanyol dalam perburuan rempah. Salah satu penyebabnya mereka kurang pengetahuan navigasi.
Pelayaran awal orang Belanda menuju kepulauan rempah biasanya melalui jalur Lautan Utara. Tujuannya agar mereka tak bertemu dengan orang Portugis dan Inggris. Tapi hasil pelayaran mereka mengecewakan. Dari buku Jan Huygen, mereka sadar harus berlayar melalui rute selatan di sepanjang Afrika Selatan (Tanjung Harapan). Ini berarti mereka bakal bertemu Portugis.
RAHASIA besar orang Portugis bocor. Jan Huygen van Linschoten, seorang pegawai berkebangsaan Belanda di maskapai dagang Portugis, menyebar informasi tentang rute pelayaran, kekuatan dan arah angin, pelabuhan, dan koloni Portugis. Semua tersua dalam dua buku Jan Huygen: Travel Journal of the Navigation by the Portuguese and Orients terbit pada 1595 dan Itenario terbit pada 1596.
Buku Jan Huygen van Linchosten membuka peluang pedagang Belanda menuju Kepulauan Rempah. Selama bertahun-tahun, pedagang Belanda kalah bersaing dari pedagang Portugis dan Spanyol dalam perburuan rempah. Salah satu penyebabnya mereka kurang pengetahuan navigasi.
Pelayaran awal orang Belanda menuju kepulauan rempah biasanya melalui jalur Lautan Utara. Tujuannya agar mereka tak bertemu dengan orang Portugis dan Inggris. Tapi hasil pelayaran mereka mengecewakan. Dari buku Jan Huygen, mereka sadar harus berlayar melalui rute selatan di sepanjang Afrika Selatan (Tanjung Harapan). Ini berarti mereka bakal bertemu Portugis.
Periode sebelum berdirinya VOC seringkali disebut masa voor compagnien. Semasa itulah banyak perusahaan-perusahaan dagang Belanda berlomba-lomba mencari jalan menuju kepulauan rempah-rempah. Adalah Cornelis de Houtman yang pertama kali berhasil menelusuri jalur menuju Nusantara berbekal informasi van Linchosten. Dalam buku pelajaran sejarah umum diketahui bahwa Houtman menjadi orang Belanda pertama yang menjejakan kakiknya di Banten pada Juni 1596 (sumber lain menyebutkan tanggal 23 Juli 1595).
Terdorong keberhasilan Cornelis de Houtman menembus Banten, Oude Compagnie van Verre mengutus Laksamana Jacob van Neck untuk memimpin ekspedisi kedua menuju Nusantara pada 1598. Dia memimpin delapan kapal dan tiba di Banten pada 25 November 1598. Sebagian kapal mengakhiri perjalanannya di Banten, sebagian lain meneruskan ke timur Nusantara di mana rempah dihasilkan.
“Satu skuadron yang terdiri dari empat kapal di bawah komando bersama dari Laksamana Muda Wijbrand van Warwijck dan Jacob van Heemskerk mengikuti jejak orang Portugis lebih jauh ke timur,” tulis Willard A. Hanna dalam Kepulauan Banda: Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala. Wijbrand ke Hitu, Ambon, sedangkan Jacob ke Banda.
Setelah menempuh perjalanan panjang dari kepulauan Banda, pada 27 Juli 1599 armada kapal pimpinan Jacob van Neck berhasil tiba kembali di Amsterdam. Menurut Janny Venema dalam Kiliaen van Rensselaer (1598-1643): Designing a New World, warga Amsterdam menyambut mereka bak pahlawan pulang dari medan perang. Lonceng gereja berdentang tiada henti dan berbotol anggur disajikan untuk para awak kapal yang berhasil membawa 272.155 kilogram merica, 133.398 kilogram cengkeh, 9.071 kilogram biji pala, 907 kilogram lawang dan 45 kilogram lada panjang itu.
Meilink-Roeloefz dalam “A Comparative Study of the Administration and Trade of the Dutch and English Trading Companies in Asia during the first half of the 17th century” termuat di Dutch Authors on Asian History, menyebut keberhasilan ini tak lepas dari perkembangan pengetahuan navigasi orang Belanda. “Orang Belanda dan Inggris semula hanya memperoleh informasi navigasi dari orang Portugis dan Spanyol. Tapi kemudian mereka mengembangkannya melalui penemuan sendiri.”
“Kesuksesan tersebut mendorong Oude Compagnie van Verre (perusahaan dagang sebelum VOC, red.) kembali mengirimkan kapal yang sama pada Desember 1599: empat kapal di bawah pimpinan Laksamana Muda Jacob Willekens, yang masih bagian dari sepuluh kapal armada Laksamana Jacob van Neck,” tulis Janny Vanema.
Namun, misi dagang orang-orang Belanda ke Nusantara tak semulus sebelumnya. Mereka harus menghadapi para pesaing utama, salah satunya Inggris yang lebih pandai mengambil hati penduduk lokal. Bahkan di Pulau Run dan Ai, tak jauh dari Pulau Banda, para pedagang Inggris di bawah bendera East India Company (EIC) bisa lebih diterima oleh para penguasa lokal.
Lukisan kapal Earl of Abergavenny dari EIC di lepas pantai Southsea, 1801, karya Thomas Luny. (British Library/blogs.bl.uk).
Benturan dengan Inggris
Armada kapal EIC tiba di kedua pulau itu pada 1601. Setibanya di sana, mereka memberikan tawaran bagus untuk penduduk: membeli rempah lebih mahal dan menjual dagangan mereka bawa lebih murah. Agaknya EIC belajar dari pameo klasik, “Dalam soal dagang, kesalahan orang Belanda ialah memberi terlalu sedikit, dan meminta terlalu banyak,” tulis Willard Hanna. Hasilnya, penduduk lebih menerima kehadiran orang-orang Inggris ketimbang orang Belanda.
Mendengar ihwal tak sedap mengenai sepak terjang EIC, Heeren Zeventien, para pemilik saham VOC, mengirim rombongan van Der Hagen ke Banda pada 1605. Van der Hagen memimpin 13 kapal dan 1500 awak. “Panglima tersebut membawa perintah khusus dari Heeren XVII untuk mengusir orang-orang Portugis dan Inggris dari Maluku,” tulis Willard Hanna. Pengusiran bertujuan untuk menegakkan monopoli atas pasar rempah di Nusantara.
“Sejak berdirinya, VOC sudah mempersiapkan diri untuk peperangan, terutama melawan musuh-musuhnya di Eropa. Pertama melawan Portugis dan Spanyol, setelah itu EIC,” kata Mohammad Iskandar, pengajar Sejarah Ekonomi Bisnis pada Jurusan Sejarah Universitas Indonesia.
EIC bertekad mempertahankan kedudukannya di Pulau Run dan Ai dengan cara apapun, baik berunding maupun berperang. VOC dan EIC sempat berunding beberapa kali. Mereka tak percaya satu sama lain. Masing-masing juga tak mau meninggalkan Banda. Perundingan berakhir tanpa kesepakatan. Petinggi VOC memutuskan menggunakan kekerasan dengan menyerang empat kapal Inggris pada 1617 dan 1618.
Kalah armada dan logistik dari VOC, EIC menjalin hubungan baik dengan penguasa lokal. “EIC telah menyuplai senjata kepada penguasa lokal,” tulis Robert Parthesius dalam Dutch Ships in Tropical Waters. Sementara VOC gagal merawat hubungannya dengan penguasa lokal. Perjanjian VOC dengan penguasa lokal kerap bermasalah. EIC memanfaatkan celah ini.
“Di mana pun Belanda mengalami kesulitan dengan orang Indonesia, orang Britania berlagak menjadi sahabat baik untuk ‘penduduk asli tertindas yang malang’, menyarankan kepada mereka untuk mengakui kedaulatan raja Inggris sebagai perlindungan terbaik dari ‘Belanda yang jahat’,” tulis Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia.
Musuh VOC bertambah. Bukan hanya EIC, melainkan juga penguasa lokal. Maka Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC pada 1619, berkeyakinan VOC harus melenyapkan dua pihak sekaligus demi kelancaran bisnis perusahaan. “Perdagangan mustahil terjaga tanpa perang. Sebaliknya, tak ada kemunculan perang tanpa perdagangan,” kata Coen, dikutip James D. Tracy dalam The Political Economy of Merchant Empires.
Coen menyerang Banda pada Maret 1620 tanpa menunggu persetujuan Heeren Zeventien. Sebab, Gubernur Jenderal VOC memiliki kekuasaan lebih independen ketimbang Gubernur Jenderal EIC. EIC dan penguasa lokal bersusah payah menahan gempuran armada Coen. Saat EIC dan penguasa lokal terdesak, utusan VOC dan EIC tiba di Banda. Mereka datang dari London dengan menempuh perjalanan selama sembilan bulan. Tujuannya mengabarkan bahwa Heeren Zeventien dan Gentlemen Adventurers (para direktur EIC) telah bersepakat pada 17 Juli 1619 untuk membangun kartel.
“Kesepakatan 1619 memutuskan EIC boleh mengambil sepertiga perdagangan rempah di Maluku, Banda, dan Ambon. Sementara untuk perdagangan lada di Jawa, EIC berhak atas setengahnya,” tulis Femme S. Gaastra dalam “War, Competition, and Collaboration” termuat di The World of the East India Company editan H.V. Bowen dkk.
Coen mengabaikan kesepakatan itu. Dia menyebut Heeren Zeventien pengecut dan telah menjual diri pada Gentleman Adventurers. “Orang Inggris sebagai musuh, pikir Coen, lebih mudah ditangani daripada orang Inggris sebagai sekutu,” tulis Willard Hanna. Maka, dia terus menyerang. Serangan Coen, menurut Willard Hanna, menyebabkan ratusan penduduk Pulau Run dan Ai serta puluhan pegawai EIC gugur dalam perang. Beberapa lainnya mati di tiang gantung dan pedang algojo Belanda.
EIC akhirnya kalah. Mereka menyingkir dari Pulau Run dan Ai. Mereka baru menerima ganti rugi dari VOC berupa Pulau Manhattan dan Nieuw Amsterdam (New York sekarang) di Amerika pada 1667 melalui Perjanjian Breda.
Tak berhenti di sana, VOC pun mengusik kedudukan EIC di Ambon pada 1623. VOC menangkap sejumlah pegawai EIC atas tuduhan terlibat dalam rencana menduduki kota dan membunuh orang Belanda. Selama penahanan, para pegawai mengalami siksaan luar biasa. Hidup mereka berakhir di tiang gantungan atau pedang algojo VOC.
Pegawai EIC di wilayah timur Nusantara sangat tergoncang mendengar hukuman mati itu. Mereka ketakutan dan tahu bahwa EIC kalah jauh dari VOC dari segi modal dan armada laut.
Menurut J.D. Vries dalam Economy of Europe in Age of Crisis, VOC berhasil mengakumulasi modal 10 kali lipat lebih banyak ketimbang EIC sepanjang paruh pertama abad ke-17. Sementara menurut Femme S. Gaastra dalam Ships, Sailors and Spices, armada laut VOC di Asia pada 1620-an berjumlah 141 kapal. Termasuk kapal perang berbagai ukuran. Sedangkan EIC hanya mempunyai 58 kapal di seluruh Asia.
Pegawai EIC yakin bahwa VOC bisa kapan saja mendatangi dan membunuh mereka. Maka, mereka memutuskan pindah ke Banten pada 1628. Sebaliknya, VOC menjadikan pembunuhan di Ambon sebagai peringatan bagi saingannya. “… Ini menunjukkan betapa seriusnya VOC dalam mewujudkan monopoli rempahnya,” tulis K.N. Chaudhuri dalam Trade and Civilisation in the Indian Ocean. Dan VOC terus mengusik saingannya di Nusantara.
Kepulauan Banda Neira, 1724. (geheugenvannederland.nl).
Persaingan Dagang Murni
Penguasa Banten menerima kehadiran pedagang dari pelbagai penjuru Eropa sepanjang mereka mengikuti aturan kesultanan. EIC merasa nyaman berdagang di Banten. Mereka memperoleh keuntungan cukup besar di sini. “Di wilayah selatan perdagangan, Banten telah menjadi tempat terpenting bagi EIC,” tulis K.N. Chaudhuri dalam The Trading World of Asia and the English East India Company 1660–1760.
Situasi berubah ketika VOC mulai mengusik Banten selama 1651–1659. VOC mengembargo pelabuhan tersebut. Keuntungan EIC jadi berkurang, sedangkan VOC mendapat berkah terselubung dari krisis politik di Banten pada 1680-an.
VOC mendukung Sultan Haji merebut takhta Kesultanan Banten dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai balasannya, Sultan Haji harus membantu VOC untuk mengusir EIC dari Banten. Koalisi mereka berhasil pada 1682. EIC terusir. “Perjuangan EIC kini beralih ke Sumatera,” tulis Chaudhuri. EIC bercokol cukup lama di Bengkulu. Sebab, VOC tak tertarik menduduki wilayah ini.
Persaingan EIC dan VOC di Nusantara mereda memasuki 1700–1750. “VOC telah menjadi pemenang,” tulis Gaastra. EIC memilih berkonsentrasi di India untuk melawan pedagang Prancis, sedangkan VOC menempuh kebijakan baru. “VOC enggan menggunakan kekuatan militer untuk bersaing dengan pedagang Eropa,” lanjut Gaastra. Dan kompetisi perdagangan murni mulai muncul.
VOC gagal bersaing dalam kompetisi perdagangan murni. Mereka mengendur memasuki 1750-an. Masa ini pegawai VOC lebih sibuk mengadali majikannya. Gaji mereka terlalu rendah untuk tugas bertumpuk-tumpuk. Pegawai EIC juga mengalami keadaan serupa. Akibatnya, menurut C.R. Boxer dalam Jan Kompeni, “Pegawai-Pegawai Eropa VOC dan EIC bekerja sama untuk mengelabui masing-masing majikan mereka.”
Menurut Peter Reynders dalam “Why Did the Largest Corporation in the World Go Broke? An Economic Review”, termuat di laman gutenberg.net.au/VOC, ada kabar bahwa VOC dan EIC bakal merjer. Tapi ini tak pernah mewujud. VOC keburu bubar pada 1799, sedangkan EIC tetap digdaya. Setidaknya hingga 1 Januari 1874.*