Perbudakan di Bawah Koloni VOC

Bangsa Belanda hanyalah salah satu pemain dalam praktik perbudakan di Nusantara. Dari institusi perbudakan lahirlah entitas baru cikal bakal ke-Indonesia-an.

OLEH:
Martin Sitompul
.
Perbudakan di Bawah Koloni VOCPerbudakan di Bawah Koloni VOC
cover caption
Ilustrasi: Awaludin Yusuf.

Meski bernama Kampung Bali, penduduk kelurahan di Tanah Abang, Jakarta Pusat itu terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Entah itu Betawi, Jawa, Sunda, dan sebagainya. Toponimi Kampung Bali tak lepas dari akar sejarahnya.

Sekira empat abad silam, hanya orang-orang Bali yang tinggal di sini. Mereka mengikuti kebijakan segregasi yang diterapkan otoritas kongsi dagang Belanda di Hindia Timur (VOC). Kebanyakan dipekerjakan sebagai budak belian. Raja-raja Bali suka berperang satu sama lain. Tawanan perang saudara itu kemudian dijual sebagai budak. Di samping budak, orang Bali dikenal sebagai serdadu bayaran yang tangguh.

“Orang Belanda takut kepada satu komunitas yang memiliki identitas komunal yang sama. Karena begitu menyatu, mereka bisa menjadi oposisi yang membahayakan pemerintah kolonial,” ucap Bondan Kanumoyoso, sejarawan sekaligus dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia kepada Historia.ID.

Meski bernama Kampung Bali, penduduk kelurahan di Tanah Abang, Jakarta Pusat itu terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Entah itu Betawi, Jawa, Sunda, dan sebagainya. Toponimi Kampung Bali tak lepas dari akar sejarahnya.

Sekira empat abad silam, hanya orang-orang Bali yang tinggal di sini. Mereka mengikuti kebijakan segregasi yang diterapkan otoritas kongsi dagang Belanda di Hindia Timur (VOC). Kebanyakan dipekerjakan sebagai budak belian. Raja-raja Bali suka berperang satu sama lain. Tawanan perang saudara itu kemudian dijual sebagai budak. Di samping budak, orang Bali dikenal sebagai serdadu bayaran yang tangguh.

“Orang Belanda takut kepada satu komunitas yang memiliki identitas komunal yang sama. Karena begitu menyatu, mereka bisa menjadi oposisi yang membahayakan pemerintah kolonial,” ucap Bondan Kanumoyoso, sejarawan sekaligus dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia kepada Historia.ID.

Itulah sebabnya, menurut Bondan, Belanda membangun kampung-kampung di luar tembok kota Batavia menurut sekat-sekat etnisitas. Sebut saja Kampung Bandan, Kampung Makassar, Kampung Melayu, dan Manggarai. Mayoritas penduduk yang menghuni kampung-kampung itu adalah budak.

“Tapi itu kan tidak bisa mencegah kecenderungan manusia untuk berkumpul. Setelah beberapa generasi, yang namanya Kampung Bali isinya bukan orang Bali,” kata Bondan.

Kampung Bali di Tanah Abang, Jakarta Pusat. (Riyono Rusli/Historia.ID).

Melegalkan Perbudakan

Praktik perbudakan sudah terjadi ketika VOC mengadakan ekspedisi perdagangan ke Nusantara. Meski berangkat dengan spirit pencerahan, Renaisans, VOC bukannya menghentikan praktik perbudakan tapi justru mengakomodasinya untuk membangun kota koloni.

“Ketika mulai membangun koloni, mereka terapkanlah aturan-aturan yang mereka bawa dari Eropa. Salah satunya adalah perbudakan,” ujar Bondan.

Di bawah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, VOC menaklukkan Jayakarta pada 1619. Pasca penaklukan itu, kota nyaris tanpa penghuni. Penduduk asli menyingkir ke pelosok selatan yang kini dikenal sebagai Jatinegara Kaum. Coen kemudian menginisiasi kebijakan populasi baru untuk mengisi kota yang selanjutnya dinamainya Batavia. Banyak orang dari daerah-daerah taklukan VOC didatangkan ke Batavia dan dipekerjakan sebagai budak.

Menurut budayawan Betawi Alwi Shahab, suku Nusantara pertama yang diangkut ke Batavia berasal dari Banda (Maluku Selatan). Itu terjadi tahun 1621 ketika Coen menghukum mereka karena melakukan perlawanan terhadap VOC yang hendak memonopoli cengkeh. Mereka yang kuat diangkut sebagai budak belian ke Batavia.

“Para budak dari Banda ini ditempatkan di dekat Ancol, atau Kampung Bandan sekarang ini,” ungkap Alwi Shahab dalam “Lelang Budak di Batavia” termuat di kumpulan tulisan Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi.

Coen juga mengimpor budak dari kantor dagangnya di pesisir Asia Selatan. Pengiriman budak dalam jumlah besar terjadi setelah VOC mengalahkan Portugis di Malaka. Budak-budak diangkut dari Pantai Coromandel, Teluk Malabar, Teluk Benggala di India –bekas koloni Portugis– dan Arakan di Burma. Sebagian besar tawanan perang, korban bencana banjir, dan kelaparan. Para budak mestizo atau Indo-Portugis ini ditempatkan di Desa Tugu, dekat Cilincing, Jakarta Utara. Namun, Alwi Shahab menyebut, mereka dibebaskan pada 1661 setelah mau menukar agama mereka dari Katolik ke Protestan. Mereka kemudian dikenal sebagi kaum mardijker.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Orang Belanda membuat perbudakan menjadi institusi yang memiliki kepastian hukum. Perangkat hukum Eropa diterapkan.</div>

Dalam perkembangan selanjutnya, Kepulauan Nusantara menjadi sumber utama yang menyediakan budak. Pulau Jawa salah satunya. “Pada abad ke-15 dan ke-16 Jawa dengan cukup jelas tampil sebagai suatu negeri penyedia budak,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia.

Pemasok utama bagi ekspor budak Jawa berasal dari wilayah timur yang penduduknya gemar berperang, yakni Blambangan. Pengelana Portugis Tome Pires mencatat “ekspor” budak merupakan bisnis utama negeri itu.

“Banyak budak pria maupun wanita yang dijual di seluruh penjuru Jawa berasal dari negeri ini. Ia memiliki budak-budak yang banyak sekali di negerinya,” tulis Tome Pires dalam Suma Oriental Karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues.

Selain Jawa, daerah-daerah penghasil budak, yakni Sumbawa, Sumba, Flores, Timor hingga Nias turut menyumbang pasokan budak di Batavia.

“Tetapi, sumber-sumber utama yang secara konsisten menjadi pemasok adalah Bali dan Sulawesi Selatan,” tulis Lance Castles Profil Etnik Betawi.

Para raja maupun kepala suku di Bali dianggap berhak menjual rakyat jelata sebagai budak. Raja Buleleng paling getol menjual budak. Raja ini umpamanya pada 1708 mengirim beberapa kapal berisikan 750 budak ke Batavia oleh sebab butuh duit. Selain itu, banyak budak dibeli di Makassar. Mereka sebagian besar orang Toraja, Sumba, Timor, atau Manggarai (Flores) hasil tawanan suku-suku pelaut seperti Gowa dan Bugis. Itulah sebabnya dua daerah ini merupakan penyuplai budak yang penting bagi Batavia.

Menurut Bondan, orang Belanda membuat perbudakan menjadi institusi yang memiliki kepastian hukum. Perangkat hukum Eropa diterapkan. Misalnya, seorang budak tercatat secara legal di hadapan notaris. Begitu pula status hukum kegiatan perdagangan, pencatatan warisan, dan sebagainya.

Proses identifikasi itulah yang membedakan perbudakan dari periode sebelumnya. Dalam tradisi Nusantara, budak hanyalah kawula atau pengabdi yang setiap saat bisa pergi dan membebaskan diri dengan kesepakatan. Sementara bagi orang Belanda, budak adalah aset, properti yang bisa diperjualbelikan.

“Mereka melakukan legalisasi institusi perbudakan mengikuti kebiasaan orang Eropa dan kemudian mengkomersialisasikan institusi perbudakan dengan menghitung nilai budak itu berdasarkan nilai ekonomi,” jelas Bondan.

Bondan Kanumoyoso, sejarawan sekaligus dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. (Riyono Rusli/Historia.ID).

Hidup Bersama Budak

Memasuki paruh kedua abad ke-17, setengah penduduk Batavia yang berjumlah 30 ribuan terdiri dari budak. Mereka dipekerjakan untuk melayani tugas-tugas tertentu. Juru masak, juru lampu, pelayan, penjahit, pesuruh, penyetrika pakaian, pembuat sambal, pembuat roti, pembuat teh, dan kusir adalah rupa-rupa pekerjaan budak seperti dikutip dari iklan penjualan budak. Sejumlah pembantu para nyonya hanya membuat teh, sementara yang lain bertanggung jawab menata rambut dalam gaya lokal yaitu konde –rambut yang disanggul di belakang kepala.

“Para tuan menyukai budak tukang pijat yang dapat memijat dengan ahli hingga mereka tertidur setelah makan siang ala Eropa yang sangat banyak. Budak pemain musik populer masa itu,” tulis Susan Blackburn, sejarawan Monash University, dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun.

Para orang kaya, petinggi VOC hingga Hindia Belanda memiliki budak pemain musik; praktik yang telah ada sejak era Portugis. Mereka bahkan gemar membentuk orkes yang beranggotakan para budak, disebut slaven orkest (orkes budak), untuk memainkan musik Barat dan musik tradisional. Lahirlah musik hibrid macam tanjidor yang kemudian dilestarikan para budak.

Bondan mengatakan, harga seorang budak ditentukan oleh kemampuannya. Nilai budak tertera dalam akta pengangkutan di arsip notaris yang mencatat jual beli budak. Tukang kayu dan pemain musik masuk kategori budak bernilai tinggi. Sama halnya budak perempuan yang punya keterampilan memasak.

“Kalau ia pintar nyambel, harganya mahal. Karena nyambel itu menjadi salah satu keistimewaan dari sebuah rumah tangga. Artinya, ia jago masak,” terang Bondan. Sementara itu, budak yang sudah tua atau tak punya keahlian tertentu relatif dihargai murah.

Jumlah budak mengindikasikan status sosial masyarakat Batavia. Semakin banyak budaknya, semakin terpandanglah si pemilik budak. Kepemilikan budak dijadikan ajang pamer. Ke mana tuannya pergi, budak dibawa sebagai pengiring. Mereka yang paling kaya sanggup memelihara ratusan sampai dua ratus budak.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Para budak acapkali dihukum atas kesalahan mereka. Dengan sewenang-wenang, budak dirotan, dirantai, dipotong telinganya hingga dicap dengan besi panas.</div>

Sejarawan cum arsiparis Mona Lohanda mencatat beberapa gubernur jenderal VOC yang menonjol soal perbudakan. Cornelis Speelman (berkuasa 1681–1684) dikisahkan suka menjual orang sebagai budak, padahal yang bersangkutan berstatus orang bebas. Jacob Mossel (1750–1761) dikenal suka pamer kemewahan dengan pakaian berikut perhiasan mahal, pemakaian payung dan kereta, serta jumlah budak yang dimiliki bilamana pergi ke gereja. “Tetapi gereja juga menjadi penuh sesak oleh para budak,” ungkap Mona dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia.

Bondan menimpali kalau orang Eropa aslinya tidak pernah dipayungi. Begitu sampai di Nusantara, mereka mengadaptasi kebiasaan bangsawan lokal.

“Melihat raja-raja Jawa dipayungi, ya ia juga pengen dipayungi dong supaya enggak kalah wibawa. Masak ketemu sama elite lokal dipayungi, ia jalan ngujang aja kaya pedagang biasa, kan kurang terhormat. Makanya muncullah istilah jongen sebagai pelayan. Sebenarnya artinya anak muda. Belakangan menjadi peyoratif yang merendahkan orang, jongos,” tandasnya.

Bila Coen (1619–1623 dan 1627–1629) memelopori impor budak ke Batavia, Jeremias van Riemsdijk (1775–1777) adalah gubernur jenderal dengan budak belian terbanyak. Menurut Mona, Riemsdijk mempunyai 200 budak. Rata-rata pejabat setingkat gubernur jenderal memiliki budak kisaran 100 orang.

Bagaimana dengan kehidupan para budak? Potret eksploitasi dan penderitaan umumnya mengisi keseharian kaum budak. Tak jarang ada budak yang mati akibat penyiksaan yang kejam.

Menurut Adolf Heuken, sejarawan Jerman yang meneliti sejarah Batavia, hampir tak ada hukum yang melindungi orang-orang malang ini. Para budak acapkali dihukum atas kesalahan mereka. Dengan sewenang-wenang, budak dirotan, dirantai, dipotong telinganya hingga dicap dengan besi panas.

“Perlakuan seperti ini menyebabkan banyak budak melarikan diri dan membentuk gerombolan di daerah Karawang pada abad ke-17. Tetapi, banyak pelarian ditangkap oleh penduduk pribumi, supaya mendapat imbalan duit dari pemilik budak yang bersangkutan,” tutur Hauken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta.

Jan Pieterszoon Coen (kiri) memelopori impor budak ke Batavia. Jeremias van Riemsdijk (kanan) adalah gubernur jenderal dengan budak belian terbanyak. (Wikimedia Commons).

Bukan Hanya Orang Belanda

Institusi perbudakan di Nusantara tak melulu didominasi bangsa Belanda. Pengaruh mereka terbatas di kota-kota pelabuhan. Paling banter di Batavia, Makassar, dan beberapa pos dagang kecil seperti di Ambon. Artinya, di daerah lain yang belum menjadi koloni VOC, praktik perbudakan berlangsung dalam tradisi pra-kolonial.

“Sehingga, seberapa jauh pengaruh institusi perbudakan di Nusantara, saya katakan cukup signifikan tapi hanya ada di daerah-daerah tertentu. Secara keseluruhan tidak signifikan,” ujar Bondan. Kalau ditinjau dari catatan notaris, imbuhnya, hampir 80 persen dari aktivitas jual beli budak itu adalah pribumi Nusantara dan kelompok etnis lainnya seperti Tionghoa.

Kendati VOC penguasa Batavia, Susah Blackburn juga menyoroti perbudakan yang secara aktif dilakukan pedagang Tionghoa dan kaum Timur Asing. Sebuah register budak pada 1816 menunjukkan orang Tionghoa yang memiliki budak justru lebih banyak daripada orang Eropa. Karena membangun kekayaan melalui bisnis, orang Tionghoa tidak terlalu suka menggunakan budak hanya untuk dipamerkan. Kebanyakan budak dipekerjakan di penggilingan tebu dan penyulingan arak.

“Pada akhir abad ke-18, tampaknya sejumlah orang Arab, India, dan Indonesia yang menjadi pemilik budak sama banyaknya dengan orang Eropa dan Cina. Hal ini merefleksikan bertambahnya kekayaan mereka di kota,” tulis Susan Blackburn.

Perbudakan yang diregulasi sedemikian rupa oleh VOC memang mendatangkan keuntungan ekonomi. Tapi, budak hanyalah komoditas sampingan bila dibandingkan rempah-rempah. Lain halnya dengan kongsi dagang Belanda di Hindia Barat (WIC) yang mengandalkan penjualan budak ke kawasan Amerika Selatan.

VOC tentu menarik keuntungan dari sektor perbudakan. Pajak dikenakan ketika budak belian didatangkan ke Batavia. Selain itu, budak yang dijual di pasar budak harus dicatatkan ke notaris untuk mendapatkan status legal.

“Itukan setoran untuk pemerintah VOC,” imbuh Bondan. “Di situlah keuntungannya.”

Namun, Bondan menegaskan, keuntungan VOC dari perdagangan budak tidak begitu besar. Rempah-rempahlah yang menduduki peringkat teratas komoditas yang paling menguntungkan.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Setelah bertahun-tahun praktik perbudakan itu dilakukan di Batavia, kemudian terbentuklah satu komunitas yang menjadi embrio orang Indonesia.</div>

Institusi perbudakan juga menjadi wahana mobilitas horizontal antar-anak negeri Nusantara. Ia menjadi tempat bertemu berbagai identitas etnis yang menembus sekat segregasi politik kolonial.

Bondan mencontohkan, seorang mantan budak dari Bali menikah dengan budak dari Makassar. Anak dari pasangan ini dalam catatan sipil akan disematkan nama belakang van Batavia. Nama van Batavia berarti kelahiran Batavia dari ayah dan ibu yang kemungkinan berbeda etnis. Nama ini banyak tercatat dalam arsip kolonial, terutama setelah abad ke-18. Setelah beberapa generasi, lahirlah entitas baru yang disebut Betawi.

“Saya melihat ini sebagai wahana yang membentuk identitas keindonesiaan. Setelah bertahun-tahun praktik perbudakan itu dilakukan di Batavia, kemudian terbentuklah satu komunitas yang menjadi embrio orang Indonesia. Jadi, orang Betawi mestinya bangga,” ujar Bondan.

Betapapun kelam sejarah perbudakan, hal tersebut telah diakui pemerintah Belanda. Pernyataan maaf sekaligus dilayangkan terutama menyangkut sepak terjang kongsi dagang WIC. Bondan sendiri tak mau buru-buru menghubungkannya dengan apa yang dilakukan VOC di Nusantara. Sebab, elite pribumi maupun bangsa asing lain turut menjalankan praktik perbudakan di samping bangsa Belanda.

“Permintaan maaf harus dilakukan tapi harus spesifik. Narasinya harus disesuaikan, jangan menggeneralisasi. Masyarakat Indonesia ini memori kolektifnya tidak seperti yang disebutkan dalam permintaan maaf itu,” tegas Bondan.

Menurut Bondan, sejarah Indonesia memiliki riwayat yang berbeda dari institusi atau lembaga perbudakan yang dipahami masyarakat di belahan dunia lain. Namun, sebagai sumbangan bagi historiografi Indonesia, sejarah perbudakan di Nusantara perlu untuk dituliskan.

“Jangan sampai terjadi satu pemahaman yang salah sehingga kemudian mendegradasi pemahaman kita terhadap arti penting harkat dan martabat manusia dalam sejarah Indonesia, yang sebetulnya enggak seperti apa yang dibayangkan orang-orang,” tutup Bondan.*

<div class="video-content"><video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://historiadotid.s3.amazonaws.com/premium/47-Perbudakan-di-Bawah-Koloni-VOC/PERBUDAKAN-DI-BAWAH-KOLONI-VOC.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://historiadotid.s3.amazonaws.com/premium/47-Perbudakan-di-Bawah-Koloni-VOC/PERBUDAKAN-DI-BAWAH-KOLONI-VOC.mp4"></video></div>

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
63f4b913beee937aaeae4046