Perang Negeri Ginseng

Korea menjadi palagan awal perebutan hegemoni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Korea terbelah dan perang pun pecah.

OLEH:
Hendaru Tri Hanggoro
.
Perang Negeri GinsengPerang Negeri Ginseng
cover caption
Jenderal Douglas MacArthur mengamati penembakan laut di Incheon dari kapal perang USS Mount McKinley pada 15 September 1950. (Wikimedia Commons).

BADANNYA gemuk. Tubuhnya agak pendek. Rambutnya hitam dan disisir ke belakang. Kelopak matanya tebal. Dia tampak kurang tidur, tapi selalu melemparkan senyum. Setelah lama berjuang sebagai gerilyawan Korea menentang Jepang di Manchuria, Kim Il-sung hadir di hadapan sekumpulan orang di Pyongyang pada 3 Oktober 1945.

Cho Man-sik, tokoh nasionalis dan pemimpin Partai Demokratik Korea, meyakinkan khalayak bahwa orang itu adalah Kim yang sohor sebagai pejuang anti-Jepang. Setelah Cho menjelaskan posisi Uni Soviet di Korea, Kim berpidato sebentar. Dia menyerukan pembubaran tentara gerilya Korea di Manchuria, Tiongkok, karena Jepang sudah kalah.

BADANNYA gemuk. Tubuhnya agak pendek. Rambutnya hitam dan disisir ke belakang. Kelopak matanya tebal. Dia tampak kurang tidur, tapi selalu melemparkan senyum. Setelah lama berjuang sebagai gerilyawan Korea menentang Jepang di Manchuria, Kim Il-sung hadir di hadapan sekumpulan orang di Pyongyang pada 3 Oktober 1945.

Cho Man-sik, tokoh nasionalis dan pemimpin Partai Demokratik Korea, meyakinkan khalayak bahwa orang itu adalah Kim yang sohor sebagai pejuang anti-Jepang. Setelah Cho menjelaskan posisi Uni Soviet di Korea, Kim berpidato sebentar. Dia menyerukan pembubaran tentara gerilya Korea di Manchuria, Tiongkok, karena Jepang sudah kalah.

Korea belum lama bebas dari penjajahan Jepang ketika Kim muncul kembali. Masih banyak kelompok komunis penentang Jepang yang berada di pengasingan; sebagian besar bersembunyi di Tiongkok. Menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada Agustus 1945 tak membuat mereka bergegas pulang ke Korea. Hanya sebagian kecil yang kembali karena keadaan masih tak menentu. Korea juga tak lantas merdeka meski Jepang telah menyerah.

Dua kekuatan besar pemenang Perang Dunia II, Amerika Serikat dan Uni Soviet, menduduki Korea. Uni Soviet di utara dan Amerika Serikat di selatan. Batasnya adalah garis imajiner 38 derajat yang membentang dari timur ke barat. Pembagian ini sesuai saran Jenderal Douglas MacArthur, komandan tertinggi Sekutu di Pasifik, dalam dokumen The General Order No. 1 pada Agustus 1945. Kedua negara itu bertugas melucuti kekuatan Jepang dan mengawal Korea ke gerbang kemerdekaan. Sebagian besar rakyat Korea meragukan niat itu. Tapi rakyat Korea tak punya pilihan. Tak terkecuali Kim.

Kim Il-sung (tengah) dalam pertemuan Partai Rakyat Baru dan Partai Komunis Korea pada 28 Agustus 1946. (Wikimedia Commons).

Kim tak lantas menentang secara terang-terangan. Dia menyusun siasat. Melawan kedua negara itu sama saja bunuh diri. Kim butuh kepercayaan dari salah satu negara. Haluan Kim lebih condong ke Soviet. Dia seorang komunis sejak muda dan berkawan akrab dengan orang-orang komunis Tiongkok saat melawan Jepang. Namun dia bukan seorang organisatoris.

Meski namanya tenar di Korea, Kim bukanlah siapa-siapa di hadapan Soviet. Cho lebih dikenal dan dipercaya. Pengaruhnya di rakyat Korea lebih nyata. Berbeda dari Kim, Cho seorang organisatoris. Cerita hidupnya jelas; tak dipenuhi mitos seperti Kim. Maka ketika mendarat di utara, Soviet segera membangun hubungan dengan Cho. Lagi pula belum ada partai komunis yang kuat di utara. Kekuatan komunis justru berada di selatan yang dikuasai Amerika.

Cho pun sedikit mengikis keraguannya pada Soviet. Alasannya, Soviet mengakui pemerintahan sementara Komite Eksekutif Daerah, yang terdiri atas orang-orang Korea dan dibentuk untuk menggantikan pemerintahan Jepang di utara.

Namun aliansi Cho dengan Soviet tak lama. Cho menentang usaha Soviet dan Amerika yang hendak mengulur kemerdekaan Korea. Dalam Persetujuan Moskow yang diumumkan pada 27 Desember 1945, kedua negara itu memaklumatkan bahwa Korea baru akan merdeka lima tahun lagi. Selama menunggu masa lima tahun, Korea berada di bawah perwalian kedua negara itu.

Simpati Cho kepada Soviet mulai luntur meski negara itu tetap mengakui pemerintahan Komite Eksekutif Daerah. Lebih-lebih kepada Amerika Serikat yang tak mengakui satu pun pemerintahan di selatan. “Kontrol administratif di wilayah selatan garis 38 derajat LU ditangani oleh saya. Dan seluruh penghuni di wilayah ini harus mematuhi perintah yang ditandatangani saya,” kata MacArthur, sebagaimana dikutip Kim Chum-kon dalam The Korean War 1950–1953. Cho pun berang.

Cho Man-sik, tokoh nasionalis dan pemimpin Partai Demokratik Korea. (Wikimedia Commons).

Pecahnya Korea

Cho mulai mencium tujuan sebenarnya Amerika dan Soviet menduduki Korea. Bukan untuk mengawal kemerdekaan Korea seperti disangkanya semula, melainkan demi kepentingan kedua negara. Pendudukan mereka tak ada sangkut pautnya dengan masa depan Korea; tak ubahnya seperti dilakukan Jepang selama 36 tahun sejak 1910.

Cho melakukan perlawanan: menggalang massa dan menggelar demonstrasi di kota-kota Korea, baik di utara maupun selatan. Karena sepak terjangnya, Cho harus membayar mahal. “Dia kehilangan kepercayaan dari Uni Soviet. Bahkan, dirinya ditangkap pada Januari 1946,” tulis Andrew C. Nahm, “The Emergence of Democratic People’s Republic of Korea”, termuat dalam The Politic of North Korea.

Dalam kekalutan, orang-orang komunis justru berbalik mendukung Persetujuan Moskow. Benih-benih perpecahan mulai tumbuh di kalangan rakyat Korea. Kelompok komunis memandang lima tahun perwalian tak terlalu buruk. Masa itu bisa digunakan untuk menghimpun kekuatan; tak hanya untuk menyapu Amerika di selatan tapi juga kelompok nasionalis. Kim Il-sung salah satu tokoh yang mendukung Persetujuan Moskow. Lantaran itu, pamornya cepat naik di hadapan Soviet dan Partai Komunis Korea.

Soviet memanfaatkannya untuk menghimpun kekuatan rakyat ke dalam berbagai organisasi massa dengan kendali tetap berada di tangan mereka. Bagi Soviet, pendudukan di utara harus dilestarikan sehingga bisa menjadi basis terdepan untuk menghadapi Amerika dan meluaskan pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik.

Amerika membaca siasat ini. Harry Truman, presiden Amerika, tak tinggal diam. Dia berusaha menjadikan wilayah selatan sebagai gerbang utama Amerika untuk membendung pengaruh komunis di Asia Pasifik.

Hubungan kedua negara itu pun berubah sejak berakhirnya Perang Dunia II; tadinya sekutu melawan fasisme Jepang dan Jerman, sekarang berebut pengaruh. Korea pun menjadi salah satu palagan awalnya.

Melalui Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika mendesak pemilihan umum (pemilu) segera digelar di wilayah selatan agar Soviet tak leluasa bercokol di Semenanjung Korea. Amerika telah menyiapkan tokoh untuk menjadi pemimpin Korea, Syngman Rhee.

Syngman Rhee dan Jenderal Douglas MacArthur dalam upacara peresmian Republik Korea pada 15 Agustus 1948. (Wikimedia Commons).

Syngman seorang penentang Jepang. Karena diburu Jepang, dia lari ke Amerika. “Rhee telah begitu lama meninggalkan Korea, hingga dia sudah menjadi orang asing,” tulis Mochtar Lubis, pewarta harian Indonesia Raya, dalam Catatan Perang Korea. Popularitasnya kalah jauh dari Kim.

Joseph Stalin, presiden Uni Soviet, tak menerima saran Amerika dan menolak Syngman sebagai pemimpin Korea. Menurutnya, usul itu tak sejalan dengan Persetujuan Moskow. Partai Komunis Korea mendukung keberatan Stalin. Tapi Amerika menganggap sepi keberatan itu.

Pemilu digelar pada Mei 1948 oleh United Nations Temporary Comission on Korea (UNTCOK), sebuah badan PBB bentukan Amerika. Selang tiga bulan kemudian, Republik Korea diproklamasikan. “Ini adalah satu-satunya pemerintahan di Korea,” demikian laporan UNTCOK sesaat setelah Republik Korea berdiri, sebagaimana dikutip Kim Chum-kon. Untuk kali pertama, sebuah negara lahir karena usaha PBB.

Kim Il-sung mengeklaim pemilu itu tak mendapat dukungan sebagian besar rakyat Korea. Soviet membalas tindakan Amerika dengan menghelat pemilu tandingan pada Agustus 1948. Sebulan kemudian, Republik Rakyat Demokratik Korea (RRDK) berdiri. Kim terpilih sebagai perdana menterinya. Stalin mengakui negara ini pada 12 Oktober 1948. Tapi UNTCOK menyatakan negara itu sebagai kreasi dari sebuah rezim yang mengabaikan kebebasan rakyatnya.

“Kedua pemerintahan itu saling menganggap bahwa mereka merupakan satu-satunya pemerintahan yang sah di Korea,” kata Nur Aini Setiawati, sekretaris The International Association of Korean Studies in Indonesia. Korea pun terpecah dua.

Gudang logistik dan fasilitas dermaga Korea Utara dibom oleh Angkatan Udara Amerika Serikat. (NARA/Wikimedia Commons).

Rencana Unifikasi

Kim dan Syngman sadar Korea telah pecah. Ini jauh dari cita-cita mereka tentang Korea yang satu. Secara bahasa dan bangsa, mereka satu, baik di utara maupun selatan. Maka Kim dan Syngman segera mengusahakan reunifikasi. Kim memulai usaha itu dengan meminta Amerika menarik mundur pasukannya dari wilayah selatan. Amerika memenuhi permintaan ini mulai 15 September 1948. Soviet mengikuti langkah tersebut pada 1 Januari 1949.

Belum tercapai reunifikasi, Syngman mulai melihat gelagat pemberontakan dari kaum komunis di Republik Korea. Untuk mencegahnya, dia memberangus Partai Komunis. Langkahnya justru mengundang kemarahan Kim, yang menganggap Amerika berada di balik kebijakan itu. Dia memandang Syngman sebagai boneka Amerika.

Syngman mulai khawatir terhadap serangan RRDK. Kekhawatiran itu menyeruak karena secara militer RRDK jauh lebih unggul ketimbang Republik Korea. RRDK memiliki 24 divisi angkatan bersenjata. Satu divisi setara dengan 25 ribu pasukan. Jumlah itu ditambah dengan 500 tank T-34, 200 pesawat tempur Yak-9, dan beberapa pesawat pengintai. Belum lagi tambahan instruktur dan pasukan Uni Soviet. Sementara Republik Korea hanya memiliki 114 ribu pasukan tanpa artileri berat.

Di bidang ekonomi, RRDK juga unggul. Tinggalan dari pembangunan Jepang lebih banyak di utara. Industri telah berkembang di sana. Sementara corak ekonomi di selatan masih lekat agrarisnya. Tersebab inilah Syngman meminta Amerika membantunya jika suatu saat RRDK menyerang. Namun Amerika tak bisa memberikan jaminan.

Mengetahui angin berada di pihaknya, Kim merencanakan operasi pembebasan Republik Korea. Dalihnya: reunifikasi. Apalagi setelah mendapat laporan tentara Amerika, yang tergabung dalam pasukan UNTCOK, masih bertahan. “AS tetap menempatkan kekuatan bersenjatanya di Korea Selatan dengan alasan yang dicari-cari,” tulis A.N. Nasution dalam Negeri Kuda Semberani Korea Baru.

Bagi Kim, tentara asing adalah imperialis yang menjadi sebab pecahnya Korea dan unifikasi hanya bisa tercapai melalui kekuatan militer. Perang Pembebasan pun berdengung.

Ratusan ribu warga Korea Selatan mengungsi ke selatan pada pertengahan 1950 setelah invasi tentara Korea Utara. (Wikimedia Commons).

Perang Korea

Dini hari, Minggu 25 Juni 1950, dari sebelah utara garis imajiner 38 derajat, tank T-34 buatan Rusia milik RRDK merangsek ke kota Seoul, ibu kota Republik Korea. Presiden Syngman masih lelap di ranjang istananya. Serdadu pengawal berdiri kedinginan di luar. Sebagian tentara UNTCOK tertidur seperti kebanyakan warga Seoul. Keheningan tiba-tiba pecah. Dentuman senapan bergema.

“Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, PBB mengangkat senjata melawan seorang penyerang untuk mempertahankan yang diserang,” tulis Mochtar Lubis.

Sehari setelah serangan, Kim berpidato melalui radio. “Menyerukan seluruh rakyat Korea agar merebut kemenangan dalam peperangan itu. Seluruh rakyat Korea menyambut pidato itu dengan gembira dan siap maju untuk bertempur,” tulis Nasution.

Meski tak berhasil menggulingkan Syngman, pasukan RRDK dapat menaklukkan Seoul dalam waktu singkat. Warga Seoul, terutama pemuda dan mahasiswa, menyambut hangat kehadiran pasukan RRDK. Semboyan komunisme yang dibawa pasukan itu, seperti perbaikan nasib buruh dan keadilan sosial, meraup simpati.

Namun keganjilan mulai muncul. Pasukan RRDK mengusung gambar Stalin. Warga bertanya, “Untuk apa gambar Stalin dipasang? Gambar Kim Il-sung oke, tetapi gambar Stalin?” Beras- beras dirampas paksa oleh tentara. Warga dipaksa masuk kesatuan tentara RRDK. Orang-orang yang diketahui memegang posisi di pemerintahan Republik Korea ditangkap dan dibunuh. Banyak istri dan anak-anak yang terpisah dengan suami dan ayahnya. Keadaan ini berlangsung hingga Agustus. Kepada Mochtar Lubis, seorang anggota Dewan Kurator universitas di Seoul mengatakan, “36 tahun dijajah Jepang tidak sehebat diduduki orang Korea Utara.”

Namun ketika tentara Amerika bersama sekutunya merebut Seoul pada akhir Agustus, keadaan tak jauh berbeda. Mereka menangkap, menyiksa, dan membunuh orang-orang yang bersimpati terhadap RRDK. Di jalanan, orang bisa mati dengan mudah. Di wilayah lain, keadaan jauh lebih parah. Warga sipil menjadi korban. Terutama setelah Tiongkok ikut membantu RRDK pada Oktober 1950. Perang menggila.

Perang Korea diakhiri dengan gencatan senjata alih-alih sebuah traktat. Artinya, secara teknis kedua negara masih dalam keadaan berperang. Sejak gencatan senjata, banyak insiden terjadi dan memicu perseteruan.

Meski hanya tiga tahun, perang ini menyisakan derita panjang. Hubungan personal rusak. Kedua negara tumbuh menjadi negara maju, tapi hidup dalam kecurigaan hingga kini. Korea Utara mengembangkan nuklirnya. Sementara Korea Selatan kini kuat secara ekonomi. Reunifikasi berkali-kali diusahakan, tapi terbentur tembok kokoh ideologi masing-masing negara.*

Majalah Historia No. 7 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64704b844f90b915dad5277d