Para perempuan yang dijadikan ianfu diturunkan di Kupang, Timor. (K.B. Davis/cas.awm.gov.au).
Aa
Aa
Aa
Aa
SUKARNO berada di Padang ketika Jepang tiba. Dia baru saja dipindahkan oleh Belanda dari pengasingan di Ende ke Bengkulu, kemudian dengan jalan darat menuju Padang. Belanda akan mengungsikan Sukarno ke Australia tapi Jepang keburu menguasai Sumatra. Di Padang, dia berkali-kali bertemu dengan komandan tentara Jepang, yang mengajaknya bekerja sama.
Jepang meminta rakyat menurunkan bendera merah putih hingga menyediakan beras. Dengan pengaruhnya, Sukarno bisa memenuhi permintaan itu. Namun, ada satu persoalan rumit menyangkut permintaan mereka untuk memenuhi kebutuhan seks tentara Jepang. Sukarno, seperti diungkapkan dalam Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, memperingatkan Kolonel Fujiyama, panglima tentara pendudukan di Bukittinggi: “Kalau anak buah tuan mencoba-coba berbuat sesuatu dengan anak-anak gadis kami, rakyat akan berontak. Tuan akan menghadapi pemberontakan besar di Sumatra.”
SUKARNO berada di Padang ketika Jepang tiba. Dia baru saja dipindahkan oleh Belanda dari pengasingan di Ende ke Bengkulu, kemudian dengan jalan darat menuju Padang. Belanda akan mengungsikan Sukarno ke Australia tapi Jepang keburu menguasai Sumatra. Di Padang, dia berkali-kali bertemu dengan komandan tentara Jepang, yang mengajaknya bekerja sama.
Jepang meminta rakyat menurunkan bendera merah putih hingga menyediakan beras. Dengan pengaruhnya, Sukarno bisa memenuhi permintaan itu. Namun, ada satu persoalan rumit menyangkut permintaan mereka untuk memenuhi kebutuhan seks tentara Jepang. Sukarno, seperti diungkapkan dalam Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, memperingatkan Kolonel Fujiyama, panglima tentara pendudukan di Bukittinggi: “Kalau anak buah tuan mencoba-coba berbuat sesuatu dengan anak-anak gadis kami, rakyat akan berontak. Tuan akan menghadapi pemberontakan besar di Sumatra.”
Sukarno tak bisa membiarkan tentara Jepang bermain-main dengan gadis Minang. Tapi dia juga sadar sikap yang akan diambil Jepang jika persoalan ini tak terpecahkan. Setelah meminta pendapat kiai, dia pun menggunakan pelacur agar “orang-orang asing itu dapat memuaskan hatinya dan tidak akan menoleh untuk merusak anak gadis kita.”
“Kukumpulkan 120 orang di satu daerah yang terpencil dan menempatkan mereka dalam kamp yang dipagar tinggi sekelilingnya. Setiap prajurit diberi kartu dengan ketentuan hanya boleh mengunjungi tempat itu sekali dalam seminggu. Dalam setiap kunjungan kartunya dilobangi.” Sukarno beralasan, keadaannya sudah begitu gawat ketika itu, yang dapat membangkitkan bencana hebat.
Ide Anak Agung Gde Agung, raja Gianyar di Bali, juga menghadapi persoalan yang sama ketika Kawashima, komandan Kenpeitai, memintanya merekrut perempuan-perempuan penghibur. Setelah berdiskusi dengan bawahannya, dia mendapatkannya. “Saya bersedia memberi imbalan uang yang cukup besar jumlahnya kepada mereka bila mereka bersedia untuk menghibur para serdadu Jepang tersebut,” tulis Ide Anak Agung Gde Agung dalam Kenangan Masa Lampau.
Mungkinkah Sukarno atau pemimpin politik di Indonesia tak tahu bahwa ratusan ribu perawan remaja “baik-baik” harus melayani hasrat seks tentara Jepang dan bencana hebat justru terjadi?
Sukarno sendiri sadar tudingan yang akan diarahkan kepadanya karena bekerja sama dengan Jepang. Kelompok Sutan Sjahrir dan pemuda menyebutnya sebagai kolaborator. Iwa Kusumasumantri juga menyesalkan tindakan Sukarno, meski dia memahami situasi saat itu berat dan rumit.
“Romusha, paksaan-paksaan cara hidup baru dengan makanan-makanan yang tiada sepatutnya, pengiriman-pengiriman wanita muda kita sebagai hiburan tentara-tentara Jepang, semuanya itu tidak seharusnya terjadi apabila dari pihak orang-orang yang dekat dengan Jepang seperti halnya Sukarno dapat bertindak tegas,” tulis Iwa Kusumasumantari dalam otobiografinya, Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah. “Segala tragedi yang benar-benar menusuk kehormatan bangsa kita itu dapat dihalangi, kalau mereka mengetahui cara yang bijaksana untuk mencegahnya.”
“Jangan menerima informasi dari orang politik tanpa kritis,” ujar Koichi Kimura. “Tidak mungkin pelacur dibawa ke militer Jepang. Karena militer Jepang sudah ada rencana dan keputusan sebelum menjajah Indonesia, yang harus mempersiapkan perempuan ‘bersih’, bukan ‘perempuan yang sakit kelamin’ karena kebanyakan perempuan di rumah bordil di Indonesia punya penyakit.”
“Militer Jepang mendirikan banyak ianjo (rumah-rumah ianfu) di mana banyak perempuan dibawa paksa dengan dicek oleh dokter militer Jepang. Sukarno tidak tahu dan tidak pernah melihat secara langsung para perempuan siapa yang dikumpulkan.”
Iming-iming
Pada Maret 1942, Markas Besar Tentara Jepang di Pasifik Selatan, yang bermarkas di Rabaul, Papua Nugini, memutuskan mendirikan tempat hiburan di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik. Mereka meminta kepada Markas Besar Tentara Taiwan untuk mendapatkan ianfu dan mengirimkannya ke Borneo (Kalimantan). Maka, datanglah 70 ianfu dari Taiwan ke Borneo yang memiliki dokumen perjalanan militer dari Kementerian Perang. Namun, serangan Sekutu yang mempersulit hubungan laut dan udara membuat Jepang tak bisa lagi mendatangkan ianfu dari Jepang, China, dan Korea. Sebagai gantinya, para gadis Indonesia dikirimkan ke garis depan sebagai ianfu. Ianjo kemudian didirikan di sejumlah daerah.
Untuk menjalankan rencananya, militer Jepang memberikan iming-iming: akan memberi kesempatan belajar ke Tokyo atau Shonanto (Singapura) atau diberi pekerjaan layak. Janji itu beredar dari mulut ke mulut, yang ditangani Sendenbu (Jawatan Propaganda) lalu turun ke pejabat-pejabat lokal seperti bupati, camat, lurah, hingga tonarigumi (RT/RW). Para pejabat lokal ini mengumpulkan puluhan perempuan muda. Seperti terjadi pada Rumini, mantan ianfu berusia 87 tahun dari Tulungagung, Jawa Timur.
Ayah Rumini seorang petani. Beberapa bulan setelah Jepang datang, lurah di desanya mengumpulkan warga. Pak lurah mendapat perintah dari Jepang untuk mengumpulkan anak-anak perempuan yang belum menikah untuk belajar bahasa dan tarian Jepang di kecamatan. Namun, apa yang yang dialami Rumini dan gadis-gadis seusianya justru berbeda. Dia dimasukkan ke ianjo dan harus melayani tentara Jepang. “Semua tidak berdaya menolak karena mereka takut dengan akibat yang akan menimpa mereka kelak,” ujarnya.
Di Indonesia, ianfu tersebar di seluruh Indonesia. Di mana ada barak-barak militer di situ ada ianfu, terutama di wilayah timur.
Para pejabat lokal ini harus memberi contoh dengan menyerahkan anaknya demi keselamatan jabatan atau pangkat. Mereka juga tak kuasa melawan permintaan tentara Jepang. Sri Sukanti dari desa Gundi, misalnya, sekalipun ayahnya seorang wedana, toh ayahnya tak bisa berbuat apa-apa ketika tentara Jepang datang mengambilnya dan memasukkannya ke Gedung Papak di Purwodadi. Karena cantik, tak seperti teman-temannya yang dipaksa melayani puluhan prajurit berpangkat rendah, Sri khusus melayani Ogawa, komandan setempat. “Habis-habisan saya dipaksa melayaninya. Saya diperlakukan seperti kuda. Saat itu, rasanya saya ingin mati. Saya bukan manusia lagi,” kata Sri tercekat.
Pemenuhan kebutuhan akan perempuan juga dilakukan melalui iklan lowongan kerja. Mendengar ada lowongan tenaga perempuan untuk pembantu, pelayan dan koki restoran, serta pemain sandiwara, Mardiyem yang kala itu berusia 13 tahun, mendaftar. Dia memang ingin menjadi penyanyi. Tapi begitu sampai Banjarmasin, nasib berubah arah. Mardiyem, bersama 23 perempuan lainnya, harus melayani kebutuhan seks tentara dan sipil Jepang. Mardiyem, yang kelak getol memperjuangkan nasib mantan ianfu, meninggal dunia pada Desember 2007 di usia 79 tahun.
Eka Hindra, peneliti ianfu, meyakini ianfu menjadi bagian mekanisme kontrol Jepang untuk kepentingan pasukannya dalam memenangi Perang Pasifik. Artinya, butuh penelitian lebih lanjut atas apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia dan bagaimana sikap pemimpin politik waktu itu. ”Di Indonesia, ianfu tersebar di seluruh Indonesia. Di mana ada barak-barak militer di situ ada ianfu, terutama di wilayah timur,” ujar Eka.
Tak Ada Komisi
Begitu Jepang kalah perang, mereka dilepaskan begitu saja. Tak ada pesangon, tanpa fasilitas, dan tanpa terima kasih dari pihak balatentara Dai Nippon. Praktis, mereka hanya mengandalkan naluri hidup masing-masing. Beberapa perempuan pulang ke kampung halamannya, ada juga sejumlah perempuan terdampar di Pulau Buru.
Berita tentang nasib ianfu bukannya absen dalam pemberitaan media. Penjoeloeh, 25 Juni 1945, mengutip berita asing, menulis kekejaman yang dilakukan tentara-tentara Jepang. Berita itu mengutip pernyataan dr. Ou Kok Boo, seorang dokter Tionghoa, yang bersama seorang perawat, Nona Yolanda Seah, baru saja dibebaskan di Pulau Labuan. “Perkosaan Jepang terhadap kaum perempuan terus-menerus terjadi dan perbuatan ini baru dapat dihentikan setelah pembesar militer Jepang datang dengan membawa gadis-gadis Indonesia dari Jawa,” ujarnya dikutip Penjoeloeh.
Di Kupang, ditemukan 56 ianfu asal Jawa yang tinggal di sebuah kamp di Atambua. “Gadis-gadis tersebut diangkut dari Jawa dengan perjanjian bahwa mereka itu akan dipekerjakan di rumah-rumah sakit Jepang,” tulis Penjoeloeh, 20 September 1945. Pasukan Australia menyelamatkan mereka dan memulangkannya ke Jawa. Australian War Memorial memiliki banyak dokumen foto tentang nasib ianfu di Kupang.
Beberapa ianfu bukan hanya ditempatkan di wilayah Indonesia. Sebagian berada di Singapura. Sin Po, 14 November 1946, memberitakan Palang Merah Indonesia menemukan lebih dari 200 gadis Indonesia yang ditipu oleh Jepang dan dikirim ke Singapura. “Satu gerakan luas dilakukan oleh pembesar-pembesar Jepang di Jawa dan Sumatra di tahun 1943 buat dapatkan ‘gadis-gadis penghibur’ telah berkesudahan dengan datangnya sejumlah besar gadis-gadis Indonesia ke Singapura,” tulis Sin Po.
Mereka dibawa ke Singapura dengan janji menjadi juru rawat dengan gaji besar serta makanan dan pakaian yang baik. Mereka terbagi dalam tiga rombongan. Rombongan pertama, yang terdiri dari 89 gadis dari Jakarta dan Sarawak, kedapatan ada di Kuching. Rombongan kedua terdiri dari 80 orang dikirim dari Surabaya ke Jakarta sebelum diberangkatkan ke Singapura. Setelah satu bulan, mereka dikirim ke Labuan (Borneo Utara); sebagian tewas dalam perjalanan karena kapal tenggelam. Rombongan ketiga dikirim ke Singapura dan ditempatkan di sebuah rumah besar di Katong.
“Palang Merah Indonesia telah memulai pekerjaan mencari mereka sejak enam bulan yang lalu dan kesudahannya lebih dari 150 gadis telah diketemukan di Borneo Utara, Sarawak, dan Singapura,” tulis Sin Po.
Kisah semacam ini juga beredar di radio. Pada malam Minggu, 4 Januari 1947, Welfare Indonesia –badan penghibur prajurit yang dipimpin R.M. Tjiptorachman, menggelar pertunjukan tonil di Stadsschouwburg Djakarta (sekarang Gedung Kesenian Jakarta) untuk tentara KNIL dan KL (Tentara Kerajaan). Tonil ini menyuguhkan “cerita yang pernah terjadi” berjudul Djiwa nan Sesat. Kisahnya menggambarkan nasib para pemuda yang terkena jerat Jepang dengan jalan tipu muslihat untuk membela kemerdekaan nusa dan bangsa. Mereka, lelaki dan perempuan yang terpelajar, kena pikat dengan perkataan untuk belajar ke Tokyo namun ternyata diangkut ke tempat pertempuran di Biak, Morotai, Tarakan, Balikpapan, dan lain-lain. Di Jawa, para pemuda ditempatkan di garis depan untuk menghela gerobak atau meriam dan memikul mesiu seperti keledai.
“Demikian pun dengan pemuda-pemuda gadis kita. Mula-mula katanya akan dipekerjakan sebagai juru rawat atau bidan di tanah seberang, tapi akhirnya dipakai ‘pelipur kalbu’ Si Kerdil,” tulis Pandji Ra’yat, 7 Januari 1947.
Meski beberapa media melansir nasib ianfu, namun pemerintah Indonesia tak pernah mempersoalkannya. Dalam perundingan-perundingan dengan Jepang mengenai pampasan perang, sebagai tindak lanjut dari Perjanjian San Francisco tahun 1951, pemerintah tak menyebut masalah ianfu, sementara romusha disebut-sebut. Mengenai romusha, dalam “Garis Besar Tuntutan Pampasan Indonesia Terhadap Jepang”, yang disusun pemerintah Indonesia dan diserahkan kepada pemerintah Jepang oleh Misi Djuanda pada Desember 1951, Indonesia menuntut atas hilangnya empat juta romusha. Proses negosiasi pampasan perang sendiri kemudian berjalan tersendar-sendat.
“Waktu itu, Indonesia sibuk dengan gerakan dan program politik, sehingga soal hak asasi manusia diabaikan, walaupun sebagian pemimpin Indonesia tahu,” ujar Kimura.
Menurut Pramoedya Ananta Toer dalam Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, ada sejumlah alasan kenapa pemerintah tak bersuara. Pertama, segera setelah Jepang menyerah, Indonesia belum atau tak mempunyai bahan otentik untuk menggugat. Kedua, Indonesia sedang terlibat dalam perjuangan senjata untuk mempertahankan kemerdekaan. Ketiga, segera setelah pemulihan kedaulatan, Indonesia yang masih muda terlibat dalam pertentangan kepartaian yang berlarut-larut. Keempat, karena keteledoran pihak Indonesia; tak ada komisi yang menyelidiki soal ini. Namun kini, ketika banyak mantan ianfu buka suara, sikap pemerintah masih belum jelas.
Jepang jelas cuci tangan. Sementara Belanda, yang hendak mencoba menguasai kembali wilayah Indonesia, punya perhatian terhadap nasib ianfu tapi hanya dalam kasus perempuan-perempuan Belanda. “Militer Jepang, Belanda, dan Indonesia mempunyai perasaan diskriminasi terhadap para perempuan Indonesia yang telah dikorbankan oleh sistem ianfu militer Jepang,” ujar Kimura.
Lebih ironis lagi, hingga saat ini ianfu belum masuk pelajaran sejarah di sekolah. Menariknya, buku-buku sejarah sekolah tak resmi telah memasukkannya, dengan mengadopsi buku sejarah babon Sejarah Nasional Indonesia (SNI) Jilid VI, edisi pemutakhiran tahun 2008. Desakan sudah dialamatkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam pertemuan Komnas HAM dengan sejumlah instansi pemerintahan pada 2010 untuk membahas ianfu, Kementerian Pendidikan menyatakan bahwa secara substansi ianfu tak ada penolakan dan mereka akan membahasnya.
“Janjinya bisa memasukkan ianfu ke kurikulum,” ujar Hesti Armiwulan, komisioner Komnas HAM dan penanggung jawab penyelesaian ianfu. “Tapi realisasinya hingga saat ini tidak ada.”*